Dampak Regulasi Keamanan Pangan Uni Erop

JOURNAL OF FOOD SAFETY

Dampak Regulasi Keamanan Pangan Uni Eropa
Terhadap Efisiensi Tata Kelola (Governance)
Keamanan Pangan Di Inggris Tahun 2000-2013
Oleh:
Kanyadibya Cendana Prasetyo
Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya
Abstract
Food safety problems are rather overlooked and often undermined on international relations
and governance studies. However, it is by no means a simple problem as the writer underlined
here that food safety problem still presents danger to the society. In United Kingdom, every
year there’s tendency that food safety crises rising steadily ever since European Union
regulation to regulate food safety on European level. Therefore, analysing how European
Union regulations might impact the efficiency of food safety governance in UK during 20002013 become the main issue here. Many actors has been created and on 3 levels, supranational,
national, and subnational. On supranational level, there are EFSA, DG Sanco, DG Agri,
CHAFEA, etc. While on national level, there are FSA, Defra, PHE, Dept.of Health, etc. On
subnational level, there are LAs and PHA. Every major actors as stated before has its own role
and responsibility on food safety governance in United Kingdom. This research focuses on how
the actors will interact and influence each other and can affect food safety goevernance
efficiency. This research uses explanative analysis method with qualitative approach and takes

secondary data.
Keywords: food safety, United Kingdom, European Union, regulation

Pendahuluan
Bank Dunia pada tahun 2013 menyatakan bahwa keamanan pangan (food safety)
berpengaruh penting terhadap food security, pengurangan kemiskinan, dan pertumbuhan
ekonomi. Namun sayangnya, masih banyak negara, terutama negara berkembang, tidak
memiliki kapasitas untuk mengatasi celah dalam sistem keamanan pangan mereka. Celah ini
dapat menjadi penyebab makanan terkontaminasi oleh bakteri dan bahan kimia berbahaya yang
dapat membahayakan kesehatan. Jutaan kasus penyakit yang terkait makanan di seluruh dunia
memiliki efek sosial dan ekonomi yang besar setiap tahunnya. Badan Kesehatan PBB WHO
memperkirakan setiap tahunnya 2,2 juta orang meninggal karena penyakit akibat makanan dan
minuman yang dikonsumsi.

JOURNAL OF FOOD SAFETY

Tujuan utama pemerintah dalam kebijakan keamanan pangan (food safety) adalah
memastikan bahwa makanan aman untuk dikonsumsi dan konsumen tidak tertipu terkait
keaslian dan komposisi makanan yang dibeli. Sistem keamanan pangan, baik di tingkat lokal,
nasional, hingga internasional telah berkembang sedemikian rupa dan melibatkan berbagai

pihak.
Di tingkat global, standar keamanan pangan dunia diatur oleh Codex Alimentarius,
badan yang berada dibawah Food and Agriculture Organization (FAO). Selain sistem
keamanan pangan di tingkat global, terdapat juga sistem keamanan di tingkat regional. Sistem
keamanan pangan menjadi salah satu hal yang diatur oleh Uni Eropa, organisasi regional di
kawasan Eropa. Organisasi yang saat ini beranggotakan 28 negara ini memiliki sistem
keamanan pangan yang kompleks dan rumit. Regulasi yang dibuat Uni Eropa mengatur
keamanan pangan dari tingkat supranasional, nasional, hingga lokal. Sedangkan di tingkat
nasional, kebijakan keamanan pangan tergantung pada masing-masing negara.
Sejak awal terbentuknya, Uni Eropa menyadari perlunya membentuk kebijakan
keamanan pangan yang seragam untuk seluruh anggota. Adanya pasar tunggal Eropa (Single
European Market) juga mendorong Uni Eropa untuk membentuk standar dan regulasi pangan
bagi seluruh anggotanya. Salah satu negara yang menjalani reformasi kebijakan keamaan
pangan adalah Inggris. Hal ini salah satunya diakibatkan karena lemahnya kondisi food safety
di Inggris sebelum tahun 2000. Sebelum Inggris membentuk FSA sebagai badan independen
pengawas standar makanan terdapat beberapa kasus keamanan pangan yang cukup serius.
Selain itu, Uni Eropa juga membentuk berbagai badan di tingkat supranasional seperti EFSA,
DG Sanco, DG Agri, dan lain-lain untuk mengawasi keamanan pangan.
Adanya perubahan kebijakan di Uni Eropa mendorong perubahan sistem keamanan
pangan di Inggris. Aktor-aktor dan regulasi baru dikeluarkan untuk menangani sistem

keamanan pangan yang kompleks. Hal diatas menunjukkan bahwa regulasi sistem keamanan

