Representasi Pemberitaan Wanita Pelaku Kejahatan di Media Massa (Analisis Karikatur dan Konten Berita Malinda Dee di Majalah TEMPO)

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma dan Perspektif Kajian

Paradigma merupakan suatu model dari teori ilmu pengetahuan dan kerangka berfikir. Menurut Guba dan Lincoln, paradigma adalah seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama dalam menentukan pandangan tentang dunia dan menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia. Artinya, paradigma bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan, cara pandang, atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia (Wibowo, 2013:36).

Cara pandang disebut juga perspektif. Sebagaimana diutarakan, perspektif dimaknai sebagai paradigma. Istilah ini pertama kali diperkenalkan Thomas

Khun, yang sinonim dengan disciplinary matrix atau weltanschaung. Maka,

definisi paradigma ilmu adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungan keilmuan yang akan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam upaya mencari dan menemukan pengetahuan ilmu dan kebenaran (Vardiansyah, 2008:50).

Cresswel membedakan dua macam paradigma yakni kuantitatif dan kualitatif (Sunarto & Hermawan, 2011:9). Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif yakni sudut pandang dalam penelitian yang melihat hubungan antara fakta yang diteliti dengan peneliti yang bersifat dependen, sehingga fakta yang diteliti dalam berbagai dimensi bersifat subjektif dan tidak bebas nilai (Ardial, 2014:520). Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy Nur Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma yaitu: (1) paradigma klasik yang mencakup positivisme dan post positivisme, (2) paradigma konstruktivisme (3) paradigma kritis (Bungin, 2008:237).

Paradigma inilah yang sangat mempengaruhi pandangan seseorang dalam mengambil suatu tindakan atau sesuatu hal apapun. Misalnya dua orang yang sama dihadapkan dengan suatu fenomena yang sama, atau suatu peristiwa yang sama, kemungkinan kedua orang tersebut akan memberi respon yang berbeda


(2)

terhadap fenomena atau peristiwa tersebut. Kedua orang tersebut juga akan menghasilkan penilaian, sikap, tindakan, bahkan pandangan yang berbeda juga. Perbedaan ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut memiliki paradigma yang berbeda, yang secara otomatis mempengaruhi persepsi dan tindakan komunikasinya.

2.1.1 Perspektif Konstruktivisme

Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana (Ardianto & Q Anees, 2007:151).

Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk (Eriyanto, 2001:37).

Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang

membedakan alam semesta ke dalam tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau

keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.

Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia (Ardianto & Q Anees, 2007:153).

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan


(3)

bukan reproduksi kenyataan. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan (Ardianto & Q Anees, 2007 : 151-153).

Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Konsep penting konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu (Ardianto & Q Anees, 2007:154).

Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujuk pada pengetahuan yang dikonstruksi sudah ada di benak subjek. Namun, konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi melainkan sebuah proses yang panjang dari sejumlah pengalaman. Ada banyak situasi yang memaksa seseorang untuk mengadakan perubahan. Menurut Bettencourt, situasi perubahan tersebut meliputi: konteks tindakan, konteks membuat masuk akal, konteks penjelasan, dan konteks pembenaran.

Pentingnya pengalaman dalam proses pengetahuan ini membuat proses

konstruksi membutuhkan beberapa kemampuan sebagai berikut: Pertama,

kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kedua,

kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai

persamaan dan perbedaan. Ketiga, kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman

yang satu dari yang lain. Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat

membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia, antara lain Pertama,

konstruksi kita yang lama. Kedua, domain pengalaman kita. Ketiga, jaringan

struktur kognitif kita.

Paradigma konstruktivis ini, menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme menekankan bahwa


(4)

mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar belakang, dan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan paradigma konstruktivis, karena seperti yang dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk.

2.2Kajian Semiotik dalam Studi Komunikasi Massa

Teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Stephen Littlejohn dan Karen Foss (2005) menyatakan bahwa sistem yang abstrak ini didapatkan dari pengamatan yang sistematis. Jonathan H. Turner (1986) mendefinisikan teori sebagai “sebuah proses mengembangkan ide -ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi (West & Turner, 2009:49).

Teori merupakan seperangkat proposisi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Namun, karena di dalam teori juga terkandung konsep teoritis yang berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi (Suyanto & Sutinah, 2005:34). Adapun teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:

2.2.1 Komunikasi Massa

Konsep komunikasi massa pertama kali diciptakan pada tahun 1920 atau 1930-an yang diterapkan pada kemungkinan baru untuk komunikasi publik yang muncul dari pers massa, radio, dan film. Media-media ini memperbesar khalayak potensial melampaui minoritas yang melek huruf. Hal yang baru secara esensial baru adalah gaya industrial dan skala organisasi produksi dan penyebaran. Media massa pers, radio, dan film yang waktu itu baru, bersama juga dengan musik rekaman, juga memunculkan varian baru dari „budaya populer‟.

Konteks untuk semua perkembangan ini adalah salah satu perubahan yang pesat di dunia industrialisasi baru dan negara yang tersentralisasi. Saat itu adalah


(5)

waktu untuk pertumbuhan dan konsentrasi populasi di kota-kota besar, mekanisasi dan birokratisasi di semua aspek kehidupan, serta ekspansi imperialis oleh para warga Eropa dan Amerika. Saat itu juga merupakan periode perubahan politik, pergerakan sosial, dan peperangan bencana antarnegara. Oleh sebab itu, media massa baru memainkan peranan mereka dalam peristiwa-peristiwa ini sebagaimana pula menyediakan alat relaksasi dan hiburan bagi massa.

Makna awal dari „komunikasi massa‟ dan yang masih bertahan, diambil sebagian besar dari gagasan orang sebagai „massa‟ dan dari karakteristik media

massa yang dipersepsikan. Kata „massa‟ dipersepsikan sebagai ukuran,

anonimitas, ketidaktahuan secara umum, kurangnya stabilitas dan rasionalitas, dan sebagai hasilnya mereka rentan terhadap persuasi dan saran (McQuail, 2011:308).

2.2.1.1Karakteristik Komunikasi Massa

Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling melengkapi. Jay Black dan Frederick C. Whitney mendefinisikan komunikasi massa sebagai sebuah proses dimana pesan-pesan diproduksi secara massal lalu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan heterogen. Melalui salah satu definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Nurudin, 2011 : 19-30):

1. Komunikator Melembaga

Komunikator adalah salah satu elemen komunikasi massa. Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, melainkan kumpulan orang, yang artinya gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga.

2. Komunikan Bersifat Heterogen

Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen karena, jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kelompok masyarakat. Satu sama lain tidak saling mengenal dan antarindividu itu tidak berinteraksi secara langsung.


(6)

Pesan-pesan dalam komunikasi masssa tidak ditujukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan-pesannya ditujukan pada khalayak yang plural.

4. Komunikasi Bersifat Satu Arah

Dikatakan satu arah karena ketika kita menerima informasi lewat media yang kita baca atau kita tonton, kita tidak bisa langsung memberikan respon kepada media massa yang bersangkutan, seperti halnya kita melakukan komunikasi tatap muka. Kalaupun bisa, sifatnya tertunda. Misalnya kita mengirimkan ketidaksetujuan pada berita itu melalui rubrik surat pembaca. Jadi, komunikasi yang berjalan satu arah akan memberi konsekuensi umpan balik yang sifatnya tidak langsung (delayed feedback). Dengan demikian, komunikasi massa itu berlangsung satu arah.

5. Komunikasi Menimbulkan Keserempakan

Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khlayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

6. Komunikasi Dikontrol oleh Gatekeeper

Selain komunikator, elemen komunikasi massa yang lain adalah gatekeeper. Seperti yang telah diutarakan, bahwa gatekeeper adalah semua pekerja media, antara lain wartawan, editor film/surat kabar/buku, manajer pemberitaan, penjaga rubrik, kameramen, sutradara, dan lembaga sensor film yang semuanya mempengaruhi bahan yang akan dikemas dalam

pesan media massa masing-masing. Gatekeeper berfungsi untuk

menginterpretasikan pesan, menambah data, mengurangi pesan-pesan, dan menganalisis yang intinya mereka merupakan pihak yang ikut menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa.

