Representasi Pemberitaan Wanita Pelaku Kejahatan di Media Massa (Analisis Karikatur dan Konten Berita Malinda Dee di Majalah TEMPO)
REPRESENTASI PEMBERITAAN WANITA PELAKU KEJAHATAN DI MEDIA MASSA
(Analisis Semiotika Karikatur Sampul dan Konten Berita Malinda Dee di Majalah TEMPO)
SKRIPSI
GHASSANI S. LUBIS 110904060 Program Studi Jurnalistik
Ilmu Komunikasi
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
REPRESENTASI PEMBERITAAN WANITA PELAKU KEJAHATAN DI MEDIA MASSA
(Analisis Semiotika Karikatur Sampul dan Konten Berita Malinda Dee di Majalah TEMPO)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata I (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
GHASSANI S. LUBIS 110904060 Program Studi Jurnalistik
Ilmu Komunikasi
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Ghassani S. Lubis
NIM : 110904060
Departemen : Ilmu Komunikasi (Jurnalistik)
Judul : REPRESENTASI PEMBERITAAN WANITA PELAKU
KEJAHATAN DI MEDIA MASSA
(Analisis Karikatur dan Konten Berita Malinda Dee di Majalah TEMPO)
Medan, September 2015
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Drs. Hendra Harahap, M.Si Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A
NIP. 196208281987012001
Dekan
Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 196805251992031002
(4)
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Ghassani S. Lubis
NIM : 110904060
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi : Representasi Pemberitaan Wanita Pelaku Kejahatan di Media Massa
(Analisis Semiotika Karikatur dan Konten Berita Malinda Dee di
Majalah TEMPO)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Majelis Penguji
Ketua Penguji : (……….)
Penguji : (……….)
Penguji Utama : (……….)
Ditetapkan di :
(5)
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Representasi Pemberitaan Wanita Pelaku Kejahatan di Media Massa”. Sebuah studi analisis semiotika pada sampul dan
konten berita majalah TEMPO, edisi 4 dan 11 April 2011. Karikatur sampul dan
konten berita ini dianalisis menggunakan semiologi Roland Barthes agar diketahui makna dan mitos di baliknya dan kemudian digunakan untuk melihat representasi
yang dilakukan oleh majalah TEMPO terhadap Malinda Dee. Desain sampul yang
menggambarkan Malinda Dee sebagai karakter dua tokoh wanita bersejarah dunia
yaitu Monalisa dan Medusa, mengindikasikan adanya pemberitaan bias gender
dari tampilan karikatur sampul majalah TEMPO edisi 05/40 dan 06/40 tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis serta berbasis analisis semiologi Roland Barthes, yaitu analisis leksia dan lima kode pembacaan. Melalui analisis tersebut, dapat dilihat
representasi pemberitaan Malinda Dee oleh majalah TEMPO pada sampul dan
konten berita yang disajikan, serta makna dan mitos seorang wanita yang secara langsung dicap sebagai wanita dengan perilaku tidak benar, kurang beretika, monster mengerikan, memiliki selera yang tinggi, sombong dan angkuh, dan lain sebagainya. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan label negatif yang
dibangun oleh media massa tentang karakter seorang wanita bernama Inong
Malinda Dee. Melalui karikatur sampul depan tersebut, adanya nilai-nilai yang
ingin dibentuk oleh TEMPO dalam kognisi pembaca dan stereotype publik
terhadap sosok wanita.
(6)
ABSTRACT
This research titled “Representation of Women Offenders Reporting in
Mass Media”. A Study of semiotics analysis of TEMPO magazine‟s front covers
and news content on editions in April 4th and 11th 2011. Caricature cover and
news content of TEMPO has been analyzed to discover the meaning and myths
and representation of Malinda Dee in TEMPO magazine. Malinda cover design
TEMPO edition number 05/40 (4th April 2011) and 06/40 (11th April 2011), depicting two historical females in the world that is Monalisa and Medusa. Qualitative research method, constructivism paradigm, and applied Roland
Barthes sémiologique analysis. Through this analysis, TEMPO represented and
portrayed Malinda Dee, as the actors offenders who directly labeled as a woman
who behave improperly, unethical, horrible monster, have eminence taste, proud and arrogant, and many more. The conclusion in the research is showed negative
labeling which built by mass media about the woman‟s character named Inong
Malinda Dee through caricature cover, formed the values by TEMPO in cognition readership and influence the public‟s stereotype against female figure.
(7)
PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian
hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama : Ghassani S. Lubis
Nim : 110904060
Tanda Tangan : …………..
(8)
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ghassani S. Lubis
NIM : 110904060
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Universitas Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Exclusive
Royalty-Fee Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Representasi Pemberitaan Wanita Pelaku Kejahatan di Media Massa (Analisis
Semiotika Karikatur Sampul dan Konten Berita Malinda Dee di Majalah TEMPO)
Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini
Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Medan, September 2015
(9)
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirrabbil‟alamin. Tak henti-hentinya saya panjatkan rasa syukur kepada Allah SWT atas rezeki yang Ia berikan secara cuma-cuma kepada hamba-Nya, kepada saya (peneliti), sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga turut saya limpahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi umatnya serta membawa para umat dari zaman kebodohan menuju zaman yang benar dan penuh kejelasan melalui mukjizat terbesar yaitu Al-Quran.
Terima kasih yang paling besar untuk kedua orang tua saya, Papa dan
Mama yang telah membesarkan dan mendidik saya menjadi anak yang insya
Allah membanggakan dan tetap berbakti pada kedua orang tua. Terima kasih atas doa, bimbingan, dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang telah kalian berikan. Terima kasih juga untuk abang satu-satunya yang saya punya, Teguh Putra Wahyudi Lubis, atas motivasinya selama ini.
Tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan mungkin dapat diselesaikan. Oleh sebab itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA. selaku Ketua Departemen Ilmu
Komunikasi atas segala dukungannya bagi peneliti.
3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi
4. Drs. Hendra Harahap, M.Si selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas
kritik, saran dan pengertian yang Abang berikan kepada peneliti dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Safrin, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik peneliti,
terima kasih atas masukan dan nasihatnya selama menjadi mahasiswa bimbingan akademik Bapak.
6. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisip USU.
(10)
saya menjadi mahasiswa, insya Allah amal tidak akan terputus atas ilmu yang bermanfaat.
7. Kak Maya yang telah banyak membantu peneliti sepanjang menjadi
mahasiswa
8. Nukleus. mbak fadla, picin, mirza, makcik, mbak adhe, mbak ulan, ika,
dan nita, kalian memang teman seperjuangan sekaligus sahabat yang super sekali.
9. Sahabat peneliti, M. Fariz Pratama, S. Ked, mahasiswa kedokteran yang
ramah dan supel, tidak pilih-pilih teman. Terima kasih atas kritik serta bantuannya selama peneliti melalui proses proposal.
10.Rekan-rekan UKM Bola Voli USU. Tim Puteri: Uky dan Nova, Kak Uti,
Putri, Diva, Kak Nita, Kak Lita, Bella, dan lainnya. Tim Putra: Bang Wahyu, Bang Sam, Bang lulik, Bang Pras, dan Pak Abdi selaku pelatih.
11.Mas Fandi, terima kasih untuk semangatnya yang tidak pernah putus
kepada peneliti. Semoga sukses karir dan pendidikannya disana.
12.Tami dan Ridha, sahabat semasa SMA. Terima kasih untuk motivasi dan
doa nya, semoga kalian cepat menyusul ya.
13.Kak Aida, terima kasih untuk semangatnya ya kak.
14.Untuk teman sekampung, Siti Khadijah, satu stambuk namun beda
jurusan. Ayo kita kejar bulan 11 ini ya!
15.Untuk teman-teman Ilmu Komunikasi angkatan 2011, yang sudah lebih
dulu lulus maupun yang masih melalui proses skripsi, kalian teman-teman yang hebat.
(11)
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skiripsi ini, terutama karena dibatasi nilai-nilai pengetahuan serta wawasan yang dimiliki. Peneliti menerima kritik dan saran membangun demi perkembangan penelitian-penelitian selanjutnya. Semoga penelitian-penelitian ini membawa manfaat bagi siapapun yang membacanya.
