Dampak sosial pernikahan usia dini studi kasus di desa Gunung sindur-Bogor

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk memenuhi persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

ZULKIFLI AHMAD

104054102134

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011 M


(2)

i Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Maret 2011


(3)

i

Studi Kasus di Desa Gunung Sindur – Bogor.

Menikah adalah sunnatullah yang akan dilalui semua orang dalam proses perjalanan hidupnya. Untuk menikah ada 2 hal yang perlu diperhatikan yaitu kesiapan fisik dan kesiapan mental. Kesiapan fisik seseorang dilihat dari kemampuan ekonomi, sedangkan kesiapan mental dilihat dari faktor usia. Akan timbul permasalahan jika pernikahan dilakukan di usia yang sangat muda yaitu menikah dini yang secara fisik dan mental memanga belum siap. Bagaimana jika pernikahan dini dilakukan oleh masyarakat Desa Gunung Sindur.

Pernikahan dini cenderung terjadi dalam kehidupan masyarakat desa, yang telah berlangsund sejak dulu dan masih bertahan sampai sekarang. Bagi masyarakat sekarang pernikahan usia dini terjadi tidak hanya karena faktor ekonomi semata, tetapi ada faktor yang terbawa oleh zaman yaitu pergaulan bebas yang berakibat terjadinya hamil di luar nikah yang lebih ngetrend di sebut MBA

(Married By Accident). Faktor ini yang banyak terjadi di desa Gunungsindur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat desa Gunungsindur dalam memahami pernikahan dini, selain itu penulis juga ingin mengetahui faktor penyebab pernikahan usia dini dikalangan anak muda desa Gunungsindur, dampak apa yang mereka rasakan serta usaha-usaha apa yang mereka lakukan untuk tetap bertahan hidup dan berumah tangga.

Metode yang dilakukan digunakan dalan penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Jenis penelitian yang dilakukan adalah field research yaitu penelitian langsung yang dilakukan di desa Gunungsindur. Data yang didapatkan penulis peroleh dari hasil observasi dan wawancara.

Setelah melakukan observasi dan wawancara, penulis mengetahui sangat terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang pernikahan usia dini disebabkan mereka hanyalah lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, sehingga sumber daya intelektualnya minim sekali. Faktor penyebab pernikahan usia dini di desa Gunungsindur terjadi dari beberapa faktor yaitu; ekonomi, MBA dan takut maksiat. Namun yang paling dominan adalah faktor ekonomi. Dalam pemenuhan kebutuhan mereka ada yang bekerja sebagai buruh muat pasir dan ada juga untuk perempuan sebagai buruh garment, yang juga dapat membantu perekonomian masyarakat Gunungsindur dan sekitarnya.

Dampak dari pernikahan dini yang mereka lakukan tidak terlalu serius, hanya mudah stres dan marah-marah, bertengakar. Dan juga karena kurangnya pengetahuan maka dalam pengaturan keuangan bulan untuk kebutuhan rumah tangga dan menjaga kesehatan menjadi terabaikan. Selain itu kehidupan setalah berumah tangga dalam lingkungan bertetangga masih bisa ditoleran dan dapat mengikuti aturan yang berlaku di lingkungan setempat.


(4)

ii

Dengan rasa haru Penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, sumber suara-suara hati, sumber ilmu pengetahuan, sumber segala kebenaran, sumber segala kesuksesan, Sang Kekasih tercinta yang tak terbatas pencahayaan cinta-Nya. Berkat hidayah, taufiq dan inayah-Nya, akhirnya skripsi ini dapat Penulis rampungkan meskipun tertunda sekian bulan dan jadual yang direncanakan. Semoga dengan kondisi ini Penulis dapat lebih meningkatkan pengabdian sebagai wujud syukur atas segala nikmat-Nya.

Pekerjaan akhir akademik yang relatif sulit dan melelahkan ini hampir mustahil dirampungkan tanpa dorongan dan bantuan dari perbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan disertai do’a keselamatan dan pahala yang berlipat ganda kepada mereka semua, terutama kepada :

1. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua Program studi dan sekretaris beserta staf Jurusan Kesejahteraan Sosial, yang tiada kenal lelah dan senantiasa mamberikan pelayanan, bimbingan dan motivasi kepada penulis dan mahasiswa/I Kesejahteraan Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(5)

iii

Mahasiswa/mahasiswi Jurusan Kesejateraan Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta.

4. Drs. Yusra Killun, M.Pd. selaku pembimbing penulisan skripsi ini, di tengah kesibukan tugas-tugasnya, beliau tetap bersedia berdiskusi, memeriksa, membaca, dan memberikan komentar terhadap topik karya ini. 5. Pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidaytullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Dakwan dan Komunikasi atas segala fasilitas yang selama ini telah diberikan kepada penulis.

6. Dukungan dan motivasi terbesar tentulah dari Keluarga tercinta Penulis. Ayahanda Madrosih dan Ibunda Maesyaroh adalah “telaga besar” yang tak pernah kering. Do’a, puasa, dan shalat-shalat nawafil yang selalu mereka lakukan sepanjang Penulis menempuh studi SD sampai S1 adalah modal yang tak terkira dan bekal amat berharga. Allahummaghfirli wa liwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghiran. Dan kakak-kakakku tercinta, Rosidah, Uliyah Novilas, Fatimah dan Rosita. Mereka jugalah orang yang pertama yang menyentuh dan mendidik Penulis sejak dini dengan kasih saying, kelembutan budi, dan kesabaran tiada tara. Penulis juga selalu berusaha dan berdo’a agar mampu menjadi ‘panutan’ yang baik untuk keponakan-keponakan tercinta; Risky Mauladani, Radindada N I, Sahruli, Imut, Bunga, Alif, Pipir.


(6)

iv

8. Ketua RW 05 dan juga Amil Emad, dan kepada seluruh responden yang sudah mau berpartisipasi dan membantu memberikan informasinya, sehingga dapat terselesaikannya penelitian ini.

9. Seluruh rekan-rekan KESSOS khusunya angkatan 2004, kalian semua inspirasi dan juga semangat buat penulis untuk merampungkan penulisan ini. Dan juga kepada seluruh teman-teman KESSOS semoga tetap solid. 10.Seluruh teman-teman Karang Taruna Cimangir (KTC) dan

pemuda-pemudi Gunungsindur.

Betapapun hambatan yang penulis hadapi dalam pelaksanaan tugas penulisan skripsi ini dan segala hambatannya, tidak terlepas dari bantuan mereka baik moril dan materil, sehingga pelaksanaan praktikum ini terlaksana dan terselesaikan. Dan semoga Allah SWT, akan membalas segala kebaikan mereka.

Amin Yaa Robbal ‘alamin

Jakarta, Maret 2011 Penulis


(7)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus dan Batasan Masalah ... 7

1. Fokus Masalah ... 7

2. Batasan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

1. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Akademis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

E. Metodologi Penelitian ... 9

1. Pendekatan Penelitian ... 10

2. Pemilihan Kasus... 10

3. Tinjauan Pustaka... 11

4. Teknik Pengumpulan Data ... 12

5. Analisa Data... 14


(8)

vi

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA BERFIKIR

A. Kajian Teoritis ... 16

1. Pengertian Pernikahan ... 16

2. Syarat dan Rukun Nikah ... 17

3. Hukum Nikah ... 18

4. Hikmah dan Tujuan Pernikahan dalam Islam ... 24

a. Hikmah Pernikahan ... 24

5. Hakikat Pernikahan Usia Dini ... 26

a. Pengertian dan Batasan Usian Dini ... 26

b. Remaja dan Masalah yang dihadapi ... 29

c. Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum menikah usia dini ... 34

6. Dampak Sosial Pernikahan Usia Dini ... 37

a. Hubungan antara pernikahandan perubahan perilaku sosial………... 39

BAB III GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Profil Daerah ... 43

1. Letak Geografis ... 43

2. Kondisi Sosial, Ekonomi Pendidikan Masyarakat Gunung Sindur ... 44


(9)

vii

BAB IV TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISA

A. Hasil Temuan Penelitian ... 49

1. Pemahaman masyarakat terhadap pernikahan usia dini . 49 2. Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini... 51

3. Dampak Pernikahan Usia Dini ... 52

B. Analisa ... 55

1. Faktor terjadinya pernikahan usia dini ... 55

2. Dampak Sosial Pernikahan Usia Dini ... 60

a. Ekonomi ... 60

b. Kesehatan ... 61

c. Pandangan masyarakat terhadap pasangan nikah dini 64 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran-saran... 66

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

viii 1. Tabel Sarana Ibadah

2. Tabel Sarana Pendidikan 3. Tabel Jumlah Penduduk

4. Tabel Penduduk menurut Agama

5. Tabel Penduduk menurut usia dikelompokan pendidikan 6. Tabel Penduduk menurut tingkat pendidikan

7. Tabel jumlah penduduk menurut mata pencaharian

8. Tabel 3.1 Gambaran Umum Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan, Usia Menikah dan Agama

9. Tabel 3.2 Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini oleh Responden 10.Tabel 3.3 Pengahasilan dan Pengeluaran setelah menikah dini 11.Tabel 3.4 Gambaran Responden dalam masalah kesehatan


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan dari perkawinan adalah menjaga keturunan dengan perkawinan yang sah, anak-anak akan mengenal ibu, bapak dan nenek moyangnya. Mereka merasa tenang dan damai dalam masyarakat, sebab keturunan mereka jelas, dan masyarakatpun menemukan kedamaian, karena tidak ada dari anggota mereka mencurigakan nasabnya.

