PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PABRIK PENGOLAHAN

METHAN CAPTURE LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT
SEBAGAI ALTERNATIF PENGURANGAN EMISI UDARA
(Ditinjau Dari Penanganan, Prinsip Kerja, Prinsip Desain Dan Kondisi Operasi)

Oleh:
Purwo Subekti/ F36115014, Universitas Pasir Pengaraian
Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor
Desember 2015

1. TUJUAN PENANGANAN
Indonesia merupakan negara dengan perkebunan sawit terluas di dunia, pada tahun
2014 luas kebun kelapa sawit mencapai 10,9 juta hektar dengan produksi Cr ude P a lm
Oil (CPO) sebesar 29,3 juta ton dengan jumlah Pabrik Kelapa Sawit 695 unit (BPS, 2014).

Perkembangan industri kelapa sawit akan terus meningkat seiring dengan rencana
pemerintah tahun 2020, Indonesia ditargetkan mampu menghasilkan 40 juta ton CPO per
tahun. Rencana tersebut didukung dengan adanya Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
(RKTN) tahun 2011-2030, pemerintah akan mengalokasikan kawasan hutan untuk
dimanfaatkan menjadi sektor perkebunan (Kemenhut 2011).
Perkembangan pesat sektor industri kelapa sawit tersebut ternyata menimbulkan
dampak lain. Limbah pabrik kelapa sawit di Indonesia mencapai 28,7 juta ton

limbah

cair/tahun

dan

15,2

juta

ton

limbah tandan

kosong

kelapa sawit

(TKKS)/tahun (Deptan, 2008). Berbagai persoalan muncul berkaitan dengan isu
lingkungan yang disebabkan aktivitas industri kelapa sawit. Permasalahan kerusakan

lingkungan ini mendapat perhatian serius dari pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), maupun dunia internasional.
Aktivitas industri minyak sawit mulai dari penanaman, pemupukan, penggunaan
energi, pengolahan limbah dan lainnya diduga sebagai penyebab peningkatan gas rumah
kaca (GRK). GRK merupakan gas-gas yang terdapat di atmosfer, yang menyerap dan
memantulkan kembali radiasi inframerah sehingga berakibat pada peningkatan suhu
bumi (Cicerone 1987). GRK pada industri kelapa sawit yang berkontribusi terhadap
pemanasan

global

adalah

karbondioksida

(CO2),

metana

(CH4), dinitrogen oksida


(N2O). Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), menjelaskan bahwa setiap
GRK mempunyai potensi pemanasan global (Global Warming Potential/GWP) yang diukur
secara relatif berdasarkan emisi CO2. Semakin besar nilai GWP maka akan semakin bersifat
merusak (IPCC 2007).
1

Gambar 1. Skema proses produksi di pabrik pengolahan kelapa sawit
Environmental

lingkungan hidup AS

Protection

(EPA),

Agency

lembaga


pemerintah

urusan

menyatakan bahwa sumberdaya energi terbarukan harus bisa
2

mengurangi emisi GRK sebesar 20 % (EPA 2011). Apabila hal tersebut tidak dilakukan
maka akan berdampak pada daya beli produk turunan kelapa sawit oleh negara-negara maju.
Sebagai langkah solutif meningkatkan daya saing produk sawit

Indonesia,

pemerintah

menerapkan peraturan yang tersusun dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Terdapat 7 prinsip ISPO yang harus dipenuhi perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu
sistem perizinan dan manajemen perkebunan, penerapan pedoman teknis budidaya dan
pengolahan kelapa sawit, pengelolaan lingkungan, tanggung jawab terhadap pekerja,
tanggung jawab sosial dan kominitas, pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat, dan

peningkatan usaha secara berkelanjutan. Salah satu kriteria dalam prinsip pengelolaan
lingkungan adalah perusahaan diharuskan melakukan identifikasi sumber emisi GRK
(Ditjenbun 2014).

Gambar 2. Koloma LCPKS

Dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah dari limbah cair pabrik kelapa sawit
(LCPKS/ POME, palm oil mill effluent). dan menurunkan sumber emisi GRK, maka perlu
alterntif pengolahan dan pemanfatan LCPKS menjadi produk lain yang bisa dimanfaatkan.
Berdasarkan latar belakang di atas, kajian ini termasuk implementasi pengambilan gas bio
dan pembakaran gas bio pada kolam pembuangan limbah cair, dimana gas bio diambil dari
kolam anaerobik yang ada, kemudian di alirkan ke instalasi pemurnian sebelum dilanjutkan
untuk di fungsikan sebagai bahan bakar Generator Set sebagi pembangkit listrik.
3

Gambar 3. Skema efek GRK

Solusi dari permasalahan-permasalahan di atas adalah dengan pembentukan reaktor
biogas. Reaktor biogas berfungsi untuk menangkap gas-gas CH4, oleh karena itu secara
signifikan reaktor biogas akan mengurangi kadar gas rumah kaca. Hal ini akan diharapkan

akan membantu mencegah terjadinya pemanasan global. Kemudian, gas- gas CH4 yang
ditampung akan menjadi biogas, dan bisa diutilisasikan untuk kebutuhan energi dengan
menjadi bahan baku pembangkit listrik. Sehingga dengan dimanfaatkanya POME selain
peningkatan nilai tambah dan penurunan emisi udara juga sebgai bentuk kepedulian
perusahaan dalam hal menjaga lingkungan yang berkelanjutan.