Medan, September 2015
(12)
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS KATA PENGANTAR ... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar BelakangMasalah ... 1
1.2.Fokus Masalah... ... 6
1.3.Pembatasan Masalah... ... 6
1.4.Tujuan Penelitian ... 6
1.5.Manfaat Penelitian ... 7
BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Paradigma dan Perspektif Kajian ... 8
2.1.1 Perspektif Konstruktivisme ... 9
2.2 Kajian Semiotik dalam Studi Komunikasi Massa ... 11
2.2.1 Komunikasi Massa ... 12
2.2.1.1 Karakteristik Komunikasi Massa ... 13
2.2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa ... 15
2.2.1.3 Majalah sebagai Media Massa ... 15
2.2.2 Desain Komunikasi Visual ... 20
2.2.2.1 Elemen-elemen Desain Grafis ... 21
2.2.2.2 Tipografi ... 24
2.2.3 Kajian Semiotik di Media ... 26
2.2.3.1 Pengertian dan Macam-macam Semiotika ... 26
2.2.3.2 Tokoh-tokoh Semiotika ... 28
2.2.4 Semiologi Roland Barthes ... 33
2.2.5 Representasi ... 36
2.2.5.1 Bahasa ... 39
2.2.6 Feminisme ... 40
2.2.6.1 Deskripsi Feminisme ... 40
2.2.6.2 Aliran-aliran Feminisme ... 41
(13)
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.MetodePenelitian ... 45
3.2 Subjek Penelitian ... 46
3.2.1 Sejarah Tempo ... 47
3.3 Objek Penelitian ... 48
3.4 Kerangka Analisis ... 49
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 50
3.6 Teknik Analisis Data... ... 50
3.5.1 Analisis Lima Kode Pembacaan ... 51
3.5.2 Analisis Signifikasi Dua Tahap... 52
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 54
4.1.2 Analisis Karikatur Sampul 1 ... 55
4.1.3 Analisis Kartun dan Teks Berita (hlm.16) ... 64
4.1.4 Analisis Teks Berita „Rekening Gendut Malinda Dee‟ ... 70
4.1.5 Analisis Teks Berita „Permainan Blangko Kosong Malinda‟ ... 77
4.1.6 Analisis Teks Berita „Barbie Penggemar Ferrari‟ ... 82
4.2.1 Analisis Karikatur Sampul 2 ... 90
4.2.2 Analisis Teks Berita „Si Barbie Masih Sendiri‟ ... 98
4.2.3 Analisis Teks Berita „Proyek Inong di Luar Citi‟ ... 102
4.2.4 Analisis Teks Berita „Manja dengan Fasilitas Khusus‟ ... 104
4.2.5 Analisis Teks Berita „Dalam Seminggu Nama Saya Hancur‟ .... 106
4.3 Pembahasan ... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 114
5.2 Saran ... 117
DAFTAR REFERENSI ... 118 LAMPIRAN
(14)
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1.1Gambar Sampul Majalah TEMPO edisi 05/40 dan 06/40………....3
1.2Gambar Elemen Makna Pierce………29
1.3Gambar Elemen Makna Saussure………...31
1.4Bagan Model Teoritik………..43
4.1.2 Gambar Analisis Karikatur Sampul 1………...55
4.1.3 Gambar Analisis Kartun dan Teks Berita……….64
(15)
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Representasi Pemberitaan Wanita Pelaku Kejahatan di Media Massa”. Sebuah studi analisis semiotika pada sampul dan
konten berita majalah TEMPO, edisi 4 dan 11 April 2011. Karikatur sampul dan
konten berita ini dianalisis menggunakan semiologi Roland Barthes agar diketahui makna dan mitos di baliknya dan kemudian digunakan untuk melihat representasi
yang dilakukan oleh majalah TEMPO terhadap Malinda Dee. Desain sampul yang
menggambarkan Malinda Dee sebagai karakter dua tokoh wanita bersejarah dunia
yaitu Monalisa dan Medusa, mengindikasikan adanya pemberitaan bias gender
dari tampilan karikatur sampul majalah TEMPO edisi 05/40 dan 06/40 tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis serta berbasis analisis semiologi Roland Barthes, yaitu analisis leksia dan lima kode pembacaan. Melalui analisis tersebut, dapat dilihat
representasi pemberitaan Malinda Dee oleh majalah TEMPO pada sampul dan
konten berita yang disajikan, serta makna dan mitos seorang wanita yang secara langsung dicap sebagai wanita dengan perilaku tidak benar, kurang beretika, monster mengerikan, memiliki selera yang tinggi, sombong dan angkuh, dan lain sebagainya. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan label negatif yang
dibangun oleh media massa tentang karakter seorang wanita bernama Inong
Malinda Dee. Melalui karikatur sampul depan tersebut, adanya nilai-nilai yang
ingin dibentuk oleh TEMPO dalam kognisi pembaca dan stereotype publik
terhadap sosok wanita.
(16)
ABSTRACT
This research titled “Representation of Women Offenders Reporting in
Mass Media”. A Study of semiotics analysis of TEMPO magazine‟s front covers
and news content on editions in April 4th and 11th 2011. Caricature cover and
news content of TEMPO has been analyzed to discover the meaning and myths
and representation of Malinda Dee in TEMPO magazine. Malinda cover design
TEMPO edition number 05/40 (4th April 2011) and 06/40 (11th April 2011), depicting two historical females in the world that is Monalisa and Medusa. Qualitative research method, constructivism paradigm, and applied Roland
Barthes sémiologique analysis. Through this analysis, TEMPO represented and
portrayed Malinda Dee, as the actors offenders who directly labeled as a woman
who behave improperly, unethical, horrible monster, have eminence taste, proud and arrogant, and many more. The conclusion in the research is showed negative
labeling which built by mass media about the woman‟s character named Inong
Malinda Dee through caricature cover, formed the values by TEMPO in cognition readership and influence the public‟s stereotype against female figure.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
1.1Konteks Masalah
Kalau kita melihat bagaimana gambaran pemberitaan wanita di media massa, maka ada suatu keprihatinan yang menyangkut posisi wanita dalam lingkungan sosial. Kita akui bahwa wanita menjadi sasaran media dengan tujuan agar kaum wanita sendiri menjadi pemirsa setia media. Kemasan berita disajikan begitu menarik, walaupun tak jarang menampilkan pengungkapan masalah paling
pribadi. Istilah „bad news is a good news‟ untuk mewarnai berita dengan bumbu
tambahan yang bersifat privasi menjadi hal yang lumrah bagi media. Belum lagi kalau kita mengkritisi permasalahan perempuan di televisi apakah sudah sensitif gender, seperti isu gender yang merebak dekade ini. Isu-isu tersebut diantaranya adalah pelecehan seksual perempuan, eksploitasi perempuan, diskriminasi perempuan, sampai kepada stigma sosial terhadap perempuan (Daulay, 2007:51).
Pemberitaan seputar wanita dengan menghadirkan wanita sebagai korban,
apakah itu korban kekerasan, pelecehan, trafficking dan lain-lain, seolah-olah
membiasakan media untuk menampilkan berita yang bias gender. Bias merupakan
kecenderungan pada berita yang menyimpang dari representasi „realitas‟ yang
akurat, netral, seimbang, dan berimbang menurut kriteria. Berita yang disajikan media terkadang lebih terfokus pada apa yang menjadi aib maupun kelemahan dari objek pemberitaan. Namun jika situasi berbalik, ketika wanita yang diberitakan, diduga sebagai pelaku kejahatan, kendati kasus yang terjadi bukanlah kejahatan jalanan melainkan kejahatan intelektual, tetap saja apapun status dan posisinya wanita masih menjadi komoditas pemberitaan bias gender oleh media. Pemberitaan bias gender sering mengangkat hal-hal remeh yang seakan menjadi kodrat wanita. Misalnya seputar penampilan, pakaian, rahasia kelembutan dan keluwesan.
Malinda Dee adalah salah satu pelaku kejahatan intelektual yang pada masa itu sedang kencang diberitakan oleh media. Kasus penggelapan dana uang nasabah Bank Citibank ini sedang hangat-hangatnya bergulir di berbagai media yakni sekitar Maret-April 2011. Beberapa media dan salah satunya seperti media
(18)
online detik.com, men-share berita Malinda Dee di akun twitter (@detik.com)
dengan teks: “Gara-gara DADA BESAR, Polri Tak Temukan Baju yang Pas Buat
Malinda”. Tidak berbeda jauh dengan detik.com, pemberitaan Malinda Dee di
televisi yakni di Metro TV pada 30 Maret 2011, ditayangkan dengan subtitle
bertuliskan: “Penipuan Perbankan Ala Wanita Seksi Malinda Dee”. Selain
detik.com dan Metro TV, majalah Tempo melalui karikatur dalam sampulnya juga ikut menampilkan gaya pemberitaan yang sama dengan desain yang bergaya
sensualitas menyoroti fisik Malinda Dee. Hal ini menunjukkan bahwa media
bahkan jurnalis yang menulis sendiri berita tersebut sudah jauh melampaui batas etika jurnalistik berperspektif gender.