Pada kelompok masyarakat yang rusak, yang disebabkan oleh dekadensi moral, free sex dan prilaku-prilaku yang menyimpang, anak-anak tidak mengetahui nasab keturunannya, akan merasa terhina.

Tanpa perkawinan yang sah, tidak akan langgeng wujud manusia di muka bumi ini, sedangkan dengan perkawinan, manusia berkembang baik melalui lahirnya anak laki-laki dan perempuan.1 Allah SWT menerangkan tujuan-tujuan perkawinan kepada manusia, dalam firman-Nya:

ُ هَللاَو

ُ

َُلَعَج

ُ

ُ م كَل

ُ

ُ نِم

ُ

ُ م كِس ف نَأ

ُ

اًجاَو زَأ

ُ

َُلَعَجَو

ُ

ُ م كَل

ُ

ُ نِم

ُ

ُ م كِجاَو زَأ

ُ

َُيِنَب

ُ

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan

cucu-cucu”. (QS. An-Nahl: 72)

Islam menyeru pengikutnya untuk melaksankan perkawinan yang sah apabila mereka telah mampu dan memenuhi persyaratannya, Islam

1Syakir, Muhammad Fu’ad

Perkawinan telarang ; penerjemah, Fauzan Jamal & Alimin ( Cendikia Sentra Muslim, Jakarta 2002). h 11.


(12)

menghalangi tingginya mahar dalam perkawinan dan mengajak untuk memudahkan jalan menuju perkawinan, rasulullah saw bersabda:

ُرصبللُ ضغاُ هنافُ جوزتيلفُ ةءابلاُ مكنمُ عاطتساُ نمُ بابشلاُ رشعماي

نصحاو

ءاجوُهلُهنافُموصلابُهيلعفُعطتسيُمُنمفُجرفلل

.

Artinya; Wahai kaum muda, barangsiapa telah sanggup baa’ah (membiayai

kehidupan), maka kawinlah, karena pandangan akan lebih terjaga dan faraj (kemaluan) akan lebih terbentengi, barangsiapa yang belum sanggup, maka berpuasalah karena puasa akan menjadi obat

penahan bagi nafsu. (HR.muttafaq „alaih)2

Perkawinan merubah status seseorang dari bujangan atau janda/duda menjadi berstatus kawin. Dalam demografi status perkawinan penduduk dapat dibedakan menjadi status belum pernah menikah, menikah, pisah atau cerai, janda atau duda. Di daerah dimana pemakaian KB rendah, rata-rata umur penduduk saat menikah pertama kali serta lamanya seseorang dalam status perkawinan akan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat fertilitas. Usia kawin dini menjadi perhatian penentu kebijakan serta perencana program karena beresiko tinggi terhadap kegagalan perkawinan. Kehamilan usia muda beresiko tidak siap mental untuk membina perkawinan dan menjadi orangtua yang bertanggung jawab.

Konsep dan definisi perkawinan menurut undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 :

1. Perkawinan adalah suatu ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2


(13)

2. Untuk laki-laki minimal sudah berusia 19 tahun, dan untuk perempuan harus sudah berusia minimal 16 tahun.

3. Jika menikah dibawah usia 21 tahun harus disertai ijin kedua atau salah satu orangtua atau yang ditunjuk sebagai wali.

Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam undang-undang perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mancapai umur 19 (sembalin belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.3

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang secara fisik, psikis dan mental.

Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas umur sembilan belas tahun untuk wanita.

Maraknya pernikahan dini yang dialami remaja puteri berusia di bawah usia 20 tahun ternyata masih menjadi fenomena di beberapa yang mulai

3


(14)

terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tema pernikahan dini bukan suatu hal baru untuk diperbincangkan, dan beberapa resiko yang akan mereka hadapi. Pernikahan dini dikaitkan dengan waktu, yaitu sangat awal. Bagi orang-orang yang hidup abad 20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-16 tahun atau pria berusia 17-18 tahun adalah hal yang biasa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau pria sebelum 25 tahun dianggap tidak wajar.

Hukum Islam secara umum meliputi 5 prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzul al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.4

Antara agama dan negara terdapat perbedaan pandangan dalam memaknai pernikahan dini. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.

Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak betapa dahsyatnya benturan

4


(15)

ide yang terjadi antara para sarajana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.

Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah (yang saat itu berusia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi SAW yang tidak bisa ditiru umatnya.

Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interprestasi dari QS. Al Thalaq: ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.5

Subtansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam Syatiby dalam magnum opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini bertujuan agar hukum Islam tetap selalu up to date, relevan dan mampu merespon dinamika perkembangan zaman.6

Permasalahnya berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini berdasarkan berbagai pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan yang cukup dilematis.

5Jalaludin Suyuthi, Jami’al Shaghir hal. 210 Darul Kutub Ilmiah, Beirut. 6


(16)

Menyikapi masalah tersebut, Izzudin Ibn Abdussalam dalam bukunya Qowa’id al Ahkam, mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka kita dituntut untuk menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan.7

Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia “matang” mengandung nilai positif, maka hal adalah yang lebih utama.

Usia kawin pertama (UKP) atau pernikahan dini gadis usia di bawah 17 tahun di jabar pada tahun 2006, mencapai 59,37 persen. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Cianjur merupakan daerah tertinggi kaum perempuan yang menikah pada usia di bawah 15 tahun dengan persentase 30,95 persen.

Kepala seksi (Kasi) Advokasi dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) BKKBN Jawa Barat, S Teguh Santoso mengatakan, persentase pekawinan usia muda di Jabar merupakan angka tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data BKKBN Jabar pada periode 2006, Kabupaten Cianjur merupakan daerah tertinggi angka pernikahan dini di bawah usia 15 tahun.

Dia menjelaskan, tingginya angka pernikahan dini pada kaum perempuan di Jabar ini, disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor ekonomi yang rendah mendorong anak perempuan menikah dini, di samping rendahnya

7Izzudin Ibn Abdusslam, Qowa’id al Ahkam hlm. 90 vol. II Daarul Kutub Ilmiah, Beirut.


(17)

faktor pendidikan, dan opini masyarakat terhadap pasangan remaja untuk segera menikah.

Menurutnya, fenomena pernikahan dini yang terjadi di Jabar tidak bisa dihilangkan. Sebab, keyakinan dan kepercayaan yang timbul di masyarakat sudah berlangsung lama. Tapi, salah satu upaya untuk menyikapi hal tersebut hanya dengan pengaturan kehamilan. Sebab tanpa ada pengaturan itu, akan berpengaruh pada laju pertumbuhan penduduk di Jabar.

Pergaulan bebas mendorong terjadinya pernikahan dini. Agar keluarga atau orangtua perempuan tidak merasa malu apabila anaknya hamil tanpa suami dan keluarga atau orangtua laki-laki tidak dipersalahkan karena anaknya telah menghamili anak orang maka pernikahan usia dini dilaksanakan. Hal ini yang menimbulkan banyak permasalahan terutama pada masyarakat pedesaan, yang akhirnya anaknya berhenti sekolah, masih muda dibebani permasalah yang komplik, dan juga pandangan masyarakat yang negatif terhadap mereka yang melaksankan pernikahan dini. Berdasarkan latar belakang di atas penulis menyusun kajian skripsi dengan judul : “ Dampak

sosial yang disebabkan oleh pernikahan usia dini “ Studi kasus di Desa Gunungsindur – Bogor.

B. Fokus dan Pembatasan Masalah 1. Fokus Masalah

Penelitian ini berfokus pada dampak sosial yang disebabkan oleh pernikahan usia dini, studi kasus di Desa Gunungsindur – Bogor. Di mana


(18)

terjadi pernikahan usia dini di desa Gunungsindur yang disebabkan karena hamil di luar nikah, faktor ekonomi dan lain sebagianya.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan fokus masalah di atas penulis membatasi masalah penelitian ini pada:

a. Apa Faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini?

b. Bagaimana tanggapan dari keluarga, masyarakat sekitar dan teman sejawat pasangan pernikahan dini setelah menikah?

c. Dampak sosial apa saja yang terjadi akibat pernikahan usia dini dan mengatasi permasalahan rumah tangga seperti: ekonomi, kesehatan dan juga pendidikan anak?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini di Desa Gunungsindur – Bogor.

b. Mengetahui bagaimana pandangan keluarga, masyrakat sekitar dan juga teman sejawat pasangan pernikahan dini, setelah menikah / berkeluarga.

c. Mengetahui dampak sosial (ekonimi, kesehatan dan pendidikan akibat pernikahan usia dini.


(19)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis

a. Dapat menambah khazanah penelitian dan obyek penelitian mahasiswa Jurusan kesejahteraan sosial (Kessos).

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dan pengetahuan, baik bagi para pembaca atau terutama bagi para praktisi yang terkait dalam pembinaan rumah tangga.

2. Manfaat Praktis

a. Dalam penelitian ini penulis berharap dapat memberikan bahan masukan bagi aparatur yang berwenang dalam urusan pernikahan dan juga rumah tangga, agar lebih berani dalam memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat tentang pernikahan dini.

b. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang baru dalam masalah ini, di samping sebagai perbandingan antar teori yang didapatkan dari bangku kuliah dengan praktek yang terjadi di lapangan.

E. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian adalah teknik atau cara dalam pengumpulan data atau bukti yang dalam hal ini perencanaan tindakan yang dilaksanakan serta langkah-langkah apa yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan dan


(20)

sasaran penelitian.8 Penulisan skripsi dalam judul evaluasi program telah banyak dilakukan oleh beberapa mahasiswa namun masing-masing mereka memilik beberapa perbedaan dalam metodologi penulisannya.

1. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.

Kemudian Klick dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya.9 Untuk mendukung penelitian kualitatif penulis juga menggunakan data-data kuantitatif sebagai pelengkap.

2. Pemilihan Kasus

Dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan informan untuk menjadi objek penelitian penulis. Per tanggal 8 November 2010, terhitung 10 orang yang telah resmi dan bersedia menjadi informan. Karena kasus pernikahan usia dini sedang marak terjadi, akan tetapi

8

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998. h. 78.

9

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000), h. 3


(21)

mereka malu untuk mengakui pernikahan mereka masih bisa dikatakan belum pantas secara usia dan faktor psikologis. Dari 10 orang ini, terdapat 2 orang yang menikah pada usia 13 tahun, 1 orang pada usia 14 tahun dan 15 tahun, 3 orang pada usia 16 tahun dan 2 orang pada usia 17 tahun. Kenapa penulis memilih 10 orang informan ini, karena selain informan yang bersedia memberikan informasinya tetapi orang tua informan juga bersedia memberi informasi. Selain itu penulis mencari perbedaan pekerjaan dari masing-masing informan agar dapat melihat kondisi perekonomi, pendidikan dan kesehatan bagi keluarganya.

3. Tinjauan Pustaka

Dalam penulis ini, penulis melakukan tinjauan pustaka sebagai langkah dari penyusunan skripsi yang penulis teliti agar terhindar dari kesamaan judul dan lain-lain dari skripsi yang sudah ada sebelum-sebelumnya. Setelah mengadakan tinjauan pustaka, maka penulis menemukan skripsi yang membahas tentang pernikahan usia dini, tetapi penulis akan memaparkan dari sudut berbeda yaitu:

Nama : Barkah

Universitas : UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.

Judul Skripsi : “Pernikahan Usia Dini dan Pengaruhnya terhadap pendidikan Agama Islam dalam Keluarga”.


(22)

Dalam skripsi ini, menjelaskan penyebab terjadinya pernikahan usia dini, pengaruh positif dan negatif dari pernikahan usia dini. Lebih mendetail hampir 70 % menjelaskan bagaimana cara memberikan pendidikan Agama Islam bagi keluarga pasangan pernikahan usia dini.

Yang menjadi pembeda skripsi ini dengan skripsi penulis adalah sudut pandangnya, dimana penulis mencoba melihat pasangan pernikahan usia dini tidak hanya dari sudut pendidikan agama, tetapi lebih luas lagi yaitu secara perekonomian, pendidikan, kesehatan dan juga dilingkuang sosial tempat tinggal pasangan pernikhan usia dini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang ditempuh penulis adalah : a. Penelitian Kepustakaan (library research)

Yaitu dengan membaca, memahami dan menginterprestasikan buku-buku, dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan pembahasan ini,

b. Observasi

Observasi adalah salah satu metode utama dalam penelitian dampak sosial terutama penelitian kualitatif. Observasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena dampak sosial (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu


(23)

tanpa mempengaruhi fenomena tersebut guna menemukan data dan analisis.10

c. Wawancara

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang yang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.11

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode wawancara mendalam. Wawancara mendalam ini bersifat luwes, artinya susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah saat wawancara berlangsung.

Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu disiapkan pedoman wawancara yang berhubungan dengan keterangan yang ingin digali. Adapun hal yang akan diwawancarai adalah seputar dampak sosial dan keberagaman orang yang telah menikah pada usia dini dan menanyakan tentang motivasinya dan prolematika pernikahannya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahasa sunda dan dan dalam transkip bahasa Indonesia dalam mewawancarai responden, yaitu orang-orang yang menikah saat usia dini yang berada di Desa Gunungsindur – Bogor. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman reponden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan

10

Imam Suprayogo, Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h.167

1111

Dedi Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Penerbit: PT Remaja Rosdakarya, Bandung. 2003), h.180


(24)

karena adanya ketidak lancaran para responden dalam berbahasa Indonesia.

5. Analisa Data

Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif, data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan tersebut dideskripsikan dalam bentuk uraian. Maksud utama analisis data adalah untuk membuat data itu dapat dimengerti, sehingga penemuan yang dihasilkan bisa dikomunikasikan kepada orang lain.

6. Macam dan Sumber Data

Macam dan data yang diambil dalam penelitian ini terdapat dua data, data primer (pokok) dan data skunder (pendukung).

a. Sebagai data primer (pokok), diperoleh melalui wawancara dengan keluarga dan juga pasangan pernikahan dini serta masyarakat sekitar. b. Sebagai data skunder (pendukung), diperoleh melalui studi pustaka,

KUA Kecamatan Gunungsindur, majalah, internet dan data-data pendukung lainnya yang dapat melengkapi data primer.

F. Sistematika Penulisan

Adapun dalam penulisan sistematika penulisan, penulis membagi pembahasan menjadi lima bab dan selanjutnya dirinci menjadi sub bab dengan susunan sebagai berikut:


(25)

BAB I PENDAHULUAN terdir dari: latar belakang masalah, fokus dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORITIS terdiri atas : Pengertian pernikahan dini, Dampak sosial dari pernikahan dini.

BAB III TEMUAN PENELITIAN DAN ANALISA terdiri atas : Profil Daerah.


(26)

16

A. Kajian Teoritis

1. Pengertian Pernikahan

Perkawinan disebut juga “Pernikahan” berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti bersetubuh (Wathi’i).

Dalam Bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “Kawin” yang artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1

Abu Zahr Zakaria mendefinisikan: Nikah ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafazd nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.

Dalam kompilasi hukum Islam disebutkan pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqoon gholidhan untuk menaati perintah Allah dan merupakan ibadah.2

Abdurrahman Ghazaly dalam bukunya fiqh Munakahat,

menyebutkan bahwa perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan perkawinan adalah saling mendapatkan hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang

1

Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1994) Cet III, Edisi II hal. 456

2

Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta; Logos Wacan Ilmu, 1999) cet. I hal. 140


(27)

dilandasi tolong- menolong karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka didalamnya terkandung adanya tujuan / maksud mengharapkan keridhoan Allah SWT.3

Dari pengertian-pengertian diatas dapat diambil pengertian bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah dan kata-kata yang semakna dengannya untuk membina rumah tangga yang sakinah dan untuk menaati perintah Allah SWT, dan melakukannya merupakan ibadah.

2. Syarat dan Rukun Nikah

Sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, maka terlebih dahulu harus di perhatikan hal-hal yang mendasar dari terlaksananya kegiatan tersebut, yaitu dilengkapi syarat-syarat serta rukun-rukun dari pernikahan tersebut. Menurut Sayyid Sabiq, pengertian rukun adalah : “Rukun yang pokok dalam perkawinan adalah keridhoan dari kedua belah pihak dan persetujuan merekan didalam ikatan tersebut.4

Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa rukun adalah sesuatu yang menjadi hakikat atas sesuatu. Maka apabila rukunnya tidak terpenuhi dapat dipastikan bahwa pernikahan tidah sah.

Yang termasuk kedalam rukun pernikahan itu adalah : a. Calon pengantin pria

b. Calon pengantin perempuan

3

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media 2003), cet. I hal. 20 4

Sayyid Syabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut; Beirut Dar-al Fikr, 1981), Cet. IV Jilid 2 hal. 29


(28)

c. Wali nikah d. Dua orang saksi

e. Sighat (akad) ijab kabul5

Adanya rukun juga disertai dengan syarat-syarat, adapun yang dimaksud dengan syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, tetapi tidak termasuk salah satu bagian dari hakikat perkawinan.6

Adapun mengenai syara-syarat perkawinan adalah sebagai berikut: a. Perempuan yang halal dinikahi oleh laki-laki untuk dijadikan istri,

perempuan itu bukanlah yang haram dinikahi, baik haram untuk sementara ataupun untuk selamanya.

b. Hadirnya para saksi dalam pelaksanaan pernikahan.7

3. Hukum Nikah

Pada dasarnya hukum asal pernikahan adalah mubah, tetapi hukum nikah ini dapat berubah menjadi wajib, sunnah, haram ataupun makruh bagi seseorang, sesuai dengan keadaan seseorang yang akan nikah.

Tentang hukum perkawinan Ibnu Rusyd menjelaskan:

Segolangan fuqoha; yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang sunnat dan mubah untuk

5

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung; Mizan, 1994) Cet. I hal. 52

6

Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, hal. 15 7


(29)

segolongan yang lainnya. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.

Al-Jaziri mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan adakalanya mubah.

Ulama Sayfi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah. Disamping ada yang sunnah, wajib, haram dan yang makruh.

Terlepas dari pendapat-pendapat imam mazhab, berdasarkan nash-nash baik Al-Qur’an maupun As-sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah.8

a. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarangg. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan

8


(30)

perkawinan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan itupun wajib sesuai dengan kaidah :

بجاو وهف هباا بجا ولا متياام

Artinya: “Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya,

maka sesuatu itu hukumnya wajib pula.”