7. Stimulasi Alat Indra Terbatas

Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya


(7)

mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

2.2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa

Karlinah, dalam Karlinah, dkk (1999) mengemukakan fungsi komunikasi massa secara umum (Ardianto & Komala, 2004: 19-22) yakni: a. Fungsi informasi, yaitu diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan sesuai dengan kepentingan khalayak. Khalayak media massa berlangganan suratkabar, majalah, mendengarkan radio siaran atau menonton televisi karena mereka ingin mendapatkan informasi tentang peristiwa yang terjadi.

b. Fungsi pendidikan, yaitu media massa merupakan sarana pendidikan bagi khalayaknya. Karena media massa pada dasarnya direkomendasikan untuk lebih banyak menyajikan program yang sifatnya mendidik. Melalui program-program edukasi seperti olimpiade dan kuis yang menguji daya pikir masyarakat baik untuk siswa/anak sekolah maupun kalangan umum. Begitu juga dengan program serial yang bermutu untuk semua kalangan baik itu sinetron, ftv, film pendek, dan lain-lainnya.

c. Fungsi mempengaruhi, yaitu media massa secara implisit terdapat pada

tajuk/editorial, features, iklan, artikel, dan sebagainya. Khalayak dapat

terpengaruh oleh iklan-iklan yang ditayangkan televisi ataupun surat kabar.

d. Fungsi korelasi, yaitu fungsi yang menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya. Maka peran media massa sebagai penghubung antara berbagai komponen masyarakat. Sebuah berita oleh seorang reporter akan menghubungkan narasumber dengan pembaca/khalayak surat kabar.

e. Fungsi pengawasan, yaitu menunjuk pada pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita. Fungsi

pengawasan bisa dibagi menjadi dua, yakni warning or beware

surveillance atau pengawasan peringatan dan instrumental surveillance atau pengawasan instrumental.

f. Fungsi manipulasi lingkungan, manipulasi disini bukanlah diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Manipulasi lingkungan artinya berusaha untuk mempengaruhi. Setiap orang berusaha untuk saling mempengaruhi dunia dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dalam fungsi manipulasi, komunikasi digunakan sebagai alat kontrol utama dan pengaturan lingkungan.


(8)

Media massa cetak dalam arti luas merupakan media massa yang menyampaikan atau menyalurkan pesan komunikasi dalam bentuk kata-kata,

gambar tercetak, meliputi pamflet, bulletin, booklet, buku, surat kabar, dan

majalah yang ditujukan kepada massa. Akan tetapi dalam arti sempit, media massa cetak hanya terbatas pada surat kabar dan majalah yang mempunyai periodisitas seperti harian, mingguan, dan triwulan (Suwardi Lubis, 2011:21). Keberadaan majalah sebagai media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar. Sebagaimana surat kabar, sejarah majalah diawali dari negara-negara Eropa dan Amerika (Ardianto & Komala, 2004:109).

Di Inggris, majalah Review yang diterbitkan oleh Daniel Depoe pada tahun

1704. Bentuknya adalah antara majalah dan surat kabar, hanya halaman kecil, serta terbit tiga kali seminggu. Depoe bertindak sebagai pemilik, penerbit, editor, sekaligus sebagai penulis. Tulisannya mencakup berita, artikel, kebijakan nasional, aspek moral dan lain-lain. Tahun 1790, Richard Steele membuat majalah The Tatler, kemudian bersama-sama dengan Joseph Addison ia menerbitkan The Spectator. Majalah tersebut berisi masalah politik, berita-berita internasional, tulisan yang mengandung unsur-unsur moral, hiburan, dan gosip.

Di Amerika, Benjamin Franklin telah mempelopori penerbitan majalah

tahun 1740, yakni General Magazine dan Historical Chronicle. Tahun 1820-an

sampai 1840-an merupakan zamannya majalah (the age of magazines). Majalah

yang paling populer saat itu adalah Saturday Evening Post yang terbit tahun 1821,

dan majalah lainnya North American Review. Pada pertengahan abad ke-20 tidak

ada majalah sesukses Reader‟s Digest yang diterbitkan oleh Dewitt Wallace dan

Lila. Menyusul majalah Time oleh Henry Luce bersama dengan Briton Hadden,

kemudia ia juga menerbitkan majalah Life, Fortune, dan Sport Illustrated. Life

merupakan majalah berita yang banyak menggunakan foto (Ardianto & Komala, 2004:109).

Di Indonesia, sejarah keberadaan majalah sebagai media massa dimulai pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia. Tahun 1945 di Jakarta, terbit

majalah bulanan dengan nama Pantja Raja pimpinan Markoem Djojohadisoeparto

(MD) dengan prakata dari Ki Hadjar Dewantoro selaku Menteri Pendidikan pertama RI. Di Ternate, Arnold Monoutu dan dr. Hassan Missouri menerbitkan


(9)

majalah mingguan Menara Merdeka yang memuat berita-berita yang disiarkan

RRI. Menara Merdeka bertahan sampai tahun 1950 (Ardianto & Komala,

2004:110).

Majalah-majalah lain yang terbit setelah kemerdekaan, antara lain Pahlawan (Aceh), Sastra Arena (Yogyakarta) yang dipimpin oleh H. Usmar

Ismail, Sastrawan (Malang) yang diterbitkan oleh Inu Kertapati, dan Seniman

(Solo) pimpinan Trisno Soemardjo, penerbitnya adalah Seniman Indonesia Muda.

Siauw Giok Tjan menerbitkan majalah bulanan Liberty. Di Kediri, terbit majalah

berbahasa Jawa, Djojobojo, pimpinan Tadjib Ermadi. Para anggota Ikatan Pelajar

Indonesia di Blitar, menerbitkan majalah berbahasa Jawa, Obor (Suluh) yang

ditujukan untuk memberi penerangan bagi rakyat yang berada di pelosok-pelosok, yang pada umumnya belum bisa berbahasa Indonesia. Di Kediri, para pelajar juga

menerbitkan majalah tengah bulanan Pelajar Merdeka. Majalah untuk kaum

wanita dengan nama Wanita terbit di Solo dibawah pimpinan Sutiah Surjohadi.

Sedangkan majalah Soeara Perkis dan Bulan Sabit diterbitkan oleh Gerakan

Pemuda Islam Indonesia cabang Solo (Ardianto & Komala, 2004:110).

Majalah kontemporer secara umum dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu (Baran, 2012 : 185-186):

1. Majalah umum (trade), profesional, dan bisnis yakni majalah yang menyajikan cerita, tulisan khas, dan iklan yang ditujukan kepada masyarakat dengan profesi khusus dan didistribusikan oleh organisasi profesional itu sendiri atau perusahaan media seperti Whittle

Communication and Time Warner (Progressive Farmer).

2. Majalah industri, perusahaan, dan majalah bersponsor yakni majalah yang diproduksi oleh perusahaan secara khusus untuk para pekerja, pelanggan, atau pemegang sahamnya atau dibuat oleh klub dan asosiasi secara khusus untuk para anggotanya. Misalnya; AARP the Magazine adalah salah satu majalah untuk para anggota American Association for Retired Persons.

3. Majalah konsumen; yakni majalah yang dijual dengan cara berlangganan atau melalui tempat penjualan media cetak, toko buku, atau penjual


(10)

eceran, termasuk supermarket, garden shop, dan toko komputer. Sunset dan Wired masuk dalam kelompok ini.

Sedangkan menurut Dominick, berdasarkan segmentasi pembacanya, majalah diklasifikasikan menjadi (Sudarman, 2008 : 13-14):

1. Majalah konsumen umum (general consumer magazine), merupakan

majalah yang diperjualbelikan untuk umum, rubrik majalah tersebut bersifat umum, memiliki berbagai tulisan yang unik dan menarik bagi kalangan umum.