JOURNAL OF FOOD SAFETY

pangan Uni Eropa telah berdampak terhadap tata kelola (governance) sistem keamanan pangan
Inggris. Banyaknya regulasi, aktor dan yurisdiksi yang terlibat akan mempengaruhi efisiensi
sistem keamanan pangan di Inggris.

Dampak Regulasi Uni Eropa terhadap Sistem Keamanan Pangan di Inggris
Untuk membahas mengenai dampak regulasi keamanan pangan Uni Eropa terhadap
efisiensi sistem keamanan pangan di Inggris, penulis akan menggunakan teori Multilevel
Governance yang pertama kali dikembangkan oleh Liesbet Hooghe dan Gary Marks pada
tahun 1993. Penulis akan menganalisa dampak regulasi menggunakan teori Multilevel
Governance Tipe II yang memiliki 5 indikator diantaranya 1) fungsi masing-masing lembaga,
2) institusi dengan wewenang saling tumpang tindih, 3) peraturan, 4) aktor yang terlibat, 5)
proses dan menganalisa efisiensi menggunakan 3 konsep efisiensi, yakni efisiensi teknis,
efisiensi alokatif, dan efisiensi antaryurisdiksi.

Multilevel Governance Tipe II
Penulis memakai konsep Tipe II governance dari model Multilevel Governance dalam

melihat efisiensi tata kelola. Sistem pemerintahan Tipe II ini memiliki ciri khas fungsi yang
spesifik, dengan yurisdiksi yang saling overlapping dalam sistem yang relatif stabil, terdiri atas
banyak level, dan memiliki yurisdiksi yang tidak terbatas. Tipe II memberikan model terhadap
koordinasi dalam multilevel governance. Argumen Tipe II adalah membatasi terjadinya
spillover diantara institusi dengan compartmentalizing atau mengkotak-kotakkan otoritas,
sehingga setiap institusi bertanggung jawab pada satu bidang tertentu.
Tugas yang dimiliki oleh institusi tersebut sangat spesifik dan berbeda dengan institusi
lainnya. Hal ini memungkinkan terciptanya banyak institusi namun meminimalkan koordinasi
diantara mereka. Meminimalkan koordinasi antar institusi sama dengan membagi tugas dalam

JOURNAL OF FOOD SAFETY

suatu organisasi. Berdasarkan argumen Tipe II, pemerintahan yang terdiri atas berbagai level
dan task-specific akan memunculkan overlapping diantara yurisdiksi yang pada akhirnya akan
menghasilkan efektivitas dan efisiensi yurisdiksi.
Fungsi Masing-masing Aktor
Berdasarkan teori dari Multilevel Governance hal ini sesuai dengan kondisi dimana
banyaknya aktor yang terlibat pada akhirnya membentuk jaringan tata kelola yang terdiri atas
berbagai tingkat. Mulai dari tingkat supranasional, nasional, hingga subnasional. Setiap aktor
memiliki tugas dan fungsi yang spesifik (task-specific jurisdiction) dalam tata kelola keamanan

