TRANSPARAN MANAJEMEN KINERJA id. ppt

MANAJEMEN KINERJA

Masalah atau kesulitan yang timbul dalam penerapan sebuah sistem
penilaian prestasi kerja justru banyak disebabkan oleh kurangnya
pemahaman para fungsionaris sumber daya manusia maupun pimpinan
puncak organisasi tentang apa sebenarnya arti, maksud dan manfaat
"Sistem Penilaian Prestasi Kerja Karyawan” atau "Manajemen Kinerja .
Karena itu, ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh pimpinan
perusahaan dengan dibantu pejabat di bidang sumber daya manusia
sebelum perencanaan dan persiapan dibuat.

MANAJEMEN KINERJA

Pertanyaan pertama:
Apa sebenarnya tujuan dari penerapan Sistem Penilaian Prestasi Kerja
Karyawan/Manajemen Kinerja Karyawan? Mengapa harus dibuat dan
dilaksanakan? Apakah hanya sekadar mencari sebuah basis yang
dapat dianggap "obyektif" untuk menetapkan besarnya kenaikan gaji
atau jumlah bonus yang akan dibagikan? Atau untuk dasar dari
program pengembangan sumber daya manusia secara integral? Atau
kedua-duanya?

Tanpa ada kepastian tentang tujuan yang ingin dicapai, apalagi bila
pimpinan perusahaan sendiri tidak turut memahami dan memutuskan—
sistem yang dibuat akan lebih banyak menjadi program departemen
sumber daya manusia yang lebih sering dilaksanakan dengan acuh tak
acuh oleh para manajer lini. Masalah pertama yang dapat muncul
sebagai akibat tiadanya kesepakatan dalam tujuan tersebut adalah
bahwa kebijakan dan sistem yang dibuat juga tidak jelas sasarannya.
Formulir Penilaian Prestasi Kerja/Manajemen Kinerja yang dirancang
dan cara-cara pelaksanaannya biasanya juga diperoleh dengan
"mencomot" atau meniru dari perusahaan organisasi lain yang mungkin
sebenarnya dirancang untuk keperluan mereka sendiri.

2. Pertanyaan kedua yang juga sangat penting untuk dijawab adalah:
Apa yang dinilai?
• Apakah "input" dalam bentuk karakter/watak dan kompetensi yang
harus dimiliki karyawan?
• Atau bagaimana pekerjaan itu dilakukan (proses)?
• Atau hasilnya (output)?
• Dengan kata lain, sistem seperti apa yang akan digunakan?
• Sistem yang dipilih tentunya harus mendukung tujuan yang ingin

dicapai oleh perusahaan, sehinga harus dipikirkan dan dikaji
dengan teliti. Main comot atau menjiplak sistem yang digunakan
orang lain yang kelihatannya berjalan baik di perusahaan yang satu
belum tentu "pas" untuk organisasi lain! Pertanyaan tentang "apa
yang dinilai" kelihatannya mudah untuk dijawab dan cukup
diputuskan oleh bagian sumber daya manusia. Bila ada pendapat
demikian, hal itu keliru sekali. Soal "apa yang dinilai"
mencerminkan strategi dan sistem nilai maupun budaya
organisasi tersebut, sehingga harus diputuskan oleh semua
jajaran manajemen atau paling sedikit pimpinan puncak.

3. Pertanyaan terakhir: yang juga penting adalah:
• Siapa menilai siapa?
• Dalam praktek, mayoritas dari sistem Penilaian Prestasi
Kerja Karyawan/Manajemen Kinerja masih menetapkan
bahwa atasanlah yang menilai bawahan.
• Mengapa bawahan tidak diminta juga menilai atasan?
• Bukankah seringkali mahasiswa diminta menilai
kemampuan para dosen, dan peserta kursus
maupun lokakarya seringkali diminta menilai para

pengajar atau instruktur?
• Mengapa juga tidak melibatkan fihak lain di luar atasan
dan bawahan seperti pengguna jasa di dalam (internal
customers) dan pelanggan di luar perusahaan untuk
turut memberikan penilaian. Sistem tersebut dikenal
sebagai Sistem Manajemen Kinerja "360 Derajat".

ARTI DAN TUJUAN MANAJEMEN KINERJA
Arti “ Manajemen Kinerja (MK)”
Istilah "Manajemen Kinerja" adalah "peng-Indonesia-an; dari
"Performance Management". Kadang-kadang ada juga
perusahaan yang menggunakan istilah "Managing Employee
Performance", tetapi terjemahan yang lebih tepat dari kata
"Managing" adalah sebenarnya "memanajemeni", sehingga
"Managing Employee Performance" seharusnya berarti
"Memanajemeni Prestasi Kerja Karyawan". Masalahnya, kata
"memanajemeni" barangkali agak janggal terdengar di telinga
pembaca, sehingga kita menggunakan kata "manajemen" saja.
Terlepas dari istilah mana yang digunakan, keduanya secara tegas
memfokuskan perhatiannya pada prestasi kerja karyawan dan

obyek pembahasannya sama saja yaitu prestasi kerja, kinerja
atau unjuk kerja karyawan

RUANG LINGKUP PROGRAM
"MANAJEMEN KINERJA"
Program "Performance Management" sebenarnya mempunyai
ruang lingkup yang lebih besar. Bila program ini diterapkan, ia
bersifat menyeluruh atau menggarap semua bagian/fungsi dari
sebuah organisasi ("organization wide"). Program ini akan
menjamah semua elemen, unsur atau input yang harus
didayagunakan oleh organisasi untuk meningkatkan kinerja
organisasi tersebut, bukan hanya manusia. Elemen-elemen
tersebut adalah teknologi (peralatan, metode kerja) yang
digunakan, kualitas dari input (termasuk material), kualitas
lingkungan fisik (keselamatan, kesehatan kerja, lay-out tempat
kerja dan kebersihan), iklim dan budaya organisasi (termasuk
supervisi dan kepemimpinan) dan sistem kompensasi dan
imbalan.

