Laporan Farmokognosi Minyak Atsiri dan
KADAR MINYAK ATSIRI DAN ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT DALAM JAMU ATAU
BAHAN TRADISIONAL
A. Tujuan
1. Menentukan kadar minyak atsiri dalam sampel kumis kucing (Orthosiphon aristatus)
2. Menentukan kualitas bahan kimia obat dalam jamu atau bahan tradisional.
B. Teori Dasar
Minyak atsiri, atau yang dikenal juga sebagai volatile oil, atau essential oil, adalah cairan
pekat yang tidak larut air, mengandung senyawa-senyawa beraroma yang berasal dari berbagai
tanaman. Disebut essential oil karena bersifat khas sebagai pemberi aroma atau bau. Minyak
atsiri biasanya terdiri dari senyawa organik yang bergugus alkohol, aldehid, keton, dan berantai
pendek. Kadar minyak atsiri dapat menunjukkan kualitas dari simplisia yang diperiksa. Minyak
atsiri ini umumnya diperoleh dengan cara destilasi, juga dapat diperoleh melalui proses mekanik
(pemerasan tanaman), dan ekstraksi pelarut.
Bahan kimia obat digunakan sebagai istilah untuk bahan dasar obat yang berasal dari zat
kimia. Adanya bahan kimia obat yang dilarang atau melebihi kadar yang dipersyaratkan dan
bahan tambahan berbahaya dalam obat dan makanan, akan menyebabkan ketidaktenangan pada
pengkonsumsinya. Pasalnya setelah mengkonsumsi produk tersebut, akan memunculkan
beberapa efek samping yang tidak pernah diharapkan oleh konsumen.
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Labu alas bulat satu liter
Timbangan
Mantel pemanas
Stirrer magnetic
Pendingin
Alat penampung berskala
Gelas kimia secukupnya
Chamber dan kertas KLT
Kertas saring dan timbang
UV
Pipet tetes
1
2. Bahan
Sampel kumis kucing dan sampel jamu
Dua bahan pembanding (BKO)
Air suling
Toluene
Pelarut metanol : kloroform (7:3 ; 9:1)
D. Prosedur
D.1 Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Alat destilasi dan sampel serta bahan lain (kumis kucing, aquadest, xylene) disiapkan, sampel
dilarutkan dalam aquadest, batu didih dimasukkan ke dalamnya. Tabung destilasi diisi aquadest
dan ditambahkan xylene ke tabung vertikal berskala. Dilakukan pendidihan dengan batu didih.
D.2 Analisis Bahan Kimia Obat dalam Jamu
Alat disiapkan, larutan sampel dan larutan pembanding dilarutkan dalam etanol. Chamber KLT
dijenuhkan, lempeng silika digaris bawahi untuk tempat penotolan. Larutan sampel dan
pembanding ditotolkan pada spot lempeng. Proses elusi dilakukan, dan setelah sempurna,
lempeng dikeringkan dan dilihat di bawah sinar UV.
E. Data dan Pengolahan
E.1 Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Diketahui :
Berat sampel uji
= 2 gr
Volume minyak atsiri
= 0,4 mL
Volume xylena
= 0,2 mL
Maka kadar minyak atsiri dalam sampel :
Jadi % v/b = 0,1 % mL / gr
Menurut referensi : 0,02 % v/b – 0,06 % v/b (Materia Medika Indonesia Jilid I dan IV)
Dirata-ratakan =
Maka galat yang diperoleh adalah sebesar :
= 0,04% v/b
2
E.2 Analisis Bahan Kimia Obat dalam Jamu
No
Jenis Fase
gerak
Bahan uji
Dexamethaso
1
n
2
Paracetamol
X (cm)
Y
(cm)
Nilai Rf (
0.6
= 0.14
4.1
0.3
= 0.073
4.1
0.7
0.6
Terdapat
Kloroform:
4 spot:
metanol =
0.8
9:1
3
Sampel Jamu
4.1
1.5
2.3
3.3
4
5
Dexamethaso
2.8
Kloroform:
n
metanol =
Paracetamol
2.5
Sampel Jamu
2.9
7:3
6
x
)
y
3.9
0.8
4.1
1.5
4.1
2.3
4.1
3.3
4.1
2.8
3.9
2.5
3.9
2.9
3.9
=0.195
=0.36
= 0.56
= 0.80
= 0.71
= 0.64
= 0.74
F. Pembahasan
F.1 Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Minyak atsiri merupakan suatu zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini
disebut juga minyak menguap, minyak eteris, minyak esensial karena pada suhu kamar mudah
menguap. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya.
Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada
penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus
disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan di
tempat yang kering dan sejuk (Gunawan & Mulyani, 2004).
Minyak atsiri atau disebut juga volatil oil atau essential oil adalah istilah yang digunakan
untuk minyak mudah menguap dan diperoleh dalam tanaman (daun, bunga, buah, kulit batang
dan akar) dengan cara destilasi. Minyak atsiri bukanlah senyawa murni, akan tetapi merupakan
campuran senyawa organik yang seringkali tersusun lebih dari 25 senyawa atau komponen yang
berlainan. Sebagian komponen minyak atsiri adalah senyawa yang mengandung karbon dan
hidrogen, atau karbon, hidrogen, dan oksigen yang tidak bersifat aromatik. Senyawa-senyawa ini
secara umum disebut terpenoid (Guenther, 2006).
Minyak atsiri telah digunakan untuk mengatasi dyspepsia, gastritis, gangguan sirkulasi
darah dan penyakit inflamatori di banyak negara sejak zaman dahulu kala. Aktivitas yang
3
signifikan dari minyak atsiri sebagai antialergi, antipiretik, anaestetik dan analgesik dari berbagai
varietas yang telah diteliti. Di Indonesia sendiri minyak atsiri sudah banyak dimanfaatkan, mulai
dari pemanfaatan bau dari minyak atsiri itu sendiri sampai penggunaan minyak atsiri sebagai
obat-obatan dan aditif makanan.
Pada umumnya faktor-faktor perbedaan komposisi minyak atsiri disebabkan perbedaan
jenis tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panenan, metode ekstraksi
yang digunakan dan cara penyimpanan minyak. Kemudian dalam satu spesies yang sama, namun
lokasi tumbuh berbeda, komposisi kimia yang dihasilkan cukup variatif. Hal ini disebabkan
adanya hubungan kimiawi antara komponen kimia minyak atsiri dengan proses metabolisme
sekunder yang terjadi dalam tanaman. Proses ini dipengaruhi oleh ekosistem dan tantangan alam
seperti iklim, cuaca, dan kondisi tanah (Danha, 2009). Profil mengenai minyak atsiri lebih
jelasnya dapat dilihat di bagian lampiran.
Pada percobaan penentuan kadar minyak atsiri ini, digunakan metode destilasi. Destilasi
yang kami lakukan adalah destilasi dengan sistem rebus (water distillation), yaitu dengan cara
memasukkan sampel ke dalam labu destilasi/labu alas bundar yang telah diisi air dan dipanaskan.
Zat cair pada bahan dengan titik didih yang rendah akan menguap terlebih dahulu. Uap yang
terdiri dari air serta minyak akan dikondensasi untuk diubah kembali menjadi zat cair dalam
suatu wadah. Kondensor ini berfungsi untuk mendinginkan dan mengembunkan uap yang keluar
dari tungku destilasi. Cara destilasi ini tidak cocok untuk bahan/sampel yang tidak tahan panas.
Proses penyulingan/destilasi dimulai dengan proses pemanasan atau pendidihan. Proses
pendidihan tersebut menggunakan batu didih yang telah dimasukkan ke dalam labu sebelumnya.