2. Majalah bisnis (business publication), yaitu majalah yang berkaitan

dengan dunia bisnis atau trade publication. Majalah jenis ini tidak dijual di

pasar atau tempat umum, karena sasaran pembacanya adalah kalangan tertentu yakni kaum profesional.

3. Majalah kritik sastra dan ilmiah (literacy reviews and academic journal),

yaitu pada umumnya majalah ini memiliki sirkulasi yang lebih sedikit, banyak diterbitkan oleh organisasi nonprofit, seperti universitas, yayasan profesional, dan lain sebagainya.

4. Majalah khusus terbitan berkala (newsletter), yaitu majalah yang biasanya

diterbitkan dalam bentuk khusus, didistribusikan secara gratis karena menyajikan berbagai produk sebagai media promosi yang profit dari pemasang produk.

5. Majalah humas (Public Relations Magazines), yaitu majalah yang

diterbitkan perusahaan untuk membangun citra baik (good image)

perusahaan terhadap publik, baik publik internal, seperti karyawan, maupun publik eksternal seperti pemegang saham, para pelanggan dan lainnya.

Pada umumnya, majalah memiliki karakteristik sebagai berikut (Sudarman, 2008:15).

Pertama, penyajian isinya lebih mendalam. Periodesitas terbitan majalah lebih lama daripada surat kabar (khususnya surat kabar harian). Ada yang satu minggu sekali (mingguan), dua minggu sekali (dwi mingguan), bahkan sebulan sekali (bulanan). Sehingga tulisan isi untuk majalah biasanya dibuat lebih

mendalam (in depth) agar tetap up to date.

Kedua, nilai aktualitasnya lebih lama. Apabila nilai aktualitas surat akbar cukup satu hari (khususnya surat kabar harian), maka nilai aktualitas majalah lebih lama lagi, sesuai dengan jarak waktu terbitannya. Biasanya isi tulisan majalah juga lebih tebal sehingga untuk membacanya tidak selesai satu kali duduk.


(11)

Ketiga, banyak menyajikan gambar atau foto. Penyajian gambar atau foto kaya akan warna dan lebih menarik serta berkualitas daripada surat kabar. Oleh sebab itu majalah lebih tebal dan memiliki halaman lebih banyak.

Keempat, sampul pada majalah dibuat lebih atraktif. Sampul dalam majalah ibarat pakaian yang dapat mengundang perhatian para calon pembacanya. Maka dari itu, ketertarikan pertama pembaca untuk memilih majalah mana yang ingin mereka baca adalah dari desain sampul yang menarik minat pembaca.

Mengulas tentang bagaimana majalah, seiring dengan perkembangan zaman, majalah sudah mengalami berbagai kemajuan. Jika pada zaman dahulu majalah hadir dalam bentuk cetak sederhana, maka saat ini majalah terbit dalam sajian yang menarik. Dengan kualitas cetakan yang tinggi serta kemasan yang sangat menarik, kini majalah semakin tersegmentasi. dengan mulai adanya

majalah khusus anak-anak seperti majalah Bobo, khusus wanita seperti Femina

dan Kartini, khusus olahraga seperti Sportif, khusus remaja seperti Gadis dan Kawanku, dan untuk bidang politik terdapat Tempo.

Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Pada praktiknya, apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan. Akan tetapi di atas semua itu, yang paling utama tentunya adalah kepentingan survival media itu sendiri, baik dalam pengertian bisnis maupun politis. Dalam kaitannya, kerap terjadi bahwa, “Kebenaran milik perusahaan” menjadi penentu atau acuan untuk kebenaran-kebenaran lainnya. Atas nama kebenaran milik perusahaan itulah realitas yang ditampilkan oleh media bukan sekadar realitas tertunda, namun juga realitas tersunting, suatu keadaan yang sebetulnya memang tidak bisa tidak harus dikembalikan ke faktor luar perusahaan itu sendiri, terutama sekali politik.

Di belakang realitas tersunting ini terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebarluaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebarluaskan. Tetapi, media bukan cuma menentukan realitas macam apa yang akan mengemuka, namun juga


(12)

siapa yang layak dan tidak layak masuk menjadi bagian dari realitas itu (Sobur, 2003:114).

Karena itu, salah satu cara untuk membantu pembaca menyikapi pers adalah lewat konteks pemberitaan. Pembaca dapat menyadari bahwa wartawan kadang menghidangkan “madu” dalam menu beritanya, kadang pula menuangkan “racun” dalam berita yang lain. Melalui konteks pemberitaan ini pembaca mengerti bahwa berita yang buruk bisa dibungkus dengan bahasa yang manis sehingga tampak samar-samar dan menyenangkan. Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas, maka, seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan. Pada hakikatnya, bahasa digunakan sebagai perangkat dasar bagi media, namun bukan hanya sebagai alat merepresentasikan realitas, tetapi juga bisa menentukan seperti apa relief yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya (Sobur, 2004 : 87-88).

Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. 2.2.2 Desain Komunikasi Visual

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar

(ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, komposisi dan lay-out. Semua itu dilakukan

guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju (Tinarbuko, 2009:24). Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu (Tinarbuko, 2009:6).

Desain dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan melalui metode berpikir, berlandaskan ilmu pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Ia lahir karena ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan timbulnya


(13)

industrialisasi. Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan seni grafis murni. Menurut Suyanto, desain grafis didefinisikan sebagai aplikasi dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan industri. Sedangkan Blanchard mendefinisikan desain grafis sebagai suatu seni komunikatif yang berhubungan dengan industri, seni dan proses dalam menghasilkan gambaran visual pada segala permukaan (Sitepu, 2014 : 11-12).

Desain grafis yang merupakan rancangan sebuah pesan, menerapkan elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain (komposisi) dalam memproduksi sebuah karya visual. Desain grafis menerapkan beberapa prinsip, yakni: Kesederhanaan, Keseimbangan, Kesatuan, Penekanan dan Repetisi. Sedangkan

elemen-elemen yang diusungnya meliputi Garis, Bentuk, Ruang, Tekstur dan

Warna (Sitepu, 2004 : 6-7). Ilmu komunikasi kini lazim menyebut desain grafis sebagai desain komunikasi visual. Sebab, desain grafis pada dasarnya adalah pekerjaan berkomunikasi dimana pesan yang disampaikan adalah visual (grafis: gambar dan tipografi/elemen-elemen desain dalam seni). Beberapa penelitian membuktikan media komunikasi visual lebih efektif ketimbang media lainnya yang hanya mengandalkan teks (Sitepu, 2004:8).

2.2.2.1Elemen-elemen Desain Grafis

Keindahan sebagai kebutuhan setiap orang, mengandung nilai-nilai subjektivisme. Pemahaman yang baik pada elemen-elemen atau unsur-unsur desain grafis adalah wajib. Dalam penciptaan sebuah pesan komunikasi visual,

banyak elemen penting yang harus diperhatikan. Elemen tersebut adalah Garis,

Bentuk, Ruang, Tekstur, dan Warna. Berikut adalah penjelasannya: 1. Garis

Dalam desain grafis, garis dibagi menjadi empat bentuk, yakni vertikal horizontal, diagonal dan kurva. Selain digunakan sebagai penunjuk bagian-bagian tertentu dengan tujuan sebagai penjelas, garis juga digunakan untuk memisahkan posisi antara elemen grafis lainnya, atau garis bisa diterapkan untuk menjadi penunjuk arah mata pembaca. Model dan ketebalan garis juga mempengaruhi psikologi komunikan. Misalnya, sebuah garis putus-putus digunakan untuk menunjukkan adanya alur.


(14)

2. Bentuk

Menurut Sony Kartika, bentuk adalah suatu bidang yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah kontur (garis) dan atau dibatasi oleh adanya warna yang berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya tekstur. Bentuk bisa berupa wujud alam (figur) yang tidak sama sekali menyerupai wujud alam (non figur). Bentuk memiliki perubahan wujud berupa stilisasi, distorsi dan transformasi. Makna ini dikonstruksi dalam grafis dua dimensi. Lazim juga disebut area. Sedangkan dalam grafis 3 dimensi bentuk disamaartikan dengan massa.