Kegiatan dengan ruang lingkup seperti itu akan

merupakan sebuah proyek besar dan melibatkan
hampir semua orang, dan ditangani langsung oleh
pimpinan puncak organisasi. Sasaran penelitian dan
tindakan yang harus diambil untuk tiap elemen dapat
dirinci sebagai berikut:
1. Sarana dan Prasarana
2. Proses Kerja Atau Metode Kerja
3. Kemampuan Sumber Daya Manusia
4.Gairah Kerja/Motivasi Sumber Daya Manusia
5. Kualiatas Bahan Baku Dan Bahan Pembantu

• Program Manajemen Kinerja biasanya akan
disempitkan menjadi usaha "Peningkatan
Prestasi Kerja Karyawan Individual
(Perorangan)" atau "Managing Employees' Per
formance" (MEP). Penerapan Manajemen
Kinerja yang obyek "garapannya" karyawan
perorangan berbeda dari "Manajemen Kinerja"
dalam arti luas yaitu yang diterapkan pada
sebuah organisasi perusahaan).

• fokus perhatian dan penekanan diarahkan pada
usaha "memanajemeni prestasi kerja karyawan
secara individu/ perorangan".

PENILAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN
(Performance Appraisal atau Performance Evaluation.)

DEFINISI TENTANG PENILAIAN PRESTASI KERJA
KARYAWAN (PPKK")






Roger Belows, (Suatu penilaian periodik atas nilai seorang
individu karyawan bagi organisasinya, dilakukan oleh
atasannya atau seseorang yang berada dalam posisi untuk
mengamati/menilai prestasi kerjanya.
Dale S. Beach, Sebuah penilaian sistimatis atas individu

karyawan mengenai prestasinya dalam pekerjaannva dan
potensinya untuk pengembangan).
Bernardin & Russel, Cara mengukur kontribusi individu
(karyawan) kepada organisasi tempat mereka bekerja.
Cascio (1992: 267); (Sebuah gambaran/deskripsi sistematis
tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dengan
pekerjaan dari seseorang atau satu kelompok).

Tetapi suatu hal yang pasti adalah bahwa apa
yang selama ini dikenal sebagai "Penilaian
Prestasi Kerja (PPKK)
” lebih menekankan pada kegiatan
penilaiannya saja, yaitu tahap akhir dari
proses manajemen prestasi kerja.
Sebaliknya, program "Manajemen Kinerja"
harus dimulai dari sejak tahap perencanaan
prestasi dengan menetapkan apa atau yang
bagaimana yang harus dicapai, dan kegiatan
apa saja yang harus dilakukan untuk
mencapainya, dan akhirnya evaluasi prestasi

itu sendiri.

APA YANG MENJADI OBJEK PENILAIAN?, APA ARTI
PRESTASI?
Pertama adalah Bernardin dan Russel (1993: 378) yang
memberikan definisi tentang performance scbagai
berikut:
• "Performance is defined as the record of outcomes
produced on a specified job function or activity during a
specified time period" (Prestasi adalah catatan tentang
hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan
tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu
tertentu).
• Dalam definisi mereka, kedua penulis tersebut jelas
menekankan pengertian prestasi sebagai "hasil" atau
"apa yang keluar" (outcomes) dari sebuah pekerjaan
dan kontribusi mereka pada organisasi.

• Cascio misalnya menekankan bahwa
yang dinilai adalah job relevant strengths

and weaknesses yaitu kekuatan-kekuatan
dan kelemahan-kelemahan karyawan
yang relevant dengan pekerjaannya.
• Bellows, ia hanya mengemukakan bahwa
yang dinilai adalah value atau "nilai" atau
"harga" dari seorang karyawan. Tentunya
kita bertanya-tanya, value dari apanya?

• Putti (1987) yang dalam bukunya tetap menggunakan
istilah "penilaian prestasi kerja karyawan" menulis bahwa
evolusi tersebut terjadi dalam "obyek penilaian" atau
"apa yang dinilai" yang bergerak dari Individual Centered
Approach ke Job Centered Approach, dan akhirnya ke
Objectives Centered Approach seperti digambarkan
dalam bentuk diagram di bawah ini:
INDIVIDUAL
CENTERED
APPROACH

JOB

CENTERED
APPROACH

OBJECTIVE
CENTERED
APPROACH

PENDEKATAN "INPUT-PROCESS-OUTPUT"
• Apa yang dikemukakan oleh Putti sebagai
sebuah "evolusi" tetapi lebih sebagai sebuah
"perubahan" atau "kemajuan" dalam pandangan.
Selain itu, apa yang disebut evolusi tersebut
tidak terjadi secara total karena sebuah
organisasi dapat saja. menggunakan ketiga
pendekatan tersebut sekaligus.

• PROGRAM MANAJEMEN KINERJA ADALAH
SEBUAH PROSES
• Definisi dan arti Manajemen Kinerja yang
dibahas di atas memungkinkan kita

menyimpulkan bahwa sebuah program
Manajemen Kinerja pada dasarnya adalah
sebuah proses dalam manajemen sumber daya
manusia.
• Selain itu, penggunaan istilah "manajemen"
dalam mana program tersebut mempunyai
implikasi bahwa kegiatan tersebut harus
dilaksanakan sebagai sebuah proses
manajemen yang umum yang dimulai dengan
penetapan tujuan dan sasaran, dan diakhiri
dengan evaluasi.









Proses tersebut pada garis besarnya terdiri dari lima kegiatan
utama yaitu:
Merumuskan tangung jawab dan tugas yang harus dicapai oleh
seorang karyawan dan rumusan tersebut disepakati oleh
atasan dari karyawan tersebut. Langkah perumusan tersebut
mencakup kegiatan menetapkan dalam hal atau bidang apa saja
seseorang dituntut untuk memberikan kontribusi berapa hasil.
Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk hasil yang harus dicapai
oleh karyawan untuk kurun waktu tertentu. Termasuk dalam tahap
ini adalah penetapan standar prestasi dan tolok ukurnya.
Melakukan "monitoring", melakukan koreksi, memberikan
kesempatan dan bantuan yang diperlukan oleh anak buah.
Menilai prestasi karyawan tersebut dengan cara membandingkan
prestasi yang dicapai (actual} dengan standar atau tolok ukur yang
telah ditetapkan dalam langkah yang pertama. Dalam tahap
penilaian ini harus tercakup pula kegiatan mengidentifikasi
bidang-bidang yang ada dirasakan terdapat kelemahan pada orang
yang dinilai.
Memberikan umpan balik kepada karyawan yang dinilai tentang
seluruh hasil penilaian yang dilakukan. Dalam proses pemberian
umpan balik ini atasan dan bawahan membicarakan cara-cara
untuk memperbaiki kelemahan yang telah diketahui dengan tujuan
meningkatkan prestasi pada periode berikutnya.