pangan.
Fungsi utama EFSA, DG Agri, DG Sanco, Dewan Menteri Kesehatan, Urusan
Konsumen dan Sosial, dan Consumers, Health and Food Executive Agency adalah keamanan
pangan dan perlindungan konsumen. Namun disini EFSA lebih berfungsi sebagai lembaga
yang memiliki kemampuan teknis karena EFSA terdiri atas ilmuwan dan petugas lapangan.
Sedangkan DG Sanco, Dewan Menteri Kesehatan, Urusan Konsumen dan Sosial dan
Consumers, Health and Food Executive Agency (CHAFEA) memiliki kewenangan untuk
membuat dan mengawasi kebijakan keamanan pangan dan perlindungan konsumen.
Sama seperti kewenangan antara EFSA, DG Agri dan Dewan Menteri Pertanian dan
Perikanan. Ketiganya sama-sama memiliki fungsi yang berkaitan dengan pengawasan produk
pertanian dan perikanan. Hanya saja EFSA bertindak langsung di lapangan dan bertugas
melakukan riset. Sedangkan DG Agri dan Dewan Menteri memiliki kewenangan dalam
pembuatan kebijakan.
Dari paparan diatas, penulis berargumen EFSA memiliki peran penting dalam tata
kelola keamanan pangan. Namun kewenangan EFSA hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat
teknis. EFSA tidak memiliki kemampuan untuk membuat kebijakan. Fungsi itu ada pada aktor-

JOURNAL OF FOOD SAFETY

aktor lain yang berada pada yurisdiksi eksekutif. Namun, hal ini mengakibatkan EFSA tidak

dapat menjadi lembaga independen sepenuhnya dan mempengaruhi efisiensi mereka.
Buktinya, EFSA tidak dapat berbuat banyak ketika terdapat masalah keamanan pangan
karena tugas dan fungsi utama mereka hanya mencari dan mengumpulkan data serta riset
ilmiah. EFSA tidak dapat bergerak dan memutuskan sendiri. Pada saat isu modifikasi genetis
tumbuhan muncul tahun 2008, EFSA tidak lagi mampu menjaga kepentingan terbaik
konsumen Eropa. EFSA tidak dapat bergerak langsung untuk mengambil tindakan, melainkan
harus menunggu arahan dan kebijakan dari DG Sanco dan Dewan Menteri, lembaga yang
mewakili kepentingan negara anggota Uni Eropa.
Sedangkan di Inggris, ada 5 lembaga yang berwenang dalam tata kelola. Lembaga
tersebut adalah FSA, Defsa, Depkes, PHE, dan Environment, Food and Rural Affairs
Committee (EFRAC). Lembaga-lembaga diatas juga memiliki tugas dan fungsi yang spesifik.
Di tingkat Inggris, peran dan fungsi masing-masing lembaga adalah pada peningkatan
keamanan pangan di Inggris dan agar setiap regulasi tidak bertentangan dengan regulasi Uni
Eropa.
Berbeda dengan di tingkat Eropa, dimana EFSA hanya memiliki fungsi risk assesment,
di Inggris FSA memiliki fungsi risk assesment, risk management, dan risk communication.
Namun, sama seperti EFSA, FSA juga memiliki fungsi koordinasi dengan secara horizontal
dan vertikal dengan lembaga yang berada satu level atau berbeda level dengan mereka.
Singkatnya, FSA adalah lembaga non-departemen dan berdiri secara independen yang
memiliki peran sentral dalam tata kelola keamanan pangan di Inggris.

Selain FSA, ada lembaga lain yang berbentuk departemen dan memiliki peran penting
dalam tata kelola keamanan pangan, yakni Defra dan Depkes. Defra lebih berfokus pada
pengawasan bahan dan produk makanan, sedangkan Depkes lebih berfokus pada pencegahan

JOURNAL OF FOOD SAFETY

dan penanggulangan kontaminasi akibat makanan dan kesehatan masyarakat. Sedangkan PHE
adalah lembaga di bawah Depkes yang bertugas pada penanganan dan pengawasan kesehatan.
EFRAC juga memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan dan tata kelola keamanan
pangan. Namun, EFRAC merupakan komite yang berada di bawah lembaga eksekutif, yakni
House of Commons atau Parlemen Rendah Inggris. Jadi, komite ini merupakan representasi
dari lembaga yang berada di bawah yurisdiksi legislatif.
Aktor-aktor yang berwenang di tingkat subnasional adalah Local Authority (LA) dan
lembaga setingkat LA. Peran dan fungsi lembaga di tingkat subnasional adalah pengawasan
langsung dan penanganan administrasi. Lembaga di tingkat nasional memiliki tugas untuk
mengawasi dan menginspeksi institusi atau badan usaha secara langsung karena mereka
memiliki sumber daya dan kemampuan untuk turun ke lapangan secara langsung.
Penulis berargumen banyaknya aktor dan fungsi-fungsi dari setiap aktor yang terlibat
dalam sistem keamanan pangan di Inggris mengurangi efisiensi antaryurisdiksi namun
meningkatkan efisiensi alokatif dan teknis. Efisiensi antaryurisdiksi dicapai dengan