3. Ruang

Ruang terjadi karena adanya persepsi mengenai kedalaman sehingga terasa jauh dan dekat, tinggi dan rendah, tampak melalui indra penglihatan (Kusmiati,

1999). Dalam beberapa praktiknya dikenal ruang kosong (white space),

merupakan tempat bernafas bagi pembaca/komunikan. Kosong bukan berarti apa-apa, hal tersebut juga merupakan pesan yang mendukung keseluruhan isi pesan komunikasi visual.

4. Tekstur

Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan (material), yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa, baik dalam bentuk nyata ataupun semu. Tekstur memperkuat dan mempertegas rasa dari karya desain grafis.

5. Warna

Warna merupakan nuansa visual yang direfleksikan oleh cahaya yang jatuh pada objek dan dipantulkan ke mata, cahaya memiliki spektrum (rangkaian sistematis) warna yang membantu kita mengenali warna. Pada saat kita melihat warna, sebenarnya kita melihat gelombang cahaya yang dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek yang kita lihat. Permasalahan mendasar dari warna

diantaranya adalah Hue (spektrum warna), Saturation (nilai kepekatan) dan

Lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang).

Menurut Brewster dalam teori warna miliknya (1831), warna dikelompokkan menjadi 4 kelompok warna, yaitu: warna primer, sekunder, tersier dan warna netral. Warna primer adalah warna dasar yang digunakan untuk


(15)

menciptakan warna sekunder. Warna juga dapat menciptakan persepsi psikologis bagi pembacanya. Leatrice Eiseman, seorang konsultan warna dan penulis buku More Alive With Color, memberi arti dari warna-warna tersebut, yaitu:

Biru memiliki arti kesetiaan, ketenangan, sensitif dan bisa diandalkan. Keabu-abuan memiliki arti serius, bisa diandalkan dan stabil. Merah Muda

memiliki arti cinta, kasing sayang, kelembutan dan feminin. Merah memiliki arti

kuat, berani, percaya diri dan bergairah. Kuning memiliki arti muda, gembira dan

imajinasi. Hitam memiliki arti elegan, kuat dan dewasa. Hijau memiliki arti

kesejukan, keberuntungan dan kesehatan. Sementara itu, Barker (1984:86, dalam Mulyana, 2005:377) mendeskripsikan karakter warna, sebagaimana dijelaskan berikut ini:

1) Merah

Warna merah melambangkan rangsangan, menggambarkan perlindungan dan sifat mempertahankan. Warna ini mengesankan tantangan, perlawanan dan permusuhan. Merah adalah energi yang kuat, menunjukkan erotisme, keberanian, simbol dari api. Warna ini dapat menjadi stopping point suatu pesan pada suatu desain.

2) Biru

Warna biru memberikan kesan aman dan nyaman, lembut dan menenangkan, perlindungan dan pertahanan, kalem, damai dan tentram. Warna biru juga mengesankan persahabatan, harmoni, kasih sayang dan dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang.

3) Oranye

Warna oranye menunjukkan suasana hati yang tertekan, terganggu dan bising.

Namun juga merepresentasikan keceriaan jika dipadu dengan warna lain. 4) Coklat

Warna coklat menunjukkan perlindungan dan pertahanan, kesedihan, kemurungan. Warna coklat juga menunjukkan persahabatan, pengalaman yang panjang dan „dalam,‟ bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, produktivitas dan kerja keras.


(16)

Warna putih menunjukkan kedamaian, kesucian, kemurnian, permohonan maaf, kejelasan, spiritualitas, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan. Warna putih menekankan dan menguatkan warna lain serta memberi kesan.

6) Hitam

Warna hitam melambangkan perlindungan, pertahanan, pengusiran, sesuatu yang negatif, kesedihan mendalam, kemurungan, ketidakbahagiaan, pertentangan dan permusuhan. Warna hitam mengesankan kemisteriusan dan berbahaya, kekayaan, ketakutan, kejahatan, perasaan yang dalam. Latar belakang warna hitam dapat memberikan ruang pada karya desain grafis.

7) Hijau

Warna hijau menunjukkan warna yang tenang, kalem, damai dan tenteram.

Menggambarkan bumi, kesuburan, pertumbuhan, umur yang masih muda. 8) Kuning

Warna kuning merupakan warna yang menyenangkan, keceriaan, riang, gembira dan harapan. Warna yang merujuk pada matahari ini, dapat merangsang dan menarik perhatian.

9) Ungu

Warna ungu menunjukkan keagungan dan kewibawaan, perlindungan dan pertahanan. Juga memberikan kesan tentang kekuatan spiritual, keagungan, kebangsawanan, misterius dan kepercayaan yang dalam. Hingga derajat tertentu, tampaknya ada hubungan antara warna yang digunakan dengan kondisi fisiologis dan psikologis manusia.

2.2.2.2Tipografi

Tipografi adalah sebuah disiplin khusus dalam desain grafis yang

mempelajari mengenai seluk beluk huruf (font). Tipografi dalam konteks desain

komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2009: 25)

Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya


(17)

merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini (Tinarbuko, 2009: 26):

1. Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal-tipis

dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.

2. Huruf Egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada

setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku.

3. Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau

kait.

4. Huruf Miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya

daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.

5. Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat

spontan.

Sementara itu, Danton Sihombing (2001:96 dalam Tinarbuko, 2009:26) mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya:

1. Old Style, jenis huruf ini meliputi: Bembo, Caslon, Galliard, Garamond. 2. Transitional, jenis huruf ini meliputi: Baskerville, Perpetua, Times New Roman.

3. Modern, jenis huruf ini meliputi: Bodoni

4. Egyptian atau Slab Serif, jenis huruf ini meliputi: Bookman, Serifa.

5. Sans Serif, jenis huruf ini meliputi: Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mudah-tidaknya ketersampaian sebuah pesan verbal yang terkandung dalam karya desain komunikasi visual, di antaranya (Tinarbuko, 2009: 27):

Pertama, latar belakang, yakni warna dasar dan tekstur kertas yang digunakan. Teks akan terlihat jelas manakala keberadaan warna latar dan hurufnya cukup kontras.

Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6

sampai 10 point, juga disesuaikan dengan keluarga huruf yang ingin ditampilkan.

Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk

pengembangan: (1) kelompok berat terdiri atas light, regular dan bold. (2)

Kelompok proporsi condesed, regular dan extended. (3) kelompok kemiringan


(18)

Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika membaca. Dalam praktik desain grafis, pemilihan, pengolahan dan penerapan huruf sebaiknya tidak dilakukan sembarangan. Pemilihan warna dan elemen-elemen desain grafis dalam desain komunikasi visual memiliki maksud dan tujuan, yang mendukung isi inti informasi yang hendak disampaikan.

2.2.3 Kajian Semiotik di Media

2.2.3.1Pengertian dan Macam-macam Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang

berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu–yang atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya–dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota. Secara terminologis, semiotika diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks, narasi/wacana tertentu. (Wibowo, 2011:5).

Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah „tanda‟ yang

diartikan sebagai a stimulus designating something other than itself (suatu

stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri). Menurut John Powers, pesan memiliki tiga unsur, yaitu tanda dan simbol, bahasa, dan wacana (discourse) (Morrisan, 2010:173). Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika. Menurutnya, kajian semiotika dapat dibedakan ke

dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni (Wibowo, 2011:4):

(1) Sintaktik (syntactic) atau sintaksis (syntax): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain.

(2) Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan designata atau


(19)

objek-objek yang diacunya. Designata: tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.

(3) Pragmatik (pragmatics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya.

Sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotika yang kita kenal sekarang, yaitu (Pateda dalam Sobur, 2004 : 100-101):

1) Semiotika analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Charles S. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.

