Pemikiran Ikhwanus Shafa dan Relevansiny (1)
PEMIKIRAN IKHWANUS SHAFA DAN RELEVANSINYA TERHADAP
PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Almunauwar Bin Rusli, M.Pd
Dosen dan Peneliti IAIN Manado
[email protected]
Abstrak
Tulisan ini mengkaji corak, makna serta relevansi pemikiran Ikhwanus Shafa
terhadap pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Adapun faktor yang
mendorong mengapa kajian ini penting dilakukan dapat ditinjau melalui tiga perspektif
yakni konflik, modeling dan kontributif. Hasil kajian menunjukkan bahwa Ikhwanus
Shafa memiliki corak pemikiran nonformal yang menekankan kepada transmisi
keilmuan melalui jalur difusi dan jalur erutorium. Di sisi lain, ada tiga makna yang
terkandung dalam pemikiran mereka yaitu makna personal, interdisiplinery, dan
intrapersonal. Sedangkan titik relevansinya terletak pada tiga indikator utama yaitu
tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, dan metode pengajaran. Fenomena relevansi
ini terjadi karena munculnya fenomena "jaringan intelektual baru" kaum muslimin
Sulawesi Utara dan Timur Tengah lewat latar belakang pendidikan strata I para
pimpinan pesantren tersebut. Sehingga, ada kemungkinan besar para pimpinan itu
mempelajari pemikiran Ikhwanus Shafa ketika mereka belajar di sana. Hal ini perlu
diteliti lebih lanjut.
Kata Kunci : Pemikiran, Ikhwanus Shafa, Pendidikan Islam Indonesia
PENDAHULUAN
Sebagai sebuah kelompok intelektual yang eksis pada sekitar abad ke-10 di Basra,
Irak, maka dapat dikatakan bahwa sosok Ikhwanus Shafa selalu menarik sekaligus
menantang untuk dipelajari bahkan dalam pandangan sebagian peneliti, Ikhwanus
Shafa adalah “organisasi tersamar” yang meletakkan asas-asas persaudaraan murni demi
mencapai tujuan yang telah mereka sepakati. Meski demikian, organisasi ini tidak suka
menonjolkan gejala-gejala primordialisme karena bentuk keanggotaannya yang
homogen, melainkan lebih bersifat kosmopolitan dengan bekal keilmuan mereka yang
1
cukup mapan. Kami mencermati, model kosmopolitan tersebut dipilih agar mereka
dengan leluasa bisa memobilisasi massa, memahami pilihan rasional, serta membingkai
(framing) ide-ide pemikiran berdasarkan dasar-dasar ontologi, epistemologi, juga
aksiologi yang mereka pegang. Oleh sebab itu, kemunculan pemikiran intelektual
Ikhwanus Shafa cenderung menyebar bukan terpaku pada satu titik1.
Yang menjadi akar persoalan kemudian adalah, tampaknya orang hanya mengetahui
aspek pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa. Akan tetapi, boleh dibilang masih sedikit
kalangan yang mencoba menelusuri secara lebih mendalam terkait pemikiran
pendidikan yang mereka lakukan sehingga menghasilkan produk keilmuan yang
mereka pasarkan. Oleh sebab itu, jika dipetakan, maka ada tiga model perspektif yang
dapat menjelaskan mengapa jaringan transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa penting dikaji
meskipun mereka dilabeli “hidden community”. Tidak bisa dihindari, bahwa pelabelan
semacam itu ikut mengkonstruksi karakter mereka ketika menjalankan misi keislaman.
Ketiga model perspektif itu adalah perspektif konflik, perspektif model, dan perspektif
kontributif.
Pertama, perspektif konflik. Ahli sosiologi mengatakan terdapat relasi resiprokal
(timbal-balik) antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Masyarakat
berfungsi sebagai penerus budaya dari satu generasi ke generasi lain melalui sosialisasi
nilai, pengetahuan, sikap dan keterampilan.2 Namun, representasi dunia pendidikan pada
kenyataannya tidak bisa mewakili secara total kondisi masyarakat apalagi tipenya
multikultural. Implikasinya, muncul kesenjangan dalam alur kehidupan. Kesenjangan
ini menjadi tanda tanya serius bagi Ikhwanus Shafa dalam rangka membuktikan misi
Islam li kulli zaman wa makan. Sebab, dapat dimaklumi mereka hidup dalam kondisi
pemerintahan yang kurang bersahabat. Di sisi lain, pemerintah juga memilik power kuat
untuk mengontrol kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, bentuk-bentuk pemikiran
Ikhwanus Shafa perlu dikemukakan.
Kedua, perspektif modeling. Ketika mencoba menelusuri makna dari orientasi
keilmuan Ikhwanus Shafa di sekitar abad ke-10 , maka kenyataannya masih belum ada
model pemetaan akademik yang akurat. Akhirnya, ketidakakuratan ini menimbulkan
1
Keberadaan kelompok ini tidak jelas karena mereka bersama para anggota merahasiakan diri dari
aktivitas mereka. Kendati tidak jelas, risalah ensiklopedis yang mereka hasilkan, menurut Abu Hayyan alTauhidi (Wafat tahun 414/1023 M) dari data internal dalam risalah mereka, dapat disimpulkan berasal
dari masa antara tahun 347 H/958 M sampai tahun 373 H/983 M atau dari perempat abad ke-4 H. Pusat
kegiatan mereka di kota Basrah, tetapi di Baghdad juga terdapat cabang dari kelompok rahasia itu. Lihat
selengkapnya, Abdul Azis Dahlan, Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 2003), h. 192
2
Ngainum Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural : Konsep & Aplikasi, (Yogyakarta : ArRuzz Media, 2011), h. 13-14
2
mata rantai kronologis yang terputus dimana mata rantai itu seharusnya dapat
menghubungkan makna jaringan pemikiran di masa lalu, kini dan akan datang. Di sisi
lain, gejala tersebut mengakibatkan tidak ada kajian lanjutan yang sifatnya informatifanalitis tentang bagaimana Ikhwanus Shafa memaknai fenomena keilmuan tersebut.
Padahal transmisi keilmuan itu terus hadir, berkembang, dan berubah semenjak Bani
Abbasiyah berkuasa.
Ketiga, perspektif kontributif. Aspek kontributif yang dimaksud adalah belum
banyak terdapat kajian yang mengaitkan implikasi pemikiran pendidikan mereka
kepada lembaga pendidikan Islam di Indonesia, semisal pesantren. Sehingga, khazanah
keilmuan Ikhwanus Shafa seolah kurang mendapat tempat dan berkembang cukup
pesat dikalangan masyarakat Indonesia yang sangat multikultural. Padahal kita tahu,
pada abad ke 19-20, murid-murid Jawi dari Nusantara (sekarang Indonesia) seperti
Nawawi al-Bantani, Khalil Bangkalan, Ahmad Rifa’i Kali Salak, Mahfuzh al-Termasi,
Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Muhammad Saleh Darat al-Samarani, Hasan Mustafa
Bandung, KH. Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, dan Syekh Muhammad Yasin bin Isa alPadani telah terlibat aktif dalam jaringan ulama dengan Timur Tengah. Artinya, Ulama
Nusantara telah terpadu dalam ‘a networked civilization’, peradaban berbasis jaringan.3
Penting juga disinggung, bahwa seiring berkembangnya zaman, jaringan baru kaum
muslimin terus bergerak akibat kemajuan teknologi, transportasi, komunikasi serta
informasi. Akan tetapi, sekali lagi, belum ditemukan satu format analisis yang
“mengawinkan” pemikiran Ikhwanus Shafa dengan pesantren di Indonesia
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus kajian dalam tulisan ini
adalah bagaimana corak, makna dan relevansi pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap
pendidikan Islam di Indonesia. Secara teoritis, tulisan ini dapat menjadi referensi
objektif yang membuka arah dan kecenderungan baru dalam studi tentang Ikhwanus
Shafa dan khazanah pemikiran Islam pada umumnya. Dengan mengungkap objek
kajian ini, beberapa kalangan akademisi sekaligus praktisi pendidikan
dapat
memperoleh pemahaman baru yang lebih komprehensif-holistik terkait pemikiran
Ikhwanus Shafa. Sedangkan secara praktis, hasil kajian ini dapat dijadikan petunjuk
teknis untuk melacak, memetakan serta menganalisis pemikiran Ikhwanus Shafa beserta
pengaruhnya dalam konteks pendidikan Islam.
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka (library research).
Pertama, penulis menentukan pokok permasalahan. Kedua, penulis melakukan proses
identifikasi, klasifikasi, analisis, kemudian interpretasi data sesuai dengan fokus
3
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII :
Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2013), h.XI-XII
3
masalah yang telah ditetapkan. Ketiga, penulis merumuskan kesimpulan. Sumber data
bersifat sekunder yaitu informasi dari buku, jurnal dan koran.
PEMBAHASAN
Corak Pemikiran Ikhwanus Shafa
Ikhwanus Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang
banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Perkumpulan
tersebut berkembang pada abad ke dua hijriah di Kota Basra, Irak. Organisasi ini antara
lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan kepada
persaudaraan Islamiyah (ukhuwwah Islamiyah), yaitu suatu sikap yang memandang
iman seorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.4 Seperti yang telah kami jelaskan di awal, Ikhwanus Shafa
mencirikan identitas kelompoknya sebagai komunitas eksklusif dan menjadikan
kolektivisme sebagai basis pergerakan. Hal ini bisa kita perhatikan pada gairah dakwah
mereka yang menujukkan ketajaman loyalitas serta
keberpihakkan terhadap
pengetahuan. Seluruh anggota Ikhwanus Shafa wajib menjadi guru dan mubaligh
terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat.
Kemunculan Ikhwanus Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap
pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar Islam dan untuk
membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam.5
Menurut hasil pencermatan kami dari berbagai sumber, kehadiran Ikhwanus Shafa di
permukaan tidak terlepas dari kontrol pemerintah setempat karena aktivitas mereka
dianggap berpotensi untuk mengusik perangkat epistemologis yang telah dimapankan
sekaligus dihegemoni oleh pihak penguasa.6 Sehingga, kader Ikhwanus Shafa sangat
terbatas, bahkan aktivitas mereka lebih banyak bersarang “di bawah tanah”. Menarik
diperhatikan, bahwa kader-kader yang bisa bergabung dengan Ikhwanus Shafa harus
memiliki jiwa militan, komitmen dan berakhlak mulia. Kriteria ini merupakan pantulan
4
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 181
5
Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat : Quantum Teaching,
2005), h. 102
6
Kecaman-kecaman yang terjadi di masa kekuasaan al-Ma’mun, seorang Khalifah Abbasiyah
keempat adalah para filosof dituduh atheis, berpikiran bebas, serta filsafat disamakan dengan kekafiran.
Sehingga para ahli filsafat terpaksa memilih cara bersembunyi dalam mempelajari dan
mengembangkannya. Lihat Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta :
Al Amin Press, 1997), h. 66.