Kaidah yang lain mengatakan :

دص اقما مكح لئاسولل

Artinya: “Sarana itu hukumnya sama dengan hukum yang dituju.” Seseorang wajib menikah apabila :

a. Seseorang yang dilihat dari pertumbuhan jasmaniahnya sudah layak sekali untuk kawin dan kedewasaan rohaniahnya sudah sempurna.

b. Seseoranga yang mampu baik dalam hal seksual maupun ekonomi. c. Seseorang yang takut terjerumus kapada hal-hal yang diharamkan

oleh Allah.

d. Seseorang yang memiliki kemampuan membayar mahar dan seluruh kewajiban nafkah perkawinan.

e. Memiliki badan yang sehat.

f. Percaya bahwa dirinya bisa memperlakukan istrinya dengan baik. g. Percaya bahwa jika tidak menikah pasti ia akan terjerumus ke


(31)

Hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut merupakan hukum saran sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.

b. Perkawinan yang hukumnya sunnat.

Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.

Pernikahan dianggap sunnat jika:

a. Seseorang yang mencapai kedewasaan jasmani dan rohani. b. Sudah wajar dan terdorong hatinya untuk kawin.

c. Mereka yang memiliki kemampuan ekonomi. d. Memiliki badan yang sehat.

e. Merasa aman dari kekejian yang diharamkan Allah.

f. Tidak takut akan berbuat buruk terhadap wanita yang dinikahinya. Alasan menetapkan hukum sunnat itu ialah dari anjuran Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32 :







































Artinya: “Dan kawinlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika meraka miskin Allah akan memampukan merekan dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”


(32)

Ayat Al-Qur’an tersebut berbentuk perintah, tetapi berdasarkan qorinah-qorinah yang ada, perintah tidak memfaedahkan hukum wajib, tetapi hukum sunnat saja.

c. Perkawinan yang hukumnya haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang itu adalah haram.

Pernikahan menjadi haram apabila :

a. Jika seseorang tahu bahwa dirinya tidak mampu melakukan aktivitas seks.

b. Tidak ada sumber pengahasilan untuk membiayai dirinya dan keluarganya atau nafkah rumah tangga.

c. Merasa akan menyakiti istrinya saat persetubuhan, menganiaya atau mempermainkannya.

Al-Qur’an surat Al-Baqarah 197 melarang orang melakukan hal yang mendatangkan kerusakan:

ةكلهتلا ىا مكي دياباوقلتاو

Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu kedalam

kebinasaan”

Termasuk juga hukumnya haram apabilal seseorang kawin dengan maksud menelantarkan orang lain, masalah wanita yang dikawini itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat kawin dengan orang lain.


(33)

d. Perkawinan yang hukumnya makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir kedalam perzinahan sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

Pernikahan hukumnya makruh apabila :

1) Seseorang yang dipandang dari pertumbuhan jasmaniahnya sudah layak untuk kawin, kedewasaan rohaniahnya sempurna tetapi tidak mempunyai biaya untuk keluarganya, hal ini sesuai denga firman Allah :

























Artinya: “Dan orang-orang yang mampu kawin hendaklah ia menjaga kesucian dirinya sehingga Allah memampukan

mereka dengan karunianya.” (Q. S. An-Nur: 33)

2) Seseorang yang mampu menikah tetapi ia khawatir akan menyakiti wanita yang akan dinikahinya atau menzalimi hak-hak istri.

e. Perkawinan yang hukumnya mubah

Bagi orang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya juga tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi


(34)

kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.

Pernikahan mubah untuk dilaksanakan apabila:

1) Seseorang berkeyakinan tidak akan jatuh ke dalam perzinahan kalau ia tidak kawin.

2) Ia kawin tidak mengabaikan kewajibannya sebagai suami atu istri. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama, sehingga meninbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.9

4. Hikmah dan tujuan pernikahan dalam Islam

a. Hikmah perkawinan

Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan Allah di dalam menjadikan dan menciptakn alam ini. Perkawinan bersifat umum, menyeluruh, berlaku tanpa kecuali.

Berbicara masalah hikmah perkawinan Abdullah Nasekh Ulwan menyatakan antara lain sebagai berikut:

1) Untuk memelihara jenis manusia; dengan perkawinan manusia dapat melanjutkan kelangsungan hidupnya dari jenis keturunannya.

9

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. (Jakarta; Prenada Media, 2003) Cet. I hal. 16-22


(35)

2) Untuk memelihara keturunan; dengan perkawinan sebagaimana telah diatur oleh syariat Allah SWT kepada hamba-hambanya. Tampak jelas bahwa garis keturunan bentuk pendidikan yang dapat mengekalkan kemuliaan bagi setiap keturunan.

3) Menyelamatkan manusia dari kerusakan akhlak; dengan perkawinan masyarakat diselamatkan dari kerusakan akhalak dan mengamankan dari setiap individu dari setiap kerusakan pergaulan. 4) Untuk menentramkan jiwa setiap pribadi; perkawinan dapat

menentramkan jiwa cinta kasih yang dapat melembutkan perasaan antar suami dan istri, tatkala suami selesai bekerja pada siang hari dan kemudian kembali kerumahnya pada sore harinya ia dapat berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Hal ini dapat melenyapkan semua kelelahan dan deritanya pada siang hari. Begitu pula sebaliknya. 5) Untuk menjalin kerja sama suami istri dalam membina keluarga

dan mendidik anak-anak. Dengan kerja sama yang harmonis diantara suami dan istri bahu membahu untuk mencapai hasil yang baik, mendidik anak yang shaleh yang memiliki iman yang kuat dan ruh Islam yang kokoh lahirlah rumah tangga yang tentram dan bahagia.10

andasan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan pada dasarnya adalah tujuan yang ingin diraih dari melakukan tersebut. Begitupun halnya dengan pernikahan, seseorang ingin melaksanakannya karena dilandasi oleh tujuan yang ingin diraih.

10


(36)

Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Melaksanakan libido seksual 2) Memperoleh keturunan

3) Memperoleh keturunan yang shaleh 4) Memperoleh kebahagian dan ketentraman 5) Mengikuti sunnah Nabi

6) Menjalankan perintah Allah 7) Untuk berdakwah.

Dengan tercapainya ketujuh diatas dapat kita jadikan rujukan untuk membentuk keluarga sakinah dalam naungan panji Islam dan hidup dengan keridhoan Allah SWT.

5. Hakikat Pernikahan Usia Dini a. Pengertian dan Batasan usia dini

Sebelum penulis membahas tentang pengertian pernikahan dini, terlebih dahulu harus diketahui batasan usia muda. Mendefinisikan usia muda (remaja) memang tidak mudah karena kalau kita lihat sampai saat ini belum ada kata sepakat antara para ahli ilmu pengetahuan tentang batas yang pasti mengenai usia muda, karena menurut mereka hal ini tergantung kepada keadaan masyarakat dimana usia muda itu ditinjau.11

11

Salihun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem Remaja,


(37)

Ada beberapa pengertian usia muda yang ditinjau dari beberapa segi diantaranya:

Usia muda (remaja) menurut bahasa adalah : “Mulai dewasa, sudah mencapai umur untuk kawin”.12

Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa : “Usia muda (remaja) adalah anak yang pada masa dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak baik untuk badan, sikap dan cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang, masa ini dimulai kira-kira umur 13 tahun dan berakhir kira-kira 21 tahun.”13

Masa remaja adalah suatu periode peralihan yaitu masa peralihan dari masa kanak-kanak kepada masa dewasa. Ini berarti anak-anak pada masa ini harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari sikap dan pola perilaku dan pola yang ditinggalkan. Akibat peralihan ini remaja bersikap Ambivalensi. Di satu pihak si anak remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, jangan selalu diperintah seperti anak kecil, tetapi dilain pihak segala kebutuhannyan masih minta dipenuhi seperti halnya pada anak-anak.

Masa remaja merupakan periode perubahan yang sangat pesat baik dalam perubahan fisiknya maupun perubahan sikap dan perilakunya. Ada empat perubahan yang bersifat universal selama masa remaja yaitu:

12

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983), hal. 813

13


(38)

1) Meningkatnya emosi, intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi, perubahan emosi ini hanya pada terjadi pada masa remaja awal.

2) Perubahan fisik, perubahan peran dan minat yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah-masalah baru sehingga selama masa ini si remaja merasa ditimbuni masalah.

3) Dengan berubahnya minat dan perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Apa yang dianggap penting dan bernilai pada masa kanak-kanak sekarang ini tidak lagi. Kalau pada masa kuantitas dipentingkan sekarang segi kualitas diutamakan.