2) Semiotika deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dulu hingga sekarang tetap seperti itu.

3) Semiotika faunal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, namun juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti.

4) Semiotika kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain. 5) Semiotika naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam

narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi.

6) Semiotika natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur.

7) Semiotika normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu-lintas. Di ruang kereta apai sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.

8) Semiotika sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.


(20)

9) Semiotika Struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

2.2.3.2Tokoh-tokoh Semiotika

1. Charles S. Pierce

Charles Sanders Pierce merupakan tokoh yang menjadi pendiri

pragmatisme. Pierce terkenal karena teori tandanya. „Tanda‟, menurut Pierce

adalah “…something which stands to somebody for something in some respect or

capacity”. Definisi Pierce menunjukkkan peran „subjek‟ (somebody) sebagai

bagian tak terpisahkan dari proses signifikasi. Model triadic yang digunakan

Pierce (representamen + object + interpretant = sign) memperlihatkan peran besar subjek ini dalam proses transformasi bahasa. melihat Rumus sederhana Pierce menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan suatu fakta (atau objek B), kepada penafsirnya yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian, tetapi memiliki ketiga aspek tersebut. Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari

Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya–unsur pengantara–

adalah contoh Keketigaan.

Bagi Pierce, sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam

hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini,

Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground

dibaginya menjadi (Sobur, 2004:41):

1. Hubungan penalaran dengan jenis penandanya:

a. Qualisigns : penanda yang bertalian dengan kualitas, adalah tanda-tanda yang merupakan tanda-tanda berdasarkan suatu sifat.

b. Sinsign : penanda yang bertalian dengan kenyataan, adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan.

c. Legisign : penanda yang bertalian dengan kaidah, adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode.


(21)

a. icon/ikon : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya (terlihat pada gambar atau lukisan);

b. index/indeks : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya;

c. symbol/simbol : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.

3. Hubungan pikiran dengan jenis petandanya (berdasarkan interpretant):

a. rheme or seme : penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir;

b. dicent or decisign or pheme : penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya;

c. argument : penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah (Sobur, 2004 : 97-98).

Triadik atau disebut sebagai teori segitiga makna (triangle meaning), yang

menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi adalah apa yang dikupas dari teori segitiga makna. Hubungan teori segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan dalam gambar berikut (Fiske dalam Sobur, 2004:115):

Gambar 1.2 Elemen Makna Pierce

Sign

Interpretant Object

Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.42 dalam (Sobur, 2004:115).


(22)

2. Ferdinand De Saussure

“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern, dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand De Saussure”. Selain sebagai seorang ahli linguistik, dia juga seorang spesialis bahasa-bahasa Indo Eropa dan Sansekerta (Wibowo, 2013:20). Saussure dilahirkan di Jenewa pada 1857 dalam sebuah keluarga yang sangat terkenal di kota itu karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Ia hidup sezaman dengan Sigmund Freud dan Emile Dukheim meski tidak banyak bukti bahwa ia sudah pernah berhubungan dengan mereka (Sobur, 2004:45).

Karyanya disusun dari tiga kumpulan catatan kuliah saat memberi kuliah linguistik umum di Universitas Jenewa pada tahun 1907, 1908-1909, dan

1910-1911 kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Course In General

Linguistics. Kita mengenalnya dengan istilah “strukturalisme” dalam (Sobur, 2004:44). Dikatakan strukturalisme karena pada saat itu, studi bahasa hanya

berfokus pada perilaku linguistik yang nyata (Parole). Saussure justru

menggunakan pendekatan anti historis yang melihat bahasa sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara internal atau dalam istilah Saussure disebut Langue (Wibowo, 2013:20).

Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang di kemudian hari

menjadi peletak dasar dari strukturalisme, yaitu pandangan tentang (1) signifier

(penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue

(bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchronic (sinkronik) dan diachronic

(diakronik); (5) syntagmatic (sintagmatik) dan paradigmatic (paradigmatic)

(Sobur, 2004:46).

Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan

melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified

(petanda).

(1) Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dan dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut


(23)

(2) Istilah form (bentuk) dan content (materi,isi) ini oleh Gleason (Pateda,

1994:35) diistilahkan dengan expression dan content, satu berwujud bunyi dan

yang lain berwujud ide (Sobur, 2004:47).

(3) Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Perancis: langage,

langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran). Dalam pandangan Barthes

(1996:81) dalam (Sobur, 2004:50), apa yang disebut langue itu adalah langage

dikurangi parole. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi

bahasa pada tingkat sosial budaya, atau sedangkan parole merupakan ekspresi

bahsa pada tingkat individu.

(4) Sinkronik dan diakronik merupakan konsep ruang dan waktu untuk melihat suatu gejala kebahasaan. Sinkronik yaitu keadaan yang bertepatan menurut waktu, sedangkan diakronik yaitu deskripsi tentang perkembangan (bahasa, sejarah) melalui waktu (Sobur, 2004:53).

(5) Saussure sekali lagi membahas struktur bahasa dalam konsepsi dasar yakni perbedaan tanda antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan-hubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep (Sobur, 2004 : 49-54).

Gambar 1.3

Elemen-Elemen Makna Saussure Sign

Composed of

Signification

Signifier Signified external reality of meaning (physical (mental concept)

existence of the sign)

Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.44 dalam (Sobur, 2004:125).


(24)

Ferdinand De Saussure (1857-1913) mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. Tanda itu sendiri merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan diidentifikasikan sebagai penanda dan petanda. Dengan kata lain, dalam sebuah tanda terungkap konsep penanda dan petanda yang tak terpisahkan, kehadiran yang satu berarti pula kehadiran yang lain seperti dua sisi kertas. Bagi Saussure, hubungan antara

penanda dan petanda bersifat bebas (arbiter), yakni arbitrer dalam pengertian

penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Sobur, 2004 : 31-32).

3. Umberto Eco

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotika yang menghasilkan salah satu teori tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 di Alessandria, wilayah Piedmont, Italia. Awalnya ia belajar hukum, namun kemudian mempelajari filsafat dan sastra sebelum akhirnya menjadi ahli semiotika. Ia menulis tesisnya tentang estetika Thomas Aquinas dan meraih gelar doctor dalam bidang filsafat pada 1954. Dia kemudian memasuki dunia jurnalisme sebagai editor untuk program budaya di jaringan televisi RAI.

Beberapa karya Eco yang dituangkan lewat buku, novel, esai dan tulisan

lainnya yakni: Sviluppo dell‟estetico medievale (1959); Opera apera (1962); Le

poetische di Joyce: dall “summa” al “Finnegans Wake” (1966); A Theory of Semiotics (1976); A Semiotic Landscape (1979); The Role of the Reader: Explorations in the Semiotics of Text (1981); Semiothics and the Philosophy of Languange (1984); The Name of the Rose (1983); Foucault‟s Pendulum (1988); Belief or Nonbelief? A Confrontation (1997) (Sobur, 2004:73).

Awalnya Eco menulis buku dan beberapa tulisan lainnya dilatarbelakangi oleh penyesalannya atas hilangnya keimanan dan kepercayaan beragama yang sempat dianutnya. Mulanya Eco adalah seorang katholik sampai umur dua puluh dua tahun, namun kemudian memilih untuk tidak memiliki kepercayaan apapun. Meski begitu, ia tidak marah atau bersikap anti agama setelah menjadi eks-katholik (Sobur, 2004:72). Berkaitan dengan semiotika, belakangan ini, semiotika


(25)

menunjukkan perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistik dan budaya. Berbeda dengan konsep Ferdinand de Saussure tentang tanda dan pendekatan taksonomis semiotika Charles Sanders Pierce, Eco memastikan diri untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis tanda dalam bukunya Theory of Semiothics (1976, 1979) (Sobur, 2004:75).