4
dari ideologi Islam murni (puritanisme) yang mereka lakoni 7. Jika dibongkar lagi, maka
sebetulnya puritanisme ini cenderung berujung pada Islamisme.
Menurut Philip K. Hitti dalam perkembangannya, kelompok ini sempat
melancarkan gerakan oposisi terhadap penguasa. Caranya adalah
dengan mendiskreditkan sistem pemikiran dan agama yang populer.
Itulah mengapa aktivitas dan sifat keanggotaan mereka cenderung
samar, misterius, dan rahasia. Adapun sebutan Ikhwan al-Shafa kemungkinan
diambil dari cerita seekor merpati dalam kisah Kalilah wa Dimnah. Ini adalah kisah
tentang sekelompok hewan yang berpura-pura menjadi sahabat dekat atau ikhwan alshafa, satu sama lain berhasil menghindar dari perangkap pemburu. Ikhwan al-Shafa
membentuk bukan saja pertalian filosofis, melainkan juga
religius politis.8
Dari gambaran sekilas di atas, maka pada bagian pertama ini kami akan melacak
bentuk pemikiran Ikhwanus Shafa. Begini, konsep dasar yang harus kita pahami
bersama adalah jaringan atau kontak-kontak ekspansi transmisi keilmuan Ikhwanus
Shafa terjadi karena mereka lebih merasa memiliki banyak kesamaan ideologi dengan
kelompok-kelompok intelektual di wilayah lain sedangkan di halaman sendiri justru
“dikebiri”. Hal ini serupa dengan fenomena Pan Islamisme yang dikumandangkan oleh
Jamaludin Al-Afghani. Maka, bentuk utama dari usaha yang dilakukan Ikhwanus Shafa
untuk menghasilkan pemikiran brilian terutama dalam konteks pendidikan lebih
bercorak nonformal. Corak nonformal ini menekankan kepada transmisi keilmuan yang
diperoleh melalui jalur difusi dan jalur erutorium. Dua jalur inilah yang menjadi kata
kunci dari usaha transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa ketika menumbuhkan gerakan
pemikiran kepada masyarakat lintas batas, budaya dan ras.
Bentuk difusi adalah kontak transmisi keilmuan langsung secara fisik, sedangkan
bentuk erutorium adalah kontak transmisi keilmuan tidak langsung secara pustaka. 9
Pada jalur difusi, Ikhwaus Shafa terus melakukan ekspansi ke berbagai daerah seperti
Iran dan Kuwait. Dalam perkembangannya, mereka malancarkan strategi secara rapi
dengan mengutus beberapa anggota rahasia untuk merekrut orang-orang yang dianggap
7
Diantara anggota yang dapat diketahui nama-nama mereka adalah sebanyak lima orang : (a) Abu
Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar Al-Basti dikenal dengan nama al-Maqdisy (b) Abu Al-Hasan Ali Ibnu
Harun Ad-Zanjany (c) Abu Ahmad Al-Mahrajani (d) Al-Qufy (e) Zaid Ibnu Rifa’ah. Busyairi Madjidi,
h.66
8
Khazanah Republika, Ikhwan Al- Shafa Menyebarkan Filsafat, Selasa 31 Agustus 2010, h. 20
9
Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan : Sketsa Perbandingan Pendidikan di
Negara –Negara Islam dan Barat, (Yogyakarta : Gama Media, 2003), h. 10.
5
dapat bekerjasama, terutama dari kalangan pemuda. 10 Para kader harus memiliki
majelis sendiri dimana majelis itu digunakan sebagai tempat bertemu dan tidak boleh
dihadiri selain kelompok mereka. Ekspansi keilmuan dengan wilayah lain ini
menerapkan sistem muzakarah (tukar pikiran). Materi yang mereka kaji terpusat pada
dimensi jiwa, rasionalitas, kitab, science dan non science.11 Oleh sebab itu, dapat
diinterpretasi bahwa jaringan transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa dari jalur difusi ini
sangat memprioritaskan penalaran pengetahuan yang sifatnya integratif-interkonektif
internal, bukan fanatik buta. Ada tiga kata kunci dalam sifat tersebut yaitu (a)
Semipermeable (b) Intersubjective testability (c) Creative imagination.12 Tapi,
sepertinya ketiga kata kunci ini kurang begitu dimaksimalkan secara eksternal akibat
sistem mereka yang melahirkan pembatasan, penyeragaman sekaligus mereduksi
kelompok lain yang barangkali dicurigai sebagai mata-mata.
Ada satu fenomena menarik dari jalur difusi ini yaitu Ikhwanus Shafa telah
membuat suatu kebijakan bahwa harus pemuda yang menjadi kader utama. Ada apa?
Menurut analisis kami, pemuda merupakan sumber daya manusia yang memiliki modal
idealisme, aktualisasi diri, dan gejala inquary yang tinggi. Ketiga modal ini selanjutnya
menciptakan gerakan sosial. Penjelasan yang lebih akademik terkait gerakan sosial ini
datang dari David Meyer dan Sidney Tarrow. Bagi mereka, gerakan sosial ialah
tantangan-tantangan bersama yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama dalam
interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan dan pemegang otoritas.13
Gerakan sosial ini pada fase berikutnya mendiagnosis kondisi sosial yang bermasalah
untuk diselesaikan, menawarkan solusi alternatif, dan menghadirkan legitimasi
argumentatif demi menarik dukungan masyarakat terhadap aksi-aksi kolektif.
Selanjutnya, pada jalur erutorium, Ikhwanus Shafa giat melakukan kajian pustaka
melalui tiga tahap. Pertama, menghimpun sumber-sumber filsafat yang berasal dari
Yunani, Persia, dan Islam sehingga menjadi satu ikhtisar dan madzhab filsafat sendiri.
Kedua, mereka melakukan modifikasi daftar isi dari kajian pustaka tersebut secara
komprehensif dan holistik agar memudahkan pembaca. Ketiga, gaya tulisan, lafal,
perumpamaan, serta contoh dalam menguraikan tujuan dan istilah-istilah filsafat dapat
memberikan pemahaman yang otentik kepada pembaca.14 H.A.R. Gibb menyatakan,
10
Ramayulis & Samsul Nizar, h. 101
11
Busyairi Madjidi, h. 69-70
12
Amin Abdullah, Pendekatan Multidisiplin Dalam Studi Keislaman Di Perguruan Tinggi :
Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 6
13
Qiuntan Wiktorowicz (Editor), Gerakan Sosial Islam : Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus,
(Yogyakarta : Gading Publishing, 2012), h. 11
14
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam : Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global, (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016), h. 162
6
“Islam is indeed more than a system of theology, it is a complete civilization”.
Kebudayaan dan peradaban Islam dibangun atas nilai-nilai ketuhanan yang dibuka oleh
spirit keilmuan dan penghargaan terhadap potensi akal pikiran.15 Dengan demikian,
bentuk transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa
melalui jalur erutorium mampu
memberikan hasil yang signifikan bagi kemajuan wacana sekaligus praktik keilmuan.
Karya utama mereka dari kedua jalur ini bernama “Rasaa’il Ikhwanus Shafa”.16
Makna Pemikiran Ikhwanus Shafa
Pada bagian kedua ini, akan dipetakan makna pemikiran Ikhwanus Shafa
khususnya yang concern pada bidang pendidikan. Ada tiga pemetaan makna tersebut
yaitu makna secara personal, interdisiplinery, dan intrapersonal. Makna secara personal
menekankan kepada ilmu yang diperoleh untuk pengalaman pribadi atau perseorangan.
Makna secara interdisiplinery menekankan kepada ilmu yang diperoleh agar dapat
berinteraksi dengan dimensi keilmuan yang lain. Dan makna secara intrapersonal
menekankan kepada ilmu yang diperoleh untuk meningkatkan kualitas spiritual
keagamaan.
Makna Personal
Ikhwanus Shafa memandang bahwa ilmu pengetahuan itu dapat dicapai melalui
dua cara. Pertama, dengan cara mempergunakan panca indera terhadap obyek alam
semesta yang bersifat empirik. Ilmu model ini berkaitan dengan tempat dan waktu.
Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang disampaikan oleh orang
lain. Ilmu yang dicapai dengan cara yang kedua ini hanya dapat dicapai oleh manusia
dan tidak dapat dicapai oleh binatang. Dengan cara yang kedua ini pula manusia dapat
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang gaib.17 Selain itu, Ikhwanus Shafa
menyebutkan bahwa ilmu juga dapat dicapai melalui tulisan dan bacaan. Dengan cara
15
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam : Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik
Sampai Modern, (Jakarta : Rajawali Press, 2013), h.3
16
Mereka membagi empat tingkatan keanggotaan. Pertama, Ikhwan al-Abrar al-Ruhama’, yakni
kelompok yang berusia 15-30 tahun yang memilik jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus
murid sehingga dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru. Kedua, Ikhwan al-Akhyar wa alFudhala’, yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkatan ini mereka sudah mampu
memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan (tingkat guruguru). Ketiga, Ikhwan al-Fudhala’ al-Karim, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam konteks
kenegaraan, kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Keempat, Al-Kamal, yakni kelompok
yang berusia 50 tahun ke atas. Mereka disebut dengan tingkatan al-Muqarrabin min Allah karena mereka
sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga hati mereka telah terbuka dan menyaksikan kebenaran
dengan mata hati. Lihat selengkapnya Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Cita Pustaka
Media Perintis, 2010), h. 129-130
17
Abuddinata, h. 182
7
ini manusia dapat memahami kalimat, bahasa dan ungkapan-ungkapan yang ditangkap
melalui pemikiran. Untuk mendapatkan makna personal dari segala keilmuan, maka
diperlukan pembiasaan sekaligus perenungan. Kedua hal tersebut akan membentuk
karakter yang kokoh.18
Makna personal ini tidak hanya berangkat dari penalaran semata, melainkan ada
indikasi nyata yang mereka gali dari ayat Al-Qur’an lalu langsung dijadikan landasan
normatif untuk melegitimasi makna pemikiran tersebut. Adapun ayat yang dimaksud
sebagaimana di bawah ini :
٧٨ كم لمنن بررطون أ ر ل نمصنهتك رمش نلا تنعشل نرمونن نشيشا نونجنعنل ل نك ررم ٱل لنسمشنع نوٱلشأ نبشصنصنر نوٱلشأ نفشندنة ل ننعل ل نك رمش تنششك رررونن
نوٱلل ل نره أ نخشنرنج ر
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur” (QS. An- Nahl 16:78).19
Merujuk kepada hasil diskusi kami dan juga ditunjang oleh informasi penelitian
bahwa Ikhwanus Shafa lebih dekat dengan aliran John Locke. Dengan kata lain, untuk
mendapatkan makna personal dari ilmu-ilmu maka harus diterapkan paradigma
empirisme bukan idealisme. Aliran empirisme sudah barang tentu mengusung paham
militan bahwa pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi aktif dengan alam
nyata. Sebelum itu, niscaya akal tidak dapat mendeteksi apapun kecuali hipotesishipotesis yang diragukan kebenarannya. Ismail K. Poonawala, seorang Guru Besar
Bahasa Arab dari Departement of Near Eastern Languages and Cultures UCLA pernah
memberikan analisis bahwa sistem filsafat Ikhwanus Shafa pada dasarnya bersifat
ekletik, mencampuradukkan berbagai sistem kepercayaan dan filsafat. Sistem itu juga
mengandung unsur rasionalisme yang kuat. Struktur filosofis ini diturunkan dari
Neoplatonisme dan Neophytagoreanisme.20
Makna Interdisiplinery
Ketika membincangkan makna interdisiplinery dari pemikiran pendidikan
Ikhwanus Shafa, maka risalah-risalah mereka patut dijadikan acuan. Data menunjukkan,
risalah mereka berjumlah 52 risalah yang masing-masing judulnya dikelompokkan
menjadi empat bagian utama. Pertama, 14 risalah mengkaji matematika, seni dan
logika. Kedua, 17 risalah mengkaji ilmu alam meliputi materi, bentuk, waktu, ruang,
dan gerak, langit, bintang-bintang, benda tambang, tumbuhan, hewan, manusia dan
18
Abuddinata, h. 184
19
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata, (Jakarta : Maghfira Pustaka, 2010), h. 275
20
Ismail K. Poonawala, Al-Qur’an Dalam Rasa’il Ikhwan Al-Shafa, dalam Jurnal Ulumul Qur’an
Vol II No. 9 Tahun 1991, h. 34
8
jiwa. Ketiga, 10 risalah mengkaji jiwa, arti hidup, mati, kenikmatan, derita, bahasa,
proses perkembangan, hari bangkit dan kiamat. Keempat, 11 risalah mengkaji
ketuhanan, agama dan tasawuf.21 Jika mencermati dengan seksama, semua risalah yang
mereka rumuskan di atas mengacu kepada unsur universalitas dalam kehidupan dimana
dimensi universalitas tersebut akan tercipta jika masing-masing elemen partikular saling
mengetahui, berinteraksi juga terlibat aktif baik dari sisi pemikiran, perasaan maupun
tindakan sesuai dengan ajaran murni Islam.