4

Gambar 4. skema pengurangan efek GRK dengan methane capture
Sebagi tempat untuk melakukan kajian tentang pengelolaan POME untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) adalah PKS PTPN VI yang terletak di PKS Pinang Tinggi
dan PKS Tanjung Lebar Propinsi Jambi.

2. PRINSIP KERJA INSTALASI
2.1. Sistem Pembangkit
Pembangkit listrik yang digunakan secara umum termasuk kategori PLTG
(pembangkit listrik tenaga gas)
bahan bakar

menggunakan mesin gas engine. Gas untuk


PLTG ini adalah biogas, yang dihasilkan dari limbah cair pabrik

kelapa sawit (POME, palm oil mill effluent). Pembangunan yang
Instalasi
dan

dilakukan dalam

ini meliputi pembangunan fasilitas (pabrik) penghasil biogas dari POME

pemurniannya, agar

dapat digunakan sebagai input gas engine; dan

instalasi mesin gas engine itu sendiri.

5

juga


Gambar 5. Skema proses pengolahan POME hingga menjadi biogas yang
siap digunakan di gas engine.

2.2. Prinsip Kerja
Secara umum, konfigurasi peralatan pada pembangkit listrik tenaga biogas
yang memanfaatkan POME adalah sesuai dengan pembagian subsistem seperti
pada gambar 6, secara berurutan dari awal sampai akhir:
1. Unit pengaliran umpan POME
2. Unit penerimaan/penanganan awal umpan POME
3. Unit pencampuran/pengumpanan POME ke reaktor
4. Unit reaktor biogas (ABR)
5. Unit daur ulang dan pengaliran balik POME
6. Unit penanganan dan pemurnian gas
7. Unit flaring /pembakar gas
8. Unit gas engine pembangkit listrik
9. Sistem kelistrikan dan pengendalian

6


Gambar 6. Diagram prinsip kerja instalasi PLTBg dari POME
Prinsip kerja instalasi di uraikan sebagi berikut:

1. Unit Pengaliran Umpan POME
Fungsi, Mengalirkan umpan POME dari kolam pendinginan PKS ke lokasi PLT biogas.
Peralatan utama, POME influent pump; jaringan perpipaan bawah tanah + 400 m.
Deskripsi, Jarak antara lokasi PLT biogas dan pabrik PKS adalah sekitar 400 m.
Untuk memindahkan POME dari PKS ke PLT biogas, digunakan pompa berkapasitas 30
m3/jam (1 operasi, 1 standby) untuk menyedot POME dari kolam pendinginan limbah di
PKS, kemudian dialirkan melalui perpipaan yang

ditanam sepanjang pinggir jalan

perkebunan, menuju lokasi PLT biogas. POME kemudian ditampung di unit
penerimaan/penanganan awal.

2. Unit Penerimaan/Penanganan Awal Umpan POME
Fungsi, Menampung umpan POME dari

pabrik


dan

menurunkan temperaturnya

sehingga sesuai dengan persyaratan masuk ke reaktor.
Peralatan Utama, Receiving Tank; Receiving Pump, Heat Exchanger (dilengkapi Cooling
Tower).
Deskripsi, POME yang

diterima dari PKS ditampung di receiving tank (bak

penampungan POME) berupa

bak

beton
7

berkapasitas


tampung

27

m3.

Dari

penampungan,

POME

dipompa

dengan

receiving

pump

menuju

unit

pencampuran/pengumpanan. Sebelum memasuki unit pencampuran/ pengumpanan, POME
didinginkan menjadi sekitar 40oC (karena temperatur POME dari PKS masih panas, di
atas 60cC) menggunakan heat exchanger (alat penukar panas), yang beroperasi
menggunakan cooling tower untuk sirkulasi air pendinginnya.

3. Unit Pencampuran dan Pengumpanan POME ke Reaktor
Fungsi, Mengalirkan POME ke dalam reaktor biogas, dengan kondisi sudah memenuhi
persyaratan (temperatur, pH, alkalinitas, dan laju alir).
Peralatan Utama, Mixing Tank (dengan Mixer); Primary Feed Pump, Dosing Tank,
Dosing Pump.
Deskripsi, POME dari unit penerimaan dan
tank

penanganan awal masuk ke mixing

(tangki pencampur) berupa bak beton berkapasitas tampung 108 m3. Di dalam

tangki pencampur, POME dicampur dengan keluaran ABR (resirkulasi) dari unit daur
ulang untuk menyesuaikan pH dan

alkalinitas. Jika pH/alkalinitas belum memenuhi

persyaratan, akan diinjeksikan bahan kimia dari dosing tank (tangki penyimpanan bahan
kimia) menggunakan pompa. Setelah semua kondisi
campuran POME

kemudian

dipompa

yang

disyaratkan

tercapai,

dengan primary feed pump menuju bagian

bawah/dasar reaktor ABR (lagoon).

