Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum

Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis
(Pengalaman Hizbut Tahrir Indonesia)
Reviewer: Chamim Thoha
A. Pendahuluan
Buku ini berasal dari disertasi yang ditulis oleh Syamsul Arifin,yang diajukan kepada
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya. Buku ini disusun berdasarkan hasil penelitian
dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Kekhususan buku ini diantaranya adalah
bahwa penulis mengungkap informasi-informasi penting yang langsung bersumber dari salah
satu kelompok gerakan kaum fundamentalis dengan pendekatan-pendekatan sosiologis yang
jarang digunakan oleh para peneliti sebelumnya.
Secara sepintas isi buku ini akan disinggung pada pembahasan berikutnya. Buku ini
sangat penting untuk dikaji, karena akan mengantarkan dan mengenalkan pembaca pada
metode-metode sosial yang relevan untuk mengkaji gerakan-gerakan fundamentalisme
agama yang akhir-akhir ini semarak dan bermunculan di berbagai pelosok negeri ini.
B. Pembahasan
a. Pembahasan pada Bab I
Pada bagian ini merupakan pendahuluan yang menjelaskan beberapa hal yaitu
fenomena penelitian, permasalahan penelitian, tujuan penelitian membahas beberapa
penelitian terdahulu serta kontribusinya.
Dalam bab ini penulis menjelaskan bahwa penelitian ini mencoba memberikan
gambaran yang sistematis mengenai: pertama, konstruksi ideologi yang dikembangkan

oleh Hizbut Tahrir. Kedua, jaringan yang dikembangkan antar anggota sebagai basis
gerakan sosial Hizbut Tahrir. Dan ketiga, tahapan dan tipologi gerakan sosial Hizbut
Tahrir.
Selain itu penulis juga memaparkan beberapa hasil penelitian sebelumnya,
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Riaz Hassan, Yusril Ihza MahendraAbdul
Syukur, Zainuddin Fanani, dan sebagainya.
Menurut penulis, gerakan fundamentalisme atau radikal menarik diteliti secara
mendalam terutama aspek ideologi, jaringan, dan gerakan sosialnya.
b. Pembahasan pada Bab II
1

Pada bab ini penulis memaparkan kerangka teoritik yang digunakan dalam penelitian.
Pemaparan dimulai dengan menelusuri beragam perspektif yang menjelaskan tentang
perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia. Kemudian dilakukan penelusuran
terhadap diskursus seputar ideologi yang berkembang dalam ilmu sosial. Pada bagian ini
juga dijelaskan berbagai komponen ideologi serta fungsi ideologi dalam kehidupan sosial,
yang dihubungkan dengan kehidupan keagamaan.
Penulis mengawali pembahasan mengenai perkembangan gerakan keagamaan di
Indonesia pasca Orde Baru. Pada masa ini bermunculan gerakan keagamaan seperti FPI,
FKAWJ, Lasykar Jihad, Ikhwan al-Muslimin, Hizbut Tahrir, Hammas, MMI, dan Salafi.