TUJUAN DAN MANFAAT PROGRAM MANAJEMEN KINERJA










Meningkatkan prestasi kerja karyawan, baik secara individu
maupun sebagai kelompok, sampai setinggi-tingginya dengan
memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi
kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan
perusahaan.
Peningkatan yang terjadi pada prestasi karyawan secara
perorangan pada gilirannya akan mendorong kinerja sumber
daya manusia secara keseluruhan, yang direfleksikan dalam
kenaikan produktivitas.
Merangsang minat dalam pengemhangan pribadi dengan
tujuan meningkatkan hasil karya dan prestasi pribadi serta
potensi laten karyawan dengan cara memberikan umpan balik
pada mereka tentang presrasi mereka.
Membantu perusahaan untuk dapat menyusun program
pengembangan dan pelatihan karyawan yang lebih tepat guna.
Menyediakan alat/sarana untuk membandingkan prestasi kerja
pegawai dengan tingkat gajinya atau imbalannya sebagai bagian
dari kebijakan dan sistem imbalan yang baik.
Memberikan kesempatan pada pegawai untuk mengeluarkan
perasaannya tentang pekerjaan atau hal-hal yang ada kaitannya.
Dengan demikian jalur komunikasi dan dialog akan terbuka dan
dengan demikian diharapkan bahwa proses penilaian prestasi
kerja akan mengeratkan hubungan antara atasan dan bawahan.

MANFAAT MANAJEMEN KINERJA DITINJAU DARI
ASPEK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

Penyusunan program pelatihan dan pengembangan
karyawan. Dengan melaksanakan Manajemen Kinerja,
dapat diketahui atau diidentifikasi pelatihan tambahan
apa saja yang masih harus diberikan kepada karyawan
untuk membantu agar mampu mencapai standar
prestasi yang ditetapkan. Kebutuhan pelatihan tersebut
tidak hanya dapat diketahui pada saat tahap "evaluasi"
hasil dilakukan.

Penyusunan program suksesi dan kaderisasi. Dengan
melaksanakan Manajemen Kinerja selayaknya juga
dapat diidentifikasi siapa saja karyawan yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan kariernya
dengan dicalonkan untuk menduduki jabatan-jabatan
yang tanggungjawabnya lebih besar pada masa yang
akan datang.

Pembinaan karyawan. Pelaksanaan Manajemen Kinerja
juga dapat menjadi sarana untuk meneliti hambatan
karyawan untuk meningkatkan prestasinya.

Gambar 1 KETERKAITAN ANTARA PROGRAM MK/PPKK DENGAN
PROGRAM PSDM

Karyawan

Penilaian
Potensi
(Assessment)

ROGRAM MK

Pelatihan di
Pekerjan dan Bimbingan

Career Planning

Program Pelatihan
(di dalam atau di luar
Perusahaan

KENYATAAN DALAM PRAKTEK
Dari daftar tujuan dan manfaat yang disebutkan pada bagian
terdahulu terlihat bahwa hanya satu dari tujuh manfaat yang terkait
dengan kebijakan dan sistem imbalan atau penggajian.
Menurut hasil penelitian mereka terhadap 25perusahaan Inggris dan 26
perusahaan Amerika yang beroperasi di Malaysia, alasan terpenting
bagi perusahaan Amerika untuk menerapkan sistem Penilaian Prestasi
Kerja Karyawan adalah
sebagai dasar bagi:
• kenaikan gaji (81 %)
• keputusan promosi (77%)
• pelatihan dan pengembangan (68%)
• pembinaan (60%)
Urutan dari alasan perusahaan Inggris yaitu sebagai dasar bagi:
• keputusan promosi (88%)
• pelatihan dan pengembangan (75%)
• penentuan kenaikan gaji (67%)






Tetapi yang menarik adalah justru alasan bagi
perusahaan Korea yang beroperasi di Malaysia. Alasan
atau tujuan utama mereka melakukan Penilaian Prestasi
Kerja Karyawan adalah sebagai dasar bagi:
keputusan promosi (75%)
pelatihan (57%)
perencanaan sumber daya manusia (50%)
penentuan kenaikan gaji (36%).

BEBERAPA PENYEBAB GAGALNYA SEBUAH SISTEM
PENILAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN
• Penyebab utama pertama dari gagalnya sebuah
usaha menerapkan program dan sistem Manajemen
Kinerja (MK) dan terutama sistem Penilaian Prestasi
Kerja (PPKK) adalah kurangnya pemahaman tentang
konsep dasar dari MK/PPKK itu sendiri.
• Penyebab utama yang kedua dari kegagalan awal ter
sebut adalah karena tidak mendapat dukungan
sepenuhnya dari pimpinan puncak organisasi dan
seluruh jajaran manajemen.
Sebuah sistem yang tidak mendapat dukungan dari
semua elemen dan jajaran dalam organisasi akan
tersendat-sendat jalannya, dan menimbulkan frustrasi
pada yang mengambil inisiatif, serta dapat menjadi
catatan negatif bagi prestasinya sendiri.

Sejumlah penyebab umum yang sering menimbulkan kegagalan dan harus dihindarkan
disebutkan oleh Oliver (1985) yang dikutip oleh Dressier (1994) sebagai berikut:

Tidak adanya standar. Tanpa ada standar berarti tidak terjadi penilaian prestasi yang obyektif.
Yang ada hanyalah penilaian bersifat subyektif yang mengandalkan perkiraan dan perasaan.

Standar yang tidak relevan dan bersifat subyektif. Standar seharusnya dietapkan melalui proses
analisa pekerjaan/jabatan untuk menentukan basil atau output yang diharapkan dari pekerjaan
tersebut.

Standar yang tidak realistis. Standar adalah sasaran-sasaran yang berpotensi merangsang
motivasi. Standar yang masuk akal dan menantang akan lebih berpotensi untuk merangsang
motivasi.

Ukuran prestasi yang tidak tepat. Obyektivitas dan perbandingan memerlukan bahwa kemajuan
terhadap standar dan pencapaian standar dapat diukur dengan mudah dan transparan. Contohcontoh ukuran yang bersifat kuantitatif adalah misalnya: 1% tingkat kegagalan produksi karena
kualitas, 10 order penjualan dari setiap 100 kunjungan. Sedangkan yang bersifat kualitatif
misalnya; "penyelesaian proyek pada tanggal yang ditetapkan".