Batu didih tersebut berfungsi untuk meratakan panas, sehingga panas menjadi homogen pada
seluruh bagian larutan, mempercepat proses pendidihan sampel, dan untuk mencegah timbulnya
letupan/ledakan (bumping) ketika pemanasan. Prinsipnya, minyak atsiri yang dikandung sampel
akan menguap (karena memiliki titik didih yang rendah, dan lebih rendah dari titik didih air),
kemudian melalui kondensor dan akan melewati tabung vertikal berskala yang telah ditambahkan
xylene sebelumnya, dimana fungsi dari xylene ini adalah untuk mengikat dan menaikkan daya
kohesi minyak atsiri, sehingga tidak menempel pada dinding tabung dan tidak larut dalam air
yang digunakan. Selain itu, xylene ditambahkan pada bagian tabung vertikal berskala dan bukan
ditambahkan atau dicampurkan langsung dengan air dan sampel dalam labu yang akan
dididihkan karena xylene ini dapat mengikat minyak atsiri dan titik didihnya lebih tinggi dari air
yaitu sekitar 140oC, sehingga jika ditambahkan langsung dengan sampel dan air, sewaktu
pendidihan yang akan mendidih terlebih dahulu adalah air. Zat yang memiliki titik didih yang
lebih rendah akan menguap terlebih dulu (Anonim, 2013). Sehingga, proses pemisahan minyak
tidak akan berjalan dengan baik karena air untuk mengekstraksi minyak atsiri tersebut telah
menguap terlebih dahulu pada suhu 100oC, dan dibawah suhu 100oC minyak atsiri yang telah
terekstraksi dari sampel akan diikat oleh xylene, sehingga tidak akan teruapkan. Setelah jumlah
4
minyak atsiri tidak bertambah-tambah, proses pendidihan pun dihentikan, dan didapatkan minyak
atsiri sekitar 0.2 mL.
Dari hasil percobaan, didapatkan kadar minyak atsiri dalam sampel kumis kucing sebesar
0,1 % mL/gr. Sedangkan, menurut referensi, kadar minyak atsiri yang seharusnya terkandung
adalah sebesar 0,02 % v/b – 0,06 % v/b (Materia Medika Indonesia Jilid I dan IV). Galat sebesar
150% ini dapat disebabkan karena terkontaminasinya sampel dengan zat-zat asing yang datang
dari udara atau alat set destilasi sehingga penentuan kadar minyak atsiri terganggu. Bisa juga
disebabkan karena terdapat gelembung pada larutan saat didistilasi.
Menurut literatur, tumbuhan kumis kucing pada penyulingan uap menghasilkan minyak
atsiri yang antara lain mengandung beberapa senyawa seskuiterpen seperti beta-selinen, betaelemen, beta-bourbonen, alfa-guaien, beta-kariofilen oksid, dan beta-humulen sebagai komponen
utama (Schmidt, 1986; Scut, 1986). Namun pada percobaan kali ini, tidak dilakukan penentuan
jenis-jenis senyawa minyak atsiri yang ada pada sampel kumis kucing.
F.2 Analisis Bahan Kimia Obat dalam Jamu
Dalam praktikum ini dilakukan analisis bahan kimia obat dalam sampel jamu. Baik sampel
jamu ataupun bahan pembanding (paracetamol dan dexamethasone) dilarutkan dalam etanol.
Penggunaan dexamethasone dan paracetamol sebagai pembanding disebabkan karena kedua
senyawa tersebut merupakan senyawa kimia obat yang sering ditemukan pada jamu. Karena
metode yang digunakan untuk menganalisis bahan kimia obat adalah kromatografi lapis tipis,
maka harus dibuat fasa gerak dan fasa diam. Dalam percobaan ini terdapat dua fasa gerak yang
digunakan, yaitu kloroform:methanol 7:3 dan kloroform:methanol 9:1. Penggunaan dua pelarut
yang berbeda bertujuan untuk membandingkan dalam pelarut mana senyawa dapat terelusi
sempurna. Pelarut yang digunakan merupakan pelarut campur (kloroform dan methanol) dengan
tujuan agar mendapatkan kepolaran yang diinginkan. Jika pelarut yang digunakan hanya
kloroform yang memiliki sifat non-polar, maka senyawa akan terikat sangat kuat dengan pelarut
tersebut sehingga senyawa akan terelusi sangat cepat dan dapat keluar dari sistem atau senyawa
tidak dapat terdeteksi. Oleh karena itu, kloroform dicampur dengan methanol yang bersifat lebih
polar dari kloroform. Fasa diam yang digunakan adalah silica gel GF 254 yang memiliki sifat
lebih polar dibanding pelarut dan mengandung pengikat gypsum (CaSO 4/polimer). Sampel yang
digunakan harus memiliki gugus yang dapat berfluorosensi di bawah sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm sehingga saat dideteksi dibawah sinar UV bercak dapat terlihat dan nilai Rf
dapat dihitung.
Chamber/bejana yang digunakan pada KLT harus dijenuhkan terlebih dahulu
menggunakan kertas saring dan masing-masing pelarut. Cara menjenuhkan bejana ini adalah
dengan melapisi dinding bejana dengan kertas saring, lalu teteskan masing-masing pelarut dan
5
biarkan pelarut tersebut terserap sempurna oleh kertas saring. Tujuan dilakukannya penjenuhan
ini adalah untuk menyamakan tekanan uap pelarut sehingga saat proses pemisahan, pelarut akan
naik dalam waktu yang bersamaan sehingga hasil yang didapat akan lebih akurat.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada percobaan kali ini, digunakan
metode kromatografi lapis tipis untuk analisis bahan kimia obat dalam sampel. Kromatografi
sendiri adalah teknik pemisahan campuran yang didasarkan atas perbedaan migrasi dan distribusi
antara komponen-komponen campuran diantara dua fase, yaitu fase diam (padat atau cair) dan
fase gerak (dapat berupa cair atau gas). Fasa diam merupakan fasa yang tidak bergerak, senyawa
yang digunakan dapat berupa silica gel (SiO2) atau alumina (Al2O3). Fasa gerak merupakan
fasa yang bergerak melalui fasa diam dan membawa komponen-komponen yang akan
dipisahkan, menggunakan suatu pelarut organik atau campuran beberapa pelarut organic
(Brooker et al. 1981).
Prinsip yang digunakan dalam pemisahan tersebut meliputi proses adsorpsi, elusi, dan
desorpsi. Proses adsorpsi merupakan proses penyerapan pada lapisan permukaan dimana molekul
atau senyawa terkumpul pada bahan adsorben dalam hal ini adalah fase diam yang terbuat dari
silica gel. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan adsorpsi suatu adsorben,
diantaranya adalah sebagai:
1.
Luas permukaan adsorben
Semakin luas permukaan adsorben maka semakin banyak adsorbat yang diserap sehingga
proses adsorpsi semakin efektif.
2.
Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel yang digunakan maka semakin besar kecepatan
adsorpsinya.
3.
Waktu kontak
Semakin lama waktu kontak dapat memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul
adsorbat berlangsung lebih baik.
4.
Distribusi ukuran pori
Distribusi pori akan mempengaruhi distribusi ukuran molekul adsorbat yang masuk ke
dalam partikel adsorben. Kebanyakan adsorben merupakan bahan yang sangat berpori dan
adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori. (Kiranoudis et al. 1992)
6
Fase gerak akan melewati lapisan sepanjang fasa diam dan akan mengelusi campuran
menjadi senyawa-senyawa penyusunnya, hal ini sangat ditentukan oleh tingkat kepolaran
senyawa dibanding fase gerak dan fase diam, sehingga menentukan interaksi keduanya.
Sedangkan desorpsi merukan pelepasan kembali molekul atau senyawa yang telah berikatan
dengan gugus aktif pada adsorben akibat interakasi yang lebih kuat antara senyawa dengan fase
gerak daripada dengan fase diam. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen (fase
gerak) maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. (Park et al. 2002).