4. Unit Reaktor Biogas (ABR)
Fungsi, Memproduksi biogas (mengubah POME menjadi biogas dan air limbah bersih).
Peralatan Utama, ABR Reactor Pond (lengkap dengan sistem perpipaan di dalamnya:
perpipaan umpan POME, perpipaan penarikan lumpur, perpipaan penarikan buih/busa,
perpipaan keluaran POME, dan perpipaan gas).
Deskripsi, Reaktor ABR berupa konstruksi kolam yang sangat besar, dengan kedalaman
10 m dan

luas sekitar 68,5 m x 99 m. Kolam ini dilapis dengan material HDPE

geomembran setebal 1 mm di seluruh dinding dan dasarnya. POME dialirkan secara
terus-menerus dan didistribusikan merata menggunakan jaringan perpipaan umpan yang
dipasang di sepanjang dasar reaktor ABR untuk memaksimalkan pemanfaatan seluruh
volume reaktor (agar proses konversi merata dan maksimal). Dalam reaktor ABR, zatzat organik yang terkandung dalam POME dikonversi menjadi biogas melalui proses
digesti anaerobik. Kadar COD dalam POME menurun (sehingga POME memilik
kadar COD yang lebih mendekati air bersih) sehingga dapat dikembalikan ke pabrik PKS
8

melalui unit pengaliran balik. Reaktor ABR ini juga ditutup dengan lembaran HDPE
geomembran 1 mm untuk menahan dan mengumpulkan biogas yang terbentuk. Biogas
kemudian dialirkan keluar reaktor menuju unit pengolahan dan pemurnian biogas,
melalui perpipaan biogas yang dipasang di sekeliling bagian atas reaktor. Reaktor ABR
ini didesain secara khusus

untuk mencegah gangguan yang

sering timbul: akumulasi

minyak di atas reaktor, dan sedimentasi berlebih di dasar reaktor; keduanya dapat
dikeluarkan dengan sistem perpipaan penarikan buih/busa dan lumpur, tanpa membuka
penutup reaktor.

5. Unit Daur Ulang dan Pengaliran Balik POME
Fungsi, Mengalirkan POME keluaran reaktor biogas kembali ke unit pencampuran dan
kembali ke area PKS.
Peralatan Utama, Overflow Weir (dengan Gate), Discharge Pump.
Deskripsi, POME dari reaktor dialirkan dengan gravitasi melalui perpipaan menuju
overflow weir yang berupa bak beton berkapasitas 18 m3. Bak ini terbagi atas 2
ruangan, di mana ruangan pertama berfungsi sebagai penampung POME bersih keluaran
reaktor, dan ruangan kedua merupakan tempat pengambilan POME. POME dari
ruangan

kedua dialirkan

sebagian kembali ke

unit pencampuran (lewat pipa) dan

sisanya dipompa kembali ke pabrik PKS dengan menggunakan pompa.
6. Unit Penanganan dan Pemurnian Biogas
Fungsi, Mengkondisikan biogas keluaran reaktor agar

memenuhi syarat

sebagai

umpan bahan bakar gas engine (temperatur, tekanan, kemurnian, kadar pengotor, dll).
Peralatan Utama, Scrubber, Cyclone, Heat Exchanger (dilengkapi Chiller dan Cooling
Tower), Blower, Filter.
Deskripsi, Biogas dikeluarkan dari reaktor melalui jaringan perpipaan gas menuju
unit penanganan dan

pemurnian biogas. Untuk mengalirkan biogas di sistem ini,

digunakan gas blower. Penanganan dan pemurnian biogas agar memenuhi persyaratan
masuk gas engine, secara berurutan terdiri dari:
-

Scrubber, untuk menghilangkan kadar pengotor H2S.

-

Cyclone, untuk menghilangkan kadar pengotor padatan.

-

Heat Exchanger 1 (dengan Chiller), untuk menghilangkan kadar air.

-

Blower, untuk menambah tekanan dan mengalirkan biogas.

-

Heat Exchanger 2 (dengan Cooling Tower), untuk menurunkan temperatur.

-

Filter, untuk menyaring pengotor partikulat dan uap air.
9

7. Unit Flaring (Pembakar Gas)
Fungsi, Sebagai perlengkapan keamanan proses, agar biogas yang tidak terpakai ke
gas engine dapat dilepas ke lingkungan tanpa menimbulkan bahaya.
Peralatan Utama, Flare dilengkapi dengan flame arrester.
Deskripsi, Jika biogas yang diproduksi dari reaktor berlebih, tidak digunakan, atau terjadi
kegagalan pemurnian sehingga kadar pengotor tidak dapat diturunkan sesuai persyaratan;
biogas dari blower akan langsung dibuang/dialirkan ke unit flare untuk dimusnahkan.
Biogas dialirkan dari blower dengan pipa panjang menuju unit flare yang terletak jauh
dari peralatan proses, kemudian gas akan

langsung terbakar otomatis di flare dan

dilepaskan ke lingkungan dalam bentuk sudah terurai yang tidak berbahaya.