meminimalkan level pemerintahan yang terlibat dan dengan demikian juga mengurangi
koordinasi antarlevel dalam suatu yurisdiksi. Namun, setelah adanya regulasi keamanan
pangan di Uni Eropa, aktor dan level yang terlibat dalam sistem keamanan pangan di Inggris
semakin banyak dan fungsi-fungsi mereka semakin spesifik.
Meskipun demikian, semakin banyaknya aktor dan fungsi dalam sistem keamanan
pangan di Inggris justru meningkatkan efisiensi teknis. Semakin banyak aktor dan fungsi, maka
akan semakin mudah menangkap efek positif dan negatif suatu kebijakan di masyarakat, sesuai
variabel kedua dari efisiensi teknis. Selain itu, hal ini juga meningkatkan heterogenitas atau
keberagaman preferensi individu. Dengan memiliki fungsi-fungsi yang spesifik, yurisdiksi

JOURNAL OF FOOD SAFETY

dalam tata kelola keamanan pangan di Inggris mampu merepresentasikan keberagaman
preferensi dan keinginan masyarakat dengan lebih baik.
Institusi dengan Wewenang Saling Tumpang Tindih
Wewenang lembaga-lembaga di tingkat Uni Eropa juga bisa tumpang tindih dengan
wewenang lembaga-lembaga di tingkat nasional dan subnasional di Inggris. Banyaknya aktor
yang terlibat justru berpotensi menciptakan benturan kepentingan dan wewenang yang saling
tumpang tindih diantara lembaga. Secara umum, setiap lembaga berada pada bidang yang
sama, yakni keamanan pangan, sehingga besar kemungkinan tugas dan tanggung jawab setiap

lembaga juga bersinggungan dengan lembaga-lembaga yang lain. Sebagai contoh, di tingkat
nasional FSA bertanggung jawab atas keamanan pangan; Departemen Kesehatan bertanggung
jawab untuk standar gizi, dan Defra memiliki tanggung jawab yang meliputi labeling makanan,
pertanian, dan kesehatan hewan. Namun, fungsi Defra seperti labeling makanan dan kesehatan
hewan adalah bagian dari keamanan pangan yang ditangani FSA, kemudian masalah pangan
sendiri erat kaitannya dengan masalah pertanian yang ditangani Defra. Lalu di tingkat
subnasional, ada LA yang bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan kontrol di
lapangan, sedangkan FSA menerima laporan dari FSA. Namun, kenyataannya FSA juga dapat
melakukan pengawasan langsung di masyarakat tanpa harus menunggu laporan dari LA.
Hampir sama dengan analisis mengenai efisiensi fungsi lembaga-lembaga dalam tata
kelola keamanan pangan di Inggris, adanya institusi yang saling tumpang tindih juga
mengurangi efisiensi antaryurisdiksi. Adanya institusi yang saling tumpang tindih
(overlapping) menyebabkan pemerintahan menjadi tidak efisien menurut efisiensi
antaryurisdiksi yang dicapai jika fungsi yang saling tumpang tindih diantara institusi dibatasi.
Nyatanya, baik di tingkat supranasional, nasional, maupun lokal, fungsi dan tanggung jawab
antarlembaga masih saling tumpang tindih.