Pada percobaan kali ini, digunakan dua macam pelarut, yaitu pelarut kloroform: methanol
= 7:3 dan 9:1. Pada pelarut 7:3 diketemukan satu bercak pada sampel yang sejajar dengan bercak
pada standar dexamethasone, setelah dihitung nilai Rf keduanya juga memiliki hasil yang
berdekatan, yaitu 0.71 untuk nilai Rf dexamethasone dan 0.74 untuk nilai Rf sampel. Pada
standar selain dexamethasone juga digunakan paracetamol yang memilkiki nilai Rf 0.64.
Kandungan paracetamol tidak terindikasi keberadaannya pada sampel, hal ini karena nilai Rf
yang berjauhan antara paracetamol dan sampel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel jamu
yang diuji mengandung dexamethasone dan bukan paracetamol. Hal ini dilihat dari kedekatan
nilai Rf hasil uji sampel dengan dexamethasone.
Hasil berbeda ditunjukkan pada pelarut 9: 1 dimana tidak ditemukan bahan kimia obat
karena tidak ada bercak/ totolan pada sampel yang memiliki Rf yang sama dengan Rf yang
dimiliki dexamethasone dan paracetamol. Pada pelarut 9:1 ini sampel terelusi menjadi beberapa
spot bercak, hal ini menunjukkan kandungan kimia yang dapat terpisah komponenkomponennya, warna bercak tersebut diantaranya terdiri dari tiga bercak yang berwarna kuning
hingga kuning kecoklatan. Berdasarkan pengamatan hasil ekstraksi pada sampel melalui
pengamatan organoleptik, dapat diperkirakan sampel adalah kunyit. Bercak ini menunjukkan
kandungan kimia dalam kunyit yang terdiri dari kurkumin, bisdemetoksikurkumin, dan
demetoksikurkumin. Ketiga senyawa ini memiliki tingkat kepolaran yang berbeda sehingga
dengan metode KLT ini ketiga senyawa ini dapat dipisahkan. Kurkumin adalah senyawa yang
paling nonpolar merupakan bercak ke tiga, sedangkan yang paling polar adalah
demetoksikurkumin yang merupakan bercak pertama dan diantaranya adalah bercak kedua yang
merupakan bisdemetoksikurkumin. Selain ketiga bercak tersebut, terdapat pula bercak keunguan
yang timbul pada bagian atas silica. Bercak ungu ini diduga adalah kandungan kimia yang lain
dan dapat pula merupakan bahan kimia obat. Namun bercak ini memiliki Rf yang sangat jauh
berbeda dengan dexamethasone dan paracetamol. Rf bercak ungu pada sampel memiliki nilai Rf
0.8 sedangkan dexamethasone memiliki Rf 0.14 dan paracetamol Rf nya sebesar 0.073.
Sehingga, dapat disimpulkan dalam KLT dengan menggunakan pelarut kloroform:methanol =9:1
sampel jamu tidak mengandung bahan kimia obat dexamethasone maupun paracetamol.
7
Pada percobaan yang menggunakan dua macam pelarut yaitu kloroform:methanol dengan
perbandingan 9:1 dan 7:3 memiliki hasil yang berbeda. Seharusnya keduanya tidak menimbulkan
perbedaan, jika pada pelarut 7:3 ditemukan dexamethasone maka pada pelarut 9:1 juga
seharusnya ditemukan juga kandungan dexamethasone. Perbedaan hasil keduanya ini mungkin
disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam preparasi terutama proses penjenuhan dan kesalahan
dalam peletakkan fasa diam dalam fasa gerak. Proses penjenuhan dilakukan untuk mencegah
penguapan pelarut dan mencegah elusi berjalan terlalu cepat, jika di dalam chamber belum
terjenuhkan sempurna maka proses elusi tidak akan berjalan dengan baik. Peletakkan fasa diam
dalam chamber juga dapat menjadi titik kritis, dimana permukaan chamber yang digunakan pada
praktikum ini memiliki alas yang tidak rata di bagian bawah (mencembung) sehingga
menyebabkan elusi pelarut tidak dimulai pada start yang sama untuk sampel maupun standar
(paracetamol dan dexamethasone).
Pelarut pada percobaan dibuat berbeda, dengan perbedaan pada tingkat kepolarannya.
Pelarut 9:1 lebih nonpolar dibanding pelarut 7:3. Hal ini karena pada pelarut 9:1 lebih banyak
porsi kloroform yang merupakan spesi nonpolar. Pengaruh perbadaan tingkat kepolaran ini dapat
terlihat pada hasil KLT. Penggunaan fase gerak bergantung pada sampel yang diuji juga fase
diam yang digunakan. Pemilihan fase gerak.
Pemilihan fase gerak yang cocok sangat penting dalam pemisahan menggunakan KLT ini,
beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :
1.
Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif.
2.
Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak
antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3.
Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga
menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter
ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara
signifikan. (Madamba et al. 1996; Mujumdar&Menon 1995)
Dengan demikian, pelarut 7:3 lebih direkomendasikan sebagai fase gerak untuk mengelusi
sampel jamu yang digunakan, daripada pelarut 9:1. Hal ini karena pada fase gerak
kloroform:methanol 7:3 hasil diperoleh bercak sampel secara jelas, begitu pula bercak pada
dexamethasone juga paracetamol, sehingga dapat mudah mmengidentifikasi kandungan pada
sampel dengan membandingkan hasil Rf dengan standar.
Dalam percobaan kali ini, sampel jamu dibandingkan dengan dua bahan kimia obat, yaitu
paracetamol dan dexamethosan. Bahan Kimia Obat (BKO) sendiri merupakan istilah yang
digunakan untuk menyebut zat-zat aktif obat yang ditambahkan ke dalam obat tradisional/jamu.
Berikut adalah beberapa zat kimia yang sering kali ditemukan dalam produk obat
8
tradisional/jamu ilegal beserta risiko dan efek yang tidak diinginkan dari penggunaan bahan
kimia obat tanpa pengawasan dokter atau apoteker:
1. Sildenafil Sitrat: dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, mual, nyeri perut, gangguan
penglihatan, rinitis (radang hidung), bahkan kematian.
2. Fenilbutason : dapat menyebabkan mual, muntah, ruam kulit, oedema, pendarahan
lambung, nyeri lambung, reaksi hipersensitivitas, hepatitis, dan gagal ginjal.
3. Asam Mefenamat: dapat menyebabkan mengantuk, diare, ruam kulit, dan kejang, serta
dikontraindikasikan bagi penderita tukak lambung/usus, asma, dan ginjal.
4. Prednison: dapat menyebabkan moon face (wajah bulat seperti bulan, tembem),
gangguan saluran cerna seperti mual dan tukak lambung, tulang keropos, dll.
5. Metampiron : dapat menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, pendarahan
lambung, rasa terbakar, serta gangguan sistem saraf seperti tinitus (telinga berdenging),
dll.
6. Paracetamol : dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan gangguan
kerusakan hati.
BPOM telah menghimbau masyarakat agar tidak mengkonsumsi produk-produk obat
tradisional yang mengandung BKO ini karena termasuk dalam kategori zat yang berbahaya bagi
tubuh. Zat kimia obat memiliki dosis atau takaran masing-masing, diantaranya dosis maksimal
penggunaan sehari, dimana jika dilewati dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan. Selain itu,
jika mengkonsumsi suatu obat/zat kimia dalam waktu yang panjang, dikhawatirkan bahaya
akumulasi dan kerusakan organ tubuh. Pengkonsumsian obat tradisional yang mengandung BKO
berisiko mengakibatkan gangguan kesehatan serius karena dosis BKO dalam obat tradisional
tersebut tidak dapat terkontrol, dan memungkinkan terkonsumsi melewati dosis yang seharusnya
untuk dikonsumsi. Efeknya dapat mempengaruhi organ-organ tubuh terutama pada lambung,
jantung, ginjal, dan hati, bahkan dapat menyebabkan pada kematian karena dosis BKO yang
tidak terkontrol. Obat-obat tradisional yang sering kali mengandung BKO diantaranya adalah
obat diet, obat kuat, obat rematik, dan obat penghilang rasa sakit. Padahal, obat tradisional
harusnya herbal, tidak diperbolehkan sama sekali mengandung bahan kimia.