8. Unit Pembangkit Listrik (Gas Engine)
Fungsi, Menghasilkan listrik yang digunakan untuk disalurkan ke masyarakat, dan
juga untuk menggerakkan peralatan di PLT biogas.
Peralatan Utama, Gas Engine Generator, satu sistem sudah dalam kontainer; dan Trafo
Step-Up.
Deskripsi, Biogas yang

telah dimurnikan digunakan sebagai bahan bakar

pada gas

engine untuk membangkitkan listrik. Listrik yang dibangkitkan kemudian dialirkan ke
jaringan (di luar lingkup kerja Instalasi) untuk didistribusikan kepada pengguna, setelah
melalui trafo step-up.

9. Sistem Kelistrikan dan Pengendalian
Fungsi, Memberikan sumber energi bagi alat-alat di PLT biogas dan mengendalikan
proses.
Peralatan Utama, Panel PLC, MCB, dan kabel-kabel terkait; kompresor, dan sensorsensor.
Deskripsi, Pembangkit listrik tenaga biogas ini dilengkapi dengan sistem PLC, untuk
tujuan kontrol dan monitoring. Pengendalian dapat dilakukan terpusat dari control
room (ruang kendali) maupun secara manual dari masing-masing peralatan di lapangan.
Kebutuhan listrik untuk alat-alat di pembangkit listrik tenaga biogas diambil dari
sebagian listrik yang dihasilkan gas engine.

10

3. PRINSIP DESAIN
3.1. Perhitungan Emisi Rumah Kaca
Perhitungan emisi Instalasi ini memakai metodologi yang telah ditetapkan oleh
UNFCCC yaitu AMS-III.H (Approved Methodology, version 13): ”Methane recovery in
waste treatment” (unfcc, 2015), untuk perhitungan jumlah gas rumah kaca yang dikeluarkan

dari kolam pengolahan limbah. Dan untuk perhitungan pengurangan jumlah gas rumah kaca
untuk penggantian bahan bakar fosil untuk membangkitkan listrik dipakai AMS-ID (Grid
connection renewable electricity version 11/ unfcc, 2015)

3.1.1. Baseline Instalasi
Disain kedalaman kolam rata-rata adalah 5 m, dimana untuk menjaga kedalaman
sludge/lumpur

diambil

dari

dalam

kolam

secara

berkala.

Lumpur

tersebut

dimanfaatkan untuk pupuk di areal perkebunan atau ditumpuk begitu saja di sekitar
kolam. Karena sebelum (baseline) dan setelah Instalasi dilaksanakan (project activity),
pengolahan lumpur ini tidak mengalami perubahan, maka dianggap tidak ada
pengurangan emisi pada proses ini, maka BEs.treatment,y

= 0. Dan karena lumpur

digunakan sebagai pupuk/soil application maka BEs.final,y = 0.
Baseline emission dari Instalasi penangkapan gas metana pada sistem pengolahan

limbah air dapat

ditunjukkan

dengan

persamaan

pada

AMS-III.H

(Approved

Methodology) (version 13): ”Methane recovery in waste treatment” (unfcc, 2015):

dimana,
Bey
BEpower,y
BEww.treatment,y
BEs.treatment,y
BEww.discharge,y
BEs.final,y

: Emisi baseline pada tahun y (t-CO2)
: Emisi baseline listrik atau kebutuhan bahan bakar pada tahun y (t-CO2)
: Emisi baseline pengolahan limbah cair (t-CO2)
: Emisi baseline pengolahan sludge/lumpur (t-CO2)
: Emisi baseline pembusukan karbon organik dari hasil pengolahan
limbah cair yang dibuang ke sungai/laut (t-CO2)
: Emisi baseline pembusukan anorganik lumpur (t-CO2)

Dalam kondisi biasa (sebelum Instalasi CDM), sumber listrik untuk proses pengolahan
limbah cair menggunakan bahan bakar biomasa yang berasal dari limbah padat (serabut dan
cangkang) dari proses pembuatan CPO. Sehingga energi listrik
menghasilkan emisi, maka BEpower, y = 0.
11

yang dipakai tidak

Pengolahan sludge/ lumpur pada Instalasi ini tidak mengalami perubahan dengan
adanya Instalasi ini, dimana lumpur diambil dari kolam anaerobik secara berkala untuk
menjaga kualitas air yang dikeluarkan ke areal perkebunan, sehingga dalam Instalasi ini
BEs.treatment,y = 0. Dalam kajian ini, limbah cair yang keluar dari kolam anaerobik diolah

dengan baik di kolam aerobik, maka BEww.discharge,y = 0. Dengan kondisi Instalasi seperti
itu, maka persamaan baseline dalam kegiatan Instalasi ini menjadi : (unfcc, 2015)
BE y  BE ww.tr ea tment,y  Qww,i ,y  CODremoved ,i ,y  MCFww.tr ea tment,BL ,i
 Bo ,ww  UFBL  GWPCH 4

(2)