Makna Intrapersonal
Ketika memperbincangkan makna intrapersonal dari pemikiran pendidikan
Ikhwanus Shafa, maka ada satu paradigma yang patut kita cermati bahwa program
rekonstruksi mereka diarahkan kepada dua aspek yaitu (a) memperkenalkan ide-ide
untuk memilih semua sumber yang ada dan berguna untuk semua ilmu pengetahuan,
dan (b) merancang manfaat semua ilmu pengetahuhan, baik untuk diri sendiri,
lingkungan, dan alam semesta sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan
akhirat.22 Berdasarkan rekonstruksi ini, dapat diinterpretasi bahwa mereka memaknai
ilmu bukan hanya sebatas untuk menundukkan bumi, melainkan meraih kenikmatan
secara spiritual bersama Tuhan di akhirat nanti. Ikhwanus Shafa memang sangat
mengutamakan pancaindera dan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi mereka
mengatakan keduanya memiliki keterbatasan ketika hendak memahami Tuhan. Maka
mereka menyodorkan alternatif ketiga yaitu pendekatan inisiasi (bimbingan otoritas
agama).23
Berdasarkan hasil diskusi kami, ternyata ada pendekatan-pendekatan yang
dimainkan oleh Ikhwanus Shafa dalam melakukan pemaknaan pemikiran keilmuan
secara intrapersonal dan juga berfungsi sebagai respons terhadap pemerintah yang
bertentangan dengan mereka kala itu. Pendekatan tersebut dapat dipetakan ke dalam
lima tahap. Pertama, mereka mengembangkan penafsiran sosial struktural lebih
daripada penafsiran individual ketika memahami sebuah kebijakan. Kedua, mereka
21
Busyairi, h. 68
22
Ramayulis & Samsul Nizar, h. 10
23
Sebagai makhluk etico-religious, manusia mengakui eksistensi dirinya sebagai ciptaan Tuhan,
mampu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT (Al-Ikhlas : 1), yang menciptakan segala sesuatu
(QS Al-An’am : 102), yang tidak pernah tidur (QS Al Baqarah : 255), dan yang menciptakan manusia
berpasang-pasangan, tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya (QS Al-Syuura 11), Manusia yang telah
beriman dan menerima agama Islam, percaya kepada Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-Nya dan rasul-Nya
(QS Al-Baqarah :195). Pandangan Islam terhadap manusia sebagaimana dirinci di atas memberikan
keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai individu , sosial, budaya, dan makhluk Allah.
Pandangan demikian akan menempatkan manusia secara proporsional antara teosentris dan
antroposentris. Lihat selengkapnya, Abd Rachman Assagaf, Filsafat Pendidikan Islam : Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta : Rajawali Press, 2014), h. 149-150
9
memodifikasi cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif melalui mekanisme
inquiry dan interpretasi terkontrol. Ketiga, mereka mengubah corak Islam yang
normatif menjadi teoritis. Implikasinya akan banyak disiplin ilmu yang secara orisinal
dapat dikembangkan menurut konsep-konsep Alquran. Keempat, mereka mengubah
pemahaman yang a-historis menjadi historis. Kelima, mereka merumuskan formulasiformulasi wahyu yang bersifat umum (general) menjadi formulasi-formulasi yang
spesifik dan empiris.
Relavansi Pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap Pendidikan Islam Indonesia
Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat
dari output-nya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Bila pendidikan
menghasilkan orang-orang yang senantiasa mampu menjaga keharmonisan hubungan
mereka dengan Tuhan-nya, membangun hubungan mereka dengan manusia juga
dengan alam sekitar, maka pendidikan tersebut bisa dikatakan berjalan dengan efektif
dan efisien. Sebaliknya, bila output-nya adalah orang-orang yang tidak mampu menjaga
keharmonisan dalam hidupnya, baik keharmonisan hubungan mereka dengan Tuhan,
manusia, maupun alam, maka pendidikan tersebut bisa dikatakan gagal bahkan berjalan
pincang. Dalam arti, pendidikan itu bisa dikatakan baik ketika mampu melahirkan
manusia-manusia yang saleh dalam keyakinan, pikiran dan amalnya.
Kini, kita telah sampai kepada bagian terakhir yang khusus membahas relevansi dari
pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap pendidikan Islam Indonesia kontemporer saat ini.
Dari segi waktu, memang ada perbedaan yang begitu jauh, tapi dari segi pemikiran tentu
senantiasa bersifat jangka panjang. Karena pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa
sangat beragam, maka kami hanya mengambil satu bagian saja yakni tentang tujuan
pendidikan, kurikulum dan metode.
Menurut Ikhwanus Shafa tujuan pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan.
Setiap ilmu adalah malapetaka bila tidak ditujukan kepada keridhoan Allah dan kepada
keakhiratan. Mengenai kurikulum, mereka menekankan agar mencakup logika, filsafat,
ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, kenabian, ilmu syariat dan ilmu pasti. Akan
tetapi, ilmu keagamaan mendapat porsi lebih banyak karena merupakan tujuan akhir
dari pendidikan. Sedangkan metode pengajaran yang direkomendasikan adalah
mengajar dari pola yang konkrit kepada pola yang abstrak. 24 Dari bagian-bagian ini
terlihat jelas bahwa Ikhwanus Shafa memiliki ambisi yang begitu kuat untuk
menjadikan dimensi agama sebagai pondasi dasar dari peradaban manusia. Oleh karena
24
Maragustam, h. 164
10
agama mengandung unsur-unsur yang kompleks, maka kurikulum harus menyentuh
perangkat-perangkat epistemologis keilmuan yang dapat menggali khazanah dari alam
semesta ini. Tentunya, agar perangkat epistemologis yang meliputi sumber, cara dan
kriteria ini dapat berjalan maksimal, maka ada modifikasi metodologis dengan mengacu
kepada struktur penemuan, pemikiran, lalu berujung kepada keyakinan.
Sebagai contoh, kami akan menyajikan hasil temuan di Pesantren Putri Assalam, Jl.
Kuala Buha, Bailang, Bunaken, Kota Manado, Sulawesi Utara. Pesantren Assalam
didirikan oleh Yayasan Karya Islamiyah tahun 1989.25 Sebelum mendirikan pesantren,
yayasan sudah memiliki sejumlah kegiatan, antara lain mendirikan masjid Assalam pada
tahun 1987 di kompleks perumahan pajak jalan 17 Agustus Wale Temboan Manado.
Selain itu, yayasan juga memiliki majelis taklim yang dinamakan Studi Islam Assalam
(SIAM) dan poliklinik Assalam. Madrasah/Sekolah yang ada di pesantren Assalam
terdiri dari Madrasah Tsanawiyah Assalam, Madrasah Aliyah Assalam dan Sekolah
Menengah Kejuruan Assalam.26 Perlu kita ketahui, bahwa Pesantren Assalam
merupakan pesantren putri terbesar di Sulawesi Utara, kehadirannya sangat
berkontribusi positif bagi orangtua yang ingin memberikan pendidikan Islam yang
maksimal kepada putra-putrinya. Fenomena ini dapat dipahami sebab secara statistik,
Manado merupakan basis Kristen terbesar.
Pesantren Assalam Manado yang memiliki 3 buah lembaga pendidikan formal,
menyelengarakan proses pendidikan dan pembelajaran berdasarkan kurikulum dari
Kementerian Agama untuk Madrasah dan Kementerian Pendidikan Nasional untuk
Sekolah Umum. Penyelenggaraan pendidikan di pesantren Assalam Manado, selain
menggunakan kedua bentuk kurikulum tersebut, diberlakukan juga kurikulum
kepesantrenan dan kegiatan ekstra kurikuler.
Dari segi tujuan, Pesantren Assalam Manado memiliki relevansi positif dengan
Ikhwanus Shafa. Tujuan akhir lulusan pesantren (MTs, MA, dan SMK) diharapkan
menjadi seorang sosok generasi muda muslim yang memiliki (a) aqidah yang bersih dan
lurus serta berakhlak mulia (b) kemampuan untuk beribadah dengan baik dan benar
serta istiqomah dalam menjalankannya (c) ilmu dan berwawasan yang luas terutama
pengetahuan ke-Islaman dan IPTEK (d) sehat jasmani dan rohani (e) kemampuan
berusaha dengan dengan 5 AS (keras, cerdas, tuntas, kualitas, dan ikhlas), (f) IQ, EQ,
25
Peletakan batu pertama dilaksanakan pada 6 Mei 1986 oleh Wakil Gubernur KDH tingkat I
Sulawesi Utara, Drs. Hi. Abdullah Mokoginta. Diresmikan pada 9 November 1989 oleh Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Sulawesi Utara, C. J. Rantung.