Kemudian kajian dilanjutkan dengan pemaparan empat macam gerakan keberagamaan,
yaitu; pertama, Deisme (Faith Without Religion), adalah model keberagamaan deistik
yang dimaksudkan untuk mengkritik agama-agama formal (Organized Religion) seperti
Islam, Yahudi dan Nasrani. Kedua, Etno Religius, yaitu kebangkitan agama-agama yang
melawan hegemoni nasionalisme sekuler yang memiliki watak yang menyerupai agama.
Sistem nasionalisme sekuler dinilai bertanggung jawab terhadap kemerosotan moral yang
terjadi di masyarakat. Ketiga, Gerakan Falsafah Kalam (Theo Philosophycal Movement).
Gerakan ini menandai babak baru hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama.
Keempat, Skriptual Ideologis, yaitu gerakan fundamentalisme atau radikalisme.
Tentang ideologi, penulis menjelaskan bahwa pengertian sederhana terhadap istilah
ideologi adalah paham, ide atau pemikiran. Ideologi sering digunakan dalam dua cara;
pertama, ideologi digunakan dalam konsepsi yang netral. Dengan demikian ideologi
dipahami tidak lebih dari sekedar sebagai sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktikpraktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Kedua, dengan
memahami ideologi secara kritis yang disebut dengan critical conception of ideology.
Dalam konsepsi kritis, ideologi selalu dikaitkan dengan praktik relasi kekuasaan asimetris
dan dominasi kelas.
Adapun ideologi dapat dipahami dalam tiga aspek: (1) adanya suatu penafsiran atau
pemahaman terhadap kenyataan, (2) seperangkat nilai-nilai atau priskripsi moral, dan (3)
memuat orientasi pada tindakan, ideologi merupakan suatu pedoman kegiatan untuk
mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya.


2

Masih mengenai ideologi, penulis menjelaskan beberapa tahapan dalam pembentukan
ideologi, diantaranya; (1) pertumbuhan bayangan ganda (multiple images), (2) ingatan
selektif (selective recall) dan ambang relative (relative threshold), (3) realisme pendorong
(hortatory realism). Semua tahapan tersebut menurut penulis pada akhirnya bisa
menimbulkan kesadaran pada komunitas ideologis.
Tentang pengertian fundamentalisme, penulis sependapat dengan pernyataan
Amstrong terhadap ketidaksempurnaan istilah fundamentalisme, tetapi bagaimanapun ia
merupakan tipe ideal yang berguna untuk menunjuk gerakan-gerakan keagamaan tertentu
yang saling memperlihatkan kemiripan, sehingga fundamentalisme juga bisa diterapkan
tidak saja pada Islam, tetapi juga pada semua gerakan yang lain, baik yang bersifat
keagamaan

maupun

yang

bersifat


sekuler.

Tentang

karakterisme

gerakan

fundamentalisme adalah sebagai berikut; pertama, meskipun memiliki motivasi
keagamaan, fundamentalisme juga memiliki aspek politik. Kedua, fundamentalisme
dibatasi pada paham dan gerakan kembali kepada tradisi religious skriptual, dan sebagai
konsekwensinya gerakan ini menolak segala bentuk interpretasi. Ketiga, kelompok
fundamentalisme disamping memiliki sikap yang keras dan reaksioner terhadap
modernisme, tetapi mereka juga sebagai ekspresi dari modernitas.
Terakhir penulis menekankan bahwa salah satu cara memahami fenomena
fundamentalisme dari perspektif sosiologis adalah dengan menempatkannya sebagai
gerakan sosial (social movement). Fokus analisis gerakan sosial terutama yang bertitik
tolak dari paradigma gerakan sosial lama (old social movement paradigm) sama sekali
tidak menyertakan agama, melainkan kelas (class) sebagai utama munculnya gerakan

sosial. Cara penafsiran semacam ini disebut dengan class interpretation.
c. Pembahasan pada Bab III
Bab ini menjelaskan mengenai konstruksi ideologi Hizbut Tahrir. Pertama-tama yang
dibahas adalah sosok Taqiuddin al-Nabhani, biografi dan latarbelakang pendidikannya,
serta peranannya dalam pembentukan gerakan Hizbut Tahrir. Kemudian dilanjutkan
dengan membahas sebab-sebab berdirinya gerakan ini, diantaranya; pertama, umat
Islam menurut Hizbut Tahrir dalam mempelajari Islam menggunakan metode yang
bertentangan dengan metode yang digariskan Islam. Kedua, umat Islam pada abad XX
dikuasai oleh Barat yang tidak henti-hentinya membenci dan menyerang Islam, sementara
3