Kesalahan Penilai. Termasuk dalam kesalahan penilai adalah "keberfihakan" (bias), perasaan
syak wasangka, "Halo Effect" (terpengaruh oleh yang dinilai). kecen-derungan untuk "pelit" atau
sebaliknya, kecendcrungan untuk memilih nilai tengah dan takut untuk menghadapi bawahan.

Pemberian umpan balik secara buruk. Pada awal proses Manajemen Kinerja, standar harus
dikomunikasikan kepada karyavvan yang dinilai untuk diketahui dan disepakati. Demikian pula
seluruh proses penilaian dan hasil penilaian harus dikomunikasikan pula kepada mereka sesuai
dengan prinsip dan tujuan program PPKK, khususnya program Manajemen Kinerja.

Komunikasi yang negatif. Proses evaluasi ternyata terganggu oleh komunikasi yang didasari
dengan sikap negatif seperti arogansi dan kekakuan pada fihak penilai dan sikap membela diri dan
kccertutupan pada fihak yang dinilai.

Kegagalan untuk memanfaatkan data hasil penilaian. Kegagalan untuk menggunakan seluruh
data yang diperoleh melalui proses penilaian sebagai dasar bagi semua keputusan dalam bidang
sumber daya manusia telah menurunkan kredibilitas dari program PPKK/MK ini. Akibatnya,
manager dan karyawan tidak lagi menganggap program tersebut sebagai suatu hal yang penting.

BAGAIMANA MENERAPKAN PROGRAM MANAJEMEN
KlNERJA
Bila sebuah perusahaan ingin melaksanakan program Manajemen
Kinerja Karyawan walaupun dalam "sekala terbatas" sebaiknya
mulailah dengan mcncoba menjawab dulu pertanyaan-pertanyaan atau
chek-list di bawah ini sampai mereka puas dan yakin dengan
jawabannya sendiri.
1. - Apa sebenarnya tujuan dari penerapan Manajemen Kinerja?
- Apa yang ingin diperoleh perusahaan? Untuk apa harus dibuat
dan dilaksanakan?
- Apakah dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi cara
keseluruhan?
- Sekadar mencari sebuah dasar yang obyektif" untuk menetapkan
besarnya kenaikan gaji atau jumlah bonus yang akan dibagikan?
- Apakah sebagai bagian integral dari program pengembangan
sumber daya manusia? Atau untuk semuanya?
- Sepakati dulu tujuan tersebut dengan pimpinan puncak organisasi
termasuk Dewan Direksi. Tujuan akan menentukan bentuk dan
proses penerapan sistem yang akan digunakan!

2.

3.

4.

Apakah pimpinan puncak dan seluruh jajaran manajemen
sudah mendukung penuh dan seluruh karyawan telah siap
mental untuk melaksanakan program Manajemen Kinerja?
Siapa yang menginginkan diterapkannya Manajemen
Kinerja? Pimpinan organisasi/ perusahaan, karyawan, atau
hanya bagian sumber daya manusia?
Bila memang adakomitmen dan dukungan dari semua
jajaran manajemen, apakah target "kinerja" perusahaan
secara keseluruhan yang ingin dicapai sudah ditetapkan,
diketahui dan mungkin disepakati oleh mereka yang
terkena? (Karyawan dan mungkin Serikat Pekerja, bila ada)
Apakah pencapaian target tersebut sepenuhnya tergantung
pada usaha/prestasi sumber daya manusia atau juga pada
factor teknologi misalnya?
Apakah karyawan sudah dibekali dengan semua
pengetahuan dan keterampilan yang mereka perlukan?
Apakah mereka juga mempunyai sikap yang positif terhadap
usaha memajameni kinerja mereka? Apakah perusahaan
telah memberikan semua sarana, dana dan daya yang
diperlukan, termasuk wewenang dan kebebasan untuk
bertindak?

5. Bagaimana penilaian akan dilakukan? Apa atau apa-nya yang akan dinilai?
Dengan kata lain, sistem seperti apa yang akan digunakan? Sistem yang
dipilih tentunya harus mendukung tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan,
sehingga harus dipikirkan dan dikaji dengan teliti. Jangan asal comot atau
jiplak sistem yang digunakan oleh orang lain atau yang kelihatannya berjalan
baik di perusahaan lain. Sistem mereka belum tentu "pas" untuk organisasi
kita!
6. Siapa menilai siapa? Dalam praktek. mayoriras dari sistem Manajemen
Kinerja yang digunakan masih menetapkan bahwa hanya atasanlah yang
menilai bawahan. Mengapa bawahan juga tidak meilai atasan?
Bukankah seringkali mahasiswa diminta menilai kemampuan para dosen,
dan peserta kursus maupun lokakarya seringkali diminta menilai para
pengajar atau instruktur? Bahkan mengapa tidak melibatkan juga fihak lain
di luar atasan atau bawahan, misalnya rekan sekerja, para pengguna jasa
internal (internal customers) dan pelanggan yang harus memberikan
penilaian, sebagaimana ditetapkan oleh Sistem Manajemen Kinerja yang
disebut "360 derajat?“
Apabila semua pertanyaan lersebut di atas telah disepakati jawabannya
oleh semua pembuat keputusan, terutama oleh pimpinan puncak
organisasi dan fungsionaris Unit Sumber Daya Manusia, maka organisasi
anda dapat mulai dengan langkah-langkah berikutnya.

SISTEM MANAJEMEN KINERJA YANG EFEKTIF
Sistem Manajemen Kinerja seperti apa yang akan dipilih untuk digunakan
harus tergantung pada kebutuhan dan tujuan masing-masing organisasi.
Walaupun demikian Cascio, (1992: 270) menyarankan bahwa agar sebuah
program Manajemen Kinerja efektil hendaknya memenuhi syarat-syarat
berikut:
1.
Relevance: hal-hal atau taktor-faktor yang diukur adalah yang relevan
(terkait) dengan pekerjaannya, apakah itu "outputnya, prosesnya atau
inputnya.
2.
Sensitivity: sistem yang digunakan harus cukup peka untuk
membedakan antara karyawan yang “berprestasi" dan “tidak
berprestasi” .
3.
Reliability. ; Sistem yang digunakan harus dapat diandalkan,
dipercaya bahwa menggunakan tolok ukur yang obyektif, sahih,
akurat, konssisten dan stabil.
4.
Acceptability: Sistem yang digunakan harus dapat dimengerti dan
diterima oleh karyawan yang menjadi penilai maupun yang dinilai dan
memfasilitasi komunikasi aktif dan konstruktif antara kcduanva.
5.
Practicality: semua instrumen, misalnya formulir yang digunakan,
harus mudah digunakan oleh kedua fihak, tidak rumit, "mengerikan"
dan berbelit-belit