JOURNAL OF FOOD SAFETY

Peraturan tentang Keamanan Pangan

Terdapat 19 peraturan di tingkat Uni Eropa dan 3 peraturan di tingkat Inggris. Peraturan
di tingkat Uni Eropa tersebut juga menjadi dasar peraturan di Inggris. Jadi, semakin banyak
pula peraturan yang berlaku di Inggris. Adanya Multilevel Governance dan sistem tata kelola
yang terdiri atas berbagai level membuat negara tidak hanya mematuhi peraturan yang dibuat
di tingkat nasional, melainkan juga di tingkat supranasional. Dalam hal ini Uni Eropa memiliki
beberapa peraturan yang mengikat negara-negara anggotanya.
Selain itu, dapat dilihat di tingkat Uni Eropa terdapat 13 peraturan berbentuk regulation
(regulasi). Sesuai dengan tingkatan peraturan yang berlaku di tingkat Uni Eropa, regulation
(regulasi) menduduki tingkatan tertinggi. Regulasi adalah aturan yang mengikat semua negara
anggota secara langsung. Hal ini menjadikan Uni Eropa memiliki peran dan pengaruh penting
dalam mempengaruhi sistem tata kelola keamanan pangan di Inggris. Oleh karena itu, efisiensi
regulasi di Uni Eropa menentukan efisiensi regulasi dan tata kelola di Inggris. Hal ini
menunjukkan bahwa regulasi di Uni Eropa akan berdampak pada sistem tata kelola di Inggris.
Menurut William Mason, adanya Traktat Lisbon yang menjadi sumber hukum di Uni
Eropa saat ini, membuat situasi lebih buruk dan Uni Eropa bisa dikatakan telah mengalami
over-regulasi (over-regulation). Berbeda dengan negara independen, Uni Eropa sering
berusaha untuk mengatur karena lembaga-lembaganya melihat regulasi sebagai cara yang
diperlukan untuk membangun sebuah identitas bersama Eropa, terlepas dari biaya yang
dikeluarkan untuk membuat regulasi.
Pada tahun 2011-2012 jumlah tindakan penegakan aturan sebanyak 180.177 tindakan

atau turun 3,2% dari tahun 2010-2011. Dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan
pemerintah Inggris dalam regulasi keamanan pangan, hal ini tidak efisien menurut efisiensi
teknis yang berpatokan pada biaya terendah yang dikeluarkan pemerintah. Namun

JOURNAL OF FOOD SAFETY

meningkatkan efisiensi alokatif, karena regulasi yang semakin spesifik dibuat untuk memenuhi
heterogenitas preferensi individu. Disisi lain, banyaknya regulasi dan besarnya biaya yang
dikeluarkan juga meningkatkan efisiensi antaryurisdiksi. Banyaknya regulasi adalah bukti dari
banyaknya negosiasi dan transaksi yang terjadi. Namun, yang jelas persentase transfer undangundang yang gagal lebih kecil dibanding sebelum tahun 2000. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan efisiensi antaryurisdiksi.
Aktor yang Terlibat
Ada 3 aktor utama yang terlibat dalam sistem keamanan pangan di Inggris seperti yang
telah dibahas diatas. Di level supranasional, aktor utama yang terlibat adalah EFSA yang
memiliki fungsi koordinasi dan pengumpulan data dan fakta. Di level nasional, aktor utamanya
adalah FSA yang memiliki mandat sebagai lembaga independen pengawas keamanan pangan.
Sedangkan di level subnasional, ada Local Authority (LA) sebagai aktor utama yang melakukan
pengawasan langsung di masyarakat.
Hal ini membuktikan aktor yang terlibat dalam tata kelola keamanan pangan Inggris
semakin banyak setelah ada regulasi keamanan pangan di Uni Eropa. Sebagai contoh, pada
kasus skandal daging kuda (horsemeat scandal) di Inggris ada banyak aktor yang terlibat di
dalamnya. Selain aktor pemerintah, aktor swasta yakni pelaku usaha yang diindikasikan terlibat
dalam kasus ini. Diantaranya supermarket yang menjual produk olahan berisi daging kuda,
distributor, supplier, pengolah daging (meat processor), dan lain-lain seperti Tesco, ASDA
(supermarket), Findus (supplier), dan ABP (meat processor).
Banyaknya aktor yang terlibat ini mengurangi efisiensi antaryurisdiksi karena justru
menambah biaya negosiasi dan transaksi dari banyaknya koordinasi yang dilakukan. Disisi
lain, banyaknya aktor akan meningkatkan efisiensi teknis dan efisiensi alokatif karena fungsi