Dimana,
Qww,i,y
: Jumlah limbah air (t/m3)
CODremoved,i,y
: Nilai COD yang terambil/terolah
MCF ww.treatment,BL,i : Faktor koreksi gas metana baseline pengolahan limbah air 0,8 (kolam
anaerobik dalm)
Bo,ww
: Kapasitas produksi gas metana pada limbah cair, 0, 21 kg (CH4/kg COD)
UF BL
: Faktor koreksi model untuk perhitungan ketidakpastian model, 0,94
GWP CH4
: Potensi emisi gas metana pada sistem pengolahan limbah cair yang
dilengkapi sistem perangkap gas bio, 21

Pengukuran jumlah limbah air, Qww,i,y tidak dilakukan oleh PKS, karena selain harga
flowmeter mahal, tidak ada kepentingan bagi PKS untuk melakukan pengukuran volume air

limbah. Jumlah air limbah ini ditentukan dengan perhitungan menggunakan koefisien
perbandingan antara jumlah TBS yang diolah dan jumlah limbah air.
Dalam studi ini dipakai angka 0,6 , yang merupakan angka acuan dari PKS di
PTPN V. Untuk PKS di Malaysia dari literatur yang ada, memakai angka 0,7 [6].
Pengukuran COD di inlet dan outlet kolam anaerobik, yang merupakan parameter penting
untuk menentukan jumlah gas metana, nilainya diambil dari data laporan bulanan kualitas
limbah cair ke Badan Pengawasan Lingkungan Daerah di lokasi masing masing PKS. Nilai
COD di inlet kolam anaerobik tercatat 50.000 mg/L, dan untuk outlet tercatat 5000 mg/L
(DPU, Riau 2009).
Baseline emission dari penggantian bahan bakar fosil dengan menggunakan bahan

bakar gas metana ini ditunjukkan dengan persamaan pada AMS-ID (Grid connection
renewable elecricity vesion 11/ unfcc, 2015):
BE y ,electr icity MWH grid  Efgr id

(3)
12

Dimana,
MWHgrid

:

Jumlah energi yang dibangkitkan dengan menggunakan
terbarukan (kWh)
: Koefisien emisi dari sistem jaringan/grid, 0,743 t-

EF grid
CO2/MWh [8].
Total dari emisi baseline adalah total dari persamaan (2) dan (3).

3.1.2. Emisi Instalasi
Emisi Instalasi yang dihasilkan berdasarkan AMS-III.H (Approved Methodology) (version
13): ”Methane recovery in waste treatment” (unfcc, 2015), adalah :
Pe y  PE power,y PE ww.trea tment,y PE s .trea tment,y E ww.discha r ge ,y PE s . fina l,y  PE fugitive,y PEbioma ss,y

 PE fla ring,y

(4)

Dimana,
PEy
PEpower,y
PEww.treatment,y

PEs.treatment,y

PEww.discharge,y
PEs.final,y
PEfugitive,y
PEbiomass,y
PEflaring,y

: Emisi Instalasi pada tahun y (t-CO2)
: Emisi Instalasi dari listrik atau kebutuhan bahan bakar pada
tahun y (t- CO2)
: Emisi gas metana dari sistem pengolahan limbah c air yang
Diakibatkan kegiatan instalasi dan tidak dipasang penangkap gas,
pada tahun y (t-CO2)
: Emisi gas metana dari sistem pengolahan lumpur yang
diakibatkan kegiatan Instalasi dan tidak dipasang penangkap gas,
pada tahun y (t-CO2)
: Emisi Instalasi dari pembusukan karbon organik dari hasil
Pengolahan limbah cair pada tahun y (t-CO2)
: Emisi Instalasi dari pembusukan anaerobik dari hasil akhir
lumpur pada tahun y (t-CO2)
: Emisi Instalasi dari biogas yang terlepas dari sistem
penangkapan Pada tahun y (t-CO2)
: Emisi gas metana dari penyimpanan biomasa pada kondisi
anaerobik (t-CO2)
: Emisi gas metana dari ketidaksempurnaan pembakaran pada tahun
y (t-CO2)

Pada kegiatan Instalasi ini, sumber bahan listrik yang dipakai adalah tetap seperti
sebelum Instalasi dilaksanakan, yaitu serabut dan cangkang (limbah biomasa) dari kelapa
sawit, sehingga emisi dianggap tidak ada, PEpower,y = 0.
Proses pengolahan limbah cair secara anaerobik pada aktivitas Instalasi ini
adalah sama dengan kondisi sebelum Instalasi (baseline), sehingga kualitas air yang
13

diolah/nilai COD limbah air setelah melewati kolam anaerobik pada saat sebelum Instalasi
dan sebelum Instalasi adalah sama, maka dalam perhitungan ini dapat dianggap PEww.discharge,y
= 0.
Lumpur/sludge dari kolam anaerobik diambil secara periodik untuk menjaga kulitas
proses pengolahan air dan mencegah pendangkalan kolam. Lumpur diambil dari
kolam, dikeringkan dengan sinar matahari dan kemudian dibuang ke lahan perkebunan
terdekat sebagai pupuk, sehingga PEs.final,y = 0. Dengan tidak adanya pengolahan lumpur
maka pada emisi pada kegiatan tersebut tidak ada, dan tidak ada nilai PEs.treatment,y. Karena
tidak ada biomassa yang disimpan di bawah kondisi anaerobik, maka tidak ada nilai
PEbiomass,y.