SISTEM MANAJEMEN KINERJA YANG MEMFOKUSKAN
PERHATIANNYA PADA INDIVIDU KARYAWAN SEBAGAI
"MANUSIA" DAN "INPUT-NYA“





METODE "PERINGKAT PAKSA" (FORCED RANKING)
METODE
"PERINGKAT
PAKSA"
BERBENTUK
"KURVA
LONCENG“
MANAJEMEN KINERJA YANG BERORIENTASI PADA "INPUT“
METODE "GRAPHIC RATING SCALE"

SISTEM MANAJEMEN KINERJA YANG MEMFOKUSKAN PERHATIANNYA
PADA INDIVIDU KARYAWAN SEBAGAI "MANUSIA" DAN "INPUT-NY A"

Pada bagian ini akan dibahas berbagai sistem, cara atau metode
sederhana dan “primitif" yang umum digunakan oleh dan/atau
dapat ditemukan pada berbagai organisasi, khususnya
perusahaan. Dalam kelompok ini termasuk cara-cara yang
sangat sederhana yang dapat dikatakan benar-benar bersifat
subyektif. karena tanpa didasarkan pada kriteria atau standar
apa pun.
Cara-cara ini adalah yang disebut metode “Peringkat Paksa"
(forced Ranking) biasa dan "Peringkat Paksa" yang
berbentuk "Kurva Lonceng". Setelah itu akan dibahas metode
lain yang juga menekankan pada “manusia/pelaku kerja”
tersebut tetapi sudah didahului dengan penetapan faktorfaktor atau ciri-ciri karakteristik yang harus dinilai. Kita akan
mulai dengan membahas metode "Peringkat Paksa".

METODE "PERINGKAT PAKSA" (FORCED RANKING)






Metode yang juga disebut Forced Ranking ini adalah yang paling
sederhana, mudah dan murah dari semua Sistem Penilaian Prestasi
Kerja Karyawan. Menurut cara ini, pertama-tama ditetapkan kriteria
bagi "karyawan terbaik" dan "karyawan terjelek" bagi setiap unit
kerja dan kemudian dipilih dari semua karyawan yang ada dalam
unit tersebut satu orang yang memenuhi kriteria sebagai karyawan
terbaik dan satu orang sebagai karyawan terjelek. Baru setelah kedua
orang ini dipilih, maka sisa karyawan yang ada ditetapkan
peringkatnya.
Dengan demikian, karyawan dari setiap unit dari yang terendah
dalam struktur organisasi misalnya yang dibawahi oleh seorang
supervisor akan disusun berdasarkan peringkat. Contoh peringkat
tersebut adalah seperti di bawah ini.
Jelas sekali bahwa metode ini sangat sederhana dan mudah
dimengerti. Kemudian, kemungkinan bahwa seorang supervisor
akan memberikan predikat "Rata-rata" (average) pada sebagian
besar anak buahnya tidak ada lagi. Cara ini juga dianggap ideal
untuk menilai orang dan cocok untuk sebuah organisasi kecil.
Sebaliknya, metode ini tidak baik digunakan bila jumlah karyawan
pada sebuah unit kerja terendah besar sekali, misalnya lebih dari
25 orang.














Departemen/Seksi:
Peringkat tertinggi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.



Manfaat yang diperoleh dari metode ini sangat terbatas sekali.
Misalnya untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia dan
khususnya nama-nama Karyawan Berdasarkan peringkatnya atas
dasar "Ciri-ciri Kepribadian Dan Kompetensi" Mereka untuk
pelatihan hampir tidak ada informasi yang diperoleh yang dapat
membantu perusahaan. Akhirnya, kemungkinan untuk terjadinva
"subyektivitas" dan rasa "suka atau tidak suka" dalam pemilihan
orang-orang untuk tiap peringkat jelas sangat besar sekali.

11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20. Peringkat rendah sekali

METODE "PERINGKAT PAKSA" BERBENTUK "KURVA
LONCENG"





Sebenarnya ada metode "Peringkat Paksa" yang lain walaupun caranya
agak berbeda. Caranya adalah bahwa perusahaan melalui departemen
SDM menetapkan misalnya bahwa karyawan pada tiap unit kerja yang
terendah harus diperingkat atas dasar "prestasi", sikap dan perilaku
kerja mereka, misalnya lima kategori; Istimewa, Bagus, Rata-rata,
Kurang, dan Buruk. Kemudian diterapkan bahwa yang dapat masuk
ke kategori Istimewa hanyalah 5% dari seluruh jumlah karyawan yang
ada pada unit tersebut. Selanjutnya pada kategori Bagus hanya 15%,
pada kategori Kurang harus 15%, kategori Buruk juga harus 5%
sedangkan sisanya yang 60% harus masuk ke kelompok Rata-rata!
Dengan demikian, atas dasar "kuota" tersebut setiap supervisor harus
membagi dan mengelompokan anak buahnya atas dasar lima kategori
tersebut.
Apabila hasil kegiatan tersebut di-"plot" kedalam grafik berbentuk kurva,
gambarannya akan berbentuk "lonceng tertelungkup" dan karena itu
kurva tersebut disebut Bell Curve.
Dengan demikian setiap pimpinan unit kerja diberi wewenang
penuh untuk menentukan nasib anak buahnya masing-masing dan
mungkin saja ternyata bahwa karyawan yang mendapat kenaikan
upah misalnya hanya yang masuk kategori Rata-rata, Bagus dan
istimewa, sedangkan yang dua kelompok lagi tidak.



Cara tersebut memang mudah tetapi dapat dibayangkan bagaimana
beratnya beban supervisor untuk menjelaskan alasan dari
keputusannva kepada karyawan yang kecewa apalagi bila tidak
didukung oleh bukti-bukti dan argumentasi yang kuat. Sudah pasti
bahwa kecenderungan untuk terjadinya subyektivitas juga sangat
besar.