26
Figur Pimpinan Pesantren Assalam sudah empat kali mengalami pergantian pimpinan yaitu KH.
Drs. Abdurrahman Latukau, Lc. (1989-1995), Dra. Hj. Khadijah Munir (1995-1996), H. Khalillullah
Ahmas, Lc., M.Pd.I. (1996-2010), H. Ahmad Junaedy, Lc. (2010 sampai dengan sekarang).
11
SQ yang baik (g) bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat (h) keunggulan dan
berprestasi sehingga dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi (i)
kedisiplinan yang tinggi untuk mengatur waktu dan kehidupannya.
Dari segi kurikulum, Pesantren Assalam Manado memiliki relevansi positif dengan
Ikhwanus Shafa. Secara umum, kurikulum dari pemerintah (kecuali untuk Sekolah
Menengah Kejuruan), meliputi Pendidikan Agama Islam (Aqidah Akhlāq, Fiqih,
Qur’ān Hadist dan Sejarah Kebudayaan Islam), PPKN, Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Bahasa Arab, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Matematika. Sedangkan kurikulum pesantren meliputi al-qurān dan tajwid, tafsir-ilmu
tafsir, hadist dan ilmu hadist, muāmalah, tauhid, fiqih dan ushul fiqh, akhlāq, sirah dan
sejarah peradaban Islam.27 Semua kurikulum ini diajarkan oleh guru berdasarkan dengan
kompetensi mereka masing-masing. Kami menemukan, bahwa beberapa pengajar di
sana adalah dosen dari IAIN Manado. Hal ini mengindikasikan adanya transmisi
keilmuan yang datang dari perguruan tinggi. Sehingga, dapat berdampak kepada
semakin mapannya bekal keilmuan yang santri terima. Selain itu, lokasi pesantren
berada di dalam, jauh dari pusat keramaian. Kondisi seperti ini akan melahirkan
stabilitas dalam belajar.
Dari segi metode, Pesantren Assalam Manado juga memiliki kesamaan dengan
pola pengajaran Ihkwanus Shafa. Pola pengajaran ini awalnya tergambar dalam visi
misi pesantren sendiri. Visinya adalah terwujudnya lembaga Pendidikan Islam
berkualitas yang membangun generasi khairu ummah. Sedangkan misinya adalah (a)
menyelenggarakan pendidikan yang berlandaskan imtaq, berwawasan iptek, dan life
skill (b) menciptakan generasi yang selalu berfikir, berzikir dan beramal
(c) membina generasi beraqidah benar, berakhlâkul karimah, giat beribadah dan beramal
shaleh yang disertai dengan tafaqquh-fiddin (d) melaksanakan dan mengemban dakwah
Islam (e) menjunjung tinggi nilai-nilai moral, spritual, dan intelektual menuju
kesejahteraan dan keselamatan dunia serta akhirat. Jadi, pola pengajaran utama yang
dilakukan guru-guru di pesantren ini bercorak empiris-selektif-kategoris-akomodatifreflektif.
Berdasarkan tiga fase analisis yang kami rumuskan melalui studi sumber dan studi
lapangan, setidaknya memberikan kita paradigma baru bahwa spirit implikasi pemikiran
keilmuan Ikhwanus Shafa tidak hanya berputar-putar di wilayah Timur Tengah sana,
27
Adri Lundeto & Musdalifah Dachrud, Pesantren di Sulawesi Utara:Analisis Kritis Sistem
Pendidikannya, dalam Conference Proceedings Annual International Conference On Islamic Studies
(AICIS XII) IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012, h. 115
12
melainkan telah jauh berekspansi hingga ke Sulawesi Utara. Jika ditelusuri lebih lanjut,
ada kemungkinan besar para Kyai yang pernah menjadi pimpinan di Pesantren ini
mengadopsi pemikiran Ikhwanus Shafa lalu kemudian dimodifikasi sesuai dengan
perkembangan zaman, setting sosio-kultural masyarakat Manado yang begitu heterogen,
serta merujuk kepada kebutuhan santri-santri ketika berhadapan dengan modernitas.
Hipotesis ini kami ajukan sebab melihat latar belakang pimpinan pesantren banyak
bergelar “Lc”. Dan sudah barang tentu gelar ini hanya di dapatkan jika belajar di Mesir
(Timur Tengah). Kami pikir, ini menarik untuk dikaji pada masa-masa yang akan
datang.
Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya melakukan
adjusment dan readjusment. Namun, ia harus berperan aktif dalam menghidupkan
lokalitas keindonesiaan berdasarkan pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya.
Dalam konteks terakhir inilah, pesantren dengan Kyainya memainkan peran yang
disebut Clifford Geertz sebagai “cultural brokers” (pialang budaya) dalam pengertian
seluas-luasnya.28 Meminjam pemikirannya Bahrul Hayat, selaku Sekretaris Jenderal
Kementerian Agama RI, bahwa pesantren bermutu harus memiliki tujuh kecerdasan
utama yakni kecerdasan akademik, kecerdasan spiritual, kecerdasan moral, kecerdasan
emosional, kecerdasan lingkungan, kecerdasan pedagogis, dan kecerdasan manajerial.29
Kehadiran Pesantren Assalam di Manado merupakan fenomena ekspansi Islam
lewat jalur pendidikan. Pesantren tumbuh dengan normal tanpa mengalami kondisi
"prematur" atau benturan dalam ruang keragaman budaya serta iman. Meski kalah jauh
secara nominal, pesantren Assalam lebih bersifat adaptasionis juga kosmopolitan.
Karakter tersebut dibentuk oleh cetakan historis-demografis, sosiologis-ideologis, dan
personal-programatik.Karakter itu pada akhirnya berpotensi besar menciptakan civil
society yang kemudian melahirkan 'insight' dakwah yang lembut, humanis, dan hampa
dari tindak radikalisme bahkan terorisme. Pesantren di Manado bukanlah "dunia lain",
ia selalu ada, berkembang sekaligus berubah.
PENUTUP
28
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millineum
III, (Jakarta : Kencana, 2014), h. 130-131
29
Khazanah Republika, Madrasah Harus Bermutu Universal, Senin 26 September 2016/24
Dzulhijah 1437 H, h. 12
13
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan persaudaraan
suci yang terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim. Mereka bergerak secara rahasia
dan memiliki tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara
radikal-revolusioner, tetapi melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas.
Mereka sangat peduli dengan nasib Islam di zamannya.Kepedulian tersebut terutama
dalam pemikiran pendidikan, yang selanjutnya terefleksi dalam karya spektakulernya,
Rasa’il Ikhwan al-Shafa, sebuah karya dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya
terdapat beberapa disiplin ilmu pengetahuan sekaligus kurikulum pendidikan.
Perhatian Ikhwan al-Shafa terhadap aspek pendidikan telah menyebabkan mereka
dikelompokkan ke dalam golongan rasional-religius. Pada hakikatnya mereka hanya
bertujuan untuk mengarahkan tindakan dan tingkah laku manusia. Hal itu didasarkan
atas keyakinan bahwa akal yang terlatih dan terbina dengan baik akan mampu
mengarahkan dan mengendalikan tindak tanduk manusia sesuai dengan fungsinya
sebagai Khalifatullah. Perhatian Ikhwan al-Shafa terhadap pendidikan moral dan
keterampilan sesungguhnya tidak sesederhana dibanding perhatian mereka terhadap
pendidikan intelektual, bahkan dapat dikatakan bahwa sasaran utama pendidikan
Ikhwan al-Shafa adalah pendidikan moral.Dilihat dari segi moral dan keterampilan, isi
pendidikan yang diinginkan adalah yang sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah
Allah di muka bumi.
Bentuk utama dari pemikiran yang dilakukan Ikhwanus Shafa untuk menghasilkan
ilmu-ilmu brilian terutama dalam konteks pendidikan lebih bercorak nonformal. Corak
nonformal ini menekankan kepada transmisi keilmuan yang diperoleh melalui jalur
difusi dan jalur erutorium. Dua jalur inilah yang menjadi kata kunci dari bentuk
transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa ketika menumbuhkan gerakan pemikiran kepada
masyarakat lintas batas, budaya dan ras. Sedangkan makna dari pemikiran yang mereka
lakukan terbagi atas tiga pemetaan yaitu makna personal, makna interdisiplinery, dan
makna intrapersonal. Terakhir, relevansi pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap pendidikan
Islam Indonesia terdapat di Pesantren Putri Assalam di Manado, Sulawesi Utara. Titik
relevansinya terletak pada tiga indikator utama yaitu segi tujuan pendidikan, kurikulum
pendidikan, dan metode pengajaran. Fenomena relevansi ini terjadi karena munculnya
fenomena "jaringan intelektual baru" kaum muslimin di Sulawesi Utara dan Timur
Tengah lewat latar belakang pendidikan strata 1 para pimpinan pesantren
tersebut. Sehingga, ada kemungkinan besar para pimpinan itu mempelajari pemikiran
Ikhwanus Shafa ketika mereka belajar di Timur Tengah. Hal ini perlu diteliti lebih
lanjut.
Daftar Pustaka
14
Buku
Abdullah, Amin. 2015. Pendekatan Multidisiplin Dalam Studi Keislaman Di Perguruan
Tinggi : Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, Yogyakarta : UIN Sunan
Kalijaga.
Ahmad Hatta, Ahmad. 2010. Tafsir Qur’an Per Kata, Jakarta : Maghfira Pustaka.
Assagaf, Abd Rachman. 2014. Filsafat Pendidikan Islam : Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta : Rajawali Press.
______, Abd. Rachman. 2003. Internasionalisasi Pendidikan : Sketsa Perbandingan
Pendidikan di Negara –Negara Islam dan Barat, Yogyakarta : Gama Media.
______, Abd. Rachman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam : Hadharah
Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, Jakarta : Rajawali Press.
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII : Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta : Kencana.
____, Azyumardi. 2014. Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Millineum III, Jakarta : Kencana.
Dahlan, Abdul Azis, 2003. Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta:
Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta : Al
Amin Press.
Maragustam, 2016. Filsafat Pendidikan Islam : Menuju Pembentukan Karakter
Menghadapi Arus Global, Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta.
Naim, Ngainum & Sauqi, Achmad. 2011. Pendidikan Multikultural : Konsep &
Aplikasi, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
15
Ramayulis & Nizar, Samsul. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat :
Quantum Teaching.
Rizal, Syamsul, 2010. Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.
Wiktorowicz, Qiuntan (Editor), 2012. Gerakan Sosial Islam : Teori, Pendekatan, dan
Studi Kasus, Yogyakarta : Gading Publishing.
Jurnal
Ismail K. Poonawala, Ismail K. 1991. Al-Qur’an Dalam Rasa’il Ikhwan Al-Shafa,
Jurnal Ulumul Qur’an Vol II No. 9.