Dengan kondisi aktivitas Instalasi seperti di atas maka persamaan (4) menjadi,
PE y PE ww.trea tment,y PE fugitive,y PE fla ring,y

(5)

PE fugitive,y PE fugitive,ww,y PE fugitive,s ,y

(6)

karena pada kajian ini tidak ada sistem pengolahan sludge, maka, nilai PEfugitive,s,y tidak ada,
sehingga,
PE fugitive,y  PE fugitive,ww,y

(7)

PE fugitive,ww,y  1  CFE ww   MEPww.tr ea tment,y  GWPCH 4

(8)

Dimana,
CFEww

:

Efisiensi pengkapan dari fasilitas penangkapan gas pada sitem
pengolahan limbah, 0,9 (unfcc, 2015)

GWP CH4

:

Potensi emisi gas metana pada sistem pengolahan limbah air yang
dilengkapi sistem penangkap gas bio, 21 (unfcc, 2015)

Potensi gas metana yang dihasilkan dari limbah cair dari kolam anaerobik dinyatakan
dalam persamaan di bawah ini,
MEPww.trea tment,y Qww,y  Bo ,ww  UFPJ

 COD

Dimana,
14

removed ,PJ ,k ,y

 MCFww.tr ea tment,PJ ,k ,y

(9)

: Jumlah limbah air (t/m3)
Kapasitas produksi gas metana pada limbah air, 0,21 kg
:
(CH4/kgCOD) (unfcc, 2015)
: Faktor koreksi model untuk perhitungan ketidakpastian model,

Qww,y
Bo,ww
UF PJ
1,06[5]
CODremoved,PJ,k,y
MCF ww,treatment,PJ,k
PE fla ring,y

: Jumlah COD yang terambil/terolah.
: 0,8 (kolam anaerobik dalam) (unfcc, 2015)

TM

RGH

  1  0,9   GWPCH 4 /1000

(10)

Dimana jumlah massa gas metana yang mengalir pada aliran gas bio pada fasilitas
pembakaran/flaring dianggap sama dengan jumlah massa gas metana yang dihasilkan kolam
anaerobik setelah dikurangi jumlah gas metana yang terlepas pada dari sistem penangkapan
gas,

TM

RGH

 GWPCH 4/ 1000  MEP

ww.trea tment,y

Dimana,
ΣTMRG,h

 GWP

CH 4



fugitive,ww,y

(11)

: Jumlah massa gas metana pada aliran gas bio buang (kg/h) Sehingga
persamaan (10) dapat diubah menjadi persamaan di bawah ini,

3.1.3. Kebocoran / Leakage
Pada kajian ini instalasi sistem penangkapan dan pembakaran gas metana
merupakan sistem/peralatan yang baru, sehingga kebocoran/leakage dianggap nol, LE = 0.
3.1.4. Pengurangan Emisi (EmissionRreduction)
Pengurangan emisi dari skenario Instalasi ini adalah sebagai berikut:



ERy ,ex a nte BE y ,ex a nte BE y ,electricity PE y ,ex a nte LE y ,ex a nte)

Persamaan (11) ini dapat diubah menjadi,
15

(13)

ERy ,ex a nte  BE ww.trea tment,y  BE y ,electricity  PE ww.trea tment,y  PE fugitive,y PEfla r ing,y)

(14)

Dari persamaan (14), pengurangan emisi dari Instalasi CDM ini, ERy,ex ante didapat dari
pengurangan antara emisi dari pengolahan limbah cair, BEww,treatment, dan emisi dari listrik
yang dipakai, BEy,

electricity

saat Instalasi CDM belum dimulai dikurangi dengan emisi dari

sistem pengolahan limbah cair, PEww,treatment, emisi Instalasi dari biogas yang terlepas dari
sistem penangkapan, PE fugitive dan emisi dari ketidaksempurnaan pembakaran, PEflaring di
tahun y pada Instalasi CDM.
3.2. Nilai Kalor Biogas
Komposisi gas metana dai biogas yang berasal dari POME berkisar 60-70% [9] atau
65% [10], dimana sisanya adalah merupakan gas CO2 dan gas gas lainnya. Dari literatur
yang ada, setiap 1 ton POME akan menghasilkan 28,8 m3 biogas dengan nilai kalor biogas
yang dihasilkan dari POME adalah berkisar 4740-6560 kcal/m3, dan dengan konversi
energi sekitar 35%, maka nilai 1m3 biogas akan dapat menghasilkan listrik setara
dengan 1,8 kWh/m3 biogas (sairan at all, 2007, Zaidan, 2007).
3.3. Keekonomian Instalasi PLTBg
Biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan instalasi PLTBg ini digunakan untuk :
i)

biaya pengurusan administrasi CDM

ii) biaya investasi
iii) biaya operasi Instalasi, dengan usia Instalasi 10 tahun.
Pendapatan dari Instalasi ini berasal dari :
i)

penjualan karbon/CER (Certified Emission Reduction)

ii) penjulaan listrik ke PT. PLN (masyarakat).