4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalensi terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan merekan untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.14

Dalam agama Islam tidak dijelaskan batasan umur remaja,tetapi hal ini dapat dilihat ketika seseorang telah mencapai akil baligh, itu ditandai haid (menstrubasi) yang pertama bagi perempuan sehingga sudah boleh dinikahkan. Dan wanita Indonesia rata-rata haid pada usia kurang lebih 13 tahun. Sedangkan yang laki-laki ditandai dengan bermimpi atau mengeluarkan mani (ejakulasi) dan sudah boleh menikah juga.15

14

M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2007) Cet. III hal. 25-26

15


(39)

Elizabet B. Harlock mendefinisikan usia remaja dan membaginya dalam tiga tingkatan yaitu: pra remaja 10-12 tahun, remaja awal 13-16 tahun, remaja akhir 17-21 tahun.16

Menurut WHO batasan usia muda terbagi dalam dua bagian yaitu: usia muda awal 10-14 tahun dan usia muda akhir 15-20 tahun.17

Dari penjelasan di atas, ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang batas usia muda, namun dalam hal ini penulis mencoba menyimpulkan bahwa usia muda itu adalah mulai dari umur 10 tahun sampai 21 tahun. Yang tercakup didalamnya antara lain masa pra remaja, remaja awal dan remaja akhir. Jadi pernikahan dini adalah hubungan antara dua insan yang berlainan jenis kelamin yang didasari atas rasa suka sama suka sebagai landasan terlaksananya ketentuan-ketentuan syariat agama untuk membentuk mahligai rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah. Pernikahan dilakukan pada saat pasangan tersebut berusia antara 10-21 tahun.

b. Remaja dan Masalah yang dihadapinya

Ahmad Muzakir dan Joko Sutrisno dalam bukunya Psikologi Pendidikan di dalam lapangan psikologi ada yang beranggapan bahwa ada hubungan erat antara jasmani dan rohani, sehingga pertumbuhan jasmani yang menyolok disertai pula oleh perubahan rohaniyah pula. Dengan demikian terdapat saling pengaruh mempengaruhi antara kedua macam pertumbuhan itu. Dengan bersendi pada pandangan yang demikian itu pula

16

Muhammad Yunus, Pendidikan Seumur Hidup, (Jakarta: Lodaya, 1987), h. 52 17

Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1989) Cet Ke-1, h. 9-10


(40)

maka orang mengadakan pembagian pertumbuhan dan perubahan-perubahan jasmani. Aris Toteles adalah salah seorang yang mengadakan pembagian atas perkembangan dengan dasar perubahan jasmani itu. Oleh Aristoteles, anak lahir sampai 21 tahun dibagi menjadi tiga periode yang mengikuti dibatasi adanya perubahan jasmani yang dianggapnya penting. Adapun perubahan jasmani yang dianggapnya penting ialah terjadinya pertukaran gigi pada umur tujuh tahun, dan tumbuhnya tanda-tanda pebertas seperti perubahan suara, kumis dan tanda-tanda kelamin sekunder lainnya yang timbul pada umur 14 tahun.

Atas dasar pembagian itu dilakukan sebagai berikut: 0-7 tahun, periode anak kecil, 7-14 tahun periode anak sekolah, 14-21tahun periode pubertas.

Pembagian lain didasarkan atas dasar sifat-sifat psikis semata-mata. Pembagian itu antara lain dikemukakan oleh Charlot Buhlerr Comenius mengadakan pembagian pertumbuhan yang dimuat dalam bukunya Digactica Magna, berdasarkan kepentingan pengajaran bagi si anak. Pembagian itu antara lain: 0-6 tahun, sekolah ibu, 6-12 tahun, sekolah bahasa ibu, 12-18 tahun, sekolah bahsa latin, 18-24 tahun, sekolah tinggi. Dalam rangka mencari dasar-dasar yang bersendi praktek-praktek pendidikan, perkembangan dapat dibagi sebagai berikut: Masa vital 0-2 tahun, Masa kanak-kanak 2-6 tahun, Masa sekolah 6-12 tahun, Masa Remaja 12-18 tahun, Masa dewasa 21-24 tahun.


(41)

Berdasarkan klasifikasi yang ditulis oleh Ahmad Muzakir dan Joko Sutrisno penulis mengutif bahwa pada masa remaja dapat diambil dan diketahui masalah-masalah yang timbul akibat masa perkembangan dan pertumbuhan remaja itu sendiri adalah sebagai berikut:

Masa usia 6-12 tahun

Dinamakan masa sekolah, karena pada usia 6-12 tahun, anak telah mengikuti mata pelajaran sekolah dasar (bagi anak normal) adapun tanda-tanda kematangan itu antara lain:

Dalam lapangan perasaan anak lekas merasa puas, mudah gembira, tetapi belum dapat mengikuti kepuasan, kesedihan dan kegembiraan yang dialami orang lain. Pada akhir periode ini anak mengalami apa yang disebut individualisme kedua. Pada masa ini anak hasratnya kuat, kepercayaan pada diri sendir kuat, cita-citanya hebat.

Pada masa itu merupakan waktu yang baik untuk timbulnya gerombolan anak-anak liar. Perkelahian anak-anak terjadi disebabkan oleh karena anak-anak sering menonjolkan dirinya. Pada masa ini biasanya terdapat minat yang istimewa yang berwujud nafsu mengumpulkan. Anak gemar mengumpulkan perangko, kartu pos bergambaran dan sebagainya.

Pada masa remaja 12-18 tahun

Pada permulaan masa ini anak mengalami perubahan-perubahan jasmani yang berwujud timbulnya tanda-tanda kelamin sekunder, suaranya berubah pada laki-laki yang umumnya menurun satu oktaf, lengan dan kaki mengalami pertumbuhan yang cepat sekali, sehingga anak menjadi


(42)

canggung dan kaku. Kelenjar-kelenjar baru mulai tumbuh. Keadaan anak yang demikian menimbulkan gangguan psikis. Oleh Rumke dinamakan gangguan Regulasi.

Perubahan rohani juga timbul. Anak telah mulai berfikir secara abstrak. Ingatan logis makin lama makin lemah. Pertumbuhan fungsi-fungsi psikis yang satu dengan yang lain tidak dalam keadaan seimbang, akibatnya anak sering mengalami gangguan-gangguan. Oleh gangguan ini dinamakan gangguan integrasi.

Kehidupan sosial anak remaja berkembang sangat luas. Akibatnya anak berusaha melepaskan diri dari kekangan-kekangan orang tua untuk mendapatkan kebebasan. Akan tetapi disamping itu anak masih tergantung kepada orang tua, dengan demikian terjadi pertentangan antara hasrat kebebasan dan perasaan ketergantungan kepada orang tua. Hal ini yang menyebabkan apa yang oleh Ramke dinamakan gangguan individualisasi. Rumke berpendapat bahwa ketiga gangguan itu (Integrasi, Regulasi dan Individualisasi) selalu dialami oleh anak yang memulai masa remaja, bahkan anak yang tidak mengalami tersebut tidak akan dapat mencapai kedewasaan secara normal.

Pada masa remaja anak telah mulai menemukan nilai-nilai hidup, cinta persahabatan, agama dan kesusilaan, kebebasan dan kebaikan. Maka dari itu dapat dinamakan masa pembentukan dan penentuan nilain dan cita-cita. Pada bagian akhir masa remaja anak telah menunjukkan perbedaan minat, antara laki-laki dan perempuan.


(43)

Selain itu anak juga telah memulai berfikir tentang tanggung jawab, sosial dan agama.

Masa Transisi ( 18-21 Tahun )

Pada masa transisi dari masa remaja kemasa dewasa awal, remaja telah mengalami ketenangan batin. Akan tetapi sifat radikal dan revolusioner masih tetap menggelora. Sedikit demi sedikit ia menginsyafi bahwa orang tidak dapat menggapai segala cita-citanya dalam hidupnya. Anak mulai berpandangan realistis.

Pada masa ini jasmaniahnya mengalami perkembangan yang terbaik dan yang paling indah dibandingkan dengan masa-masa yang lain. Anak mulai berfikir mengenai: siapa yang akan menjadi taman hidupnya nanti. Kadang-kandang begitu besarnya perhatian dalam lapangan ini sehingga perhatian dalam hal lain tersisihkan.

Masa dewasa ( 21-24 tahun )

Pada masa ini telah menginjak masa dewasa. Setelah masa ini pada umumya seseorang telah menunjukkan kematangan jasmani dan rohani. Orang telah memiliki keyakinan dan pendirian yang tetap, telah memikirkan secara sungguh-sungguh tentang hidup berkeluarga dan telah menerjunkan diri kedalam masyarakat ramai dengan ikut aktif dalam berbagai tugas sosial, masuk dalam organisasi sosial, banyak yang berkecimpung kedalam dunia politik. Mereka telah mempunyai tanggung jawab sosial baik sebagai bapak dalam keluarga maupun sebagai anggota masyarkat.18

18

Ahmad Muzakir dan Joko Sutrisno, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) Cet I, hal. 86-91


(44)

c. Hal-hal harus diperhatikan sebelum menikah usia dini

Ketika seseorang memutuskan untuk menikah dini maka sebaiknya mempersiapkan diri terlebih dahulu sehingga nantinya memiliki bekal untuk menjalani hidup berumah tangga serta menghindari dari kemungkinan-kemungkinan yang buruk. Hal-hal ini yang diperhatikan diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Memiliki kesiapan merupakan faktor utama terlaksananya pernikahan.

Jika seseorang ingin melangkah menuju suatu pernikahan, maka dia harus memiliki kesiapan sebelumnya, kesiapan yang dimaksud fisik, mental, materi, atau lainya. Kesiapan dari semua hal sangat dibutuhkan dalam membentuk mahligai rumah tangga. Disamping menyiapkan perangkat fisik, mental dan materi, seseorang yang akan melakukan pernikahan seharusnya mempersiapkan hal-hal berikut;

a) Persamaan dalam tujuan pernikahan, yakni pembentukan keluarga sejahtera.

b) Persamaan pendapat tentang bentuk keluarga kelak, jumlah anak dan arah pendiidikannya.

c) Mempunyai dasar pernikahan dan hidup keluarga yang kuat kemauan; baik toleransi dan cinta kasih.