G. Kesimpulan
1. Kadar minyak atsiri dalam sampel adalah sebesar 0,1 % ml/gr dari kadar standar dalam
literatur: 0,02 % v/b – 0,06 % v/b.
2. Sampel jamu memiliki kualitas yang tidak begitu baik dilihat dari ditemukannya bahan kimia
obat dexamethasone pada sampel.
H. Daftar Pustaka
Anonim. 1977. Materia Medika Indo-nesia. Jilid I. Departemen Kesehatan RI, hal.102.
9
Anonim. 1980. Materia Medika Indo-nesia. Jilid IV. Departemen Kesehatan RI, hal.90.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI, hal. 971.
http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0201/D020102.pdf
(diakses tanggal 16 November 2013,
pukul 21.12 WIB)
http://health.kompas.com/read/2013/11/11/1325075/Herbalherbal.Ini.Tak.Cocok.dengan.Obat.Kimia (diakses tanggal 16 November 2013, pukul 21.54
WIB)
http://rolanrusli.com/destilasi/ (16112013 21.27 WIB)
http://uad.ac.id/bahaya-jamu-berbahan-kimia-obat (diakses tanggal 16 November 2013, pukul 21.56
WIB)
http://uad.ac.id/content/farmasi-uad-analisis-keamanan-obat-dan-makanan-bersama-guru-sma
(diakses tanggal 20 November 2013, pukul 08.50 WIB).
http://www.apoteker.info/Topik%20Khusus/minyak_atsiri.htm (diakses tanggal 20 November 2013,
pukul 08.52 WIB).
Pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/planar_kromatografi.doc (diakses pada tanggal 18
November 2013 pukul 10.10 WIB)
10
LAMPIRAN
1.
Profil dan gambar minyak atsiri
Minyak atsiri bukan merupakan senyawa tunggal tetapi tersusun dari berbagai macam
komponen. Menurut asal-usul biosintetik minyak atsiri dapat dibedakan atas turunan
terpenoid dan turunan fenil propanoid. Turunan terpenoid terbentuk melalui jalur biosintesis
asam asetat-mevalonat. Terpenoid berasal dari suatu unit senyawa sederhana yang disebut
isoprene (Tyler, et al., 1976). Terpen minyak atsiri terdiri dari monoterpen (C 5) dan
seskuiterpen (C15). Monoterpen dibagi menjadi tiga golongan, tergantung struktur kimianya
asiklik (misalnya geraniol), monosiklik (misalnya limonene) atau basiklik (misalnya α- dan βpinen). Dalam setiap golongan, monoterpen dapat berupa hidrokarbon tak jenuh (misalnya
limonene) atau dapat mempunyai gugus alkohol (misalnya linalool), aldehid (misalnya sitral),
atau keton (misalnya menton). Seskuiterpen juga dibagi berdasarkan kerangka karbon
dasarnya yang umum adalah asiklik (misalnya farnesol), monosiklik (misalnya bisabolen),
atau bisiklik (misalnya karotol) (Harbone, 1987).
Turunan fenil propanoid adalah senyawa aromatik yang terbentuk melalui jalur
biosintesis asam sikimat. Fenil propanoid berasal dari suatu unit senyawa sederhana yang
terdiri dari gabungan inti benzene (fenil) dan propane. Dalam tanaman, senyawa ini dibentuk
dari suatu senyawa asam amino aromatic fenilalanin dan tirosin yang akhirnya disintesis lewat
jalur asam sikimat (Tyler, et al., 1976). Contoh komponen minyak atsiri turunan fenil
propanoid adalah eugenol yang merupakan kandungan utama minyak cengkeh dan anetol
yang ada dalam minyak adas.
Minyak atsiri biasanya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang
terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H), dan oksigen (O). Pada umumnya komponen
kimia minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1) Hidrokarbon, yang terutama terdiri
dari persenyawaan terpen dan 2) Hidrokarbon teroksigenasi.
a. Golongan hidrokarbon
Persenyawaan yang termasuk golongan ini terbentuk dari unsur Karbon (C) dan
Hidrogen (H). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak atsiri sebagian besar terdiri dari
11
monoterpen (2 unit isopren), sesquiterpen (3 unit isopren), diterpen (4 unit isopren) dan
politerpen.
b. Golongan hidrokarbon teroksigenasi
Komponen kimia dari golongan persenyawaan ini terbentuk dari unsur Karbon (C),
Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam golongan ini adalah
persenyawaan alcohol, aldehid, keton, ester, eter, dan fenol. Ikatan karbon yang terdapat
dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan tunggal, ikatan rangkap dua, dan ikatan rangkap
tiga. Terpen mengandung ikatan tunggal dan ikatan rangkap dua. Senyawa terpen memiliki
aroma kurang wangi, sukar larut dalam alkohol encer dan jika disimpan dalam waktu lama
akan membentuk resin. Golongan hidrokarbon teroksigenasi merupakan senyawa yang
penting dalam minyak atsiri karena umumnya aroma yang lebih wangi. Fraksi terpen perlu
dipisahkan untuk tujuan tertentu, misalnya untuk pembuatan parfum, sehingga didapatkan
minyak atsiri yang bebas terpen (Ketaren, 1985).
Daun mengandung minyak atsiri 0,02-0,06% terdiri dari 60 macam sesquiterpens dan
senyawa fenolik. 0,2% flavonoid lipofil dengan kandungan utama sinensetin, eupatorin,
skutellarein, tetrametil eter, salvigenin, rhamnazin; glikosida flavonol, turunan asam kafeat
(terutama asam rosmarinat dan asam 2,3-dikaffeoil tartarat ), metilripariokromen A 6-(7,8dimetoksi-2,2-dimetil [2H,1-benzopiran]-il), saponin serta garam kalsium (3%) dan
myoinositol.4,9,13). Hasil ekstraksi daun dan bunga Orthosiphon stamineus ditemukan
metilripariokromen A atau 6-(7,8-dimetoksietanon).4).
Gambar 1. Struktur senyawa golongan flavonoid.
Juga ditemukan senyawa golongan flavonoid.
- Sinensetin ( 5,6,7,3',4'- pentametoksi flavon )
-Tetrametilskutellarein (5,6,7,4'-tetra metoksi flavon)
12
-5-hidroks i 6,7,3',4' tetrametoksi flavone.
-Salvigenin (5-hidroksi-6,7,4'-trimetoksi flavon)
-Kirsimaritin (5,6-dihidroksi-7,4'-dimetoksi flavon)
-Pilloin (5,3’-dihidroksi-7,4’-dimetoksi flavon)
-Rhamnazin (3,5,4'-trihidroksi-7,3'-dimetoksi flavon).5)
Gambar 2. Struktur senyawa golongan flavonoid lainnya.
Juga ditemukan 9 macam golongan senyawa flavon dalam bentuk aglikon, 2 macam
glikosida flavonol, 1 macam senyawa kumarin, asam kafeat dan 7 macam senyawa depsida
turunan asam kafeat, skutellarein, 6-hidroksiluteolin, sinensetin.11)
Tumbuhan kumis kucing pada penyulingan uap menghasilkan minyak atsiri yang antara
lain mengandung beberapa senyawa seskuiterpen seperti beta-selinen, beta-elemen, betabourbonen, alfa-guaien, beta-kariofilen oksid, dan beta-humulen sebagai komponen utama
(Schmidt, 1986; Scut, 1986).
13
Gambar 3. Struktur senyawa golongan seskuiterpen.
2.