• Gambar : Contoh kurva Lonceng

5

15

60

15

5

MANAJEMEN KINERJA YANG BERORIENTASI PADA "INPUT"





Metode-metode yang masih memfokuskan penilaiannya pada "input' dalam konsep
"input — proses — output“.
Putti (1990) menyebut metode ini sebagai metode yang individual Centered
dan lebih jauh Putti menulis bahwa pendekatan atau cara yang bersifat
Individual atau Person Centered Approach adalah cara tradisional yang
menekankan pada pengukuran atau penilaian ciri-ciri kepribadian karyawan
daripada hasil (prestasi) kerjanya. Ciri-ciri atau karakteristik kepribadian yang
banyak dijadikan obyek pengukuran adalah; kejujuran, ketaatan, disiplin,
loyalitas, inisiatif, kreativitas, adaptasi, komitmen, motivasi (kemauan), sopan
santun, dll.
Karena fokus perhatian dan metode ini adalah manusianya, maka diberikan
istilah Person Oriented Performance Management yang dapat disingkat
menjadi "POPMAN" .



Faktor-faktor yang disebutkan pada halaman sebelumnya jelas bukanlah
"prestasi", tetapi lebih tepat untuk disebut “persyaratan” atau 'karakteristik''
yang harus dipenuhi oleh karyawan agar mereka mampu atau akan
melaksanakan tugas-tugasnya dengan tepat, benar dan "sempurna", sehingga
akhirnya juga mempunyai prestasi yang "bagus".



Lebih tepat lagi adalah bahwa faktor-faktor tersebut sebenarnya adalah input'
dari konsep "input-proses-output" yaitu apa yang harus dimiliki oleh seorang
karyawan untuk dapar melaksanakan "prosesnya" dengan berhasil. Tentu saja
dalam kelompok "input" ini juga masih harus termasuk "faktor kemampuan"
yang terdiri dari "pengetahuan dan keterampilan" yang diperlukan.



Sebagai contoh disajikan di bawah ini daftar faktor yang digunakan oleh
sebuah perusahaan lembaga keuangan (Bank Pembangunan Daerah) dalam
formulir Penilaian Prestasi Kerja Karyawan Staf mereka.
1 Hasil pekerjaan
2 Kecakapan kerja
3 Kemampuan mengatur pekerjaan
4 Tanggung jawab atas pemeliharaan alat kapan
5 Tanggung jawab atas pekerjaan
6 Pengertian tentang pekerjaan
7 Minat/perhatian terhadap pekerjaan
8. Inisiatif
9 Loyalitas terhadap Bank
10 Kerjasama dalam tugas
11 Sikap terhadap atasan
12 Sikap terhadap bawahan
13 Sikap terhadap sesama rekan
14 Kedisiplinan
15 Kreativitas
16 Kejujuran
17 Ketekunan kerja
18 Cara berpakaian
19 Kepemimpinan efektifitas dalam membina kemampuan
dan hasrat kerja
20 Kemampuan membuat perencanaan
21 Pengusaan administrasi BPD...............
22 Pengetahuan perbankan
23 Cara berkomunikasi
24 Kemampuan mengorganisir
25 Prestasi / Kehadiran (?)







Sesuai formulir penilaian tersebut secara kritis terlihat bahwa daftar
faktor-faktor tersebut terdiri dari campuran antara "output" yang
diharapkan dan elemen "persyaratan" dari input dan elemen
''kompetensi”.
Dalam formulir Penilaian Prestasi Kerja Karyawan seperti daftar di
atas, elemen “output' hanya ada satu, yaitu faktor nomor 1 (satu)
yang juga tidak dijelaskan berbentuk apa "output" tersebut dan
bagaimana mengukurnya. Faktor terakhir yaitu nomor 25 juga
disebut "prestasi" tetapi ternyata setelah garis miring ditulis
"kehadiran", sehingga yang dimaksud dengan prestasi barangkali
adalah "tingkat kehadirannya". Pertanyaan yang besar sekarang
adalah apakah perusahaan dapat memperoleh manfaat dari sistem
Penilaian Prestasi Kerja Karyawan seperti itu?
Masih banyak sekali perusahaan Indonesia yang menggunakan
sistem yang "tradisional" tersebut. Seringkali pula bahwa sistem
yang digunakan oleh sebuah perusahaan diperoleh dari hasil
menjiplak sistem yang digunakan oleh perusahaan lain! Lebih
celaka lagi. kadang-kadang sistem tersebut dijiplak dari perusahaan
yang beroperasi pada sektor industri yang berbeda dan/atau
umumnya mempunyai budaya organisasi yang berbeda.



Untuk memahami metode ini dengan mudah marilah kita ambil sebuah
pekerjaan yang sering memberi pelayanan kepada kita dalam kehidupan
modern ini, yaitu jabatan "Teller Bank". Apa saja "input" yang diperlukan
untuk jabatan ini?
• Karakteristik Kepribadian:
1. Teliti
2. Akurat
3. Taat aturan dan prosedur
4. Gesit/Cepat
5. Penuh Konsentrasi
6. Ramah & sopan
• Kompetensi Yang Harus Dimiliki:
1. Hapal Prosedur Mengenai Pekerjaannya
2. Mampu mengoperasikan mesin penghitung uang dengan benar
3. Mampu mengoperasikan alat dereksi uang palsu dengan benar
4. Mampu berbahasa Inggris
• Kondisi Fisik Yang Dituntut:
Prima, tidak sakit-sakitan atau alergi yang dapat mengganggu
tugasnya

• Enam karakteristik kepribadian yang disebutkan di atas mungkin
sebenarnya berlaku bagi semua orang yang bekerja di Bank dan
usaha yang sejenis, seperti Penggadaian. Bila demikian halnya,
enam buah karakteristik tersebut dapat diangkat sebagai apa yang
disebut "Karakteristik Inti" atau Core Characteristics yang harus
dimiliki oleh semua karyawan pada bagian apa pun ia bekerja.
Dengan demikian karakteristik inti tersebut menjadi "perilaku dan
sikap standard" bagi semua karyawan dan dijadikan standar dalam
menyeleksi calon karyawan baru.
• Akhirnya kita juga dapat menggunakan enam karakteristik tersebut
sebagai acuan untuk merancang pelatihan-pelatihan yang bersifat
pengembangan sikap dan kepribadian. Demikian pula apabila anda
akan menggunakan Sistem Penilaian Prestasi Kerja Karyawan yang
berorientasi "input" bagi jabatan "Teller" paling sedikit anda akan
menggunakan faktor-faktor karakteristik pribadi yang 6 itu sebagai
obyek penilaian. Hanya enam faktor itu, ditambah faktor kompetensi
yang relevan dengan pekerjaan tersebut sesuai dengan syarat dari
Cascio.
• Tetapi seringkali yang dilakukan oleh perusahaan adalah juga
menetapkan sejumlah faktor atau karakteristik lain yang diberlakukan
secara umum untuk semua pekerjaan, misalnya faktor-faktor:
kuantitas pekerjaan. Kualitas pekerjaan, kejujuran, ketaatan dan
inisiatif


1.
2.
3.