(45)

Faktor-faktor ini harus dibereskan pemikirannya sebelum pernikahan, apabila hal ini telah dipersiapkan sebelum pernikahan, barulah mereka dapat membina hidup berkeluarga.19

2) Memiliki kematangan emosi.

Yang dimaksud dengan kematangan emosi adalah kemanusiaan untuk menyesuaikan diri, menetapkan diri dan mengahadapi segala macam kondisi dengan suatu cara dimana kita mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kita hadapi saat itu.20

Dengan memiliki kematangan emosi seseorang dapat menjaga kelangsungan pernikahannya karena lebih mampu mengelola perbedaan yang pasti ada dalam rumah tangga.

3) Lebih dari sekedar cinta.

da alasan lain yang lebih baik untuk menikah. Pernikahan tidak hanya didasari cinta ataupun keterikatan pada fisik dan dorongan seksual saja. Tetapi harus didasari pada komitmen agar tidak terjerumus pada hubungan perzinahan dan hanya ingin mengikuti sunnah nabi dan mengharap ridho Allah SWT.

4) Mempunyai bekal ilmu.

Banyak hal yang harus dipelajari untuk menghadapi kehidupan berumah tangga. Ada kewajiban-kewajiban maupun kebijakan-kebijakan. Pernikahan yang menuntut untuk memiliki ilmunya sehingga bisa melaksanakan dengan baik dan tidak menyimpang.

19

Ny. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, (Jakarta: Gunung Mulia, 1988) Cet Ke-9 hal. 37

20

Muhammad Qorni, Indahnya, Manisnya bercinta Setelah Menikah, (Jakarta: Mustaqim, 2002) Cet Ke-1, hal. 112


(46)

Mengajarkan ilmu agama kepada istri dan anak-anak, mengingatan dan menasehati istri, mendampingi suami, dan sebagainya butuh ilmu. Berjimak pun butuh ilmu tentang bagaimana berjimak sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW.21 Untuk itu orang yang berumah tangga, perlu bekal ilmu untuk mengarungi bahtera rumah tangganya.

5) Kemampuan memenuhi tanggung jawab.

Kemampuan memenuhi tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang suami ataupun oleh seorang istri sehingga kadangkala membuat seseorang takut melakukan pernikahan. Bagi seseorang suami akan dipenuhi tanggung jawab untuk memberikan pakaian, makan serta rumah tinggal bagi istri dan anaknya. Dan bagi istri memiliki tanggung jawab untuk melayani suami dengan sebaik-baiknya. Mengatur rumah tangga, mengurus dan mendidik anak, ketika suami bekerja, dan banyak lagi tanggung jawab yang harus dipikul oleh pasangan suami istri. Untuk itu, sebelum menikah pasangan ini harus siap dengan segala tanggung jawab yang akan dipikulnya agar rumah tangga dapat berjalan dengan baik.

6) Kesiapan menerima anak.

Dalam membentuk sebuah rumah tangga seseorang tidak hanya dituntut kesiapan utnuk menikah, tetapi juga dituntut kesiapan untuk membentuk rumah tangga, yakni membentuk keluarga yang terdiri dari

21

M. Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) Cet. Ke-1, hal. 30


(47)

ayah, ibu dan anak. Suami istri harus siap menerima kehadiran anak dalam kehidupan mereka.22

6. Dampak Sosial Pernikahan Usia Dini.

Pernikahan usia dini mempunyai pengaruh besar terhadap tingginya angka kematian ibu, bayi dan umur harapan hidup, yaitu kesakitan dan kematian ibu di usia muda serta kesakitan dan kematian anak-anaknya relative lebih tinggi dari usia ibu lainnya, bahkan pengaruh terhadap pendidikan anak dan kemampuan pembentukan keluarga sehat sejahtera. Penelitian dan pengalaman di berbagai Negara, baik Negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa perkawinan usia muda mempunyai dampak yang tidak menguntungkan, tidak hanya membawa resiko besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan ibu-ibu yang mengandung dan melahirkan pada usia muda, tetapi juga terhadap anak hasil perkawinan usia muda itu. Beberapa kutipan dari berbagai studi, laporan yang menyangkut berbagai aspek pengaruh perkawinan usia muda terhadap kesehatan ibu dan anak23.

Data lain menunjukkan bahwa perkawinan usia muda berpengaruh pada kemungkian terjadinya kanker rahim bagi wanita. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Adhyatama – Menteri Kesehatan RI waktu itu (1991) antara lain sebagai berikut:

22

M. Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, hal. 31 23

Drs. H. Suparman Usman, SH. Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia , Serang; Saudara Serang, 1995, h. 94


(48)

“….. Salah satu penemuan yang konsisten dan yang nilainya cukup kuat adalah bahwa kemungkinan terjadinya kanker rahim serviks (kanker leher rahim wanita) pada perkawinan usia dini lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia lebih tua. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun mempunyai resiko kira-kira dua kali lipat untuk mendapatkan kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang menikah pada umur yg lebih tua”.24

Selain itu, dari segi demografis bila di suatu daerah banyak perkawinan usia dini, sering ditafsirkan bahwa daerah tersebut juga mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi. Dengan kata lain perkawinan usia dini identik dengan tingginya tingkat kelahiran karena masa reproduksi akan lebih lama (15-49 tahun) (T. Suhaemi Harun, 1992:10).25

Jawa Barat, salah satu wilayah kematian ibu terbesar di Indonesia menyimpan kasus-kasus perkawinan perempuan dibawah umur 16 tahun yang cukup besar jumlahnya. Indikator Sosial Wanita Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik tahun 1995 menyebutkan, 21,75 persen anak perempuan di perkotaan menikah pada usia di bawah usia 16 tahun, dan 47,79 persen berada di kawasan pedesaan.26 Dalam kesehatan reproduksi, perkawinan usia muda mengandung penuh resiko yang bias berakhir pada kematian.

24

Ibid, h. 95 25

Ibid, 26


(49)

a.Hubungan Antara Pernikahan dan Perubahan Sosial

Dalam hukum Islam. Kata perkawinan di kenal dengan nikah. Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan perbuatan ibadah. Melakukan perbuatan ibadah juga berarti melaksanakan ajaran agama. Seperti dalam sunnah yang berbentuk perkataan Rasulullah SAW yaitu: “barang siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh (ajaran) agamanya, yang separuh lagi hendaklah ia bertaqwa pada Allah”. Seperti yang telah dijelaskan bahwa pernikahan merupakan perjanjian parikatan antara pihak seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan agama. Dari sini terlihat bahwa pernikahan itu sebagai bagian dari pengamalan perilaku sosial keagamaan, hal tersebut menayangkut adanya interaksi dan penggabungan dua keluarga dan selanjutnya akan berkembang menjadi beberapa keluarga sehubungan dengan pengembangan keturunan.

Sebagaimana telah diambil kesimpulan bahwa perilaku sosial merupakan tindakan manusia yang dilatarbelakangi oleh adanya suatu tujuan dan kebutuhan bagi seseorang. Sedangkan perilaku keagamaan


(50)

mengandung penjelasan sebagai “suatu tanggapan atau reaksi individu terhadap ajaran agama yang terwujud dalam gerakan (sikap)”. Hal ini menunjukan bahwa perilaku agama mencerminkan sikap keberagaman atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Yang lebih mengarah pada pengamalan dan penghayatan sikap hidup seseorang sesuai dengan nilai-nilai agamanya masing-masing.

Sebuah perilaku atau tindakan yang berkaitan dengan hal yang sifatnya sosial maupun agama erat kaitannya dengan ideologi yang pada dasarnya sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Ideologi itu sendiri adalah ilmu tentang keyakinan-keyakinan dari gagasan-gagasan. Oleh karena itu sesuai dengna definisi tersebut maka ideologi mengandung keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan yang ditaati oleh suatu kelompok, suatu kelas sosial, suatu bangsa dan suatu ras.27

Begitu juga dengan agama sebagai ideologi, ia dapat berperan sebagai motivator, petunjuk dan pemberi kerangka dasar, sumber pengetahuan ilmiah sekaligus

27

Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam (Bandung: Mizan, 1984), h. 72


(51)

penjaga moral.28 Yaitu penilaian mengenai apa yang baik dan mengenai apa yang buruk. Dalam mencapai tujuan tertentu, maka bagi mereka yang beragama tidak semua cara diperbolehkan. Pada hakekatnya agama memberikan petunjuk tentang tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam kehidupannya serta kriteria mengenai cara yang baik untuk mencapai tujuan tersebut.29

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu tujuan perkawinan yaitu untuk melahirkan anak keturunan sebagai generasi penerus orang tuanya. Dalam konteks ini, tujuan perkawinan erat kaitannya dengan fungsi “reproduksi” dan adanya pemenuhan “kebutuhan seksual.”