Inong Malinda atau Malinda Dee atau Malinda Danuardja merupakan
seorang mantan Senior Relationship Manager Citibank. Dia menjadi fenomenal
akibat kasus pembobolan dana Citibank. Wanita berusia 50 tahun (saat ini)
ditahan pada tanggal 24 Maret 2011 karena membobol dana nasabah private bank
Citibank. Sebelumnya ibu tiga anak itu pernah menjadi account officer (AO) di
Citibank cabang Landmark dan para nasabahnya adalah pejabat dan para
pengusaha. Malinda Dee menangani 236 nasabah Citigold, produk Citibank untuk
private banking. Nasabah Citigold memiliki rekening dengan nominal minimal Rp 500 juta. Malinda melakukan penggelapan dana nasabahnya dengan cara memberikan formulir kosong kepada nasabahnya untuk dibubuhi tanda tangan. Ia kemudian mengisi sendiri data dalam formulir seperti nominal uang yang dikirim, dan nomor rekening penerima. Tanpa sepengetahuan nasabahnya, formulir tersebut dia berikan pada teller untuk ditransfer ke rekening yang telah dia tentukan.
Proses itu dilakukannya sejak Februari 2007 hingga Februari 2011. Dengan total ada 117 kali transaksi transfer. Sosok Malinda makin dikenal dan menjadi buah bibir masyarakat karena penampilannya yang glamor dan paras cantiknya yang tidak sebanding dengan kelakuannya. Dia memiliki bentuk tubuh yang seksi. Selain itu, Malinda juga merupakan sosialita yang mempunyai kehidupan glamor. Wanita yang sudah 22 tahun bekerja di Citibank ini mempunyai sejumlah aset miliyaran. Aset tersebut berupa mobil serta properti. Hal yang membuat sosoknya semakin fenomenal adalah Malinda telah menikah
(19)
secara siri dengan pesinetron Andhika Gumilang yang usianya terpaut jauh lebih muda. (http://m.merdeka.com/profil/indonesia/i/inong-malinda/)
Gambar 1.1
Gambar Sampul Majalah Tempo
Edisi 05/40 Edisi 06/40
Seperti yang ditampilkan pada gambar tersebut, karakter Malinda Dee
menggambarkan predikat wanita seksi yang memamerkan bagian tubuhnya. Pada
edisi 05/40, karikatur Malinda Dee berpose dengan kedua tangan terlipat ke depan
agak ke kiri, wajah tersenyum lebar, dan dengan pakaian berleher cukup rendah
sehingga memunculkan belahan dadanya serta bertuliskan headline “Mandi Duit
Malinda: Dengan rayuan dan blangko kosong, pegawai Citibank ini menggangsir
dana puluhan miliar rupiah”. Begitu juga dengan edisi 06/40 karikatur Malinda
Dee dengan masih memperlihatkan belahan dadanya dan kali ini tampak lebih
sensual, sedang dikelilingi beberapa pria menggunakan jas yang terlihat seperti
menjadi batu, tangan kiri Malinda Dee sedang memegang dasi salah satu pria, dan
tampak sebuah tangan sedang berusaha meraih ke arah dada Malinda dengan headline yang bertuliskan “Nasabah Kakap Malinda: Korbannya mulai dari jenderal polisi, pengacara kondang, pengusaha, sampai mantan pejabat.”
(20)
Hal ini menjadi perhatian peneliti walaupun sebenarnya fenomena ini sudah terlalu lama untuk dibahas kembali, karena kasusnya telah terjadi sekitar empat tahun silam. Namun, peneliti menaruh perhatian terhadap pemberitaan bias
gender Malinda Dee yang memunculkan ketimpangan terhadap wanita. Kasus
Malinda Dee sendiri bukanlah satu-satunya kasus kejahatan wanita intelektual yang menjadi bulan-bulanan media saat itu. Sebelumnya ada kasus penipuan ratusan juta rupiah yang dilakukan oleh Selly Yustiawaty dan juga yang lebih dulu
menyeret caddy golf bernama Rani Yuliani pada kasus pembunuhan Nasrudin
Zulkarnain.
Bahasan tentang pemberitaan ketiga media massa tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa media massa nasional lainnya juga menampilkan pemberitaan yang sama. Pemberitaan bias gender biasanya sering menyudutkan wanita sebagai subjek kejahatan tersebut. Tidak peduli apakah wartawan yang menulis berita adalah laki-laki ataupun perempuan, wanita selalu menjadi eksploitasi bahkan diskriminasi oleh media. Karena pada dasarnya, masyarakat
sudah mulai selektif melihat mana berita yang mengandung stereotype ataupun
labeling, yang menjatuhkan pihak yang lemah dan mana berita yang murni realitas. Selain itu, pemberitaan bias gender yang menempatkan wanita pada posisi yang tersudut, sudah menjadi sorotan dan perhatian masyarakat kaum intelektual.
Seperti yang telah diketahui oleh banyak kalangan, Tempo adalah salah
satu perusahaan media massa yang awalnya bergerak di bidang cetak, dengan prestige yang cukup baik di kancah media massa Indonesia. Predikat Tempo
sebagai „quality press‟ atau pers yang berkualitas sudah diakui. Tempo juga
dikenal berani dalam mengulas dan mengemas berita bahkan berita yang bersinggungan dengan orang-orang berpengaruh pada masa orde baru. Oleh sebab
itu, tidak heran jika Tempo pernah mengalami pembredelan selama dua kali pada
masa Soeharto. Namun, setangguh-tangguhnya sang juara, maka ia juga tetap
mengikuti aturan main. Oleh sebab itu, Tempo juga harus mematuhi regulasi
media yang sudah ada. Sebagai media yang berani, Tempo pernah beberapa kali
(21)
beberapa karena konten beritanya, dan tidak jarang disebabkan oleh desain sampul yang kurang etis menurut pihak yang merasa dirugikan tersebut.
Maka, pada edisi Malinda Dee ini peneliti ingin menemukan apakah
Tempo juga sama dengan media nasional maupun lokal lainnya dalam merepresentasikan wanita yang terjerat kasus kejahatan intelektual. Peneliti
khawatir terhadap komunikasi simbol majalah Tempo dalam sampulnya yang
mungkin saja bermaksud menunjukkan suatu strategi pemasaran yang tepat, namun hal tersebut justru menimbulkan pengabaian terhadap etika jurnalistik. Memang tidak ada yang menyebutkan bahwa desain sampul majalah yang menarik dan unik adalah desain yang melanggar etika jurnalistik, namun kebanyakan media massa sering melampaui batas dalam memaknai kata „menarik‟ dan „unik‟.
Awalnya peneliti tidak mengira bahwa media berkualitas seperti Tempo
juga sedikit mengesampingkan etika jurnalistik, dilihat dari visi dan misi Tempo
yang sudah memenuhi kriteria sebagai quality press. Namun, setelah melihat
karikatur Malinda Dee dalam dua sampul majalah Tempo pada edisi yang berbeda
tersebut, peneliti mencoba untuk menggali makna terhadap tanda yang terkandung
dalam konteks pemberitaan Malinda Dee. Selain itu, dari keseluruhan
pemberitaan wanita yang terseret kasus penipuan, penggelapan dana ataupun
sejenisnya di majalah Tempo seperti; Angelina Sondakh, Miranda Gultom, Nunun
Nurbaeti, dan lain-lain, sosok Malinda Dee inilah yang dinilai peneliti paling
menonjolkan pemberitaan bias gender dari segi karikatur yang ditampilkan.
Sebelumnya, ruang lingkup analisis peneliti sebatas gambar sampul depan Tempo saja yang lebih menuai perspektif bias gender, karena daya tarik pertama majalah terletak di sampul depan ketika pertama kali terlihat oleh pembacanya. Namun, untuk lebih menemukan bagaimana representasi secara keseluruhan yang
ditampilkan majalah Tempo terhadap pemberitaan Malinda Dee, maka peneliti
juga melanjutkan untuk menganalisis teks berita yang terkait. Berdasarkan deskripsi yang diutarakan sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk meneliti apa
makna yang terkandung dalam pemberitaan Malinda Dee melalui karikatur dan isi
berita yang dimuat di majalah Tempo serta bagaimanakah majalah Tempo
(22)
beritanya. Oleh sebab itu, ketertarikan peneliti dituangkan dalam judul skripsi
“Representasi Pemberitaan Wanita Pelaku Kejahatan di Media Massa, Analisis
Semiotika Karikatur Sampul dan Konten Berita Malinda Dee di Majalah Tempo”.
1.2Fokus Masalah
Berdasarkan uraian konteks masalah diatas, maka fokus masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah makna dan bagaimanakah
representasi oleh media massa Tempo atas Malinda Dee di majalah Tempo?”
1.3Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian lebih jelas dan terarah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:
1. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif berbasis
analisis semiotika.
2. Penelitian ini menggunakan teknik analisis semiologi Roland Barthes
sebagai dasar pemikiran pemaknaan.
3. Penelitian ini tidak hanya difokuskan pada sampul depan majalah
Tempo yang memuat karikatur Malinda Dee, tetapi pada isi berita dalam kedua edisi tersebut.
1.4Tujuan Penelitian
1. Mengetahui makna di balik pemberitaan Malinda Dee di majalah
Tempo yang menampilkan karikatur dan isi berita tentang Malinda
Dee dalam dua edisi yang berbeda.