di sisi lain kaum muslimin bahkan kalangan intelektualnya berada pada posisi yang sangat
lemah. Ketiga, pudarnya daulah atau khilafah islam. Berakhirnya sistem kekhilafahan
Islam pada 1924, umat Islam diatur oleh sistem politik yang oleh Hizbut Tahrir disebut
dengan sistem kufur. Bagi Hizbut Tahrir, runtuhnya khilafah Islamiyah merupakan
bencana terbesar dalam sejarah Islam. Namun anehnya menurut mereka, dalam keadaan
seperti ini tidak ada upaya dari umat Islam untuk menghidupkan kembali daulah khilafah
Islam.
Adapun tahapan-tahapan yang harus mereka lalui guna menyebarluaskan
ideologi mereka adalah; pertama, pengkajian dan pembelajaran (dirasah wa ta’lim), hal

ini dimaksudkan untuk membentuk thaqafah kepartaian bagi aktivis yang siap berkorban
untuk partai. Tahapan kedua yaitu berinteraksi dengan masyarakat atau umat (tafa’ul ma’a
al-ummah). Tahapan kedua ini disebut juga sebagai tahapan perjuangan politik dan titik
tolak perjuangan partai, karena pada tahapan ini partai harus berusaha keras menjadikan
ideologi partai sebagai ideologi yang bisa diterima masyarakat, dan bahkan masyarakat
ikut membela ideologi tersebut. Tahapan ketiga dalam memperjuangkan ideologi partai
adalah tahapan pengambilalihan pucuk pemerintahan atau kekuasaan (wushul ila al-hukm)
secara menyeluruh melalui dukungan umat, sampai partai tersebut dapat menjadikan
pemerintahan sebagai metode untuk menerapkan ideologi atas umat.
Bab ini diakhiri dengan pembahasan tentang sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia,
dengan memfokuskan pembahasan hasil penelitian di daerah Malang.
d. Pembahasan pada Bab IV
Bagian ini memfokuskan pembahasan pada gerakan sosial Hizbut Tahrir, terutama
masalah gagasan pentingnya pendirian daulah khilafah Islamiyah. Hizbut Tahrir,
Sebagaimana dijelaskan oleh penulis, menyebutkan tiga akibat yang diderita umat Islam
ketika daulah Islamiyah berakhir; pertama, umat Islam hidup dalam kesengsaraan.
Kesengsaraan yang dimaksud oleh Hizbut Tahrir adalah kehidupan umat Islam yang
terpecah-pecah sehingga mudah dijajah oleh bangsa lain. Kedua, hidup tanpa daulah
Islamiyah telah menyebabkan terlantarnya hukum-hukum Allah, terutama dalam masalah
negara dan kemasyarakatan. Ketiga, tidak adanya daulah Islamiyah berakibat fatal

terhadap perlindungan nasib kaum muslimin. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, khilafah
merupakan pelindung bagi kaum muslimin. Ketika daulah Islamiyah berakhir, maka
4

kawasan dunia Islam seperti Iraq, Afghanistan, Chechnia dengan mudah dikalahkan dan
bahkan menjadi korban pembantaian massal.
Tentang syarat seorang khalifah, Hizbut Tahrir menetapkan tujuh syarat sebagai
berikut;(1) beragama Islam, (2) laki-laki, (3) baligh, (4) berakal, (5) adil, (6) merdeka, dan
(7) mampu melaksanakan amanat khalifah. Hizbut Tahrir juga memiliki kriteria tambahan
yang harus diperhatikan dalam memilih pemimpin negara, yaitu;
1. Kepala negara mampu menjamin kekuasaan atas negara secara independen, hanya
bersandar kepada kaum muslimin dan negeri-negeri muslim, bukan kepada salah satu
negeri kafir imperialis atau dibawah pengaruh orang-orang kafir.
2. bersedia melaksanakan syari’at Islam secara utuh, menyeluruh dan konsisten.
Terakhir, yang dibahas pada bab ini adalah struktur dalam khilafah Islam dalam
gagasan Hizbut Tahrir, yaitu:
a. Khalifah (Kepala Negara)
b. Muawin Tafwid (Wakil Khalifah bidang Pemerintahan)
c. Muawin Tanfidh (Sekretaris Negara)
d. Amir al-Jihad (Panglima Perang)