Pendapatan dari CER sendiri, merupakan total CER dari pengurangan GRK yang
berasal dari penangkapan gas metana di kolam an-aerobik melalui penutupan kolam anaerobik dengan HDPE (High Density Polyethylene), dan dari pengurangan GRK yang
didapat dari penggantian gas metana sebagai bahan bakar untuk membangkitkan listrik.
Dalam hal ini terjadi pengurangan bahan bakar fosil. Listrik yang dihasilkan dikoneksikan
dengan jaringan sistem kelistrikan interkoneksi Sumatera.
Keekonomian Instalasi penangkapan gas metana perlu dijelaskan dan menjadi bukti
untuk menjelaskan additionality dan kelayakan keekonoomian dari pembangunan instalasi
16

PLTBg ini, Usaha penangkapan gas metana dari limbah cair di kolam pengolahan limbah
cair, jelas merupakan suatu Instalasi yang sedikit menghasilkan pendapatan bagi perusahaan,
sebaliknya akan menjadi beban jika Instalasi ini harus dilaksanakan dengan biaya
perusahaan. Dengan memasukkan usaha penangkapan gas metana ini ke dalam mekanisme
CDM, maka akan didapatkan pendapatan dari penjualan sertifikat pengurangan GRK, yang
dapat digunakan untuk menutup biaya operasional usaha penangkapan gas metana ini.

4. KONDISI OPERASI
4.1. Emisi Gas Rumah Kaca
Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam kajian ini adalah GRK yang dihasilkan dari
proses pembusukan material organik di limbah cair, yaitu gas metana, CH4. Perhitungan
emisi memakai persamaan-persamaan yang dijelaskan pada sub bab 3.1. Perhitungan emisi
baseline, BEy, dihitung dengan persamaan (2), emisi Instalasi, PEy, dihitungan

dengan

persamaan (3). Pengurangan emisi, ERy, dari Instalasi ini dihitungan dengan memakai
persamaan (11), yang merupakan selisih dari hasil perhitungan emisi baseline, saat aktivitas
Instalasi belum dilaksanakan (persamaan (2) dan emisi Instalasi, saat aktivitas Instalasi
dilaksanakan (persamaan (3). Hasil perhitungan ditunjukkan di Tabel 1. Penangkapan gas
metana dari kolam anaerobik di PKS Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar, dapat
mengurangi emisi sebesar 24.366 t-CO2. Dalam kurun waktu usia Instalasi, 10 tahun, maka
reduksi emisi dari penangkapan adalah sebesar 240.366 t-CO2.

Tabel 1. Pengurangan emisi tahun 2008

PKS

Pinang Tinggi
Tanjung Lebar

TBS yg
diproses (ton)

201.958
144.373

Produksi air
POME
limbah
Qww,i,y (ton) (ton)
121.175
86.624
Total

121.175
86.624

Emisi
Baseline
BE
(t-CO2/y)
18.083
12.927

Emisi
Instalasi
PE
(t-CO2/y)

Pengurangan

3874
2770

14.029
10.158
24.366

Emisi

ER
(t-CO2/y)

Sumber: Irhan Febijanto, 2010

4.2. Pembangkit Listrik dan Nilai Kalor Biogas
Dari jumlah biogas yang dihasilkan dapat diprediksi energi yang dapat dikonversikan
untuk membangkitkan energi listrik adalah 1,8 kWh/m3 biogas. Dalam studi ini maka
dari dua PKS tersebut dengan asumsi Capacity Factor (CF) dari pembangkit adalah 90%,
17

maka jumlah energi yang dibangkitkan dan kapasitas pembangkit yang dibutuhkan
ditentukan. Dari listrik yang digantikan, jumlah pengurangan GRK yang didapat dari
pemakaian bahan bakar fosil dihitung dengan persamaan (3), total dari kedua PKS tersebut
ditunjukkan di Tabel 2 . Sehingga total reduksi GRK adalah 7411 t-CO2/tahun. Dalam
kurun waktu 10 tahun, GRK yang dikurangi sebesar 74.110 t-CO2.