Dalam pandangan Islam, hubungan seks bukanlah sesuatu yang kotor dan najis, melainkan bersih dan harus selalu bersih. Seks adalah kebutuhan biologis manusia yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Dari keyakinan ini, maka seks merupakan hal yang sangat penting dipelajari, agar kebutuhan seks berjalan dengan wajar dan naluri seks manusia yang merupakan anugrah

28

Djamaludin Ancok Fuat Nashori, Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), cet. Ke-2. h. 127

29

Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1986). h. 196


(52)

Tuhan tidak diselewengkan. Untuk menghindari hal itu maka perlu diterapkan moral agama dalam seks karena seks yang berjalan dengan moral agama, pasti akan berjalan dengan baik, wajar tanpa menodai harkat dan martabat manusia. Tak ada satu agama pun yang memperbolehkan kehidupan seks berjalan tanpa etika, aturan dan tatanan. Begitupun dengan Islam hubungan seks ini hanya dibenarkan melalui perkawinan. Hubungan seks yang berjalan tanpa ada ikatan perkawinan pasti akan menimbulkan berbagai akibat negatif sebagai gejala sosial, seperti terjadinya pelacuran, free seks. Terjangkitnya penyakit kelamin dan yang lainnya lagi.30

30


(53)

43

A. Profil Daerah Desa Gunung Sindur 1. Letak Geografis

Desa Gunung Sindur merupakan ibukota dari kecamatan Gunung Sindur, yang berada di bagian barat dari kabupaten Bogor. Wilayah Gunung Sindur, berbatasan langsung dengan Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

Luas wilayah Desa Gunung sindur ± 573.168 H². Adapun batas wilayah Desa Gunung Sindur dengan desa lain sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Desa Pabuaran  Sebelah Selatan : Desa Cibadung  Sebelah Barat : Desa Jampang  Sebelah Timur : Desa Pengasinan

Jarak antar Desa Gunung sindur dengan kantor-kantor pemerintahan lainnya lumayan cukup jauh, karena kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan yang terdiri dari 428 Desa dan 11 Kelurahan. Karena Desa Gunung sindur merupakan ibukota dari Kecamatan Gunung sindur itu sendiri maka kantor-kantor pemerintahan tidak terlalu jauh seperti :

Jarak dan kantor pemerintahan dari desa.


(54)

 Jarak dari Polsek : 0,2 Km  Jarak dari KUA Kecamatan : 0,2 Km

 Jarak dari Koramil : 0,2 Km

 Jarak dari pusat ibukota kabupaten : 30 Km  Jarak dari pusat ibukota provinsi : 180 Km  Jarak dari pusat ibukota Negara : 40 Km

2. Kondisi Sosial, Ekonomi, Pendidikan Masyarakat Desa Gunung sindur.

Pada tahun 2009 Pemerintah Kabupaten Bogor mencoba program baru untuk setia desa guna perbaikan di segi kesehatan yaitu RW siaga, dimana 1 Desa harus memiliki RW siaga. Yang dimaksud dengan RW siaga adalah bentuk kepedulian terhadap kesehatan masyarakat yaitu pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Pelayanannya sendiri ditujukan bagi ibu hamil dan melahirkan, gawat darurat, dan kematian. Namum pada kenyataan hal tersebut hanya manjadi sebuah wacana saja karena belum terealisasi sepenuhnya di masyarakat.

Berdasarkan hasil observasi, dari segi sosial masyarakat Desa Gunung sindur terdapat dua etnis masyarakat yaitu, Sunda dan Tiong Hoa (Cina keturunan). Sunda terdapat di dusun 2 Dusun Cimangir, 3 Dusun Glusur dan 4 Dusun Gunung sindur. Sedangkan etnis Tiong hoa atau biasa di sebut cina keturunan, terdapat di dusun 1 Dusun Prumpung.


(55)

3. Sarana

a. Sarana Ibadah.

NO SARANA IBADAH JUMLAH

1 MASJID 7 Buah

2 MUSOLAH 24 Buah

3 GEREJA 2 Buah

4 VIHARA 1 Buah

Sumber: Catatan lapangan penulis dari papan demografi desa Gunungsindur

b. Pendidikan.

NO SARANA PENDIDIKAN JUMLAH

1 SDN 4 Buah

2 SMPN 1 Buah

3 SMAN 1 Buah

4 PAUD 4 Buah

Sumber: Catatan lapangan penulis dari papan demografi desa Gunungsindur

4. Jumlah Penduduk

Penduduk yang berada di wilayah Desa Gunung sindur sudah semakin padat, karena terdapat perumahan-perumahan yang menambah banyak pendatang tinggal di desa Gunung sindur, hal ini tercatat di Kantor Desa Gunung sindur penduduk yang tinggal baik warga asli dan juga pendatang di Desa Gunung sindur pada tahun 2009. Desa Gunung sindur terdapat terdapat 5 Dusun, setiap dusun terdiri dari 3 Rukun Warga (RW), dan setiap RW memiliki 3 Rukun Tetangga (RT).


(56)

a. Jumlah Penduduk :

NO JENIS KELAMIN JUMLAH

1 LAKI-LAKI 4.886 Orang

2 PEREMPUAN 4.681 Orang

JUMLAH 9.567 Orang

Sumber: Catatan lapangan penulis dari papan demografi desa Gunungsindur

b. Jumlah Penduduk menurut Agama :

NO AGAMA JUMLAH

1 ISLAM 6.721 Orang

2 KATOLIK 1.031 Orang

3 PROTESTAN 835 Orang

4 BUDHA 728 Orang

5 HINDU 261 Orang

JUMLAH 9.576 Orang

Sumber: Catatan lapangan penulis dari papan demografi desa Gunungsindur

c. Jumlah Penduduk menurut usia di kelompokan pendidikan :

NO USIA JUMLAH

1 00 – 03 Tahun 588 Orang 2 >03 – 05 Tahun 545 Orang 3 >05 – 06 Tahun 429 Orang 4 >06 – 12 Tahun 1.012 Orang 5 >12 – 15 Tahun 1.045 Orang 6 >15 – 18 Tahun 953 Orang 7 >18 – 60 Tahun 3.663 Orang 8 >60 Tahun 1.332 Orang


(57)

Sumber: Catatan lapangan penulis dari papan demografi desa Gunungsindur

d. Jumlah Penduduk menurut tingkat pendidikan:

1) Lulusan Pendidikan Umum :

NO PENDIDIKAN JUMLAH

1 TK 240 Orang

2 SD 950 Orang

3 SMP/SLTP 120 Orang

4 SMA/SLTA 85 Orang

5 Akademi (D1 – D3) 75 Orang 6 Sarjana (S1 – S3) 30 Orang

Sumber: Catatan lapangan penulis dari papan demografi desa Gunungsindur

2) Lulusan Pendidikan Khusus :

NO PENDIDIKAN JUMLAH

1 Pondok Pesantren 10 Orang

2 Madrasah 35 Orang

3 Pendidikan Keagamaan 15 Orang

4 SLB -

5 Kursus Keterampilan 8 Orang

Sumber: Catatan lapangan penulis dari papan demografi desa Gunungsindur

e. Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian:

NO PEKERJAAN JUMLAH

1 PNS 58 Orang


(58)

3 Wiraswasta 178 Orang

4 Pedagang 237 Orang

5 Tani 256 Orang

6 Pertukangan 148 Orang

7 Buruh Tani 235 Orang

8 Nelayan -

9 Pemulung 7 Orang

10 Jasa 54 Orang

Sumber: Catatan lapangan penulis dari papan demografi desa Gunungsindur


(59)

49

A. Pemahaman Masyarakat Terhadap Pernikahan Usia Dini

Menikah adalah ibadah, itu berarti segala hal yang dilakukan dalam kerangka pernikahan bernilai ibadah dan mendapat pahala yang besar. Sebagai pelaku pernikahan usia dini, masyarakat memahami pernikahan sebagai tanda sahnya hubungan anatara laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri. Dimulai dari pernikahan itulah kehidupan rumah tangga dijalani hingga akhirnya terbentuklah sebuah keluarga.

Pemahaman mereka sangat kurang dan terbatas meski mereka adalah para pelaku pernikahan usia dini. Mereka belum sesungguhnya mengerti apa arti pernikahan dini yang mereka lakukan. Bahkan mereka tidak mengetahui bahwa ada undang-undang perkawinan di negara kita yang mengatur tentang batas-batas usia untuk menikah. Bagi mereka menikah tidak bergantung dari faktor usia, masih muda atau sudah tua jika sudah menemukan pasangan yang cocok maka menikah adalah hal biasa dan wajar-wajar saja.

Meski mereka menikah di usia dini dengan minimnya tingkat pendidikan yang mereka tempuh dan minimnya sumberdaya intelektualnya namun mereka sangat menghargai makna pernikahan. Hal itu dibuktikan dengan komitmen mereka menjalani kehidupan pernikahan di usia yang masih sangat muda untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.


(60)

Table 3.1

Gambaran umum informan berdasarkan, Tingkat Pendidikan, Usia Menikah dan Agama

.

NO Informan Tingkat

Pendidikan

Usia

Menikah Agama

1 A SD 16 THN ISLAM

2 B SMP 16 THN ISLAM

3 C SMP 17 THN ISLAM

4 D SD 17 THN ISLAM

5 E SD 13 THN ISLAM

6 F SD 15 THN ISLAM

7 G SD 13 THN ISLAM

8 H SD 16 THN ISLAM

9 I SD 14 THN ISLAM

10 J SD 16 THN ISLAM

Sumber : Hasil Wawancara dengan Informan.