JOURNAL OF FOOD SAFETY

pengawasan dan pelaksanaan regulasi dapat dilakukan di level terendah serta dapat merespons
keberagaman preferensi masyarakat dengan lebih baik.
Proses Pembuatan Regulasi
Proses pembuatan regulasi di tingkat Uni Eropa dari rancangan hingga pengesahan
regulasi cukup rumit karena melibatkan banyak aktor dan tahap-tahap yang berbeda. Baik aktor
di tingkat supranasional maupun perwakilan dari negara terlibat dalam proses pembuatan
regulasi melalui lembaga-lembaga Dewan Eropa, Parlemen Eropa, dan Komisi Eropa.
Sebenarnya jika dicermati proses pembuatan regulasi di tingkat Uni Eropa cukup fleksibel
karena tidak hanya Komisi Eropa yang dapat mengajukan rancangan undang-undang atau
regulasi. Dewan Eropa, Parlemen Eropa, bahkan masyarakat juga dapat mengajukan. Selain
itu, proses pembuatan regulasi juga dilakukan melalui beberapa tahap dan jika belum tercapai
kesepakatan, maka proses tersebut akan diulang.
Proses pembuatan regulasi yang kompleks di Uni Eropa dapat meningkatkan efisiensi
teknis dan alokatif karena proses ini melibatkan banyak pihak dan mempertimbangkan aspirasi
masyarakat serta efek kebijakan tersebut. Namun mengurangi efisiensi antaryurisdiksi karena
proses pembuatan regulasi tersebut memakan waktu yang lama, melibatkan banyak aktor dan
level, serta membutuhkan negosiasi dan koordinasi diantara aktor-aktor.
Dinamika Sistem Keamanan Pangan
Penulis berpendapat bahwa tata sistem keamanan pangan di Inggris dan regulasinya
tergolong cukup kompleks. Jaringan diantara aktor yang terlibat dalam tata kelola keamanan
pangan sangat rumit dan tidak hanya melibatkan aktor negara atau lembaga pemerintah,
melainkan juga aktor non-negara. Selain itu, aktor-aktor ini tidak berdiri sendiri, namun
memiliki koordinasi baik secara horizontal dengan aktor di level yang sama dan secara vertikal
dengan aktor di level yang lebih tinggi atau lebih rendah. Namun, fungsi-fungsi dari aktoraktor yang terlibat menjadi tumpang tindih (overlapping) karena pemerintahan yang

JOURNAL OF FOOD SAFETY

melibatkan banyak aktor ini rentan terhadap tumpang tindih fungsi dan tanggung jawab.
Kemudian, hal yang patut disorot adalah banyaknya regulasi dan koordinasi yang dimiliki
aktor-aktor ini. Regulasi tidak hanya sebatas dibuat di tingkat Uni Eropa, namun juga
diimplementasikan di tingkat nasional dan supranasional.

Kesimpulan
Regulasi di tingkat Uni Eropa memiliki dampak yang cukup besar terhadap tata kelola
sistem keamanan pangan di Inggris. Dalam penelitian ini penulis mempertanyakan bagaimana
dampak regulasi food safety Uni Eropa terhadap tata kelola sistem keamanan pangan di Inggris.
Dari hasil penelitian penulis, regulasi yang mengatur keamanan pangan di Uni Eropa terdiri
atas berbagai level atau multilevel. Dengan menggunakan model Multilevel Governance Tipe
II penulis menemukan bahwa tipe lembaga pengawas makanan yang berlaku di Uni Eropa
memiliki tugas yang spesifik (task-specific jurisdictions), saling tumpang tindih antar teritori
(territorially overlapping jurisdictions), memiliki jumlah yurisdiksi banyak (large number of
jurisdictions), banyak level yurisdiksi (many jurisdictional levels), dan sistem yurisdiksi yang
fleksibel (flexible jurisdictional system).
Di tingkat Uni Eropa, fungsi keamanan pangan dibagi diantara beberapa aktor, yaitu
European Food Safety Authority (EFSA), DG Agri, DG Sanco, Dewan Menteri Kesehatan,
Urusan Konsumen dan Sosial, dan Consumers, Health and Food Executive Agency
(CHAFEA). Sejak adanya berbagai peraturan di tingkat Uni Eropa pada tahun 2000, Inggris
telah merubah sebagian kebijakan, diantaranya dengan mendirikan lembaga-lembaga baru dan
mengamandemen peraturan yang sudah ada. Lembaga-lembaga tersebut diantaranya FSA,
Departemen Kesehatan, Defra, Environment, Food, and Rural Affair Committee dan PHE di
tingkat nasional serta berbagai LA di tingkat subnasional.