2. Mengetahui bagaimana representasi pemberitaan Malinda Dee di
(23)
1.5Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah
keilmuan peneliti dan pembaca tentang bagaimana representasi yang
ditampilkan majalah Tempo yang selama ini dikenal sebagai media
massa berkualitas terhadap wanita pelaku kejahatan intelektual, Malinda Dee.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
pembaca ataupun mahasiswa mengenai kajian analisis semiotika dan semiologi Roland Barthes, serta representasi wanita di media massa Tempo.
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
besar kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya dalam spesialisasi ilmu jurnalistik.
(24)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1Paradigma dan Perspektif Kajian
Paradigma merupakan suatu model dari teori ilmu pengetahuan dan kerangka berfikir. Menurut Guba dan Lincoln, paradigma adalah seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama dalam menentukan pandangan tentang dunia dan menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia. Artinya, paradigma bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan, cara pandang, atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia (Wibowo, 2013:36).
Cara pandang disebut juga perspektif. Sebagaimana diutarakan, perspektif dimaknai sebagai paradigma. Istilah ini pertama kali diperkenalkan Thomas
Khun, yang sinonim dengan disciplinary matrix atau weltanschaung. Maka,
definisi paradigma ilmu adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungan keilmuan yang akan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam upaya mencari dan menemukan pengetahuan ilmu dan kebenaran (Vardiansyah, 2008:50).
Cresswel membedakan dua macam paradigma yakni kuantitatif dan kualitatif (Sunarto & Hermawan, 2011:9). Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif yakni sudut pandang dalam penelitian yang melihat hubungan antara fakta yang diteliti dengan peneliti yang bersifat dependen, sehingga fakta yang diteliti dalam berbagai dimensi bersifat subjektif dan tidak bebas nilai (Ardial, 2014:520). Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy Nur Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma yaitu: (1) paradigma klasik yang mencakup positivisme dan post positivisme, (2) paradigma konstruktivisme (3) paradigma kritis (Bungin, 2008:237).
Paradigma inilah yang sangat mempengaruhi pandangan seseorang dalam mengambil suatu tindakan atau sesuatu hal apapun. Misalnya dua orang yang sama dihadapkan dengan suatu fenomena yang sama, atau suatu peristiwa yang sama, kemungkinan kedua orang tersebut akan memberi respon yang berbeda
(25)
terhadap fenomena atau peristiwa tersebut. Kedua orang tersebut juga akan menghasilkan penilaian, sikap, tindakan, bahkan pandangan yang berbeda juga. Perbedaan ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut memiliki paradigma yang berbeda, yang secara otomatis mempengaruhi persepsi dan tindakan komunikasinya.
2.1.1 Perspektif Konstruktivisme
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana (Ardianto & Q Anees, 2007:151).
Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk (Eriyanto, 2001:37).
Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang
membedakan alam semesta ke dalam tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau
keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.
Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia (Ardianto & Q Anees, 2007:153).
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan
(26)
bukan reproduksi kenyataan. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan (Ardianto & Q Anees, 2007 : 151-153).
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Konsep penting konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu (Ardianto & Q Anees, 2007:154).
Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujuk pada pengetahuan yang dikonstruksi sudah ada di benak subjek. Namun, konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi melainkan sebuah proses yang panjang dari sejumlah pengalaman. Ada banyak situasi yang memaksa seseorang untuk mengadakan perubahan. Menurut Bettencourt, situasi perubahan tersebut meliputi: konteks tindakan, konteks membuat masuk akal, konteks penjelasan, dan konteks pembenaran.
Pentingnya pengalaman dalam proses pengetahuan ini membuat proses
konstruksi membutuhkan beberapa kemampuan sebagai berikut: Pertama,
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kedua,
kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai
persamaan dan perbedaan. Ketiga, kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman
yang satu dari yang lain. Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat
membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia, antara lain Pertama,
konstruksi kita yang lama. Kedua, domain pengalaman kita. Ketiga, jaringan
struktur kognitif kita.
Paradigma konstruktivis ini, menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme menekankan bahwa
(27)
mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar belakang, dan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan paradigma konstruktivis, karena seperti yang dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk.
2.2Kajian Semiotik dalam Studi Komunikasi Massa
Teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Stephen Littlejohn dan Karen Foss (2005) menyatakan bahwa sistem yang abstrak ini didapatkan dari pengamatan yang sistematis. Jonathan H.
Turner (1986) mendefinisikan teori sebagai “sebuah proses mengembangkan ide
-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi (West & Turner, 2009:49).
Teori merupakan seperangkat proposisi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Namun, karena di dalam teori juga terkandung konsep teoritis yang berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi (Suyanto & Sutinah, 2005:34). Adapun teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:
2.2.1 Komunikasi Massa
Konsep komunikasi massa pertama kali diciptakan pada tahun 1920 atau 1930-an yang diterapkan pada kemungkinan baru untuk komunikasi publik yang muncul dari pers massa, radio, dan film. Media-media ini memperbesar khalayak potensial melampaui minoritas yang melek huruf. Hal yang baru secara esensial baru adalah gaya industrial dan skala organisasi produksi dan penyebaran. Media massa pers, radio, dan film yang waktu itu baru, bersama juga dengan musik rekaman, juga memunculkan varian baru dari „budaya populer‟.
Konteks untuk semua perkembangan ini adalah salah satu perubahan yang pesat di dunia industrialisasi baru dan negara yang tersentralisasi. Saat itu adalah
(28)
waktu untuk pertumbuhan dan konsentrasi populasi di kota-kota besar, mekanisasi dan birokratisasi di semua aspek kehidupan, serta ekspansi imperialis oleh para warga Eropa dan Amerika. Saat itu juga merupakan periode perubahan politik, pergerakan sosial, dan peperangan bencana antarnegara. Oleh sebab itu, media massa baru memainkan peranan mereka dalam peristiwa-peristiwa ini sebagaimana pula menyediakan alat relaksasi dan hiburan bagi massa.
Makna awal dari „komunikasi massa‟ dan yang masih bertahan, diambil sebagian besar dari gagasan orang sebagai „massa‟ dan dari karakteristik media
massa yang dipersepsikan. Kata „massa‟ dipersepsikan sebagai ukuran,
anonimitas, ketidaktahuan secara umum, kurangnya stabilitas dan rasionalitas, dan sebagai hasilnya mereka rentan terhadap persuasi dan saran (McQuail, 2011:308).
2.2.1.1Karakteristik Komunikasi Massa
Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling melengkapi. Jay Black dan Frederick C. Whitney mendefinisikan komunikasi massa sebagai sebuah proses dimana pesan-pesan diproduksi secara massal lalu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan heterogen. Melalui salah satu definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Nurudin, 2011 : 19-30):
1. Komunikator Melembaga
Komunikator adalah salah satu elemen komunikasi massa. Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, melainkan kumpulan orang, yang artinya gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga.
2. Komunikan Bersifat Heterogen
Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen karena, jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kelompok masyarakat. Satu sama lain tidak saling mengenal dan antarindividu itu tidak berinteraksi secara langsung.
(29)
Pesan-pesan dalam komunikasi masssa tidak ditujukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan-pesannya ditujukan pada khalayak yang plural.
4. Komunikasi Bersifat Satu Arah
Dikatakan satu arah karena ketika kita menerima informasi lewat media yang kita baca atau kita tonton, kita tidak bisa langsung memberikan respon kepada media massa yang bersangkutan, seperti halnya kita melakukan komunikasi tatap muka. Kalaupun bisa, sifatnya tertunda. Misalnya kita mengirimkan ketidaksetujuan pada berita itu melalui rubrik surat pembaca. Jadi, komunikasi yang berjalan satu arah akan memberi konsekuensi umpan balik yang sifatnya tidak langsung (delayed feedback). Dengan demikian, komunikasi massa itu berlangsung satu arah.
5. Komunikasi Menimbulkan Keserempakan
Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khlayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.
6. Komunikasi Dikontrol oleh Gatekeeper
Selain komunikator, elemen komunikasi massa yang lain adalah gatekeeper. Seperti yang telah diutarakan, bahwa gatekeeper adalah semua pekerja media, antara lain wartawan, editor film/surat kabar/buku, manajer pemberitaan, penjaga rubrik, kameramen, sutradara, dan lembaga sensor film yang semuanya mempengaruhi bahan yang akan dikemas dalam
pesan media massa masing-masing. Gatekeeper berfungsi untuk
menginterpretasikan pesan, menambah data, mengurangi pesan-pesan, dan menganalisis yang intinya mereka merupakan pihak yang ikut menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa.
7. Stimulasi Alat Indra Terbatas
Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya
(30)
mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.