4.
5.

6.

Di bawah ini adalah pendapat tentang taktor-fakror tersebut:
Kuantitas pekerjaan — Untuk jabatan teller bagaimana menghitung kuantitas
pekerjaannya? Apakah jumlah transaksi yang terjadi? Atau jumlah cek?
Kualitas hasil kerja — Bagaimana mengukur kualitas hasil kerja teller?
Tentunya ketepatannya (akurasi), ketelitian dan kepuasan nasabah dan
orang yang dilayani.
Kejujuran — Apa yang dimaksud dengan jujur? Jujur juga berarti mau
berterus terang, yaitu tidak munafik dan mengatakan apa adanya! Bila yang
dimaksud adalah "akhlak" yaitu "tidak mencuri uang" yang diurusnya
bagaimana ukurannya? Bagaimana menentukan seorang teller tidak jujur?
Apakah tergantung banyaknya uang yang hilang? Apakah dapat dibuktikan
bahwa uang yang hilang itu dicuri olchnya? Hal ini adalah masalah yang
sangat sensitive dan perlu kehati-hatian, yang tinggi!
Ketaatan — Ketaatan pada apa? Atau siapa? Pada aturan atau pada atasan?
Apabila keharusan untuk taat ini memang penting sekali. Faktor ini
bertentangan dengan faktor yang berikut yaitu inisiatif.
Inisiatif— Untuk melakukan apa ? Banyak perkerjaan yang justru melarang
orang yang memegangnya agar tidak mcngambil inisiatif sendiri. Pikir saja
misalnya operator senjata berbahaya (nuklir), reaktor nuklir dan barangkali
Teller bank. Mereka justru harus mengikuti aturan dengan ketat, tidak boleh
ambil inisiatif.
Kecerdasan—Apa ukurannya? Apakah tingginya Patokan Kecerdasan (IQ).?
Bila ya, seharusnya IQ sudah diukur pada waktu seorang karyawan
mengikuti proses seleksi. Masalahnya, para pakar psikologi sepakat bahwa
IQ pada dasarnya stabil sehingga apakah mungkin pada awal tahun seorang
karyawan yang IQ-nya 130 kemudian 6 bulan kemudian berubah menjadi
seorang jenius atau jadi seorang "idiot"

• Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa
banyak faktor yang mungkin justru TIDAK
RELEVAN, yaitu tidak ada urusannya dengan
pekerjaan yang dinilai, tetapi dipaksakan untuk
dijadikan obyek penilaian. Selain itu adalah tidak
tepat
menggunakan
sejumlah
faktor
atau
karakteristik yang sama untuk semua pekerjaan
yang
ada. Akhirnya
saya
ingin
kembali
mengingatkan bahwa mencontoh atau "mencomot"
daftar faktor penilaian dari perusahaan lain
mengandung risiko bahwa faktor-faktor tersebut
justru tidak relevan dengan pekerjaan yang ada di
organisasi kita. Mereka mungkin memilih faktorfaktor tersebut setelah melalui proses pemikiran dan
penelitian serta pengkajian yang mendalam!

METODE "GRAPHIC RATING SCALE"







Metode Graphic Rating Scale (GRS) adalah salah satu metode yang fokus
penilaiannya adalah "input" dalam konsep input-proses-output.
Sistem GRS adalah metode "POPMAN" (Person Oriented Performance
Management) yaitu yang memfokuskan penilaian pada orang yang
melakukan pekerjaan, dan bukan pada hasil kerjanya. Mula-mula sejumlah
ciri atau karakteristik yang dianggap penting dan menentukan bagi
keberhasilan seseorang melakukan pekerjaannya diidentifikasi dan
karyawan kemudian dinilai atas dasar karakteristik ini, dengan
menggunakan lima sampai tujuh skala point. Beberapa karakteristik (traits)
yang kerapkali digunakan untuk karyawan pelaksana adalah: "kemampuan
untuk belajar", "pengetahuan tentang pekerjaan (job knowledge)", "inisiatif",
"kerja sama", "dapat diandalkan" dan sebagainya.
Sedangkan untuk karyawan manajerial, karakteristik atau ciri-ciri tersebut
ditambah antara lain dengan "kemampuan kepemimpinan", "kreativitas",
"kemampuan perencanaan", "ketegasan" dan "kemampuan
mengekspresikan diri".
Sebagaimana telah disebutkan, sejumlah karakteristik yang dianggap
"mutlak" menentukan sukses seseorang harus diidentifikasi dan uraian
ringkas tentang karakteristik-karakteristik tersebut harus dibuat agar
terdapat keseragaman dalam pengertian. Kemudian, setiap karakteristik
harus mempunyai skala penilaian yang bisa bersambung atau tidak. Skala
yang bersambung mempunyai angka atau bobot yang rendah pada sebuah
ujungnya dan bobot yang tinggi pada ujung lainnya. Point-point antara
kedua ujung ini kemudian diberi bobot sendiri.

Contohnya adalah seperti di bawah ini.
INISIATIF:
Tingkat atau derajat sampai sejauh mana pemegang jabatan ini mencari dan
menerima tanggung jawab. mengambil tindakan yang tepat tanpa harus
menunggu perintah dari atasan
5
10
15
20
25
Harus
didorong
terus
menerus

Harus
disuruh

Kadangkadang

Meminta
tugas

Mengambil
inisiatif
penuh

• Atas dasar pedoman seperti di atas, seorang atasan yang
menjadi penilai membandingkan bawahan yang dinilainya
dengan
patokan-patokan
tersebut
dan
menetapkan
penilaiannya dengan melingkari angka (point) yang
dianggapnya menggambarkan anak buahnya. Setelah semua
karakteristik atau faktor yang ditetapkan diberi skor, jumlah
skor untuk setiap karyawan kemudian dihitung. Penggunaan
skor ini memberikan kemungkinan bagi penilai untuk
membandingkan satu karyawan dengan karyawan lainnya
dalam satu unit kerja dan memberi perasaan aman kepada
penilai dan departemen Sumber Daya Manusia karena
dianggap bersifat "kuantitatif".
• Angka-angka tersebut kemudian dijadikan standar untuk
menentukan apakah seorang karyawan akan mendapat
kenaikan upah/ gaji atau mendapat bonus atau tidak.
• Ini adalah salah satu sebab mengapa cara ini cukup populer
dan banyak digunakan, terutama bila tujuan penerapan
Manajemen Kinerja/Penilaian Prestasi Kerja memang khusus
untuk menjadi dasar kenaikan upah/gaji atau pembagian
bonus.