Pada dasarnya, fungsi tanda merupakan interaksi antara berbagai norma: “Kode memberikan kondisi untuk hubungan timbal balik fungsi-fungsi tanda secara kompleks” (Eco, 1979). Menurut Eco, sistem aturan, yaitu kode yang terdiri atas hierarki subkode-subkode yang kompleks; sebagaian darinya kuat dan stabil, sedangkan lainnya lemah dan bersifat sementara (Sobur, 2004:76).

Menurut Eco, unsur-unsur pokok dalam tipologi cara pembentukan tanda adalah (Lechte, 2001) (Sobur, 2004:78):

1. Kerja fisik, yaitu: upaya yang dilakukan untuk membuat tanda.

2. Pengenalan, yaitu: objek atau peristiwa dilihat sebagai suatu ungkapan

kandungan tanda, seperti tanda, gejala, bukti.

3. Penampilan, yaitu: suatu objek atau tindakan menjadi contoh jenis objek

atau tindakan.

4. Replika, yaitu: kecenderungan ke arah ratio difficilis secara prinsip, tetapi

mengambil kodifikasi melalui pengayaan.

5. Penemuan, yaitu: kasus yang paling jeals dari ratio difficilis sebagai yang

tidak terlihat oleh kode; menjadi landasan suatu kontinuum materi baru

Eco–sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam buku

“Hipersemiotika” Tafsir Cultural Studies Atas matinya Makna (2003)– menegaskan bahwa semiotika adalah teori dusta. Eco mengatakan bahwa: pada prinsipnya semiotika adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Dengan demikian semiotika pada prinsipnya adalah suatu disiplin yang mempelajari apapun yang dapat digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu itu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran (Wibowo, 2011:19).


(26)

2.2.4 Semiologi Roland Barthes

Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Perancis. Pada 1976, Barthes diangkat sebagai professor untuk “semiologi literer” di College de France. Barthes telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Karya-karya

pokok Barthes antara lain:Le degre zero de l‟ecritureatau “Nol Derajat di Bidang

Menulis” (1953 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Writing Degree Zero,

1977); Michelet (1954); Mythologies (1957); Critical Essays (1964); Elements of

Semiology (1964); The Empire of Sign (1970); Sade Fourier Loyola (1971); The Pleasure of the Text (1973); A Lover‟s Discourse: Fragments (1977); Camera Lucida: Reflections on Photography (1980); The Gain of the Voice: Interviews 1962-1980 (1981); TheResponsibility of Forms (1982); L‟aventure Semiologique (1985); dan masih banyak lagi karya Barthes lainnya (Sobur, 2004 : 63-67).

Semiologi Barthes pada awalnya didasarkan pada kritik budaya, eksplorasi

tanda-tanda, budaya massa sebagai bentuk mitos yang menandai hadirnya petit

bourgeois (borjuis kecil) yang dianggap sebagai representasi universal. Pada

tulisannya yang berjudul Systéme de la Mode (Sistem Mode) (Barthes, 1967), ia

menjelaskan bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam dunia mode penuh

dengan idealisme kaum borjuis. Seperti konsep mode celana gentleman yang

dianggap cocok dengan jas dan dasi, diterima oleh masyarakat seakan-akan sebagai sebuah kebenaran absolut (Barthes, 2007: vi).

Barthes mengembangkan kajian yang sebelumnya memiliki warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Fiske menyebut model ini

sebagai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes

menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) di dalam sebuah tanda terhadap tealitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari


(27)

antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sementara konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua yang merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011:17).

Dalam bukunya Barthes S / Z (1970), ia menganalisis sebuah novel kecil

yang kurang dikenal berjudul Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Perancis abad ke

19, Honore de Barzac. Barthes berpendapat bahwa teks Sarrasine terangkai dalam kode-kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau Barthes (Sobur, 2004 : 65-55), yaitu:

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka -teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.

4. Kode proairetik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Namun pada praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.


(28)

Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna

harfiah, makna yang “sesungguhnya”. Proses signifikasi yang secara tradisional

disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata (Sobur, 2004 : 70-71).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembernaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua (Sobur, 2004:71).

2.2.5 Representasi

Istilah representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, gagasan, tersebut ditampilkan dalam pemberitaan sebagaimana mestinya atau apa adanya, atau diburukkan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan yaitu dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang, paling tidak ada tiga proses yang dihadapi wartawan. Pertama adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawan/media. Disini, realitas selalu siap ditandakan ketika kita menangkap dan mengkonstruksi peristiwa


(29)

realitas itu digambarkan. Disini, kita menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau proposisi, grafik, dan sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat atau proposisi tertentu, misalnya,

membawa makna tertentu ketika diterima oleh khalayak. Ketiga, Bagaimana

kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat (Eriyanto, 2001 : 113-114).

Menurut David Croteau dan Willian Hoynes, representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal-hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan, sementara tanda-tanda lain diabaikan (Wibowo, 2011:123).

Stuart Hall (1997), menyebutkan bahwa representasi mempunyai dua

pengertian, yaitu: pertama, representasi mental. representasi ini merupakan

konsep tentang „sesuatu‟ yang ada di kepala kita masing-masing (peta

konseptual). Representasi mental ini berbentuk susuatu yang abstrak. Kedua,

representasi bahasa, berperan penting dalam konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang lazim supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Dalam hal ini, proses pertama yang memungkinkan kita memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara „sesuatu‟, „peta konseptual‟, dan „bahasa atau simbol‟ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses ini yang terjadi secara bersama-sama itulah yang kita sebut representasi.

Hall mengatakan bahwa ada tiga teori yang menjelaskan bagaimana produksi makna hingga penggunaan konstruksi sosial:


(30)

1. Pendekatan reflektif: bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Sebuah makna bergantung pada sebuah objek, ide, peristiwa dalam dunia nyata, dan orang. Bahasa pun berfungsi seperti cermin yaitu untuk memantulkan arti sebenarnya seperti yang telah ada di dunia. Namun, tanda visual membawa sebuah hubungan kepada bentuk dan tekstur dari objek yang dipresentasikan. Harus diingat bahwa ada begitu banyak kata-kata, suara, gambar, yang mana kita mengerti dengan jelas tetapi fiksi atau fantasi menunjuk kepada dunia yang diimajinasikan. Misalnya, kita dapat menggunakan kata „bunga mawar‟ sebagai tanaman nyata yang tumbuh di taman. Tetapi ini karena kita mengetahui kode yang terhubung dengan konsep khusus dari sebuah kata atau gambar, kita tidak bisa memikirkan, mengucapkan atau menggambarkan bunga mawar yang sesungguhnya.

2. Pendekatan intensional: kita menggunakan bahasa untuk

mengkomunikasikan sesuatu, sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Pendekatan makna yang kedua dalam representasi mendebat kasus sebaliknya. Pendekatan ini mengatakan bahwa sang pembicara, penulis, siapapun yang mengungkapkan pengertiannya yang unik ke dalam dunia melalui bahasa. Ada beberapa poin untuk argumentasi ini semenjak kita semua, sebagai individu juga menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan hal-hal yang spesial atau unik bagi kita dengan cara pandang kita terhadap dunia. Bagaimanapun juga, sebagai teori umum dari representasi bahasa, pendekatan intensional cukup rapuh. Namun esensi dari bahasa adalah komunikasi yang mana tergantung pada pembagian kode-kode linguistik.

3. Pendekatan konstruktivis: kita percaya bahwa mengkonstruksi makna

lewat bahasa yang kita pakai adalah pendekatan terakhir untuk mengenali publik, karakter sosial dari bahasa. Hal ini membenarkan bahwa, tidak ada sesuatu yang di dalam diri mereka sendiri, termasuk pengguna bahasa secara individu, dapat memastikan makna dalam bahasa. Ini tidak berarti: kita mengkonstruksikan makna menggunakan sistem representasional konsep dan tanda. Konstruktivis tidak menolak keberadaan materi dunia. Namun, bukan materi dunia yang member makna tetapi sistem bahasa atau sistem apapun yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep kita. Sistem representasional terdiri dari suara nyata yang kita buat dengan nada vokal kita, gambar yang kita buat pada kertas peka cahaya kamera foto, coret-coretan yang kita buat pada kanvas, dorongan digital yang ditransmisikan secara elektronik. Representasi adalah praktik sebuah jenis “kerja” yang menggunakan objek material dan efek.