2.2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa
Karlinah, dalam Karlinah, dkk (1999) mengemukakan fungsi komunikasi massa secara umum (Ardianto & Komala, 2004: 19-22) yakni: a. Fungsi informasi, yaitu diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan sesuai dengan kepentingan khalayak. Khalayak media massa berlangganan suratkabar, majalah, mendengarkan radio siaran atau menonton televisi karena mereka ingin mendapatkan informasi tentang peristiwa yang terjadi.
b. Fungsi pendidikan, yaitu media massa merupakan sarana pendidikan bagi khalayaknya. Karena media massa pada dasarnya direkomendasikan untuk lebih banyak menyajikan program yang sifatnya mendidik. Melalui program-program edukasi seperti olimpiade dan kuis yang menguji daya pikir masyarakat baik untuk siswa/anak sekolah maupun kalangan umum. Begitu juga dengan program serial yang bermutu untuk semua kalangan baik itu sinetron, ftv, film pendek, dan lain-lainnya.
c. Fungsi mempengaruhi, yaitu media massa secara implisit terdapat pada
tajuk/editorial, features, iklan, artikel, dan sebagainya. Khalayak dapat
terpengaruh oleh iklan-iklan yang ditayangkan televisi ataupun surat kabar.
d. Fungsi korelasi, yaitu fungsi yang menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya. Maka peran media massa sebagai penghubung antara berbagai komponen masyarakat. Sebuah berita oleh seorang reporter akan menghubungkan narasumber dengan pembaca/khalayak surat kabar.
e. Fungsi pengawasan, yaitu menunjuk pada pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita. Fungsi
pengawasan bisa dibagi menjadi dua, yakni warning or beware
surveillance atau pengawasan peringatan dan instrumental surveillance atau pengawasan instrumental.
f. Fungsi manipulasi lingkungan, manipulasi disini bukanlah diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Manipulasi lingkungan artinya berusaha untuk mempengaruhi. Setiap orang berusaha untuk saling mempengaruhi dunia dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dalam fungsi manipulasi, komunikasi digunakan sebagai alat kontrol utama dan pengaturan lingkungan.
(31)
Media massa cetak dalam arti luas merupakan media massa yang menyampaikan atau menyalurkan pesan komunikasi dalam bentuk kata-kata,
gambar tercetak, meliputi pamflet, bulletin, booklet, buku, surat kabar, dan
majalah yang ditujukan kepada massa. Akan tetapi dalam arti sempit, media massa cetak hanya terbatas pada surat kabar dan majalah yang mempunyai periodisitas seperti harian, mingguan, dan triwulan (Suwardi Lubis, 2011:21). Keberadaan majalah sebagai media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar. Sebagaimana surat kabar, sejarah majalah diawali dari negara-negara Eropa dan Amerika (Ardianto & Komala, 2004:109).
Di Inggris, majalah Review yang diterbitkan oleh Daniel Depoe pada tahun
1704. Bentuknya adalah antara majalah dan surat kabar, hanya halaman kecil, serta terbit tiga kali seminggu. Depoe bertindak sebagai pemilik, penerbit, editor, sekaligus sebagai penulis. Tulisannya mencakup berita, artikel, kebijakan nasional, aspek moral dan lain-lain. Tahun 1790, Richard Steele membuat majalah The Tatler, kemudian bersama-sama dengan Joseph Addison ia menerbitkan The Spectator. Majalah tersebut berisi masalah politik, berita-berita internasional, tulisan yang mengandung unsur-unsur moral, hiburan, dan gosip.
Di Amerika, Benjamin Franklin telah mempelopori penerbitan majalah
tahun 1740, yakni General Magazine dan Historical Chronicle. Tahun 1820-an
sampai 1840-an merupakan zamannya majalah (the age of magazines). Majalah
yang paling populer saat itu adalah Saturday Evening Post yang terbit tahun 1821,
dan majalah lainnya North American Review. Pada pertengahan abad ke-20 tidak
ada majalah sesukses Reader‟s Digest yang diterbitkan oleh Dewitt Wallace dan
Lila. Menyusul majalah Time oleh Henry Luce bersama dengan Briton Hadden,
kemudia ia juga menerbitkan majalah Life, Fortune, dan Sport Illustrated. Life
merupakan majalah berita yang banyak menggunakan foto (Ardianto & Komala, 2004:109).
Di Indonesia, sejarah keberadaan majalah sebagai media massa dimulai pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia. Tahun 1945 di Jakarta, terbit
majalah bulanan dengan nama Pantja Raja pimpinan Markoem Djojohadisoeparto
(MD) dengan prakata dari Ki Hadjar Dewantoro selaku Menteri Pendidikan pertama RI. Di Ternate, Arnold Monoutu dan dr. Hassan Missouri menerbitkan
(32)
majalah mingguan Menara Merdeka yang memuat berita-berita yang disiarkan
RRI. Menara Merdeka bertahan sampai tahun 1950 (Ardianto & Komala,
2004:110).
Majalah-majalah lain yang terbit setelah kemerdekaan, antara lain Pahlawan (Aceh), Sastra Arena (Yogyakarta) yang dipimpin oleh H. Usmar
Ismail, Sastrawan (Malang) yang diterbitkan oleh Inu Kertapati, dan Seniman
(Solo) pimpinan Trisno Soemardjo, penerbitnya adalah Seniman Indonesia Muda.
Siauw Giok Tjan menerbitkan majalah bulanan Liberty. Di Kediri, terbit majalah
berbahasa Jawa, Djojobojo, pimpinan Tadjib Ermadi. Para anggota Ikatan Pelajar
Indonesia di Blitar, menerbitkan majalah berbahasa Jawa, Obor (Suluh) yang
ditujukan untuk memberi penerangan bagi rakyat yang berada di pelosok-pelosok, yang pada umumnya belum bisa berbahasa Indonesia. Di Kediri, para pelajar juga
menerbitkan majalah tengah bulanan Pelajar Merdeka. Majalah untuk kaum
wanita dengan nama Wanita terbit di Solo dibawah pimpinan Sutiah Surjohadi.
Sedangkan majalah Soeara Perkis dan Bulan Sabit diterbitkan oleh Gerakan
Pemuda Islam Indonesia cabang Solo (Ardianto & Komala, 2004:110).
Majalah kontemporer secara umum dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu (Baran, 2012 : 185-186):
1. Majalah umum (trade), profesional, dan bisnis yakni majalah yang menyajikan cerita, tulisan khas, dan iklan yang ditujukan kepada masyarakat dengan profesi khusus dan didistribusikan oleh organisasi profesional itu sendiri atau perusahaan media seperti Whittle
Communication and Time Warner (Progressive Farmer).
2. Majalah industri, perusahaan, dan majalah bersponsor yakni majalah yang diproduksi oleh perusahaan secara khusus untuk para pekerja, pelanggan, atau pemegang sahamnya atau dibuat oleh klub dan asosiasi secara khusus untuk para anggotanya. Misalnya; AARP the Magazine adalah salah satu majalah untuk para anggota American Association for Retired Persons.
3. Majalah konsumen; yakni majalah yang dijual dengan cara berlangganan atau melalui tempat penjualan media cetak, toko buku, atau penjual
(33)
eceran, termasuk supermarket, garden shop, dan toko komputer. Sunset dan Wired masuk dalam kelompok ini.
Sedangkan menurut Dominick, berdasarkan segmentasi pembacanya, majalah diklasifikasikan menjadi (Sudarman, 2008 : 13-14):
1. Majalah konsumen umum (general consumer magazine), merupakan
majalah yang diperjualbelikan untuk umum, rubrik majalah tersebut bersifat umum, memiliki berbagai tulisan yang unik dan menarik bagi kalangan umum.
2. Majalah bisnis (business publication), yaitu majalah yang berkaitan
dengan dunia bisnis atau trade publication. Majalah jenis ini tidak dijual di
pasar atau tempat umum, karena sasaran pembacanya adalah kalangan tertentu yakni kaum profesional.
3. Majalah kritik sastra dan ilmiah (literacy reviews and academic journal),
yaitu pada umumnya majalah ini memiliki sirkulasi yang lebih sedikit, banyak diterbitkan oleh organisasi nonprofit, seperti universitas, yayasan profesional, dan lain sebagainya.
4. Majalah khusus terbitan berkala (newsletter), yaitu majalah yang biasanya
diterbitkan dalam bentuk khusus, didistribusikan secara gratis karena menyajikan berbagai produk sebagai media promosi yang profit dari pemasang produk.
5. Majalah humas (Public Relations Magazines), yaitu majalah yang
diterbitkan perusahaan untuk membangun citra baik (good image)
perusahaan terhadap publik, baik publik internal, seperti karyawan, maupun publik eksternal seperti pemegang saham, para pelanggan dan lainnya.
Pada umumnya, majalah memiliki karakteristik sebagai berikut (Sudarman, 2008:15).
Pertama, penyajian isinya lebih mendalam. Periodesitas terbitan majalah lebih lama daripada surat kabar (khususnya surat kabar harian). Ada yang satu minggu sekali (mingguan), dua minggu sekali (dwi mingguan), bahkan sebulan sekali (bulanan). Sehingga tulisan isi untuk majalah biasanya dibuat lebih
mendalam (in depth) agar tetap up to date.