Gambar Proses Adsorpsi Kromatografi
Gambar 4. Proses Adsorpsi Kromatografi.
14
15
BAHAN TRADISIONAL
A. Tujuan
1. Menentukan kadar minyak atsiri dalam sampel kumis kucing (Orthosiphon aristatus)
2. Menentukan kualitas bahan kimia obat dalam jamu atau bahan tradisional.
B. Teori Dasar
Minyak atsiri, atau yang dikenal juga sebagai volatile oil, atau essential oil, adalah cairan
pekat yang tidak larut air, mengandung senyawa-senyawa beraroma yang berasal dari berbagai
tanaman. Disebut essential oil karena bersifat khas sebagai pemberi aroma atau bau. Minyak
atsiri biasanya terdiri dari senyawa organik yang bergugus alkohol, aldehid, keton, dan berantai
pendek. Kadar minyak atsiri dapat menunjukkan kualitas dari simplisia yang diperiksa. Minyak
atsiri ini umumnya diperoleh dengan cara destilasi, juga dapat diperoleh melalui proses mekanik
(pemerasan tanaman), dan ekstraksi pelarut.
Bahan kimia obat digunakan sebagai istilah untuk bahan dasar obat yang berasal dari zat
kimia. Adanya bahan kimia obat yang dilarang atau melebihi kadar yang dipersyaratkan dan
bahan tambahan berbahaya dalam obat dan makanan, akan menyebabkan ketidaktenangan pada
pengkonsumsinya. Pasalnya setelah mengkonsumsi produk tersebut, akan memunculkan
beberapa efek samping yang tidak pernah diharapkan oleh konsumen.
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Labu alas bulat satu liter
Timbangan
Mantel pemanas
Stirrer magnetic
Pendingin
Alat penampung berskala
Gelas kimia secukupnya
Chamber dan kertas KLT
Kertas saring dan timbang
UV
Pipet tetes
1
2. Bahan
Sampel kumis kucing dan sampel jamu
Dua bahan pembanding (BKO)
Air suling
Toluene
Pelarut metanol : kloroform (7:3 ; 9:1)
D. Prosedur
D.1 Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Alat destilasi dan sampel serta bahan lain (kumis kucing, aquadest, xylene) disiapkan, sampel
dilarutkan dalam aquadest, batu didih dimasukkan ke dalamnya. Tabung destilasi diisi aquadest
dan ditambahkan xylene ke tabung vertikal berskala. Dilakukan pendidihan dengan batu didih.
D.2 Analisis Bahan Kimia Obat dalam Jamu
Alat disiapkan, larutan sampel dan larutan pembanding dilarutkan dalam etanol. Chamber KLT
dijenuhkan, lempeng silika digaris bawahi untuk tempat penotolan. Larutan sampel dan
pembanding ditotolkan pada spot lempeng. Proses elusi dilakukan, dan setelah sempurna,
lempeng dikeringkan dan dilihat di bawah sinar UV.
E. Data dan Pengolahan
E.1 Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Diketahui :
Berat sampel uji
= 2 gr
Volume minyak atsiri
= 0,4 mL
Volume xylena
= 0,2 mL
Maka kadar minyak atsiri dalam sampel :
Jadi % v/b = 0,1 % mL / gr
Menurut referensi : 0,02 % v/b – 0,06 % v/b (Materia Medika Indonesia Jilid I dan IV)
Dirata-ratakan =
Maka galat yang diperoleh adalah sebesar :
= 0,04% v/b
2
E.2 Analisis Bahan Kimia Obat dalam Jamu
No
Jenis Fase
gerak
Bahan uji
Dexamethaso
1
n
2
Paracetamol
X (cm)
Y
(cm)
Nilai Rf (
0.6
= 0.14
4.1
0.3
= 0.073
4.1
0.7
0.6
Terdapat
Kloroform:
4 spot:
metanol =
0.8
9:1
3
Sampel Jamu
4.1
1.5
2.3
3.3
4
5
Dexamethaso
2.8
Kloroform:
n
metanol =
Paracetamol
2.5
Sampel Jamu
2.9
7:3
6
x
)
y
3.9
0.8
4.1
1.5
4.1
2.3
4.1
3.3
4.1
2.8
3.9
2.5
3.9
2.9
3.9
=0.195
=0.36
= 0.56
= 0.80
= 0.71
= 0.64
= 0.74
F. Pembahasan
F.1 Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Minyak atsiri merupakan suatu zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini
disebut juga minyak menguap, minyak eteris, minyak esensial karena pada suhu kamar mudah
menguap. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya.
Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada
penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus
disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan di
tempat yang kering dan sejuk (Gunawan & Mulyani, 2004).
Minyak atsiri atau disebut juga volatil oil atau essential oil adalah istilah yang digunakan
untuk minyak mudah menguap dan diperoleh dalam tanaman (daun, bunga, buah, kulit batang
dan akar) dengan cara destilasi. Minyak atsiri bukanlah senyawa murni, akan tetapi merupakan
campuran senyawa organik yang seringkali tersusun lebih dari 25 senyawa atau komponen yang
berlainan. Sebagian komponen minyak atsiri adalah senyawa yang mengandung karbon dan
hidrogen, atau karbon, hidrogen, dan oksigen yang tidak bersifat aromatik. Senyawa-senyawa ini
secara umum disebut terpenoid (Guenther, 2006).
Minyak atsiri telah digunakan untuk mengatasi dyspepsia, gastritis, gangguan sirkulasi
darah dan penyakit inflamatori di banyak negara sejak zaman dahulu kala. Aktivitas yang
3
signifikan dari minyak atsiri sebagai antialergi, antipiretik, anaestetik dan analgesik dari berbagai
varietas yang telah diteliti. Di Indonesia sendiri minyak atsiri sudah banyak dimanfaatkan, mulai
dari pemanfaatan bau dari minyak atsiri itu sendiri sampai penggunaan minyak atsiri sebagai
obat-obatan dan aditif makanan.
Pada umumnya faktor-faktor perbedaan komposisi minyak atsiri disebabkan perbedaan
jenis tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panenan, metode ekstraksi
yang digunakan dan cara penyimpanan minyak. Kemudian dalam satu spesies yang sama, namun
lokasi tumbuh berbeda, komposisi kimia yang dihasilkan cukup variatif. Hal ini disebabkan
adanya hubungan kimiawi antara komponen kimia minyak atsiri dengan proses metabolisme
sekunder yang terjadi dalam tanaman. Proses ini dipengaruhi oleh ekosistem dan tantangan alam
seperti iklim, cuaca, dan kondisi tanah (Danha, 2009). Profil mengenai minyak atsiri lebih
jelasnya dapat dilihat di bagian lampiran.
Pada percobaan penentuan kadar minyak atsiri ini, digunakan metode destilasi. Destilasi
yang kami lakukan adalah destilasi dengan sistem rebus (water distillation), yaitu dengan cara
memasukkan sampel ke dalam labu destilasi/labu alas bundar yang telah diisi air dan dipanaskan.
Zat cair pada bahan dengan titik didih yang rendah akan menguap terlebih dahulu. Uap yang
terdiri dari air serta minyak akan dikondensasi untuk diubah kembali menjadi zat cair dalam
suatu wadah. Kondensor ini berfungsi untuk mendinginkan dan mengembunkan uap yang keluar
dari tungku destilasi. Cara destilasi ini tidak cocok untuk bahan/sampel yang tidak tahan panas.
Proses penyulingan/destilasi dimulai dengan proses pemanasan atau pendidihan. Proses
pendidihan tersebut menggunakan batu didih yang telah dimasukkan ke dalam labu sebelumnya.