e. Al-Qadha’ (Peradilan)
f. Al-Wulat (Pemerintah Tingkat I dan II)
g. Al-Jihaz al-Idari (Biro Administrasi Umum)
h. Majlis al-Ummah (Lembaga Perwakilan Umat atau Rakyat)
Dalam struktur daulah khilafah Islam tersebut, khalifah menempati posisi teratas.
Khalifahlah yang mengendalikan seluruh wilayah yang berada dibawah kekuasaannya.
Sebagai penguasa tunggal, khalifah memiliki wewenang politik dengan kekuatan hukum
yang kuat.
e. Pembahasan pada Bab V
Pada bagian ini penulis memaparkan kajian terhadap pemikiran Hizbut Tahrir
mengenai penerapan syari’at Islam dalam bingkai daulah khilafah Islam. Penulis
mengatakan bahwa seluruh tahapan perjuangan Hizbut Tahrir pada dasarnya berujung
pada tahapan yang paling penting, yaitu penerapan syari’at Islam. Pada bagian ini
dipaparkan pentingnya penerapan syari’at Islam dalam berbagai bidang sebagai sasaran
penerapan syari’at Islam.
5

Penulis juga menyinggung alasan yang digunakan Hizbut Tahrir untuk memperkuat
pelaksanaan syari’at Islam. Alasan tersebut tidak hanya diperoleh dari dalil-dalil dalam alQur’an, Hizbut Tahrir juga menggunakan alasan empirik. Dalam hal ini realitas yang
terjadi di Indonesia merupakan salah satu alasan terkuat, yaitu karena Indonesia sedang

terpuruk dalam kubangan krisis. Hizbut Tahrir tidak hanya sekedar beretorika dengan
ungkapannya tersebut, Hizbut Tahrir juga mempunyai data untuk memperkuat analisis
kritisnya tersebut.
Implementasi syari’at Islam juga dijelaskan secara mendetail pada bab ini.
Diantaranya dalam bidang ekonomi, maka daulah Islamiyah harus memiliki Baitul Mal,
sedangkan mata uang yang digunakan adalah emas, sebagaimana yang dijalankan umat
Islam pada masa Nabi saw.
Dalam bidang pendidikan, Hizbut Tahrir memiliki rancangan sendiri yang terdiri dari
tujuan, strategi, kurikulum, sarana prasarana dan metode yang harus di terapkan dalam
sistem pendidikan daulah Islamiyah.
Dalam bidang sosial, penerapan syari’at Islam dirancang oleh Hizbut Tahrir
dengan maksud untuk mengatur kembali hubungan antara laki-laki dan wanita.
Hizbut Tahrir juga mengkritik perlakuan kaum kapitalis terhadap wanita, yang mana
dalam pandangan Hizbut Tahrir wanita diperlakukan sebagai obyek yang mudah
dieksploitasi.
Masalah birokrasi juga disinggung pada bab ini. Menurut Hizbut Tahrir, syarat-syarat
yang berlaku terhadap penyelenggara birokrasi adalah: (1) bertakwa kepada Allah, (2)
ikhlas, yaitu lepasnya ikatan seseorang dengan selain Allah sebagai orientasi dan amal
perbuatannya, (3) amanah, yaitu bisa dipercaya dalam menunaikan apa yang menjadi hakhak orang lain, (4) mampu dan professional.
Yang terakhir dibahas dalam bab ini adalah hubungan khilafah Islam dengan dunia