Tabel 2. Jumlah energi listrik dan kapasitas pembangkit

PKS
Pinang Tinggi
Tanjung Lebar

Tenaga listrik
(MWh)
5816
4157

Kapasitas Pembangkit
(kW)
740
530

Pengurangan GRK
(t-CO2)
4322
3089

Sumber: Irhan Febijanto, 2010

Dengan biaya pokok penyediaan listrik sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM
Nomor 269-12/26/600.3/2008, BPP Daerah Jambi adalah Rp 869,-/kWh. Jika listrik
yang dihasilkan dikoneksikan ke jaringan menengah maka nilai BPP menjadi 80% (Permen
ESDM no. 002, 2008), yaitu Rp 695,2/kWh. Dengan harga BPP tersebut, tiap tahun PKS
Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar akan mendapatkan pendapatan kotor dari hasil
penjualan listrik masing-masing sebesar Rp 4,0 milyar dan Rp 2,9 milyar.
4.3. Penjualan Kredit Karbon
Penjualan kredit karbon ini akan menjadi pendapatan pemilik PT. PN VI selaku
pengelola instalasi. Jika nilai jual kredit karbon adalah EURO 10/t-CO2, dan nilai kurs 1
EURO = Rp.14.000,-, maka pada PKS Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar dari
pengurangan GRK dari penangkapan gas metana dan penggantian tenaga listrik didapat
masing masing pengurangan GRK sebesar 18.531 t- CO2/thn (4.322 t-CO2/thn +14.209 tCO2/thn) t-CO2/thn dan 13.247 t-CO2/thn (3.089 t- CO2/thn +10.158 t-CO2/thn).
Dari total pengurangan GRK. PKS Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar masing –
masing mendapat keuntungan sebear Rp 2,6 Milyar/thn dan Rp 1,8 Milyar/thn. Keuntungan
dari penjualan karbon (CER/Certified Emission Reduction) didapat hampir setengah dari
pendapatan dari penjualan listrik.

18

5. SIMPULAN
Pengambilan gas metana dari kolam pengolahan limbah cari di PKS masih sangat
sedikit diaplikasikan di Indonesia. Kendala utama adalah faktor keekonomian, karena
usaha ini tidak menghasilkan pendapatan secara langsung. Dengan adanya mekanisme
CDM, usaha ini dapat menjadi layak secara ekonomi. Dengan adanya methan capture emisi
udara yang di sebabkan oleh adanya POME berkurang, hal ini akan menjadikan setiap PKS
secara langsung menerpkan industri yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Diharapakan pemerintah memberikan insentif untuk setiap PKS yang mengaplikasikan
methane capture, sehingga PKS lain bisa menyusul untuk menerapkannya dengan harapan

kondisi lingkungan dan ekosistem di sekitar PKS akan terus terjaga.

6. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan Terimakasih Disampaiakan Kepada Prof.Dr.Ir. Muhammad Romli, Msc.St,
Selaku Dosen Mata Kuliah Manajemen Lingkungan Industri Lanjut,
Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, Desember
2015

7. DAFTAR PUSTAKA
Approved

small-scales

methodologies,

http://cdm.unfccc.int/methodologies/ SSC

methodologies/approved.html, [diunduh tanggal 01 Desember 2015] .
Badan Pusat Statistik. 2014, Data Luas Lahan Sawit, Produksi, serta Ekspor CPO 20092015,[diunduh tanggal 01 Desember 2015]

Cicerone R J. 1987. Changes in Stratospheric Ozone. J. Science 237: 35-42.
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit, Jakarta.
Dinas Pekerjaan Umum Prov. Riau, 2009, Hasil Pemeriksaaan Limbah Cair , Pekanbaru.
Direktorat Jendral Perkebunan, 2014. “Peran Strategis ISPO Dalam Bisnis Produk Kelapa
Sawit ”. http://ditjenbun.pertanian.go.id. [Diunduh 07 Desember 2015].

Environmental Protection Agency (EPA). 2011. Regulatory Announcement: EPA Issues
Notice of Data Availability Concerning Renewable Fuels Produced from Palm
Oil Under the RFS Program. Environmental Protection Agency. United States.

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2011. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
(RKTN) 2011-2030. http://www.dephut.go.id. [Diakses 07 Desember 2015].

Intergovernmental

Panel

on

Assessment Report:

Climate

Change (IPCC)

.

2007.

IPCC

Fourth

Climate Change 2007. www.ipcc.ch. [Diunduh 07

19

Desember 2015].
Irhan Febijanto, 2010, Potensi Penangkapan Gas Metana Dan Pemanfaatannya Sebagai
Bahan Bakar Pembangkit Listrik di PTPN VI Jambi, Pusat Teknologi

Sumberdaya Energi, BPPT,
Nihon Energi Gakkai Zaidan, 2007, Asia Biomass Handbook.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 269-12/26/600.3/2008, tentang Biaya Pokok
Penyediaan (BPP) Tenaga Listrik.
Peraturan Menteri ESDM No:002, 2008, tentang Pembangkit Listrik Skala Menengah
Berbahan bakar Energi Terbarukan.
Subekti Purwo, 2015, Pengolahan Limbah Cair Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi
Biogas Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg). Mahasiswa Program

Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Subekti Purwo, Haryadi Dwi Dedi, Paramuji Muji, 2015, Strategi Penanganan Dampak
Lingkungan Produksi Crude Palm Oil Menggunakan

Metode Soft System

Methodology (SSM), Mahasawa Program Pascasarjana Teknologi Industri

Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Salim Sairan and Mohamad Irwan Aman, 2007, CO2 Reduction Opportunities-Power
Generation Perspectives, TNB Research Sdn. Bhd., No. 1, Jalan Ayer Itam,

Kawasan Institusi Penyelidikan Bandar Baru Bangi, 43000 Kajang, Selangor,
Malaysia.

20