(31)

2.2.5.1Bahasa

Representasi sekaligus misrepresentasi tersebut adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, bias terjadi pertama-tama dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak misrepresentasi tersebut ditampilkan oleh media dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi disini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media. Bagaimana cara media memaknai realitas paling tidak ada dua proses besar yang dilakukan. Pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto, gambar apa, dan sebagainya (Eriyanto, 2001:116).

Pemilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekedar teknis jurnalistik,

tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana bahasa–yang dalam hal ini

umumnya pilihan kata-kata yang dipilih–dapat menciptakan realitas tertentu

kepada khalayak. Menurut Kenneth Burke, kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tetapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu. Dengan kata lain, kata-kata yang dipakai dapat membatasi seseorang melihat perspektif lain, menyediakan aspek tertentu dari suatu peristiwa dan mengarahkannnya bagaimana khalayak harus memahami suatu peristiwa. Akan tetapi, yang lebih penting bagaimana kata-kata sesungguhnya dapat mengarahkan logika tertentu untuk memahami suatu persoalan (Eriyanto, 2001:113).

2.2.6 Feminisme

2.2.6.1Deskripsi Feminisme

Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat

keperempuanan. Menurut Aida Fitalaya S. Hubies “feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding dengan laki-laki di masyarakat”. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut dalam mengeliminasi dan menemukan formula


(32)

penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan

potensi mereka sebagai human being (Ardianto & Q Anees, 2007:184).

Feminisme menurut Goefe ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan organisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme muncul sebagai sebuah upaya perlawaan atas berbagai upaya kontrol laki-laki. Asumsi bahwa perempuan telah ditindas dan dieksploitasi menghadirkan anggapan bahwa feminisme merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Salah satu alasan yang mendukung hal ini adalah kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi juga masalah kemanusiaan (Sugihastuti & Saptiawan, 2007 : 93-95).

Feminisme berbeda dengan emansipasi. Sofia dan Sugihastuti menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan (Sugihastuti & Saptiawan, 2007:95).

Pada hakekatnya, tujuan feminisme adalah transformasi sosial untuk menciptakan suatu keadaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki dimensi sejarah yang panjang, dimulai pada abad ke-14. Secara garis besar, perkembangan gerakan feminisme dapat

dibagi dalam tiga periode, yaitu feminisme gelombang pertama (first wave

feminism), feminisme gelombang kedua (second wave feminism), dan feminisme

gelombang ketiga (third wave feminism).

Feminisme gelombang pertama mengangkat isu-isu prinsip persamaan hak bagi perempuan. Titik tolak perjuangannya adalah dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya bidang pendidikan, politik, dan ekonomi. Feminisme gelombang pertama ini dimulai dengan pergerakan-pergerakan feminisme yang berkaitan dengan terjadinya Revolusi Perancis, yakni suatu periode dalam sejarah dimana terdapat pemikir-pemikir seperti Mary Wollstonecraft, Sejourner Truth, dan Elizabeth Cady Stanton. Mereka ini dapat dikatakan penggagas lahirnya Deklarasi Konvensi Hak-hak


(33)

Perempuan di Senca Falls. Pergerakan perempuan pada tahun 1960-an dengan cepat menjadi suatu kekuatan politik yang menyebar di Eropa dan Amerika. “Landasan-landasan teoritis yang dipakai dalam gelombang feminisme ini adalah feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme Marxis atau Sosialis” (Arivia, 2003:85).

Seiring dengan perkembangan zaman, kurang lebih seratus tahun sejak kelahirannya, feminisme memasuki gelombang kedua. Gerakan ini ditandai dengan lahirnya sebuah pemahaman bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki, tetapi yang menjadi penyebab perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat patriarkal. Maka dari itu, isu pertama yang diusung feminisme gelombang kedua adalah perlawanan terhadap legalitas budaya patriarki (Nugroho, 2004).

2.2.6.2Aliran-aliran Feminisme

Sejauh ini ada sejumlah aliran besar feminisme. Pertama, feminisme

liberal. Feminisme liberal cenderung membatasi diri pada studi-studi tingkat mikro yang selalu berusaha melihat berbagai bentuk pembagian kerja seksual dan membongkar ketersembunyian sekaligus ketidaknampakan perempuan yang selama ini ada. Menurut Bryson diantara kelompok feminis lain, kelompok ini termasuk paling moderat, karena membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki di dalam semua peran tanpa ada kelompok jenis keamin yang lebih dominan (Umar dalam Ardianto & Q Anees, 2007: 186-187). Meskipun dikatakan feminisme liberal, menurut Nasarudin Umar (1999) kelompok ini menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan, kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh.

Kedua adalah feminisme radikal. Meskipun banyak meminjam jargon Marxisme, feminisme radikal, menurut Jaggar (1997), tidak menggunakannya secara sungguh-sungguh. Bagi mereka dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan (Fakih dalam Ardianto & Q Anees, 2007:187). Dalam menjelaskan penyebab penindasan perempuan, feminisme


(1)

realitas itu digambarkan. Disini, kita menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau proposisi, grafik, dan sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat atau proposisi tertentu, misalnya, membawa makna tertentu ketika diterima oleh khalayak. Ketiga, Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat (Eriyanto, 2001 : 113-114).

Menurut David Croteau dan Willian Hoynes, representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal-hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan, sementara tanda-tanda lain diabaikan (Wibowo, 2011:123).

Stuart Hall (1997), menyebutkan bahwa representasi mempunyai dua pengertian, yaitu: pertama, representasi mental. representasi ini merupakan

konsep tentang „sesuatu‟ yang ada di kepala kita masing-masing (peta

konseptual). Representasi mental ini berbentuk susuatu yang abstrak. Kedua, representasi bahasa, berperan penting dalam konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang lazim supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Dalam hal ini, proses pertama yang memungkinkan kita memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara „sesuatu‟, „peta konseptual‟, dan „bahasa atau simbol‟ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses ini yang terjadi secara bersama-sama itulah yang kita sebut representasi.

Hall mengatakan bahwa ada tiga teori yang menjelaskan bagaimana produksi makna hingga penggunaan konstruksi sosial:


(2)

1. Pendekatan reflektif: bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Sebuah makna bergantung pada sebuah objek, ide, peristiwa dalam dunia nyata, dan orang. Bahasa pun berfungsi seperti cermin yaitu untuk memantulkan arti sebenarnya seperti yang telah ada di dunia. Namun, tanda visual membawa sebuah hubungan kepada bentuk dan tekstur dari objek yang dipresentasikan. Harus diingat bahwa ada begitu banyak kata-kata, suara, gambar, yang mana kita mengerti dengan jelas tetapi fiksi atau fantasi menunjuk kepada dunia yang diimajinasikan. Misalnya, kita dapat menggunakan kata „bunga mawar‟ sebagai tanaman nyata yang tumbuh di taman. Tetapi ini karena kita mengetahui kode yang terhubung dengan konsep khusus dari sebuah kata atau gambar, kita tidak bisa memikirkan, mengucapkan atau menggambarkan bunga mawar yang sesungguhnya. 2. Pendekatan intensional: kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu, sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Pendekatan makna yang kedua dalam representasi mendebat kasus sebaliknya. Pendekatan ini mengatakan bahwa sang pembicara, penulis, siapapun yang mengungkapkan pengertiannya yang unik ke dalam dunia melalui bahasa. Ada beberapa poin untuk argumentasi ini semenjak kita semua, sebagai individu juga menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan hal-hal yang spesial atau unik bagi kita dengan cara pandang kita terhadap dunia. Bagaimanapun juga, sebagai teori umum dari representasi bahasa, pendekatan intensional cukup rapuh. Namun esensi dari bahasa adalah komunikasi yang mana tergantung pada pembagian kode-kode linguistik.