Lundeto, Adri & Dachrud, Musdalifah, 2012. Pesantren di Sulawesi Utara:Analisis
Kritis Sistem Pendidikannya, Conference Proceedings Annual International
Conference On Islamic Studies (AICIS XII) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Koran
Khazanah Republika, Ikhwan Al- Shafa Menyebarkan Filsafat, Selasa 31 Agustus 2010.
Khazanah Republika, Madrasah Harus Bermutu Universal, Senin 26 September 2016.
16
PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Almunauwar Bin Rusli, M.Pd
Dosen dan Peneliti IAIN Manado
[email protected]
Abstrak
Tulisan ini mengkaji corak, makna serta relevansi pemikiran Ikhwanus Shafa
terhadap pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Adapun faktor yang
mendorong mengapa kajian ini penting dilakukan dapat ditinjau melalui tiga perspektif
yakni konflik, modeling dan kontributif. Hasil kajian menunjukkan bahwa Ikhwanus
Shafa memiliki corak pemikiran nonformal yang menekankan kepada transmisi
keilmuan melalui jalur difusi dan jalur erutorium. Di sisi lain, ada tiga makna yang
terkandung dalam pemikiran mereka yaitu makna personal, interdisiplinery, dan
intrapersonal. Sedangkan titik relevansinya terletak pada tiga indikator utama yaitu
tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, dan metode pengajaran. Fenomena relevansi
ini terjadi karena munculnya fenomena "jaringan intelektual baru" kaum muslimin
Sulawesi Utara dan Timur Tengah lewat latar belakang pendidikan strata I para
pimpinan pesantren tersebut. Sehingga, ada kemungkinan besar para pimpinan itu
mempelajari pemikiran Ikhwanus Shafa ketika mereka belajar di sana. Hal ini perlu
diteliti lebih lanjut.
Kata Kunci : Pemikiran, Ikhwanus Shafa, Pendidikan Islam Indonesia
PENDAHULUAN
Sebagai sebuah kelompok intelektual yang eksis pada sekitar abad ke-10 di Basra,
Irak, maka dapat dikatakan bahwa sosok Ikhwanus Shafa selalu menarik sekaligus
menantang untuk dipelajari bahkan dalam pandangan sebagian peneliti, Ikhwanus
Shafa adalah “organisasi tersamar” yang meletakkan asas-asas persaudaraan murni demi
mencapai tujuan yang telah mereka sepakati. Meski demikian, organisasi ini tidak suka
menonjolkan gejala-gejala primordialisme karena bentuk keanggotaannya yang
homogen, melainkan lebih bersifat kosmopolitan dengan bekal keilmuan mereka yang
1
cukup mapan. Kami mencermati, model kosmopolitan tersebut dipilih agar mereka
dengan leluasa bisa memobilisasi massa, memahami pilihan rasional, serta membingkai
(framing) ide-ide pemikiran berdasarkan dasar-dasar ontologi, epistemologi, juga
aksiologi yang mereka pegang. Oleh sebab itu, kemunculan pemikiran intelektual
Ikhwanus Shafa cenderung menyebar bukan terpaku pada satu titik1.
Yang menjadi akar persoalan kemudian adalah, tampaknya orang hanya mengetahui
aspek pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa. Akan tetapi, boleh dibilang masih sedikit
kalangan yang mencoba menelusuri secara lebih mendalam terkait pemikiran
pendidikan yang mereka lakukan sehingga menghasilkan produk keilmuan yang
mereka pasarkan. Oleh sebab itu, jika dipetakan, maka ada tiga model perspektif yang
dapat menjelaskan mengapa jaringan transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa penting dikaji
meskipun mereka dilabeli “hidden community”. Tidak bisa dihindari, bahwa pelabelan
semacam itu ikut mengkonstruksi karakter mereka ketika menjalankan misi keislaman.
Ketiga model perspektif itu adalah perspektif konflik, perspektif model, dan perspektif
kontributif.
Pertama, perspektif konflik. Ahli sosiologi mengatakan terdapat relasi resiprokal
(timbal-balik) antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Masyarakat
berfungsi sebagai penerus budaya dari satu generasi ke generasi lain melalui sosialisasi
nilai, pengetahuan, sikap dan keterampilan.2 Namun, representasi dunia pendidikan pada
kenyataannya tidak bisa mewakili secara total kondisi masyarakat apalagi tipenya
multikultural. Implikasinya, muncul kesenjangan dalam alur kehidupan. Kesenjangan
ini menjadi tanda tanya serius bagi Ikhwanus Shafa dalam rangka membuktikan misi
Islam li kulli zaman wa makan. Sebab, dapat dimaklumi mereka hidup dalam kondisi
pemerintahan yang kurang bersahabat. Di sisi lain, pemerintah juga memilik power kuat
untuk mengontrol kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, bentuk-bentuk pemikiran
Ikhwanus Shafa perlu dikemukakan.
Kedua, perspektif modeling. Ketika mencoba menelusuri makna dari orientasi
keilmuan Ikhwanus Shafa di sekitar abad ke-10 , maka kenyataannya masih belum ada
model pemetaan akademik yang akurat. Akhirnya, ketidakakuratan ini menimbulkan
1
Keberadaan kelompok ini tidak jelas karena mereka bersama para anggota merahasiakan diri dari
aktivitas mereka. Kendati tidak jelas, risalah ensiklopedis yang mereka hasilkan, menurut Abu Hayyan alTauhidi (Wafat tahun 414/1023 M) dari data internal dalam risalah mereka, dapat disimpulkan berasal
dari masa antara tahun 347 H/958 M sampai tahun 373 H/983 M atau dari perempat abad ke-4 H. Pusat
kegiatan mereka di kota Basrah, tetapi di Baghdad juga terdapat cabang dari kelompok rahasia itu. Lihat
selengkapnya, Abdul Azis Dahlan, Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 2003), h. 192
2
Ngainum Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural : Konsep & Aplikasi, (Yogyakarta : ArRuzz Media, 2011), h. 13-14
2
mata rantai kronologis yang terputus dimana mata rantai itu seharusnya dapat
menghubungkan makna jaringan pemikiran di masa lalu, kini dan akan datang. Di sisi
lain, gejala tersebut mengakibatkan tidak ada kajian lanjutan yang sifatnya informatifanalitis tentang bagaimana Ikhwanus Shafa memaknai fenomena keilmuan tersebut.
Padahal transmisi keilmuan itu terus hadir, berkembang, dan berubah semenjak Bani
Abbasiyah berkuasa.
Ketiga, perspektif kontributif. Aspek kontributif yang dimaksud adalah belum
banyak terdapat kajian yang mengaitkan implikasi pemikiran pendidikan mereka
kepada lembaga pendidikan Islam di Indonesia, semisal pesantren. Sehingga, khazanah
keilmuan Ikhwanus Shafa seolah kurang mendapat tempat dan berkembang cukup
pesat dikalangan masyarakat Indonesia yang sangat multikultural. Padahal kita tahu,
pada abad ke 19-20, murid-murid Jawi dari Nusantara (sekarang Indonesia) seperti
Nawawi al-Bantani, Khalil Bangkalan, Ahmad Rifa’i Kali Salak, Mahfuzh al-Termasi,
Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Muhammad Saleh Darat al-Samarani, Hasan Mustafa
Bandung, KH. Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, dan Syekh Muhammad Yasin bin Isa alPadani telah terlibat aktif dalam jaringan ulama dengan Timur Tengah. Artinya, Ulama
Nusantara telah terpadu dalam ‘a networked civilization’, peradaban berbasis jaringan.3
Penting juga disinggung, bahwa seiring berkembangnya zaman, jaringan baru kaum
muslimin terus bergerak akibat kemajuan teknologi, transportasi, komunikasi serta
informasi. Akan tetapi, sekali lagi, belum ditemukan satu format analisis yang
“mengawinkan” pemikiran Ikhwanus Shafa dengan pesantren di Indonesia
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus kajian dalam tulisan ini
adalah bagaimana corak, makna dan relevansi pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap
pendidikan Islam di Indonesia. Secara teoritis, tulisan ini dapat menjadi referensi
objektif yang membuka arah dan kecenderungan baru dalam studi tentang Ikhwanus
Shafa dan khazanah pemikiran Islam pada umumnya. Dengan mengungkap objek
kajian ini, beberapa kalangan akademisi sekaligus praktisi pendidikan
dapat
memperoleh pemahaman baru yang lebih komprehensif-holistik terkait pemikiran
Ikhwanus Shafa. Sedangkan secara praktis, hasil kajian ini dapat dijadikan petunjuk
teknis untuk melacak, memetakan serta menganalisis pemikiran Ikhwanus Shafa beserta
pengaruhnya dalam konteks pendidikan Islam.
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka (library research).
Pertama, penulis menentukan pokok permasalahan. Kedua, penulis melakukan proses
identifikasi, klasifikasi, analisis, kemudian interpretasi data sesuai dengan fokus
3
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII :
Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2013), h.XI-XII
3
masalah yang telah ditetapkan. Ketiga, penulis merumuskan kesimpulan. Sumber data
bersifat sekunder yaitu informasi dari buku, jurnal dan koran.
PEMBAHASAN
Corak Pemikiran Ikhwanus Shafa
Ikhwanus Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang
banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Perkumpulan
tersebut berkembang pada abad ke dua hijriah di Kota Basra, Irak. Organisasi ini antara
lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan kepada
persaudaraan Islamiyah (ukhuwwah Islamiyah), yaitu suatu sikap yang memandang
iman seorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.4 Seperti yang telah kami jelaskan di awal, Ikhwanus Shafa
mencirikan identitas kelompoknya sebagai komunitas eksklusif dan menjadikan
kolektivisme sebagai basis pergerakan. Hal ini bisa kita perhatikan pada gairah dakwah
mereka yang menujukkan ketajaman loyalitas serta
keberpihakkan terhadap
pengetahuan. Seluruh anggota Ikhwanus Shafa wajib menjadi guru dan mubaligh
terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat.
Kemunculan Ikhwanus Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap
pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar Islam dan untuk
membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam.5
Menurut hasil pencermatan kami dari berbagai sumber, kehadiran Ikhwanus Shafa di
permukaan tidak terlepas dari kontrol pemerintah setempat karena aktivitas mereka
dianggap berpotensi untuk mengusik perangkat epistemologis yang telah dimapankan
sekaligus dihegemoni oleh pihak penguasa.6 Sehingga, kader Ikhwanus Shafa sangat
terbatas, bahkan aktivitas mereka lebih banyak bersarang “di bawah tanah”. Menarik
diperhatikan, bahwa kader-kader yang bisa bergabung dengan Ikhwanus Shafa harus
memiliki jiwa militan, komitmen dan berakhlak mulia. Kriteria ini merupakan pantulan
4
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 181
5
Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat : Quantum Teaching,
2005), h. 102
6
Kecaman-kecaman yang terjadi di masa kekuasaan al-Ma’mun, seorang Khalifah Abbasiyah
keempat adalah para filosof dituduh atheis, berpikiran bebas, serta filsafat disamakan dengan kekafiran.