Pada tabel 3.1 menunjukkan tingkat pendidikan informan yang rendah hal ini terbukti, dari 10 orang informan terdapat 8 orang berpendidikan sampai tingakat SD (Sekolah Dasar) dan 2 orang lagi berpendidikan sampai tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama). Masih rendahnya pendidikan yang didapatkan sehingga pengetahuan baik berumah tangga, mengurus suami dan anak masih rendah. Dan cara pandang dalam menjalankan keluarga pun masih terbatas dengan apa yang informan lihat, dengar dari orang tua dan tetangga. Usia yang masih dini, dapat dilihat di tabel terdapat informan yang menikah di usia 13 tahun (2 orang), 14 tahun (1 orang), 15 tahun (1 orang), 16 tahun (4 orang), 17 tahun (2 orang). Seluruh informan beragama Islam, karena mayoritas warga yang berada di Desa Gunungsindur beragama Islam, dan rata-rata


(61)

yang melakukan pernikahan usia dini secara agama paling banyak beragama Islam.

a. Faktor Penyebab Pernikahan Dini

Menikah dini adalah sebuah pilihan, pilihan hidup yang akan dilalui setiap orang, pilihan untuk segera menikah karena sudah bertemu dengan orang yang cocok dan siap untuk menikah. Menikah dini telah menjadi pilihan hidup, tentu ada berbagai macam alasan di balik pernikahan dini yang mereka lakukan. Secara konkrit informan yang menikah di usia dini yang penulis wawancarai sebanyak sepuluh orang.

Tabel 3. 2

Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini oleh Informan.

NO PENYEBAB ORANG PERSENTASE

1 MBA 4 Orang 40 %

2 Ekonomi 5 Orang 50 %

3 Takut Maksiat 1 Orang 10 % JUMLAH 10 Orang 100 % Sumber : Hasil wawancara dengan informan.

Tabel ini menunjukkan penyabab pernikahan usia dini yang dilakukan informan, karena cinta dengan pasangannya, faktor ekonomi dan juga takut akan melakukan maksiat. Dari ketiga faktor tersebut yang paling banyak mempengaruhi terjadinya pernikahan usia dini adalah faktor ekonomi. Ada 5 orang informan yang menunjukkan penyebab pernikahan usia dini karena faktor ekonomi, bertujuan agar ketika menikah dapat memperbaiki ekonomi keluarga khususnya wanita. Berharap si suami dapat membantu perekonomian keluarga si wanita, dan juga bagi


(1)

64

3) Pandangan masyarakat terhadap pasangan nikah dini.

Dalam konteks ajaran Islam, indifidu tak bisa dipisahkan dari masyarakat. Manusia itu sendiri diciptakan Tuhan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal (dan saling memberi manfaat), lita’arafui (Q/49:13). Disamping adanya perlindungan terhadap individu, juga ada perlindungan terhadap masyarakat. Meski individu memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain, sehingga Islam menghendaki adanya keseimbangan yang proporsional antara hak individu dan hak masyarakat, antara kewajiban individu dan kewajiban masyarakat, juga keseimbangan antara hak dan kewajiban.11

Pada pasangan nikah dini dalam menjalani hubungan dengan orang tua dan tetangga berjalan dengan biasa, normal seperti orang-orang menikah pada umumnya. Adapun sedikit permasalahan itu timbul kerena mencerminkan dirinya sendiri atau kebiasan dirinya sendiri, seperti males, bangun tidurnya siang, pendiam, pemalu dan lain sebagainya. Ditambah harus mengurusi rumah tangga, kesiapan mental inilah yang belum dipahami para pasangan nikah dini. Sehingga ada selintingan atau omongan dari tetangga atau saudara dari pasanganya, seperti di ungkapkan oleh ketua RW 05 :

“kalo dalam bertetangga namanya masih anak-anak ada juga omongan dari tetangga atau orang tua si laki-laki atau sebaliknya. Misalkan “males banget tuh bocah klo

11

Mubarok Achmd, MA. Psikologi Keluarga, dari keluarga sakinah hingga keluarga bangsa. PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta, Cet 1. 2005. Hal 206.


(2)

65

disuruh bebenah...” terus ada juga “kalo ketemu orang kaga ada sapa-sapanya”...paling hal-hal begitu. Ya saya sih sebagai aparat maklumin karena belum bisa adaptasi lingkungan jadi ya biarin aja selama engga bikin masalah di lingkungan saya”12

Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Amil Emad :

“secara bertetangga sih saya liat biasa-biasa aja, paling secara fisik bagi wanita tampak lebih tua apalagi kalo udah punya anak. Kalo sama tetangga sih akur-akur aja, paling ada masalah juga Cuma ngomongin misalnya...”13

Oleh karena itu pada pasangan nikah dini yang berada di Gunung Sindur dapat menajalankan kehidupan bertengga seperti biasa, karena antara pasangan laki-laki dan perempuan nikah dini berasal dari satu daerah orang sunda dan juga orang Gunungsindur. Sehingga tidak ada kesulitan dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang baru, dan dapat menyesuaikan karena kehidupannya tidak jauh berbeda dengan lingkungan di tempat tinggalnya sebelum menikah.

12

Wawancara pribadi dengan Bapak Hermawan Suwandi, Bogor, 20 Januari 2011 13


(3)

65 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini penulis membuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Penyebab pernikahan usia dini di masyarakat Desa Gunung Sindur adalah karena tingkat pendidikan, faktor adat/tradisi setempat, cinta terhadapa pasangannya, faktor ekonomi, dan juga karena hamil di luar nikah. Dari beberapa faktor tersebut yang menimbulkan pernikahan usia dini karena sex pra nikah dan keinginan sendiri yang banyak terjadi saat ini.

2. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka kualitas keluarga yang dihasilkan dari pernikahan usia dini pun rendah. Karena belum bisa mengatur masalah keuangan, kesehatan dan rencana masa depan untuk anaknya.

3. Setelah menjalani kehidupan rumah tangga masalah yang dihadapi adalah stres dan mudah marah, mungkin hal ini dikarenakan belum matangnya secara pemikiran dalam menghadapi segala masalah dalam bahtera rumah tangga.

4. Pernikahan Usia Dini tidak hanya memiliki pengaruh negatif tetapi juga pengaruh posif yakni; menambah ilmu melalui pengalaman hidup berumah tangga dan menimbulkan rasa tanggung jawab. Menumbuhkan sikap dewasa, menghindari diri dari prilaku seks bebas, namum apabila pernikah


(4)

66

dini tidak didasari oleh niat yang kuat (mengharapkan keridhoan Allah), hal ini dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut: Kesulitan Ekonomi, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang menyebabkan kondisi keluarga kurang harmonis.

B. Saran-saran

1. Pernikahan dini memang tidak dilarang secara agama, tetapi akan lebih bijaksana jika menikah di usia matang yang secara fisik dan mental sudah benar-benar siap sehingga kedepannya tidak mengalami kegagalan.

2. Sebaiknya kepada orang tua agar lebih mengawasi lagi anaknya yang sudah mempunyai pacar, jangan sampai nantinya kecolongan dalam mendidiknya. Dan perlua adanya pelajaran sex education, agar bagi anak muda yang ingin menikah dini dapat memahami resiko ketika hendak menikah dini.

3. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di lingkungan masyarakat, seperti Karang Taruna dan Remaja Masjid bagi para remaja. Dapat membantu pengetahuan dan juga pengerem bagi remaja dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat bersifat negatif. Sehingga dapat tersalurkan baik hobi dan kegiatan yang menyenangkan, agar keinginan menikah pada usia muda dapat tertunda sampai saat dia sudah cukup umur menurut undang-undang pernikahan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Muhdlor, A. Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung; Mizan, 1994) Cet. I Ghazaly, abdurahman. Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media 2003), cet. I Muzakir, Ahmad. Dan Sutrisno, Joko. Psikologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka

Setia, 1997) Cet I,

Akbar, Ali. Merawat Cinta Kasih, (Jakarta; Pustaka Antara, 1975) Cet. Ke-2 Basri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem

Hukum Nasional, (Jakarta; Logos Wacan Ilmu, 1999) cet. I

Mulyana, Dedi. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Penerbit: PT Remaja Rosdakarya, Bandung. 2003),

Dikbud, Dept. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1994) Cet III, Edisi II hal.

Syakir, Muhamad Fu’ad. “Perkawianan Terlarang Al-Misyar (kawin perjalanan),

Al’Urfi (kawin dibawah tangan), As-Sirri (kawin rahasia), Mut’ah.” Cendikia Sentra Muslim, Jakarta 2002.

Ghofar, Asyhari Abdul.“Islam & Prolema Sosial Sekitar Pergaulan Muda-mudi” cv. Akademika pressindo, Jakarta 2000, cet, 1.

Usman, Suparman. Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia , Serang; Saudara Serang, 1995,

Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998.

Tobroni, dan Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial Agama, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000)

Sabri, M. Alisuf. Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2007) Cet. III

Adhim, M. Fauzil. Saatnya Untuk Menikah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) Cet. Ke-1,

Adhim, Mohammad Fauzil. “Indahnya Pernikahan Dini” Gema Insani Press, Jakarta 2002, cet, 1.


(6)

Achmad, Mubarok. Psikologi Keluarga, dari keluarga sakinah hingga keluarga bangsa. PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta, Cet 1. 2005.

Qorni, Muhammad. Indahnya, Manisnya bercinta Setelah Menikah, (Jakarta: Mustaqim, 2002) Cet Ke-1,

Gunarsa, Singgih D,Ny. Psikologi Untuk Keluarga, (Jakarta: Gunung Mulia, 1988) Cet Ke-9

Nasir, Salihun A. Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999) Cet ke-1

Wirawan, Sarlito. Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1989) Cet Ke-1,

Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983),