3. Pendekatan konstruktivis: kita percaya bahwa mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai adalah pendekatan terakhir untuk mengenali publik, karakter sosial dari bahasa. Hal ini membenarkan bahwa, tidak ada sesuatu yang di dalam diri mereka sendiri, termasuk pengguna bahasa secara individu, dapat memastikan makna dalam bahasa. Ini tidak berarti: kita mengkonstruksikan makna menggunakan sistem representasional konsep dan tanda. Konstruktivis tidak menolak keberadaan materi dunia. Namun, bukan materi dunia yang member makna tetapi sistem bahasa atau sistem apapun yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep kita. Sistem representasional terdiri dari suara nyata yang kita buat dengan nada vokal kita, gambar yang kita buat pada kertas peka cahaya kamera foto, coret-coretan yang kita buat pada kanvas, dorongan digital yang ditransmisikan secara elektronik. Representasi adalah praktik sebuah jenis “kerja” yang menggunakan objek material dan efek.


(3)

2.2.5.1Bahasa

Representasi sekaligus misrepresentasi tersebut adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, bias terjadi pertama-tama dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak misrepresentasi tersebut ditampilkan oleh media dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi disini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media. Bagaimana cara media memaknai realitas paling tidak ada dua proses besar yang dilakukan. Pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto, gambar apa, dan sebagainya (Eriyanto, 2001:116).

Pemilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekedar teknis jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana bahasa–yang dalam hal ini umumnya pilihan kata-kata yang dipilih–dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Menurut Kenneth Burke, kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tetapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu. Dengan kata lain, kata-kata yang dipakai dapat membatasi seseorang melihat perspektif lain, menyediakan aspek tertentu dari suatu peristiwa dan mengarahkannnya bagaimana khalayak harus memahami suatu peristiwa. Akan tetapi, yang lebih penting bagaimana kata-kata sesungguhnya dapat mengarahkan logika tertentu untuk memahami suatu persoalan (Eriyanto, 2001:113).

2.2.6 Feminisme

2.2.6.1Deskripsi Feminisme

Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Menurut Aida Fitalaya S. Hubies “feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding dengan laki-laki di masyarakat”. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut dalam mengeliminasi dan menemukan formula


(4)

penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai human being (Ardianto & Q Anees, 2007:184).

Feminisme menurut Goefe ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan organisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme muncul sebagai sebuah upaya perlawaan atas berbagai upaya kontrol laki-laki. Asumsi bahwa perempuan telah ditindas dan dieksploitasi menghadirkan anggapan bahwa feminisme merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Salah satu alasan yang mendukung hal ini adalah kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi juga masalah kemanusiaan (Sugihastuti & Saptiawan, 2007 : 93-95).

Feminisme berbeda dengan emansipasi. Sofia dan Sugihastuti menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan (Sugihastuti & Saptiawan, 2007:95).

Pada hakekatnya, tujuan feminisme adalah transformasi sosial untuk menciptakan suatu keadaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki dimensi sejarah yang panjang, dimulai pada abad ke-14. Secara garis besar, perkembangan gerakan feminisme dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu feminisme gelombang pertama (first wave feminism), feminisme gelombang kedua (second wave feminism), dan feminisme gelombang ketiga (third wave feminism).

Feminisme gelombang pertama mengangkat isu-isu prinsip persamaan hak bagi perempuan. Titik tolak perjuangannya adalah dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya bidang pendidikan, politik, dan ekonomi. Feminisme gelombang pertama ini dimulai dengan pergerakan-pergerakan feminisme yang berkaitan dengan terjadinya Revolusi Perancis, yakni suatu periode dalam sejarah dimana terdapat pemikir-pemikir seperti Mary Wollstonecraft, Sejourner Truth, dan Elizabeth Cady Stanton. Mereka ini dapat dikatakan penggagas lahirnya Deklarasi Konvensi Hak-hak


(5)

Perempuan di Senca Falls. Pergerakan perempuan pada tahun 1960-an dengan cepat menjadi suatu kekuatan politik yang menyebar di Eropa dan Amerika.

“Landasan-landasan teoritis yang dipakai dalam gelombang feminisme ini adalah

feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme Marxis atau Sosialis” (Arivia, 2003:85).

Seiring dengan perkembangan zaman, kurang lebih seratus tahun sejak kelahirannya, feminisme memasuki gelombang kedua. Gerakan ini ditandai dengan lahirnya sebuah pemahaman bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki, tetapi yang menjadi penyebab perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat patriarkal. Maka dari itu, isu pertama yang diusung feminisme gelombang kedua adalah perlawanan terhadap legalitas budaya patriarki (Nugroho, 2004).

2.2.6.2Aliran-aliran Feminisme

Sejauh ini ada sejumlah aliran besar feminisme. Pertama, feminisme liberal. Feminisme liberal cenderung membatasi diri pada studi-studi tingkat mikro yang selalu berusaha melihat berbagai bentuk pembagian kerja seksual dan membongkar ketersembunyian sekaligus ketidaknampakan perempuan yang selama ini ada. Menurut Bryson diantara kelompok feminis lain, kelompok ini termasuk paling moderat, karena membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki di dalam semua peran tanpa ada kelompok jenis keamin yang lebih dominan (Umar dalam Ardianto & Q Anees, 2007: 186-187). Meskipun dikatakan feminisme liberal, menurut Nasarudin Umar (1999) kelompok ini menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan, kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh.

Kedua adalah feminisme radikal. Meskipun banyak meminjam jargon Marxisme, feminisme radikal, menurut Jaggar (1997), tidak menggunakannya secara sungguh-sungguh. Bagi mereka dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan (Fakih dalam Ardianto & Q Anees, 2007:187). Dalam menjelaskan penyebab penindasan perempuan, feminisme


(6)

radikal menggunakan pendekatan ahistoris, dimana patriarki dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan.

Ketiga, feminisme Marxis. Teori marxis merupakan antitesis dari sistem kapitalisme yang dibangun masyarakat Eropa. Kapitalisme melahirkan kelas-kelas sosial yang pada akhirnya menciptakan eksploitasi kelas masyarakat tertentu terhadap kelas sosial lainnya. Tidak hanya sampai disitu, sistem kapitalis juga menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua yang harus menerima perlakuan diskriminatif kaum laki-laki sebagai pemilik modal. Bahkan dalam sebuah keluarga, sistem kapitalis berperan besar mengeksploitasi perempuan sehingga perempuan berfungsi sebagai miniatur kelompok pekerja yang harus tunduk terhadap kehendak kaum laki-laki sebagai kepala keluarga atau pemilik “modal” keluarga. Untuk itu, muncul gerakan feminisme yang mereduksi kesadaran kaum Marxian untuk merombak sistem kapitalis yang sudah jelas-jelas menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua karena pada umumnya laki-laki sebagai pemilik modal termasuk dalam keluarga (Ardianto & Q Anees, 2007:188).

Keempat, feminisme sosialis. Feminisme sosialis dan feminisme Marxis adalah dua bentuk gerakan penyadaran perempuan yang bersumber dari satu penolakan terhadap terhadap sistem kelas yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Perbedaan keduanya menurut Mansour Fakih (1997) terletak pada kesadaran bahwa kesalahan yang diskriminatif ini ada pada sistem yang jelas-jelas menguntungkan laki-laki, yang oleh feminisme sosialis ditekankan pada kesadaran masing-masing perempuan untuk melakukan restrukturisasi sosial kemasyarakatan agar tercapai kesetaraan gender. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang dalam melihat ketertindasan perempuan. Feminisme sosialis lebih berdimensi pada penyadaran peran bahwa sistem kapitalis dibangun masyarakat Barat telah memperlakukan perempuan secara diskriminatif (Ardianto & Q Anees, 2007:189).