internasional. Hizbut Tahrir menetapkan aturan dalam bentuk-bentuk aktivitas politik luar
negeri, bidang-bidang hubungan dengan luar negeri, dan aturan-aturan berhubungan
dengan negara-negara kafir.
f. Pembahasan pada Bab VI
Bab ini mengkaji tentang konstruksi dan cara kerja ideologi Hizbut Tahrir dengan
menggunakan beberapa teori sosiologi dengan maksud untuk memahami dimensi dan
6

konteks sosial gerakan Hizbut Tahrir. Cara ini perlu ditempuh, karena sebagaimana
kelompok fundamentalis Islam lainnya, kemunculan Hizbut Tahrir tidak hanya didorong
oleh motivasi keagamaan tertentu, melainkan juga oleh situasi sosial tertentu.
g. Pembahasan pada Bab VII
Pada bab ini ada tiga bahasan dari penulis, yaitu kesimpulan, implikasi teoritik dan
keterbatasan studi.
Sebagai kesimpulan, penulis menjelaskan bahwa dalam pandangan Hizbut Tahrir,
Islam merupakan agama politik dan spiritual sekaligus. Hizbut Tahrir menelusuri keluasan
ajaran Islam melalui dua perspektif. Pertama, perspektif normatif. Dari perspektif ini
ajaran Islam dalam pandangan Hizbut Tahrir mempunyai dua elemen penting yaitu
pemikiran (thought) dan metode (methods). Elemen pemikiran meliputi akidah, yaitu
keimanan kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari kiamat serta qadha dan qadar.

Sedangkan elemen metode berhubungan dengan cara menerapkan aqidah dan hukum
syara’ melalui negara khilafah.
Perspektif kedua adalah dengan menelusuri beberapa karya dalam ilmu sejarah yang
dapat menjelaskan perkembangan Islam selama berabad-abad. Dari penelusuran ini,
Hizbut Tahrir berkesimpulan bahwa Islam pernah mengalami masa kegemilangan selama
1300 tahun berkat diterapkannya Islam sebagai mabda’ (ideologi).
Dengan

demikian

Hizbut

Tahrir

merupakan

kelompok

keagamaan

yang

memperlihatkan keperdulian yang begitu besar terhadap urusan keduniawian terutama
masalah politik. Hizbut Tahrir justru dengan tegas menolak penyempitan wilayah Islam
hanya pada dimensi ukhrawi.
Fenomena berikutnya yang telah peneliti telusuri adalah gerakan sosial Hizbut Tahrir.
dalam kajian teoritik tekah dikemukakan bahwa salah satu ciri dari ideologi adalah adanya
strategi aksi untuk merealisasikan apa yang menjadi cita-cita ideologis suatu kelompok.
Hizbut Tahrir merupakan salah satu kelompok keagamaan yang memiliki visi ideologis
melanjutkan kehidupan Islam melalui penegakan kembali daulah khilafah Islam.
Mengenai keterbatasan studi, penulis menjelaskan bahwa dalam penelitian, ada
beberapa informasi yang tidak dapat diperoleh peneliti dikarenakan dua alasan: Pertama,
informasi tersebut merupakan ketentuan administrasi. Kedua, peneliti bukan anggota
Hizbut Tahrir. maka dari itu ada semacam proteksi dari pengurus Hizbut Tahrir terhadap
7