Kedua, nilai aktualitasnya lebih lama. Apabila nilai aktualitas surat akbar cukup satu hari (khususnya surat kabar harian), maka nilai aktualitas majalah lebih lama lagi, sesuai dengan jarak waktu terbitannya. Biasanya isi tulisan majalah juga lebih tebal sehingga untuk membacanya tidak selesai satu kali duduk.
(34)
Ketiga, banyak menyajikan gambar atau foto. Penyajian gambar atau foto kaya akan warna dan lebih menarik serta berkualitas daripada surat kabar. Oleh sebab itu majalah lebih tebal dan memiliki halaman lebih banyak.
Keempat, sampul pada majalah dibuat lebih atraktif. Sampul dalam majalah ibarat pakaian yang dapat mengundang perhatian para calon pembacanya. Maka dari itu, ketertarikan pertama pembaca untuk memilih majalah mana yang ingin mereka baca adalah dari desain sampul yang menarik minat pembaca.
Mengulas tentang bagaimana majalah, seiring dengan perkembangan zaman, majalah sudah mengalami berbagai kemajuan. Jika pada zaman dahulu majalah hadir dalam bentuk cetak sederhana, maka saat ini majalah terbit dalam sajian yang menarik. Dengan kualitas cetakan yang tinggi serta kemasan yang sangat menarik, kini majalah semakin tersegmentasi. dengan mulai adanya
majalah khusus anak-anak seperti majalah Bobo, khusus wanita seperti Femina
dan Kartini, khusus olahraga seperti Sportif, khusus remaja seperti Gadis dan Kawanku, dan untuk bidang politik terdapat Tempo.
Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Pada praktiknya, apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan. Akan tetapi di atas semua itu, yang paling utama tentunya adalah kepentingan survival media itu sendiri, baik dalam pengertian bisnis maupun politis. Dalam kaitannya, kerap terjadi bahwa, “Kebenaran milik perusahaan” menjadi penentu atau acuan untuk kebenaran-kebenaran lainnya. Atas nama kebenaran milik perusahaan itulah realitas yang ditampilkan oleh media bukan sekadar realitas tertunda, namun juga realitas tersunting, suatu keadaan yang sebetulnya memang tidak bisa tidak harus dikembalikan ke faktor luar perusahaan itu sendiri, terutama sekali politik.
Di belakang realitas tersunting ini terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebarluaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebarluaskan. Tetapi, media bukan cuma menentukan realitas macam apa yang akan mengemuka, namun juga
(35)
siapa yang layak dan tidak layak masuk menjadi bagian dari realitas itu (Sobur, 2003:114).
Karena itu, salah satu cara untuk membantu pembaca menyikapi pers adalah lewat konteks pemberitaan. Pembaca dapat menyadari bahwa wartawan kadang menghidangkan “madu” dalam menu beritanya, kadang pula menuangkan “racun” dalam berita yang lain. Melalui konteks pemberitaan ini pembaca mengerti bahwa berita yang buruk bisa dibungkus dengan bahasa yang manis sehingga tampak samar-samar dan menyenangkan. Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas, maka, seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan. Pada hakikatnya, bahasa digunakan sebagai perangkat dasar bagi media, namun bukan hanya sebagai alat merepresentasikan realitas, tetapi juga bisa menentukan seperti apa relief yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya (Sobur, 2004 : 87-88).
Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. 2.2.2 Desain Komunikasi Visual
Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar
(ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, komposisi dan lay-out. Semua itu dilakukan
guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju (Tinarbuko, 2009:24). Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu (Tinarbuko, 2009:6).
Desain dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan melalui metode berpikir, berlandaskan ilmu pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Ia lahir karena ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan timbulnya
(36)
industrialisasi. Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan seni grafis murni. Menurut Suyanto, desain grafis didefinisikan sebagai aplikasi dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan industri. Sedangkan Blanchard mendefinisikan desain grafis sebagai suatu seni komunikatif yang berhubungan dengan industri, seni dan proses dalam menghasilkan gambaran visual pada segala permukaan (Sitepu, 2014 : 11-12).
Desain grafis yang merupakan rancangan sebuah pesan, menerapkan elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain (komposisi) dalam memproduksi sebuah karya visual. Desain grafis menerapkan beberapa prinsip, yakni: Kesederhanaan, Keseimbangan, Kesatuan, Penekanan dan Repetisi. Sedangkan
elemen-elemen yang diusungnya meliputi Garis, Bentuk, Ruang, Tekstur dan
Warna (Sitepu, 2004 : 6-7). Ilmu komunikasi kini lazim menyebut desain grafis sebagai desain komunikasi visual. Sebab, desain grafis pada dasarnya adalah pekerjaan berkomunikasi dimana pesan yang disampaikan adalah visual (grafis: gambar dan tipografi/elemen-elemen desain dalam seni). Beberapa penelitian membuktikan media komunikasi visual lebih efektif ketimbang media lainnya yang hanya mengandalkan teks (Sitepu, 2004:8).
2.2.2.1Elemen-elemen Desain Grafis
Keindahan sebagai kebutuhan setiap orang, mengandung nilai-nilai subjektivisme. Pemahaman yang baik pada elemen-elemen atau unsur-unsur desain grafis adalah wajib. Dalam penciptaan sebuah pesan komunikasi visual,
banyak elemen penting yang harus diperhatikan. Elemen tersebut adalah Garis,
Bentuk, Ruang, Tekstur, dan Warna. Berikut adalah penjelasannya: 1. Garis
Dalam desain grafis, garis dibagi menjadi empat bentuk, yakni vertikal horizontal, diagonal dan kurva. Selain digunakan sebagai penunjuk bagian-bagian tertentu dengan tujuan sebagai penjelas, garis juga digunakan untuk memisahkan posisi antara elemen grafis lainnya, atau garis bisa diterapkan untuk menjadi penunjuk arah mata pembaca. Model dan ketebalan garis juga mempengaruhi psikologi komunikan. Misalnya, sebuah garis putus-putus digunakan untuk menunjukkan adanya alur.
(37)
2. Bentuk
Menurut Sony Kartika, bentuk adalah suatu bidang yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah kontur (garis) dan atau dibatasi oleh adanya warna yang berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya tekstur. Bentuk bisa berupa wujud alam (figur) yang tidak sama sekali menyerupai wujud alam (non figur). Bentuk memiliki perubahan wujud berupa stilisasi, distorsi dan transformasi. Makna ini dikonstruksi dalam grafis dua dimensi. Lazim juga disebut area. Sedangkan dalam grafis 3 dimensi bentuk disamaartikan dengan massa.
3. Ruang
Ruang terjadi karena adanya persepsi mengenai kedalaman sehingga terasa jauh dan dekat, tinggi dan rendah, tampak melalui indra penglihatan (Kusmiati,
1999). Dalam beberapa praktiknya dikenal ruang kosong (white space),
merupakan tempat bernafas bagi pembaca/komunikan. Kosong bukan berarti apa-apa, hal tersebut juga merupakan pesan yang mendukung keseluruhan isi pesan komunikasi visual.
4. Tekstur
Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan (material), yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa, baik dalam bentuk nyata ataupun semu. Tekstur memperkuat dan mempertegas rasa dari karya desain grafis.
5. Warna
Warna merupakan nuansa visual yang direfleksikan oleh cahaya yang jatuh pada objek dan dipantulkan ke mata, cahaya memiliki spektrum (rangkaian sistematis) warna yang membantu kita mengenali warna. Pada saat kita melihat warna, sebenarnya kita melihat gelombang cahaya yang dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek yang kita lihat. Permasalahan mendasar dari warna
diantaranya adalah Hue (spektrum warna), Saturation (nilai kepekatan) dan
Lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang).
Menurut Brewster dalam teori warna miliknya (1831), warna dikelompokkan menjadi 4 kelompok warna, yaitu: warna primer, sekunder, tersier dan warna netral. Warna primer adalah warna dasar yang digunakan untuk
(38)
menciptakan warna sekunder. Warna juga dapat menciptakan persepsi psikologis bagi pembacanya. Leatrice Eiseman, seorang konsultan warna dan penulis buku More Alive With Color, memberi arti dari warna-warna tersebut, yaitu:
Biru memiliki arti kesetiaan, ketenangan, sensitif dan bisa diandalkan. Keabu-abuan memiliki arti serius, bisa diandalkan dan stabil. Merah Muda
memiliki arti cinta, kasing sayang, kelembutan dan feminin. Merah memiliki arti
kuat, berani, percaya diri dan bergairah. Kuning memiliki arti muda, gembira dan
imajinasi. Hitam memiliki arti elegan, kuat dan dewasa. Hijau memiliki arti
kesejukan, keberuntungan dan kesehatan. Sementara itu, Barker (1984:86, dalam Mulyana, 2005:377) mendeskripsikan karakter warna, sebagaimana dijelaskan berikut ini:
1) Merah
Warna merah melambangkan rangsangan, menggambarkan perlindungan dan sifat mempertahankan. Warna ini mengesankan tantangan, perlawanan dan permusuhan. Merah adalah energi yang kuat, menunjukkan erotisme, keberanian, simbol dari api. Warna ini dapat menjadi stopping point suatu pesan pada suatu desain.