Bila yang digunakan adalah skala yang tidak bersambung
(discontinuous), uraian ringkas disediakan untuk setiap skala.
Uraian ini tidak merupakan urut-urutan dari yang jelek ke yang baik,
atau sebaliknya, sehingga seperti tidak ada korelasi antara satu dan
lainnya. Contohnya adalah seperli berikut:
Sikap Terhadap: Kehadiran dan Usaha untuk berada di tempat kerja dan
Pekerjaan, ketaatan pada datang tepat waktu tanpa bolos atau waktu terlambat
• Jarang absen dan terlambat
• Seringkali absen dan terlambat
• Sangat tepat waktu dan hadir secara teratur
• Kadang-kadang absen dan kadang-kadang lambat
• Sangat tepat waktu, hadir secara teratur dan sukarela pulang
lambat
Dengan menggunakan skala yang tidak bersambung, penilai dipaksa untuk
membaca uraian skala dengan berhati-hati sebelum memberi tanda kotak yang
disediakan. Kadang-kadang dalam beberapa kasus disediakan pula ruangan
untuk komentar tambahan. Tujuan penggunaan skala seperti ini adalah untuk
mengurangi unsur subjektivitas.



KEUNTUNGAN DARI PENGGUNAAN METODE "GRAPHIC
RATING SCALE“
Ada sejumlah alasan lain mengapa teknik ini sangat populer
yaitu:
1. Mudah dimengerti dan dipahami oleh penggunanya atau paling
sedikit tekniknya cukup sederhana dan istilah-istilah yang
digunakan juga biasa didengar orang.
2. Pembuatan skala secara relatif dapat dikatakan mudah, baik
dengan abjad (A,B,C,D dan E) ataupun dengan angka (skor)
walaupun biasanya para praktisi Sumber Daya Manusia yang
masih "ngotot" menggunakan hasil Manajemen Kinerja untuk
dasar alokasi kenaikan gaji atau bonus lebih suka
menggunakan skor karena mudah mengelolanya, dan
3. Bila penilaian (rating) disertai dengan komentar tertulis, maka
kemungkinan terjadinya "Efek Halo" akan berkurang banyak.
Efek "Halo" adalah kecenderungan bahwa Penilai sangat
terpengaruh oleh nilai "bagus" seorang karyawan untuk
sebuah faktor tertentu yang dinilai sehingga untuk faktorfaktor lain ia juga memberikan nilai "bagus".



1.

2.

3.

4.

KELEMAHAN DAN KETERBATASAN METODE "GRAPHIC RATING SCALE (GRS)"
Di samping kelebihan-kelebihannya, setiap metode tentu mempunyai
kekuarangan. Demikian pula metode GRS. Kelemahan dan keterbatasannya
adalah sebagai berikut :
Karena yang dinilai adalah ''karakteristik" (trait) kepribadian, maka para penilai
seharusnva mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu jiwa dan perilaku
manusia (psikologi). Padahal, semua orang tahu bahwa kedua bidang ini
bukanlah bidang yang mudah untuk dipelajari walaupun orang kadang-kadang
berpretensi seolah-olah sudah tahu.
Karena yang dinilai adalah traits, tentunya ini sudah harus diketahui sejak tahap
seleksi apabila diberlakukan tes psikologis. Orang yang memang dianggap tidak
memenuhi syarat seharusnya tidak diterima karena banyak "karakteristik"
pribadi yang sangat sulit diubah.
Metode ini sangat "bias" budaya. Banyak karakteristik yang ditetapkan untuk
dinilai didasarkan pada budaya Barat (Amerika) misalnya faktor "inisiatif",
"kemampuan mengekspresikan diri" dan kreativitas. Dalam budaya Indonesia
dan beberapa bangsa Asia lain karyawan bawahan justru merasa tidak "berhak"
untuk mengambil inisiatif dan berkreasi. Mereka akan selalu menunggu perintah
dan permintaan dari atasan, karena itulah nilai yang diajarkan oleh budaya kita.
Demikian pula dalam mengekspresikan diri, bangsa Indonesia dan Asia akan
cenderung merendah sehingga memberi kesan "tidak tegas".
Bagaimanapun, elemen subyektivitas dalam metode ini masih tetap kuat dan
tidak dapat dihilangkan sepenuhnya.





Dalam praktek, mayoritas perusahaan termasuk perusahaan Indonesia
banyak menggunakan metode “Graphic Rating Scale" yang dianggap
"mudah" diterapkan dan mudah untuk mencontoh dari perusahaan lain.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh para pakar tentang
hubungan antara karakteristik pribadi dan prestasi ternyata tidak
menghasilkan korelasi yang langsung. Selain itu, banyak sekali
kesulitan dan perselisihan dalam penerapan sistem Penilaian Prestasi
Kerja/Manajemen Kinerja yang "tradisional" ini yang diindikasikan
dengan rendahnya moral dan produktivitas tenaga kerja yang telah
dilaporkan. Menurut Putti (1987) metode ini memang lebih banyak
digunakan untuk karyawan tingkat pelaksana. Penilaiannya pun
lebih sering dilakukan secara tertutup dan karyawan yang dinilai
tidak pernah diberi tahu hasil penilaian yang dilakukan oleh
atasannya.
Usaha telah banyak dilakukan untuk mengembangkan cara baru yang
dianggap dapat menghilangkan hal-hal negatif tersebut. Tentu saja ini
tidak berarti bahwa ciri atau karakteristik pribadi bisa diabaikan saja
oleh karena dalam mempertimbangan potensi seseorang; untuk jabatan
yang lebih tinggi dan tanggung jawab yang lebih besar faktor tersebut
tetap perlu diperhatikan. Sehubungan dengan banyaknya kelemahan
dan kesulitan tersebut, banyak perusahaan yang sudah menerapkan
manajemen SDM modern telah mulai meninggalkan cara ini, karena
banyak sekali kelemahan dan keterbatasannya, dan mulai mencoba
menerapkan metode yang lain.