Sehingga para ahli filsafat terpaksa memilih cara bersembunyi dalam mempelajari dan
mengembangkannya. Lihat Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta :
Al Amin Press, 1997), h. 66.
4
dari ideologi Islam murni (puritanisme) yang mereka lakoni 7. Jika dibongkar lagi, maka
sebetulnya puritanisme ini cenderung berujung pada Islamisme.
Menurut Philip K. Hitti dalam perkembangannya, kelompok ini sempat
melancarkan gerakan oposisi terhadap penguasa. Caranya adalah
dengan mendiskreditkan sistem pemikiran dan agama yang populer.
Itulah mengapa aktivitas dan sifat keanggotaan mereka cenderung
samar, misterius, dan rahasia. Adapun sebutan Ikhwan al-Shafa kemungkinan
diambil dari cerita seekor merpati dalam kisah Kalilah wa Dimnah. Ini adalah kisah
tentang sekelompok hewan yang berpura-pura menjadi sahabat dekat atau ikhwan alshafa, satu sama lain berhasil menghindar dari perangkap pemburu. Ikhwan al-Shafa
membentuk bukan saja pertalian filosofis, melainkan juga
religius politis.8
Dari gambaran sekilas di atas, maka pada bagian pertama ini kami akan melacak
bentuk pemikiran Ikhwanus Shafa. Begini, konsep dasar yang harus kita pahami
bersama adalah jaringan atau kontak-kontak ekspansi transmisi keilmuan Ikhwanus
Shafa terjadi karena mereka lebih merasa memiliki banyak kesamaan ideologi dengan
kelompok-kelompok intelektual di wilayah lain sedangkan di halaman sendiri justru
“dikebiri”. Hal ini serupa dengan fenomena Pan Islamisme yang dikumandangkan oleh
Jamaludin Al-Afghani. Maka, bentuk utama dari usaha yang dilakukan Ikhwanus Shafa
untuk menghasilkan pemikiran brilian terutama dalam konteks pendidikan lebih
bercorak nonformal. Corak nonformal ini menekankan kepada transmisi keilmuan yang
diperoleh melalui jalur difusi dan jalur erutorium. Dua jalur inilah yang menjadi kata
kunci dari usaha transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa ketika menumbuhkan gerakan
pemikiran kepada masyarakat lintas batas, budaya dan ras.
Bentuk difusi adalah kontak transmisi keilmuan langsung secara fisik, sedangkan
bentuk erutorium adalah kontak transmisi keilmuan tidak langsung secara pustaka. 9
Pada jalur difusi, Ikhwaus Shafa terus melakukan ekspansi ke berbagai daerah seperti
Iran dan Kuwait. Dalam perkembangannya, mereka malancarkan strategi secara rapi
dengan mengutus beberapa anggota rahasia untuk merekrut orang-orang yang dianggap
7
Diantara anggota yang dapat diketahui nama-nama mereka adalah sebanyak lima orang : (a) Abu
Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar Al-Basti dikenal dengan nama al-Maqdisy (b) Abu Al-Hasan Ali Ibnu
Harun Ad-Zanjany (c) Abu Ahmad Al-Mahrajani (d) Al-Qufy (e) Zaid Ibnu Rifa’ah. Busyairi Madjidi,
h.66
8
Khazanah Republika, Ikhwan Al- Shafa Menyebarkan Filsafat, Selasa 31 Agustus 2010, h. 20
9
Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan : Sketsa Perbandingan Pendidikan di
Negara –Negara Islam dan Barat, (Yogyakarta : Gama Media, 2003), h. 10.
5
dapat bekerjasama, terutama dari kalangan pemuda. 10 Para kader harus memiliki
majelis sendiri dimana majelis itu digunakan sebagai tempat bertemu dan tidak boleh
dihadiri selain kelompok mereka. Ekspansi keilmuan dengan wilayah lain ini
menerapkan sistem muzakarah (tukar pikiran). Materi yang mereka kaji terpusat pada
dimensi jiwa, rasionalitas, kitab, science dan non science.11 Oleh sebab itu, dapat
diinterpretasi bahwa jaringan transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa dari jalur difusi ini
sangat memprioritaskan penalaran pengetahuan yang sifatnya integratif-interkonektif
internal, bukan fanatik buta. Ada tiga kata kunci dalam sifat tersebut yaitu (a)
Semipermeable (b) Intersubjective testability (c) Creative imagination.12 Tapi,
sepertinya ketiga kata kunci ini kurang begitu dimaksimalkan secara eksternal akibat
sistem mereka yang melahirkan pembatasan, penyeragaman sekaligus mereduksi
kelompok lain yang barangkali dicurigai sebagai mata-mata.
Ada satu fenomena menarik dari jalur difusi ini yaitu Ikhwanus Shafa telah
membuat suatu kebijakan bahwa harus pemuda yang menjadi kader utama. Ada apa?
Menurut analisis kami, pemuda merupakan sumber daya manusia yang memiliki modal
idealisme, aktualisasi diri, dan gejala inquary yang tinggi. Ketiga modal ini selanjutnya
menciptakan gerakan sosial. Penjelasan yang lebih akademik terkait gerakan sosial ini
datang dari David Meyer dan Sidney Tarrow. Bagi mereka, gerakan sosial ialah
tantangan-tantangan bersama yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama dalam
interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan dan pemegang otoritas.13
Gerakan sosial ini pada fase berikutnya mendiagnosis kondisi sosial yang bermasalah
untuk diselesaikan, menawarkan solusi alternatif, dan menghadirkan legitimasi
argumentatif demi menarik dukungan masyarakat terhadap aksi-aksi kolektif.
Selanjutnya, pada jalur erutorium, Ikhwanus Shafa giat melakukan kajian pustaka
melalui tiga tahap. Pertama, menghimpun sumber-sumber filsafat yang berasal dari
Yunani, Persia, dan Islam sehingga menjadi satu ikhtisar dan madzhab filsafat sendiri.
Kedua, mereka melakukan modifikasi daftar isi dari kajian pustaka tersebut secara
komprehensif dan holistik agar memudahkan pembaca. Ketiga, gaya tulisan, lafal,
perumpamaan, serta contoh dalam menguraikan tujuan dan istilah-istilah filsafat dapat
memberikan pemahaman yang otentik kepada pembaca.14 H.A.R. Gibb menyatakan,
10
Ramayulis & Samsul Nizar, h. 101
11
Busyairi Madjidi, h. 69-70
12
Amin Abdullah, Pendekatan Multidisiplin Dalam Studi Keislaman Di Perguruan Tinggi :
Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 6
13
Qiuntan Wiktorowicz (Editor), Gerakan Sosial Islam : Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus,
(Yogyakarta : Gading Publishing, 2012), h. 11
14
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam : Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global, (Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta, 2016), h. 162
6
“Islam is indeed more than a system of theology, it is a complete civilization”.
Kebudayaan dan peradaban Islam dibangun atas nilai-nilai ketuhanan yang dibuka oleh
spirit keilmuan dan penghargaan terhadap potensi akal pikiran.15 Dengan demikian,
bentuk transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa
melalui jalur erutorium mampu
memberikan hasil yang signifikan bagi kemajuan wacana sekaligus praktik keilmuan.
Karya utama mereka dari kedua jalur ini bernama “Rasaa’il Ikhwanus Shafa”.16
Makna Pemikiran Ikhwanus Shafa
Pada bagian kedua ini, akan dipetakan makna pemikiran Ikhwanus Shafa
khususnya yang concern pada bidang pendidikan. Ada tiga pemetaan makna tersebut
yaitu makna secara personal, interdisiplinery, dan intrapersonal. Makna secara personal
menekankan kepada ilmu yang diperoleh untuk pengalaman pribadi atau perseorangan.
Makna secara interdisiplinery menekankan kepada ilmu yang diperoleh agar dapat
berinteraksi dengan dimensi keilmuan yang lain. Dan makna secara intrapersonal
menekankan kepada ilmu yang diperoleh untuk meningkatkan kualitas spiritual
keagamaan.
Makna Personal
Ikhwanus Shafa memandang bahwa ilmu pengetahuan itu dapat dicapai melalui
dua cara. Pertama, dengan cara mempergunakan panca indera terhadap obyek alam
semesta yang bersifat empirik. Ilmu model ini berkaitan dengan tempat dan waktu.
Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang disampaikan oleh orang
lain. Ilmu yang dicapai dengan cara yang kedua ini hanya dapat dicapai oleh manusia
dan tidak dapat dicapai oleh binatang. Dengan cara yang kedua ini pula manusia dapat
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang gaib.17 Selain itu, Ikhwanus Shafa
menyebutkan bahwa ilmu juga dapat dicapai melalui tulisan dan bacaan. Dengan cara
15
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam : Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik
Sampai Modern, (Jakarta : Rajawali Press, 2013), h.3
16
Mereka membagi empat tingkatan keanggotaan. Pertama, Ikhwan al-Abrar al-Ruhama’, yakni
kelompok yang berusia 15-30 tahun yang memilik jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus
murid sehingga dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru. Kedua, Ikhwan al-Akhyar wa alFudhala’, yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkatan ini mereka sudah mampu
memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan (tingkat guruguru). Ketiga, Ikhwan al-Fudhala’ al-Karim, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam konteks
kenegaraan, kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Keempat, Al-Kamal, yakni kelompok
yang berusia 50 tahun ke atas. Mereka disebut dengan tingkatan al-Muqarrabin min Allah karena mereka
sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga hati mereka telah terbuka dan menyaksikan kebenaran
dengan mata hati. Lihat selengkapnya Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Cita Pustaka
Media Perintis, 2010), h. 129-130
17
Abuddinata, h. 182
7
ini manusia dapat memahami kalimat, bahasa dan ungkapan-ungkapan yang ditangkap
melalui pemikiran. Untuk mendapatkan makna personal dari segala keilmuan, maka
diperlukan pembiasaan sekaligus perenungan. Kedua hal tersebut akan membentuk
karakter yang kokoh.18
Makna personal ini tidak hanya berangkat dari penalaran semata, melainkan ada
indikasi nyata yang mereka gali dari ayat Al-Qur’an lalu langsung dijadikan landasan
normatif untuk melegitimasi makna pemikiran tersebut. Adapun ayat yang dimaksud
sebagaimana di bawah ini :
٧٨ كم لمنن بررطون أ ر ل نمصنهتك رمش نلا تنعشل نرمونن نشيشا نونجنعنل ل نك ررم ٱل لنسمشنع نوٱلشأ نبشصنصنر نوٱلشأ نفشندنة ل ننعل ل نك رمش تنششك رررونن
نوٱلل ل نره أ نخشنرنج ر
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur” (QS. An- Nahl 16:78).19
Merujuk kepada hasil diskusi kami dan juga ditunjang oleh informasi penelitian
bahwa Ikhwanus Shafa lebih dekat dengan aliran John Locke. Dengan kata lain, untuk
mendapatkan makna personal dari ilmu-ilmu maka harus diterapkan paradigma
empirisme bukan idealisme. Aliran empirisme sudah barang tentu mengusung paham
militan bahwa pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi aktif dengan alam
nyata. Sebelum itu, niscaya akal tidak dapat mendeteksi apapun kecuali hipotesishipotesis yang diragukan kebenarannya. Ismail K. Poonawala, seorang Guru Besar
Bahasa Arab dari Departement of Near Eastern Languages and Cultures UCLA pernah
memberikan analisis bahwa sistem filsafat Ikhwanus Shafa pada dasarnya bersifat
ekletik, mencampuradukkan berbagai sistem kepercayaan dan filsafat. Sistem itu juga
mengandung unsur rasionalisme yang kuat. Struktur filosofis ini diturunkan dari
Neoplatonisme dan Neophytagoreanisme.20
Makna Interdisiplinery
Ketika membincangkan makna interdisiplinery dari pemikiran pendidikan
Ikhwanus Shafa, maka risalah-risalah mereka patut dijadikan acuan. Data menunjukkan,
risalah mereka berjumlah 52 risalah yang masing-masing judulnya dikelompokkan
menjadi empat bagian utama. Pertama, 14 risalah mengkaji matematika, seni dan
logika. Kedua, 17 risalah mengkaji ilmu alam meliputi materi, bentuk, waktu, ruang,
dan gerak, langit, bintang-bintang, benda tambang, tumbuhan, hewan, manusia dan
18
Abuddinata, h. 184
19
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata, (Jakarta : Maghfira Pustaka, 2010), h. 275
20
Ismail K. Poonawala, Al-Qur’an Dalam Rasa’il Ikhwan Al-Shafa, dalam Jurnal Ulumul Qur’an
Vol II No. 9 Tahun 1991, h. 34
8
jiwa. Ketiga, 10 risalah mengkaji jiwa, arti hidup, mati, kenikmatan, derita, bahasa,
proses perkembangan, hari bangkit dan kiamat. Keempat, 11 risalah mengkaji
ketuhanan, agama dan tasawuf.21 Jika mencermati dengan seksama, semua risalah yang
mereka rumuskan di atas mengacu kepada unsur universalitas dalam kehidupan dimana
dimensi universalitas tersebut akan tercipta jika masing-masing elemen partikular saling
mengetahui, berinteraksi juga terlibat aktif baik dari sisi pemikiran, perasaan maupun
tindakan sesuai dengan ajaran murni Islam.
Makna Intrapersonal
Ketika memperbincangkan makna intrapersonal dari pemikiran pendidikan
Ikhwanus Shafa, maka ada satu paradigma yang patut kita cermati bahwa program
rekonstruksi mereka diarahkan kepada dua aspek yaitu (a) memperkenalkan ide-ide
untuk memilih semua sumber yang ada dan berguna untuk semua ilmu pengetahuan,
dan (b) merancang manfaat semua ilmu pengetahuhan, baik untuk diri sendiri,
lingkungan, dan alam semesta sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan
akhirat.22 Berdasarkan rekonstruksi ini, dapat diinterpretasi bahwa mereka memaknai
ilmu bukan hanya sebatas untuk menundukkan bumi, melainkan meraih kenikmatan
secara spiritual bersama Tuhan di akhirat nanti. Ikhwanus Shafa memang sangat
mengutamakan pancaindera dan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi mereka
mengatakan keduanya memiliki keterbatasan ketika hendak memahami Tuhan. Maka
mereka menyodorkan alternatif ketiga yaitu pendekatan inisiasi (bimbingan otoritas
agama).23
Berdasarkan hasil diskusi kami, ternyata ada pendekatan-pendekatan yang
dimainkan oleh Ikhwanus Shafa dalam melakukan pemaknaan pemikiran keilmuan
secara intrapersonal dan juga berfungsi sebagai respons terhadap pemerintah yang
bertentangan dengan mereka kala itu. Pendekatan tersebut dapat dipetakan ke dalam
lima tahap. Pertama, mereka mengembangkan penafsiran sosial struktural lebih
daripada penafsiran individual ketika memahami sebuah kebijakan. Kedua, mereka
21
Busyairi, h. 68
22
Ramayulis & Samsul Nizar, h. 10
23
Sebagai makhluk etico-religious, manusia mengakui eksistensi dirinya sebagai ciptaan Tuhan,
mampu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT (Al-Ikhlas : 1), yang menciptakan segala sesuatu
(QS Al-An’am : 102), yang tidak pernah tidur (QS Al Baqarah : 255), dan yang menciptakan manusia
berpasang-pasangan, tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya (QS Al-Syuura 11), Manusia yang telah
beriman dan menerima agama Islam, percaya kepada Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-Nya dan rasul-Nya
(QS Al-Baqarah :195). Pandangan Islam terhadap manusia sebagaimana dirinci di atas memberikan
keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai individu , sosial, budaya, dan makhluk Allah.
Pandangan demikian akan menempatkan manusia secara proporsional antara teosentris dan
antroposentris. Lihat selengkapnya, Abd Rachman Assagaf, Filsafat Pendidikan Islam : Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta : Rajawali Press, 2014), h. 149-150
9
memodifikasi cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif melalui mekanisme
inquiry dan interpretasi terkontrol. Ketiga, mereka mengubah corak Islam yang
normatif menjadi teoritis. Implikasinya akan banyak disiplin ilmu yang secara orisinal
dapat dikembangkan menurut konsep-konsep Alquran. Keempat, mereka mengubah
pemahaman yang a-historis menjadi historis. Kelima, mereka merumuskan formulasiformulasi wahyu yang bersifat umum (general) menjadi formulasi-formulasi yang
spesifik dan empiris.
Relavansi Pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap Pendidikan Islam Indonesia
Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat
dari output-nya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Bila pendidikan
menghasilkan orang-orang yang senantiasa mampu menjaga keharmonisan hubungan
mereka dengan Tuhan-nya, membangun hubungan mereka dengan manusia juga
dengan alam sekitar, maka pendidikan tersebut bisa dikatakan berjalan dengan efektif
dan efisien. Sebaliknya, bila output-nya adalah orang-orang yang tidak mampu menjaga
keharmonisan dalam hidupnya, baik keharmonisan hubungan mereka dengan Tuhan,
manusia, maupun alam, maka pendidikan tersebut bisa dikatakan gagal bahkan berjalan
pincang. Dalam arti, pendidikan itu bisa dikatakan baik ketika mampu melahirkan
manusia-manusia yang saleh dalam keyakinan, pikiran dan amalnya.
Kini, kita telah sampai kepada bagian terakhir yang khusus membahas relevansi dari
pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap pendidikan Islam Indonesia kontemporer saat ini.
Dari segi waktu, memang ada perbedaan yang begitu jauh, tapi dari segi pemikiran tentu
senantiasa bersifat jangka panjang. Karena pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa
sangat beragam, maka kami hanya mengambil satu bagian saja yakni tentang tujuan
pendidikan, kurikulum dan metode.
Menurut Ikhwanus Shafa tujuan pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan.
Setiap ilmu adalah malapetaka bila tidak ditujukan kepada keridhoan Allah dan kepada
keakhiratan. Mengenai kurikulum, mereka menekankan agar mencakup logika, filsafat,
ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, kenabian, ilmu syariat dan ilmu pasti. Akan
tetapi, ilmu keagamaan mendapat porsi lebih banyak karena merupakan tujuan akhir
dari pendidikan. Sedangkan metode pengajaran yang direkomendasikan adalah
mengajar dari pola yang konkrit kepada pola yang abstrak. 24 Dari bagian-bagian ini
terlihat jelas bahwa Ikhwanus Shafa memiliki ambisi yang begitu kuat untuk
menjadikan dimensi agama sebagai pondasi dasar dari peradaban manusia. Oleh karena
24
Maragustam, h. 164
10
agama mengandung unsur-unsur yang kompleks, maka kurikulum harus menyentuh
perangkat-perangkat epistemologis keilmuan yang dapat menggali khazanah dari alam
semesta ini. Tentunya, agar perangkat epistemologis yang meliputi sumber, cara dan
kriteria ini dapat berjalan maksimal, maka ada modifikasi metodologis dengan mengacu
kepada struktur penemuan, pemikiran, lalu berujung kepada keyakinan.
Sebagai contoh, kami akan menyajikan hasil temuan di Pesantren Putri Assalam, Jl.
Kuala Buha, Bailang, Bunaken, Kota Manado, Sulawesi Utara. Pesantren Assalam
didirikan oleh Yayasan Karya Islamiyah tahun 1989.25 Sebelum mendirikan pesantren,
yayasan sudah memiliki sejumlah kegiatan, antara lain mendirikan masjid Assalam pada
tahun 1987 di kompleks perumahan pajak jalan 17 Agustus Wale Temboan Manado.
Selain itu, yayasan juga memiliki majelis taklim yang dinamakan Studi Islam Assalam
(SIAM) dan poliklinik Assalam. Madrasah/Sekolah yang ada di pesantren Assalam
terdiri dari Madrasah Tsanawiyah Assalam, Madrasah Aliyah Assalam dan Sekolah
Menengah Kejuruan Assalam.26 Perlu kita ketahui, bahwa Pesantren Assalam
merupakan pesantren putri terbesar di Sulawesi Utara, kehadirannya sangat
berkontribusi positif bagi orangtua yang ingin memberikan pendidikan Islam yang
maksimal kepada putra-putrinya. Fenomena ini dapat dipahami sebab secara statistik,
Manado merupakan basis Kristen terbesar.
Pesantren Assalam Manado yang memiliki 3 buah lembaga pendidikan formal,
menyelengarakan proses pendidikan dan pembelajaran berdasarkan kurikulum dari
Kementerian Agama untuk Madrasah dan Kementerian Pendidikan Nasional untuk
Sekolah Umum. Penyelenggaraan pendidikan di pesantren Assalam Manado, selain
menggunakan kedua bentuk kurikulum tersebut, diberlakukan juga kurikulum
kepesantrenan dan kegiatan ekstra kurikuler.
Dari segi tujuan, Pesantren Assalam Manado memiliki relevansi positif dengan
Ikhwanus Shafa. Tujuan akhir lulusan pesantren (MTs, MA, dan SMK) diharapkan
menjadi seorang sosok generasi muda muslim yang memiliki (a) aqidah yang bersih dan
lurus serta berakhlak mulia (b) kemampuan untuk beribadah dengan baik dan benar
serta istiqomah dalam menjalankannya (c) ilmu dan berwawasan yang luas terutama
pengetahuan ke-Islaman dan IPTEK (d) sehat jasmani dan rohani (e) kemampuan
berusaha dengan dengan 5 AS (keras, cerdas, tuntas, kualitas, dan ikhlas), (f) IQ, EQ,
25
Peletakan batu pertama dilaksanakan pada 6 Mei 1986 oleh Wakil Gubernur KDH tingkat I
Sulawesi Utara, Drs. Hi. Abdullah Mokoginta. Diresmikan pada 9 November 1989 oleh Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Sulawesi Utara, C. J. Rantung.