orang luar, karena Hizbut Tahrir merupakan organisasi keagamaan yang berbeda dari
organisasi yang lain seperti NU dan Muhammadiyah.
C. Beberapa Hal Penting dalam Kajian Buku ini
Pereview mencatat beberapa hal menarik yang terdapat dalam buku ini, diantaranya:
1. Pentingnya menelusuri dan memahami akar-akar dan ideologi gerakan fundamentalisme,
2. Penerapan manhaj ideologi, jaringan serta gerakan sosial kaum fundamentalis di
Indonesia,
3. Prediksi masa depan gerakan fundamentalisme terutama di Indonesia, dan
4. Pengaruh adanya gerakan fundamentalisme terhadap perubahan masyarakat muslim di
Indonesia.
D. Teori dan Metode yang Dipakai
Dalam buku ini terdapat beberapa teori yang dipakai oleh penulis baik dalam meneliti
maupun dalam menganalisis hasil penelitian, diantaranya adalah:
1. Teori Aksi dan Interaksionisme Simbolik
2. Teori Ideologi dan Gerakan Sosial
3. Teori hermeneutik dan empirik, dan
4. Teori-teori lainnya yang terdapat dalam ilmu-ilmu sosial.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi, pendekatan empatik,
pendekatan fenomenologi dan pendekatan keilmuan empirik. Sedangkan metode yang
dipakai penulis buku ini adalah metode deskriptif kualitatif.
E. Sumbangan Kajian Terhadap Perkembangan Kajian Islam di Indonesia
Hasil penelitian dalam buku ini memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi
perkembangan kajian sosiologi agama di Indonesia. Buku ini berhasil menguak akar-akar
fundamentalisme yang mulai tumbuh subur pasca reformasi, sehingga akan memudahkan bagi
peneliti kemudian untuk lebih jauh membongkar seluk-beluk gerakan fundamentalisme yang
lain, yang selama ini merisaukan masyarakat. Sumbangan ini akan memperingan pemerintah
maupun para penjaga keamanan negeri ini untuk mempertahankan stabilitas keamanan
nasional.
Adapun hal lain yang bisa disumbangkan buku hasil penelitian ini adalah bahwa dalam
konteks keilmuan, hasil penelitian berdasarkan perspektif sosiologis ini terkesan lebih objektif

8

dan cukup deskriptif di dalam memberikan pemahaman kepada para peminat kajian Islam
untuk memahami dinamika gerakan Islam kontemporer yang ada di Indonesia.
F. Apresiasi dan Kritik
Buku ini memberikan informasi dan banyak pengetahuan yang berharga pada pembaca
tentang sebuah gerakan keagamaan yang fenonemal. Sehingga bagi pembaca yang bergelut
dibidang keilmuan, politik maupun bidang-bidang lainnya ia akan memahami sisi positif dan
negatif dari sebuah gerakan Islam fundamental. Meskipun terdapat beberapa kekurangan,
namun buku ini sudah sangat deskriptif dalam memberi gambaran kepada pembaca tentang
masalaah yang diteliti.
Ada beberapa hal yang penulis perlu dicantumkan sebagai bahan kritikan diantaranya:
1. Pereview tidak menemukan tanggapan atau komentar dari penulis buku ini baik pada setiap
bab yang diuraikan maupun pada akhir tulisan buku ini, dengan demikian beberapa hal
yang seharusnya perlu mendapat apresiasi maupun kritikan dari peneliti terhadap
permasalahan yang diangkat, tidak terdapat dalam tulisan buku ini.
2. Penulis tidak melakukan penelitian total, karena penulis tidak mencoba memasukkan diri ke
dalam keanggotaan Hizbut Tahrir guna memperoleh informasi yang lebih mendalam.
3. Pembahasan mengenai ideologi dalam buku ini terlalu berbelit-belit. Seharusnya peneliti
atau penulis cukup membahas masalah ideologi dan konsepnya serta hubungannya dengan
konsep ideologi Hizbut Tahrir pada bab II, tetapi pada bab III masalah ideologi masih juga
dibahas.
G. Agenda Riset yang Ditawarkan Setelah Menganalisis Hasil Kajian Dalam Buku ini
Untuk agenda riset kedepan, pereview menawarkan agar dilakukan penelitian terhadap
kelompok fundamentalis lainnya seperti FPI, Jama’ah Islamiyah, Salafi dan sebagainya, guna
membandingkan kesamaan maupun perbedaan manhaj gerakannya dalam hal ideologi, politik,
sosial, ekonomi, pendidikan dan lainnya.

9