JOURNAL OF FOOD SAFETY

Namun, penulis menemukan bahwa semakin banyaknya lembaga yang terlibat dalam
tata kelola keamanan pangan, justru mengakibatkan saling tumpang tindih (overlapping)
diantara lembaga. Selain itu, regulasi di tingkat Uni Eropa juga membuat semakin banyak
regulasi atau peraturan yang berlaku di Inggris. Adanya regulasi keamanan pangan Uni Eropa
juga menambah level, aktor, dan fungsi-fungsi keamanan pangan. Hal ini pada akhirnya
berpengaruh terhadap efisiensi tata kelola keamanan pangan.
Penulis menyimpulkan regulasi keamanan pangan di tingkat Uni Eropa berdmapak
terhadap efisiensi tata kelola keamanan pangan di Inggris. Secara umum, adanya regulasi di
tingkat Uni Eropa mengurangi efisiensi antaryurisdiksi dalam tata kelola keamanan pangan di
Inggris. Hal ini akibat semakin banyaknya aktor, regulasi, fungsi, dan level yang terlibat.
Proliferasi aktor-aktor baru tidak menghasilkan tata kelola keamanan pangan yang efisien
menurut efisiensi antaryurisdiksi. Di sisi lain, semakin banyaknya aktor dan regulasi yang ada
meningkatkan efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Semakin banyak aktor dan regulasi, maka
semakin banyak pula isu yang ditangani dan keberagaman preferensi masyarakat yang dicakup
sesuai indikator efisiensi antaryurisdiksi. Selain itu banyaknya aktor dan regulasi
memungkinkan pemerintahan mengukur pada level mana regulasi akan menghasilkan biaya
yang serendah mungkin. Jadi, pemerintahan yang multilevel sesuai Tipe II MLG tidak
menghasilkan yurisdiksi yang efisien, namun dapat meningkatkan efisiensi teknis dan alokatif.

Referensi:
Abels, Gabriele dan Alexander Kobusch. 2010. Regulation of Food Safety in the EU:
Changing Patterns of Multi-level Governance. Diakses dari
http://regulation.upf.edu/dublin-10-papers/2F3.pdf pada 1 Maret 2013
Bartle, Ian dkk. 2012. Rethinking Governance: Towards a Convergence of Regulatory
Governance and Multilevel Governance.

JOURNAL OF FOOD SAFETY

Bernauer, Thomas dan Ladina Caduff. 2004. European Food Safety: Multilevel Governance,
Re-Nationalization, or Centralization?
Brown, David. 2006. Verification for Food Safety: The Case of the Meat Industry. Diakses
dari http://www.odi.org/sites/odi.org.uk/files/odi-assets/publications-opinionfiles/4476.pdf pada 14 Januari 2014
Commission of European Communities. 2001. White Paper on European Governance.
Diakses dari http://ec.europa.eu/dgs/communication/pdf/comm-initiatives/2001european-governance-white-paper-com2001_0428_en.pdf pada 6 Maret 2014
Hooghe, Liesbet dan Gary Marks. 2001. Types of Multi-Level Governance. Diakses dari
European Integration online Papers (EIoP) Vol. 5 (2001) No 11
http://eiop.or.at/eiop/texte/2001-011a.htm pada 4 Maret 2013