Batu didih tersebut berfungsi untuk meratakan panas, sehingga panas menjadi homogen pada
seluruh bagian larutan, mempercepat proses pendidihan sampel, dan untuk mencegah timbulnya
letupan/ledakan (bumping) ketika pemanasan. Prinsipnya, minyak atsiri yang dikandung sampel
akan menguap (karena memiliki titik didih yang rendah, dan lebih rendah dari titik didih air),
kemudian melalui kondensor dan akan melewati tabung vertikal berskala yang telah ditambahkan
xylene sebelumnya, dimana fungsi dari xylene ini adalah untuk mengikat dan menaikkan daya
kohesi minyak atsiri, sehingga tidak menempel pada dinding tabung dan tidak larut dalam air
yang digunakan. Selain itu, xylene ditambahkan pada bagian tabung vertikal berskala dan bukan
ditambahkan atau dicampurkan langsung dengan air dan sampel dalam labu yang akan
dididihkan karena xylene ini dapat mengikat minyak atsiri dan titik didihnya lebih tinggi dari air
yaitu sekitar 140oC, sehingga jika ditambahkan langsung dengan sampel dan air, sewaktu
pendidihan yang akan mendidih terlebih dahulu adalah air. Zat yang memiliki titik didih yang
lebih rendah akan menguap terlebih dulu (Anonim, 2013). Sehingga, proses pemisahan minyak
tidak akan berjalan dengan baik karena air untuk mengekstraksi minyak atsiri tersebut telah
menguap terlebih dahulu pada suhu 100oC, dan dibawah suhu 100oC minyak atsiri yang telah
terekstraksi dari sampel akan diikat oleh xylene, sehingga tidak akan teruapkan. Setelah jumlah
4
minyak atsiri tidak bertambah-tambah, proses pendidihan pun dihentikan, dan didapatkan minyak
atsiri sekitar 0.2 mL.
Dari hasil percobaan, didapatkan kadar minyak atsiri dalam sampel kumis kucing sebesar
0,1 % mL/gr. Sedangkan, menurut referensi, kadar minyak atsiri yang seharusnya terkandung
adalah sebesar 0,02 % v/b – 0,06 % v/b (Materia Medika Indonesia Jilid I dan IV). Galat sebesar
150% ini dapat disebabkan karena terkontaminasinya sampel dengan zat-zat asing yang datang
dari udara atau alat set destilasi sehingga penentuan kadar minyak atsiri terganggu. Bisa juga
disebabkan karena terdapat gelembung pada larutan saat didistilasi.
Menurut literatur, tumbuhan kumis kucing pada penyulingan uap menghasilkan minyak
atsiri yang antara lain mengandung beberapa senyawa seskuiterpen seperti beta-selinen, betaelemen, beta-bourbonen, alfa-guaien, beta-kariofilen oksid, dan beta-humulen sebagai komponen
utama (Schmidt, 1986; Scut, 1986). Namun pada percobaan kali ini, tidak dilakukan penentuan
jenis-jenis senyawa minyak atsiri yang ada pada sampel kumis kucing.
F.2 Analisis Bahan Kimia Obat dalam Jamu
Dalam praktikum ini dilakukan analisis bahan kimia obat dalam sampel jamu. Baik sampel
jamu ataupun bahan pembanding (paracetamol dan dexamethasone) dilarutkan dalam etanol.
Penggunaan dexamethasone dan paracetamol sebagai pembanding disebabkan karena kedua
senyawa tersebut merupakan senyawa kimia obat yang sering ditemukan pada jamu. Karena
metode yang digunakan untuk menganalisis bahan kimia obat adalah kromatografi lapis tipis,
maka harus dibuat fasa gerak dan fasa diam. Dalam percobaan ini terdapat dua fasa gerak yang
digunakan, yaitu kloroform:methanol 7:3 dan kloroform:methanol 9:1. Penggunaan dua pelarut
yang berbeda bertujuan untuk membandingkan dalam pelarut mana senyawa dapat terelusi
sempurna. Pelarut yang digunakan merupakan pelarut campur (kloroform dan methanol) dengan
tujuan agar mendapatkan kepolaran yang diinginkan. Jika pelarut yang digunakan hanya
kloroform yang memiliki sifat non-polar, maka senyawa akan terikat sangat kuat dengan pelarut
tersebut sehingga senyawa akan terelusi sangat cepat dan dapat keluar dari sistem atau senyawa
tidak dapat terdeteksi. Oleh karena itu, kloroform dicampur dengan methanol yang bersifat lebih
polar dari kloroform. Fasa diam yang digunakan adalah silica gel GF 254 yang memiliki sifat
lebih polar dibanding pelarut dan mengandung pengikat gypsum (CaSO 4/polimer). Sampel yang
digunakan harus memiliki gugus yang dapat berfluorosensi di bawah sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm sehingga saat dideteksi dibawah sinar UV bercak dapat terlihat dan nilai Rf
dapat dihitung.
Chamber/bejana yang digunakan pada KLT harus dijenuhkan terlebih dahulu
menggunakan kertas saring dan masing-masing pelarut. Cara menjenuhkan bejana ini adalah
dengan melapisi dinding bejana dengan kertas saring, lalu teteskan masing-masing pelarut dan
5
biarkan pelarut tersebut terserap sempurna oleh kertas saring. Tujuan dilakukannya penjenuhan
ini adalah untuk menyamakan tekanan uap pelarut sehingga saat proses pemisahan, pelarut akan
naik dalam waktu yang bersamaan sehingga hasil yang didapat akan lebih akurat.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada percobaan kali ini, digunakan
metode kromatografi lapis tipis untuk analisis bahan kimia obat dalam sampel. Kromatografi
sendiri adalah teknik pemisahan campuran yang didasarkan atas perbedaan migrasi dan distribusi
antara komponen-komponen campuran diantara dua fase, yaitu fase diam (padat atau cair) dan
fase gerak (dapat berupa cair atau gas). Fasa diam merupakan fasa yang tidak bergerak, senyawa
yang digunakan dapat berupa silica gel (SiO2) atau alumina (Al2O3). Fasa gerak merupakan
fasa yang bergerak melalui fasa diam dan membawa komponen-komponen yang akan
dipisahkan, menggunakan suatu pelarut organik atau campuran beberapa pelarut organic
(Brooker et al. 1981).
Prinsip yang digunakan dalam pemisahan tersebut meliputi proses adsorpsi, elusi, dan
desorpsi. Proses adsorpsi merupakan proses penyerapan pada lapisan permukaan dimana molekul
atau senyawa terkumpul pada bahan adsorben dalam hal ini adalah fase diam yang terbuat dari
silica gel. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan adsorpsi suatu adsorben,
diantaranya adalah sebagai:
1.
Luas permukaan adsorben
Semakin luas permukaan adsorben maka semakin banyak adsorbat yang diserap sehingga
proses adsorpsi semakin efektif.
2.
Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel yang digunakan maka semakin besar kecepatan
adsorpsinya.
3.
Waktu kontak
Semakin lama waktu kontak dapat memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul
adsorbat berlangsung lebih baik.
4.
Distribusi ukuran pori
Distribusi pori akan mempengaruhi distribusi ukuran molekul adsorbat yang masuk ke
dalam partikel adsorben. Kebanyakan adsorben merupakan bahan yang sangat berpori dan
adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori. (Kiranoudis et al. 1992)
6
Fase gerak akan melewati lapisan sepanjang fasa diam dan akan mengelusi campuran
menjadi senyawa-senyawa penyusunnya, hal ini sangat ditentukan oleh tingkat kepolaran
senyawa dibanding fase gerak dan fase diam, sehingga menentukan interaksi keduanya.
Sedangkan desorpsi merukan pelepasan kembali molekul atau senyawa yang telah berikatan
dengan gugus aktif pada adsorben akibat interakasi yang lebih kuat antara senyawa dengan fase
gerak daripada dengan fase diam. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen (fase
gerak) maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. (Park et al. 2002).