2) Biru
Warna biru memberikan kesan aman dan nyaman, lembut dan menenangkan, perlindungan dan pertahanan, kalem, damai dan tentram. Warna biru juga mengesankan persahabatan, harmoni, kasih sayang dan dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang.
3) Oranye
Warna oranye menunjukkan suasana hati yang tertekan, terganggu dan bising.
Namun juga merepresentasikan keceriaan jika dipadu dengan warna lain. 4) Coklat
Warna coklat menunjukkan perlindungan dan pertahanan, kesedihan, kemurungan. Warna coklat juga menunjukkan persahabatan, pengalaman yang
panjang dan „dalam,‟ bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, produktivitas
dan kerja keras. 5) Putih
(39)
Warna putih menunjukkan kedamaian, kesucian, kemurnian, permohonan maaf, kejelasan, spiritualitas, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan. Warna putih menekankan dan menguatkan warna lain serta memberi kesan.
6) Hitam
Warna hitam melambangkan perlindungan, pertahanan, pengusiran, sesuatu yang negatif, kesedihan mendalam, kemurungan, ketidakbahagiaan, pertentangan dan permusuhan. Warna hitam mengesankan kemisteriusan dan berbahaya, kekayaan, ketakutan, kejahatan, perasaan yang dalam. Latar belakang warna hitam dapat memberikan ruang pada karya desain grafis.
7) Hijau
Warna hijau menunjukkan warna yang tenang, kalem, damai dan tenteram.
Menggambarkan bumi, kesuburan, pertumbuhan, umur yang masih muda. 8) Kuning
Warna kuning merupakan warna yang menyenangkan, keceriaan, riang, gembira dan harapan. Warna yang merujuk pada matahari ini, dapat merangsang dan menarik perhatian.
9) Ungu
Warna ungu menunjukkan keagungan dan kewibawaan, perlindungan dan pertahanan. Juga memberikan kesan tentang kekuatan spiritual, keagungan, kebangsawanan, misterius dan kepercayaan yang dalam. Hingga derajat tertentu, tampaknya ada hubungan antara warna yang digunakan dengan kondisi fisiologis dan psikologis manusia.
2.2.2.2Tipografi
Tipografi adalah sebuah disiplin khusus dalam desain grafis yang
mempelajari mengenai seluk beluk huruf (font). Tipografi dalam konteks desain
komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2009: 25)
Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya
(40)
merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini (Tinarbuko, 2009: 26):
1. Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal-tipis
dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.
2. Huruf Egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada
setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku.
3. Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau
kait.
4. Huruf Miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya
daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.
5. Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat
spontan.
Sementara itu, Danton Sihombing (2001:96 dalam Tinarbuko, 2009:26) mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya:
1. Old Style, jenis huruf ini meliputi: Bembo, Caslon, Galliard, Garamond. 2. Transitional, jenis huruf ini meliputi: Baskerville, Perpetua, Times New Roman.
3. Modern, jenis huruf ini meliputi: Bodoni
4. Egyptian atau Slab Serif, jenis huruf ini meliputi: Bookman, Serifa.
5. Sans Serif, jenis huruf ini meliputi: Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mudah-tidaknya ketersampaian sebuah pesan verbal yang terkandung dalam karya desain komunikasi visual, di antaranya (Tinarbuko, 2009: 27):
Pertama, latar belakang, yakni warna dasar dan tekstur kertas yang digunakan. Teks akan terlihat jelas manakala keberadaan warna latar dan hurufnya cukup kontras.
Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6
sampai 10 point, juga disesuaikan dengan keluarga huruf yang ingin ditampilkan.
Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk
pengembangan: (1) kelompok berat terdiri atas light, regular dan bold. (2)
Kelompok proporsi condesed, regular dan extended. (3) kelompok kemiringan
(41)
Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika membaca. Dalam praktik desain grafis, pemilihan, pengolahan dan penerapan huruf sebaiknya tidak dilakukan sembarangan. Pemilihan warna dan elemen-elemen desain grafis dalam desain komunikasi visual memiliki maksud dan tujuan, yang mendukung isi inti informasi yang hendak disampaikan.
2.2.3 Kajian Semiotik di Media
2.2.3.1Pengertian dan Macam-macam Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang
berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu–yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya–dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota. Secara terminologis, semiotika diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks, narasi/wacana tertentu. (Wibowo, 2011:5).
Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah „tanda‟ yang
diartikan sebagai a stimulus designating something other than itself (suatu
stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri). Menurut John Powers, pesan memiliki tiga unsur, yaitu tanda dan simbol, bahasa, dan wacana (discourse) (Morrisan, 2010:173). Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika. Menurutnya, kajian semiotika dapat dibedakan ke
dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni (Wibowo, 2011:4):
(1) Sintaktik (syntactic) atau sintaksis (syntax): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain.
(2) Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang
(42)
objek-objek yang diacunya. Designata: tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.
(3) Pragmatik (pragmatics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan
interpreter-interpreter atau para pemakainya.
Sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotika yang kita kenal sekarang, yaitu (Pateda dalam Sobur, 2004 : 100-101):
1) Semiotika analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Charles S. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.
2) Semiotika deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dulu hingga sekarang tetap seperti itu.
3) Semiotika faunal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, namun juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti.
4) Semiotika kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain. 5) Semiotika naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam
narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi.
6) Semiotika natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur.
7) Semiotika normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu-lintas. Di ruang kereta apai sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.
8) Semiotika sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.
(43)
9) Semiotika Struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
2.2.3.2Tokoh-tokoh Semiotika
1. Charles S. Pierce
Charles Sanders Pierce merupakan tokoh yang menjadi pendiri
pragmatisme. Pierce terkenal karena teori tandanya. „Tanda‟, menurut Pierce
adalah “…something which stands to somebody for something in some respect or
capacity”. Definisi Pierce menunjukkkan peran „subjek‟ (somebody) sebagai
bagian tak terpisahkan dari proses signifikasi. Model triadic yang digunakan
Pierce (representamen + object + interpretant = sign) memperlihatkan peran besar subjek ini dalam proses transformasi bahasa. melihat Rumus sederhana Pierce menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan suatu fakta (atau objek B), kepada penafsirnya yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian, tetapi memiliki ketiga aspek tersebut. Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari
Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya–unsur pengantara–
adalah contoh Keketigaan.
Bagi Pierce, sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam
hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini,
Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi (Sobur, 2004:41):
1. Hubungan penalaran dengan jenis penandanya:
a. Qualisigns : penanda yang bertalian dengan kualitas, adalah tanda-tanda yang merupakan tanda-tanda berdasarkan suatu sifat.
b. Sinsign : penanda yang bertalian dengan kenyataan, adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan.
c. Legisign : penanda yang bertalian dengan kaidah, adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode.
(44)
a. icon/ikon : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya (terlihat pada gambar atau lukisan);
b. index/indeks : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya;
c. symbol/simbol : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.
3. Hubungan pikiran dengan jenis petandanya (berdasarkan interpretant):
a. rheme or seme : penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir;
b. dicent or decisign or pheme : penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya;
c. argument : penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah (Sobur, 2004 : 97-98).
Triadik atau disebut sebagai teori segitiga makna (triangle meaning), yang
menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi adalah apa yang dikupas dari teori segitiga makna. Hubungan teori segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan dalam gambar berikut (Fiske dalam Sobur, 2004:115):
Gambar 1.2 Elemen Makna Pierce
Sign
Interpretant Object
Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.42 dalam (Sobur, 2004:115).
(45)
2. Ferdinand De Saussure
“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern, dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand De Saussure”. Selain sebagai seorang ahli linguistik, dia juga seorang spesialis bahasa-bahasa Indo Eropa dan Sansekerta (Wibowo, 2013:20). Saussure dilahirkan di Jenewa pada 1857 dalam sebuah keluarga yang sangat terkenal di kota itu karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Ia hidup sezaman dengan Sigmund Freud dan Emile Dukheim meski tidak banyak bukti bahwa ia sudah pernah berhubungan dengan mereka (Sobur, 2004:45).
Karyanya disusun dari tiga kumpulan catatan kuliah saat memberi kuliah linguistik umum di Universitas Jenewa pada tahun 1907, 1908-1909, dan
1910-1911 kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Course In General
Linguistics. Kita mengenalnya dengan istilah “strukturalisme” dalam (Sobur, 2004:44). Dikatakan strukturalisme karena pada saat itu, studi bahasa hanya
berfokus pada perilaku linguistik yang nyata (Parole). Saussure justru
menggunakan pendekatan anti historis yang melihat bahasa sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara internal atau dalam istilah Saussure disebut Langue (Wibowo, 2013:20).
Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang di kemudian hari
menjadi peletak dasar dari strukturalisme, yaitu pandangan tentang (1) signifier
(penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue
(bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchronic (sinkronik) dan diachronic
(diakronik); (5) syntagmatic (sintagmatik) dan paradigmatic (paradigmatic)
(Sobur, 2004:46).
Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan
melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified
(petanda).
(1) Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dan dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut
(1)
akhirnya mati dibunuh seorang pahlawan bernama Perseus, dalam hal ini
telah menyerupai Malinda Dee dengan karakter wanita tersebut. Medusa
yang bangga akan kecantikannya, dianalogikan dengan Malinda Dee yang
bangga akan keberhasilannya mempengaruhi para calon nasabah. Medusa yang setelah dikutuk menjadi monster berambut ular akhirnya bertindak meresahkan masyarakat pada saat itu, dianalogikan dengan Malinda yang mengganggu dengan mempengaruhi para kliennya untuk mengikuti apa keinginannya. Medusa yang dapat seketika mengubah orang yang menatap matanya, menjadi patung batu, dianalogikan dengan karakter Malinda dalam karikatur tersebut yang juga mengubah wujud para pria tersebut menjadi patung seluruhnya.
5. Representasi pemberitaan Malinda Dee melalui teks berita terkait edisi 11
April 2011 yang memuat empat judul yang telah dilakukan analisis sebelumnya, kali ini lebih menggambarkan situasi serta kondisi yang terlihat pada Malinda baik fisik maupun mental setelah ia diduga kuat sebagai pelaku utama penggelapan uang nasabah tersebut. Maka beberapa
istilah yang muncul untuk mendeskripsikan sosoknya seperti: bak
selebritas, takluk, di atas punggung, keramahan, menggaet, menggangsir, memainkan, ibu tiga anak itu, anggun, perempuan 47 tahun ini, bersuamikan pemain sinetron muda, canggih, membalut tubuhnya, menutupi dadanya, keningnya yang mulus, takluk, keramahan, menggaet, memainkan, anggun, menggangsir, canggih, poni khasnya, dan lain sebagainya.
6. Dan yang terakhir adalah beberapa istilah kata yang menurut peneliti tidak
termasuk ke dalam kata baku, sehingga kalimat yang terselip istilah kata tersebut tidak lagi menjadi kalimat yang baku, seperti beberapa istilah
berikut: mejeng, bohai, fulus, nge-hits, duit, kelewat, ngeh, enteng, nongol,
(2)
5.2 Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan penulis adalah:
1. Saran penelitian
Alangkah baiknya bila penelitian yang akan datang lebih menyoroti ke dalam lagi adanya pemberitaan media, baik cetak, elektronik, maupun media baru yang mengarah pada bahasa pemberitaan yang memarjinalkan serta mendiskriminasikan kaum perempuan walaupun, dalam kasus tersebut perempuan yang diduga sebagai pelaku utamanya. media itu, baik media yang sudah dikenal lama sebagai media berkualitas dan media terbesar nasional, tetap saja harus memiliki kode etik jurnalistik. Tidak ada larangan secara konkret bagi khalayak media khususnya para jurnalis/wartawan dalam mengangkat segi kehidupan pribadi objek pemberitaan, namun pemilihan bahasa sampai saat ini semakin sering mengarah pada hal yang lebih memposisikan wanita pada tempat yang tersudut.
2. Saran dalam kegiatan akademis
Diharapkan adanya mata kuliah yang khusus mengkaji tentang analisis semiotika komunikasi, guna meningkatkan pengetahuan dan mempertajam daya analisis mahasiswa dalam mengungkap gejala/fenomena yang muncul di media massa.
Para peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih menelusuri kajian analisis semiotika agar dapat memahami dengan mudah ketika masuk pada proses penelitian tidak menemui kesulitan ataupun hambatan sehingga diperoleh hasil analisis yang lengkap serta terperinci.
3. Saran dalam kegiatan praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan khalayak lebih memahami bagaimana media massa menggunakan istilah bahasa yang membawa alur informasi ke arah pemberitaan yang memarjinalkan objek yang diberitakan, khususnya pada pemberitaan kasus yang menyeret wanita sebagai pelaku kejahatan maupun korban. Oleh sebab itu, perlu filter untuk menyaring sumber berita yang diperoleh dari berbagai jenis media apapun agar informasi dapat diterima dengan seimbang.
(3)
DAFTAR REFERENSI
Ardial, H. (2014). Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Ardianto, Elvinaro & Bambang Q Anees. (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Ardianto, Elvinaro & Lukiati K. Erdinaya. (2004). Komunikasi Massa: Suatu
Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Arivia, Gadis. (2003). Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan
Baran, Stanley J. dan Dennis K. Davis (2009). Teori Komunikasi Massa: Dasar,
Pergolakan, dan Masa Depan. Jakarta: Salemba Humanika.
Barthes, Roland (2007). Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Biagi, Shirley (2010). Media/Impact: Pengantar Media Massa. Jakarta: Salemba
Humanika.
Bungin, Burhan. (2008). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Daulay, Harmona. (2007). Perempuan dalam Kemelut Gender. Medan: USU
press.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKiS.
Fradina Dwi Safitri, (2012). Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi.
Medan: Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga.
J. Moleong, Lexy. (2006). Metodologi Peneltian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Kriyantono, Rakhmat. (2008). Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Kusmiati, Artini R, dkk. (1999). Teori Dasar Desain Komunikasi Visual. Jakarta:
Djambatan.
(4)
Mulyana, Dedy (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nawawi, Hadari. (2001). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Nurudin. (2003). Komunikasi Massa. Malang: Cespur.
_______. (2011). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Rakhmat, Jalaluddin, 2001. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rina Maria, (2013). Representasi Sensualitas Perempuan Dalam Video Game.
Medan: Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Sitepu, Vinsensius (2004). Panduan Mengenal Desain Grafis. www.escaeva.com.
Sobur, Alex. (2003). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
_________. (2004). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sony Kartika, Dharsono. (2004). Seni Rupa Modern. Bandung: Rakayasa Sains.
Sudarman, Paryati. (2008). Menulis di Media Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti & Itsna Hadi Saptiawan. (2007). Gender dan Inferioritas Perempuan:
Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sunarto dan Hermawan (2011). Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi.
Jakarta: ASPIKOM.
Suyanto, Bagong & Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan. Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group.
Tinarbuko, Sumbo (2009). Semiotika Komunikasi Visual: edisi revisi.
Yogyakarta: Jalasutra.
Usman, Husaini & Purnomo Setiady Akbar. (2009). Metode Penelitian Sosial.
Jakarta: Bumi Aksara.
Vardiansyah, Dani. (2008). Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta:
PT. INDEKS.
West, Richard & Lynn H. Turner. (2009). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis
(5)
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. (2011). Semiotika Komunikasi: Aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
__________________________. (2013). Semiotika Komunikasi: Aplikasi praktis
bagi penelitian dan skripsi komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Zahrawi, Muhammad. (2015). Konstruksi Media Massa dalam Sampul Depan
Majalah. Medan: Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Sumber Internet
http://majalah.tempo.co/konten/2011/04/04/OPI/136370/Rekening-Gendut-Malinda-Dee/05/40 diakses pada 28 April 2015, 4.30 pm
http://majalah.tempo.co/konten/2011/04/11/LU/136415/Si-Barbie-Masih-Sendiri/06/40 diakses pada 28 April 2015, 4.37 pm
http://m.merdeka.com/profil/indonesia/i/inong-malinda/ diakses pada 28 April 2015, 8.03 pm
http://korporat.tempo.co/tentang/sejarahdiakses pada 7 Juli 2015, 02.02 pm
http://www.tempo.co/about/ diakses pada 7 Juli 2015, 02.18 pm
http://www.majalah.tempo.arsip.codiakses pada 15 Juli 2015, 10.10 am
https: //id.m.wikipedia.org/wiki/Mona_Lisa. diakses pada 14 September 2015, 12.00 pm
(6)
BIODATA PENELITI
Nama/NIM : Ghassani Shabrina Lubis/110904060
Tempat/Tanggal Lahir : Firdaus, 28 September 1993
Departemen : Ilmu Komunikasi FISIP USU
Alamat : Jl. Mesjid No. 10 Kelurahan P. Brayan Bengkel
Email : ghassanilubis18@gmail.com
Orangtua
Ayah : Budianto Somad Lubis
Ibu : Sri Wahyuni Kasim
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Nama Saudara Kandung : Teguh Putra Wahyudi Lubis (Abang)
Agama : Islam
Pendidikan : 1998-1999
TK YWKA (Yayasan Wanita Kereta Api) Medan 1999-2005
SD Pertiwi Medan 2005-2008
SMP Laksamana Martadinata Medan 2008-2011
SMAN 7 Medan 2011-2015