Pada percobaan kali ini, digunakan dua macam pelarut, yaitu pelarut kloroform: methanol
= 7:3 dan 9:1. Pada pelarut 7:3 diketemukan satu bercak pada sampel yang sejajar dengan bercak
pada standar dexamethasone, setelah dihitung nilai Rf keduanya juga memiliki hasil yang
berdekatan, yaitu 0.71 untuk nilai Rf dexamethasone dan 0.74 untuk nilai Rf sampel. Pada
standar selain dexamethasone juga digunakan paracetamol yang memilkiki nilai Rf 0.64.
Kandungan paracetamol tidak terindikasi keberadaannya pada sampel, hal ini karena nilai Rf
yang berjauhan antara paracetamol dan sampel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel jamu
yang diuji mengandung dexamethasone dan bukan paracetamol. Hal ini dilihat dari kedekatan
nilai Rf hasil uji sampel dengan dexamethasone.
Hasil berbeda ditunjukkan pada pelarut 9: 1 dimana tidak ditemukan bahan kimia obat
karena tidak ada bercak/ totolan pada sampel yang memiliki Rf yang sama dengan Rf yang
dimiliki dexamethasone dan paracetamol. Pada pelarut 9:1 ini sampel terelusi menjadi beberapa
spot bercak, hal ini menunjukkan kandungan kimia yang dapat terpisah komponenkomponennya, warna bercak tersebut diantaranya terdiri dari tiga bercak yang berwarna kuning
hingga kuning kecoklatan. Berdasarkan pengamatan hasil ekstraksi pada sampel melalui
pengamatan organoleptik, dapat diperkirakan sampel adalah kunyit. Bercak ini menunjukkan
kandungan kimia dalam kunyit yang terdiri dari kurkumin, bisdemetoksikurkumin, dan
demetoksikurkumin. Ketiga senyawa ini memiliki tingkat kepolaran yang berbeda sehingga
dengan metode KLT ini ketiga senyawa ini dapat dipisahkan. Kurkumin adalah senyawa yang
paling nonpolar merupakan bercak ke tiga, sedangkan yang paling polar adalah
demetoksikurkumin yang merupakan bercak pertama dan diantaranya adalah bercak kedua yang
merupakan bisdemetoksikurkumin. Selain ketiga bercak tersebut, terdapat pula bercak keunguan
yang timbul pada bagian atas silica. Bercak ungu ini diduga adalah kandungan kimia yang lain
dan dapat pula merupakan bahan kimia obat. Namun bercak ini memiliki Rf yang sangat jauh
berbeda dengan dexamethasone dan paracetamol. Rf bercak ungu pada sampel memiliki nilai Rf
0.8 sedangkan dexamethasone memiliki Rf 0.14 dan paracetamol Rf nya sebesar 0.073.
Sehingga, dapat disimpulkan dalam KLT dengan menggunakan pelarut kloroform:methanol =9:1
sampel jamu tidak mengandung bahan kimia obat dexamethasone maupun paracetamol.
7
Pada percobaan yang menggunakan dua macam pelarut yaitu kloroform:methanol dengan
perbandingan 9:1 dan 7:3 memiliki hasil yang berbeda. Seharusnya keduanya tidak menimbulkan
perbedaan, jika pada pelarut 7:3 ditemukan dexamethasone maka pada pelarut 9:1 juga
seharusnya ditemukan juga kandungan dexamethasone. Perbedaan hasil keduanya ini mungkin
disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam preparasi terutama proses penjenuhan dan kesalahan
dalam peletakkan fasa diam dalam fasa gerak. Proses penjenuhan dilakukan untuk mencegah
penguapan pelarut dan mencegah elusi berjalan terlalu cepat, jika di dalam chamber belum
terjenuhkan sempurna maka proses elusi tidak akan berjalan dengan baik. Peletakkan fasa diam
dalam chamber juga dapat menjadi titik kritis, dimana permukaan chamber yang digunakan pada
praktikum ini memiliki alas yang tidak rata di bagian bawah (mencembung) sehingga
menyebabkan elusi pelarut tidak dimulai pada start yang sama untuk sampel maupun standar
(paracetamol dan dexamethasone).
Pelarut pada percobaan dibuat berbeda, dengan perbedaan pada tingkat kepolarannya.
Pelarut 9:1 lebih nonpolar dibanding pelarut 7:3. Hal ini karena pada pelarut 9:1 lebih banyak
porsi kloroform yang merupakan spesi nonpolar. Pengaruh perbadaan tingkat kepolaran ini dapat
terlihat pada hasil KLT. Penggunaan fase gerak bergantung pada sampel yang diuji juga fase
diam yang digunakan. Pemilihan fase gerak.
Pemilihan fase gerak yang cocok sangat penting dalam pemisahan menggunakan KLT ini,
beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :
1.
Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif.
2.
Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak
antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3.
Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga
menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter
ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara
signifikan. (Madamba et al. 1996; Mujumdar&Menon 1995)
Dengan demikian, pelarut 7:3 lebih direkomendasikan sebagai fase gerak untuk mengelusi
sampel jamu yang digunakan, daripada pelarut 9:1. Hal ini karena pada fase gerak
kloroform:methanol 7:3 hasil diperoleh bercak sampel secara jelas, begitu pula bercak pada
dexamethasone juga paracetamol, sehingga dapat mudah mmengidentifikasi kandungan pada
sampel dengan membandingkan hasil Rf dengan standar.
Dalam percobaan kali ini, sampel jamu dibandingkan dengan dua bahan kimia obat, yaitu
paracetamol dan dexamethosan. Bahan Kimia Obat (BKO) sendiri merupakan istilah yang
digunakan untuk menyebut zat-zat aktif obat yang ditambahkan ke dalam obat tradisional/jamu.
Berikut adalah beberapa zat kimia yang sering kali ditemukan dalam produk obat
8
tradisional/jamu ilegal beserta risiko dan efek yang tidak diinginkan dari penggunaan bahan
kimia obat tanpa pengawasan dokter atau apoteker:
1. Sildenafil Sitrat: dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, mual, nyeri perut, gangguan
penglihatan, rinitis (radang hidung), bahkan kematian.
2. Fenilbutason : dapat menyebabkan mual, muntah, ruam kulit, oedema, pendarahan
lambung, nyeri lambung, reaksi hipersensitivitas, hepatitis, dan gagal ginjal.
3. Asam Mefenamat: dapat menyebabkan mengantuk, diare, ruam kulit, dan kejang, serta
dikontraindikasikan bagi penderita tukak lambung/usus, asma, dan ginjal.
4. Prednison: dapat menyebabkan moon face (wajah bulat seperti bulan, tembem),
gangguan saluran cerna seperti mual dan tukak lambung, tulang keropos, dll.
5. Metampiron : dapat menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, pendarahan
lambung, rasa terbakar, serta gangguan sistem saraf seperti tinitus (telinga berdenging),
dll.
6. Paracetamol : dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan gangguan
kerusakan hati.
BPOM telah menghimbau masyarakat agar tidak mengkonsumsi produk-produk obat
tradisional yang mengandung BKO ini karena termasuk dalam kategori zat yang berbahaya bagi
tubuh. Zat kimia obat memiliki dosis atau takaran masing-masing, diantaranya dosis maksimal
penggunaan sehari, dimana jika dilewati dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan. Selain itu,
jika mengkonsumsi suatu obat/zat kimia dalam waktu yang panjang, dikhawatirkan bahaya
akumulasi dan kerusakan organ tubuh. Pengkonsumsian obat tradisional yang mengandung BKO
berisiko mengakibatkan gangguan kesehatan serius karena dosis BKO dalam obat tradisional
tersebut tidak dapat terkontrol, dan memungkinkan terkonsumsi melewati dosis yang seharusnya
untuk dikonsumsi. Efeknya dapat mempengaruhi organ-organ tubuh terutama pada lambung,
jantung, ginjal, dan hati, bahkan dapat menyebabkan pada kematian karena dosis BKO yang
tidak terkontrol. Obat-obat tradisional yang sering kali mengandung BKO diantaranya adalah
obat diet, obat kuat, obat rematik, dan obat penghilang rasa sakit. Padahal, obat tradisional
harusnya herbal, tidak diperbolehkan sama sekali mengandung bahan kimia.
G. Kesimpulan
1. Kadar minyak atsiri dalam sampel adalah sebesar 0,1 % ml/gr dari kadar standar dalam
literatur: 0,02 % v/b – 0,06 % v/b.
2. Sampel jamu memiliki kualitas yang tidak begitu baik dilihat dari ditemukannya bahan kimia
obat dexamethasone pada sampel.
H. Daftar Pustaka
Anonim. 1977. Materia Medika Indo-nesia. Jilid I. Departemen Kesehatan RI, hal.102.
9
Anonim. 1980. Materia Medika Indo-nesia. Jilid IV. Departemen Kesehatan RI, hal.90.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI, hal. 971.
http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0201/D020102.pdf
(diakses tanggal 16 November 2013,
pukul 21.12 WIB)
http://health.kompas.com/read/2013/11/11/1325075/Herbalherbal.Ini.Tak.Cocok.dengan.Obat.Kimia (diakses tanggal 16 November 2013, pukul 21.54
WIB)
http://rolanrusli.com/destilasi/ (16112013 21.27 WIB)
http://uad.ac.id/bahaya-jamu-berbahan-kimia-obat (diakses tanggal 16 November 2013, pukul 21.56
WIB)
http://uad.ac.id/content/farmasi-uad-analisis-keamanan-obat-dan-makanan-bersama-guru-sma
(diakses tanggal 20 November 2013, pukul 08.50 WIB).
http://www.apoteker.info/Topik%20Khusus/minyak_atsiri.htm (diakses tanggal 20 November 2013,
pukul 08.52 WIB).
Pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/planar_kromatografi.doc (diakses pada tanggal 18
November 2013 pukul 10.10 WIB)
10
LAMPIRAN
1.
Profil dan gambar minyak atsiri
Minyak atsiri bukan merupakan senyawa tunggal tetapi tersusun dari berbagai macam
komponen. Menurut asal-usul biosintetik minyak atsiri dapat dibedakan atas turunan
terpenoid dan turunan fenil propanoid. Turunan terpenoid terbentuk melalui jalur biosintesis
asam asetat-mevalonat. Terpenoid berasal dari suatu unit senyawa sederhana yang disebut
isoprene (Tyler, et al., 1976). Terpen minyak atsiri terdiri dari monoterpen (C 5) dan
seskuiterpen (C15). Monoterpen dibagi menjadi tiga golongan, tergantung struktur kimianya
asiklik (misalnya geraniol), monosiklik (misalnya limonene) atau basiklik (misalnya α- dan βpinen). Dalam setiap golongan, monoterpen dapat berupa hidrokarbon tak jenuh (misalnya
limonene) atau dapat mempunyai gugus alkohol (misalnya linalool), aldehid (misalnya sitral),
atau keton (misalnya menton). Seskuiterpen juga dibagi berdasarkan kerangka karbon
dasarnya yang umum adalah asiklik (misalnya farnesol), monosiklik (misalnya bisabolen),
atau bisiklik (misalnya karotol) (Harbone, 1987).
Turunan fenil propanoid adalah senyawa aromatik yang terbentuk melalui jalur
biosintesis asam sikimat. Fenil propanoid berasal dari suatu unit senyawa sederhana yang
terdiri dari gabungan inti benzene (fenil) dan propane. Dalam tanaman, senyawa ini dibentuk
dari suatu senyawa asam amino aromatic fenilalanin dan tirosin yang akhirnya disintesis lewat
jalur asam sikimat (Tyler, et al., 1976). Contoh komponen minyak atsiri turunan fenil
propanoid adalah eugenol yang merupakan kandungan utama minyak cengkeh dan anetol
yang ada dalam minyak adas.
Minyak atsiri biasanya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang
terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H), dan oksigen (O). Pada umumnya komponen
kimia minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1) Hidrokarbon, yang terutama terdiri
dari persenyawaan terpen dan 2) Hidrokarbon teroksigenasi.
a. Golongan hidrokarbon
Persenyawaan yang termasuk golongan ini terbentuk dari unsur Karbon (C) dan
Hidrogen (H). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak atsiri sebagian besar terdiri dari
11
monoterpen (2 unit isopren), sesquiterpen (3 unit isopren), diterpen (4 unit isopren) dan
politerpen.
b. Golongan hidrokarbon teroksigenasi
Komponen kimia dari golongan persenyawaan ini terbentuk dari unsur Karbon (C),
Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam golongan ini adalah
persenyawaan alcohol, aldehid, keton, ester, eter, dan fenol. Ikatan karbon yang terdapat
dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan tunggal, ikatan rangkap dua, dan ikatan rangkap
tiga. Terpen mengandung ikatan tunggal dan ikatan rangkap dua. Senyawa terpen memiliki
aroma kurang wangi, sukar larut dalam alkohol encer dan jika disimpan dalam waktu lama
akan membentuk resin. Golongan hidrokarbon teroksigenasi merupakan senyawa yang
penting dalam minyak atsiri karena umumnya aroma yang lebih wangi. Fraksi terpen perlu
dipisahkan untuk tujuan tertentu, misalnya untuk pembuatan parfum, sehingga didapatkan
minyak atsiri yang bebas terpen (Ketaren, 1985).
Daun mengandung minyak atsiri 0,02-0,06% terdiri dari 60 macam sesquiterpens dan
senyawa fenolik. 0,2% flavonoid lipofil dengan kandungan utama sinensetin, eupatorin,
skutellarein, tetrametil eter, salvigenin, rhamnazin; glikosida flavonol, turunan asam kafeat
(terutama asam rosmarinat dan asam 2,3-dikaffeoil tartarat ), metilripariokromen A 6-(7,8dimetoksi-2,2-dimetil [2H,1-benzopiran]-il), saponin serta garam kalsium (3%) dan
myoinositol.4,9,13). Hasil ekstraksi daun dan bunga Orthosiphon stamineus ditemukan
metilripariokromen A atau 6-(7,8-dimetoksietanon).4).
Gambar 1. Struktur senyawa golongan flavonoid.
Juga ditemukan senyawa golongan flavonoid.
- Sinensetin ( 5,6,7,3',4'- pentametoksi flavon )
-Tetrametilskutellarein (5,6,7,4'-tetra metoksi flavon)
12
-5-hidroks i 6,7,3',4' tetrametoksi flavone.
-Salvigenin (5-hidroksi-6,7,4'-trimetoksi flavon)
-Kirsimaritin (5,6-dihidroksi-7,4'-dimetoksi flavon)
-Pilloin (5,3’-dihidroksi-7,4’-dimetoksi flavon)
-Rhamnazin (3,5,4'-trihidroksi-7,3'-dimetoksi flavon).5)
Gambar 2. Struktur senyawa golongan flavonoid lainnya.
Juga ditemukan 9 macam golongan senyawa flavon dalam bentuk aglikon, 2 macam
glikosida flavonol, 1 macam senyawa kumarin, asam kafeat dan 7 macam senyawa depsida
turunan asam kafeat, skutellarein, 6-hidroksiluteolin, sinensetin.11)
Tumbuhan kumis kucing pada penyulingan uap menghasilkan minyak atsiri yang antara
lain mengandung beberapa senyawa seskuiterpen seperti beta-selinen, beta-elemen, betabourbonen, alfa-guaien, beta-kariofilen oksid, dan beta-humulen sebagai komponen utama
(Schmidt, 1986; Scut, 1986).
13
Gambar 3. Struktur senyawa golongan seskuiterpen.
2.
Gambar Proses Adsorpsi Kromatografi
Gambar 4. Proses Adsorpsi Kromatografi.
14
15