26
Figur Pimpinan Pesantren Assalam sudah empat kali mengalami pergantian pimpinan yaitu KH.
Drs. Abdurrahman Latukau, Lc. (1989-1995), Dra. Hj. Khadijah Munir (1995-1996), H. Khalillullah
Ahmas, Lc., M.Pd.I. (1996-2010), H. Ahmad Junaedy, Lc. (2010 sampai dengan sekarang).
11
SQ yang baik (g) bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat (h) keunggulan dan
berprestasi sehingga dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi (i)
kedisiplinan yang tinggi untuk mengatur waktu dan kehidupannya.
Dari segi kurikulum, Pesantren Assalam Manado memiliki relevansi positif dengan
Ikhwanus Shafa. Secara umum, kurikulum dari pemerintah (kecuali untuk Sekolah
Menengah Kejuruan), meliputi Pendidikan Agama Islam (Aqidah Akhlāq, Fiqih,
Qur’ān Hadist dan Sejarah Kebudayaan Islam), PPKN, Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Bahasa Arab, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Matematika. Sedangkan kurikulum pesantren meliputi al-qurān dan tajwid, tafsir-ilmu
tafsir, hadist dan ilmu hadist, muāmalah, tauhid, fiqih dan ushul fiqh, akhlāq, sirah dan
sejarah peradaban Islam.27 Semua kurikulum ini diajarkan oleh guru berdasarkan dengan
kompetensi mereka masing-masing. Kami menemukan, bahwa beberapa pengajar di
sana adalah dosen dari IAIN Manado. Hal ini mengindikasikan adanya transmisi
keilmuan yang datang dari perguruan tinggi. Sehingga, dapat berdampak kepada
semakin mapannya bekal keilmuan yang santri terima. Selain itu, lokasi pesantren
berada di dalam, jauh dari pusat keramaian. Kondisi seperti ini akan melahirkan
stabilitas dalam belajar.
Dari segi metode, Pesantren Assalam Manado juga memiliki kesamaan dengan
pola pengajaran Ihkwanus Shafa. Pola pengajaran ini awalnya tergambar dalam visi
misi pesantren sendiri. Visinya adalah terwujudnya lembaga Pendidikan Islam
berkualitas yang membangun generasi khairu ummah. Sedangkan misinya adalah (a)
menyelenggarakan pendidikan yang berlandaskan imtaq, berwawasan iptek, dan life
skill (b) menciptakan generasi yang selalu berfikir, berzikir dan beramal
(c) membina generasi beraqidah benar, berakhlâkul karimah, giat beribadah dan beramal
shaleh yang disertai dengan tafaqquh-fiddin (d) melaksanakan dan mengemban dakwah
Islam (e) menjunjung tinggi nilai-nilai moral, spritual, dan intelektual menuju
kesejahteraan dan keselamatan dunia serta akhirat. Jadi, pola pengajaran utama yang
dilakukan guru-guru di pesantren ini bercorak empiris-selektif-kategoris-akomodatifreflektif.
Berdasarkan tiga fase analisis yang kami rumuskan melalui studi sumber dan studi
lapangan, setidaknya memberikan kita paradigma baru bahwa spirit implikasi pemikiran
keilmuan Ikhwanus Shafa tidak hanya berputar-putar di wilayah Timur Tengah sana,
27
Adri Lundeto & Musdalifah Dachrud, Pesantren di Sulawesi Utara:Analisis Kritis Sistem
Pendidikannya, dalam Conference Proceedings Annual International Conference On Islamic Studies
(AICIS XII) IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012, h. 115
12
melainkan telah jauh berekspansi hingga ke Sulawesi Utara. Jika ditelusuri lebih lanjut,
ada kemungkinan besar para Kyai yang pernah menjadi pimpinan di Pesantren ini
mengadopsi pemikiran Ikhwanus Shafa lalu kemudian dimodifikasi sesuai dengan
perkembangan zaman, setting sosio-kultural masyarakat Manado yang begitu heterogen,
serta merujuk kepada kebutuhan santri-santri ketika berhadapan dengan modernitas.
Hipotesis ini kami ajukan sebab melihat latar belakang pimpinan pesantren banyak
bergelar “Lc”. Dan sudah barang tentu gelar ini hanya di dapatkan jika belajar di Mesir
(Timur Tengah). Kami pikir, ini menarik untuk dikaji pada masa-masa yang akan
datang.
Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya melakukan
adjusment dan readjusment. Namun, ia harus berperan aktif dalam menghidupkan
lokalitas keindonesiaan berdasarkan pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya.
Dalam konteks terakhir inilah, pesantren dengan Kyainya memainkan peran yang
disebut Clifford Geertz sebagai “cultural brokers” (pialang budaya) dalam pengertian
seluas-luasnya.28 Meminjam pemikirannya Bahrul Hayat, selaku Sekretaris Jenderal
Kementerian Agama RI, bahwa pesantren bermutu harus memiliki tujuh kecerdasan
utama yakni kecerdasan akademik, kecerdasan spiritual, kecerdasan moral, kecerdasan
emosional, kecerdasan lingkungan, kecerdasan pedagogis, dan kecerdasan manajerial.29
Kehadiran Pesantren Assalam di Manado merupakan fenomena ekspansi Islam
lewat jalur pendidikan. Pesantren tumbuh dengan normal tanpa mengalami kondisi
"prematur" atau benturan dalam ruang keragaman budaya serta iman. Meski kalah jauh
secara nominal, pesantren Assalam lebih bersifat adaptasionis juga kosmopolitan.
Karakter tersebut dibentuk oleh cetakan historis-demografis, sosiologis-ideologis, dan
personal-programatik.Karakter itu pada akhirnya berpotensi besar menciptakan civil
society yang kemudian melahirkan 'insight' dakwah yang lembut, humanis, dan hampa
dari tindak radikalisme bahkan terorisme. Pesantren di Manado bukanlah "dunia lain",
ia selalu ada, berkembang sekaligus berubah.
PENUTUP
28
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millineum
III, (Jakarta : Kencana, 2014), h. 130-131
29
Khazanah Republika, Madrasah Harus Bermutu Universal, Senin 26 September 2016/24
Dzulhijah 1437 H, h. 12
13
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan persaudaraan
suci yang terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim. Mereka bergerak secara rahasia
dan memiliki tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara
radikal-revolusioner, tetapi melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas.
Mereka sangat peduli dengan nasib Islam di zamannya.Kepedulian tersebut terutama
dalam pemikiran pendidikan, yang selanjutnya terefleksi dalam karya spektakulernya,
Rasa’il Ikhwan al-Shafa, sebuah karya dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya
terdapat beberapa disiplin ilmu pengetahuan sekaligus kurikulum pendidikan.
Perhatian Ikhwan al-Shafa terhadap aspek pendidikan telah menyebabkan mereka
dikelompokkan ke dalam golongan rasional-religius. Pada hakikatnya mereka hanya
bertujuan untuk mengarahkan tindakan dan tingkah laku manusia. Hal itu didasarkan
atas keyakinan bahwa akal yang terlatih dan terbina dengan baik akan mampu
mengarahkan dan mengendalikan tindak tanduk manusia sesuai dengan fungsinya
sebagai Khalifatullah. Perhatian Ikhwan al-Shafa terhadap pendidikan moral dan
keterampilan sesungguhnya tidak sesederhana dibanding perhatian mereka terhadap
pendidikan intelektual, bahkan dapat dikatakan bahwa sasaran utama pendidikan
Ikhwan al-Shafa adalah pendidikan moral.Dilihat dari segi moral dan keterampilan, isi
pendidikan yang diinginkan adalah yang sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah
Allah di muka bumi.
Bentuk utama dari pemikiran yang dilakukan Ikhwanus Shafa untuk menghasilkan
ilmu-ilmu brilian terutama dalam konteks pendidikan lebih bercorak nonformal. Corak
nonformal ini menekankan kepada transmisi keilmuan yang diperoleh melalui jalur
difusi dan jalur erutorium. Dua jalur inilah yang menjadi kata kunci dari bentuk
transmisi keilmuan Ikhwanus Shafa ketika menumbuhkan gerakan pemikiran kepada
masyarakat lintas batas, budaya dan ras. Sedangkan makna dari pemikiran yang mereka
lakukan terbagi atas tiga pemetaan yaitu makna personal, makna interdisiplinery, dan
makna intrapersonal. Terakhir, relevansi pemikiran Ikhwanus Shafa terhadap pendidikan
Islam Indonesia terdapat di Pesantren Putri Assalam di Manado, Sulawesi Utara. Titik
relevansinya terletak pada tiga indikator utama yaitu segi tujuan pendidikan, kurikulum
pendidikan, dan metode pengajaran. Fenomena relevansi ini terjadi karena munculnya
fenomena "jaringan intelektual baru" kaum muslimin di Sulawesi Utara dan Timur
Tengah lewat latar belakang pendidikan strata 1 para pimpinan pesantren
tersebut. Sehingga, ada kemungkinan besar para pimpinan itu mempelajari pemikiran
Ikhwanus Shafa ketika mereka belajar di Timur Tengah. Hal ini perlu diteliti lebih
lanjut.
Daftar Pustaka
14
Buku
Abdullah, Amin. 2015. Pendekatan Multidisiplin Dalam Studi Keislaman Di Perguruan
Tinggi : Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, Yogyakarta : UIN Sunan
Kalijaga.
Ahmad Hatta, Ahmad. 2010. Tafsir Qur’an Per Kata, Jakarta : Maghfira Pustaka.
Assagaf, Abd Rachman. 2014. Filsafat Pendidikan Islam : Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta : Rajawali Press.
______, Abd. Rachman. 2003. Internasionalisasi Pendidikan : Sketsa Perbandingan
Pendidikan di Negara –Negara Islam dan Barat, Yogyakarta : Gama Media.
______, Abd. Rachman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam : Hadharah
Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, Jakarta : Rajawali Press.
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII : Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta : Kencana.
____, Azyumardi. 2014. Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Millineum III, Jakarta : Kencana.
Dahlan, Abdul Azis, 2003. Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta:
Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta : Al
Amin Press.
Maragustam, 2016. Filsafat Pendidikan Islam : Menuju Pembentukan Karakter
Menghadapi Arus Global, Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta.
Naim, Ngainum & Sauqi, Achmad. 2011. Pendidikan Multikultural : Konsep &
Aplikasi, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
15
Ramayulis & Nizar, Samsul. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat :
Quantum Teaching.
Rizal, Syamsul, 2010. Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.
Wiktorowicz, Qiuntan (Editor), 2012. Gerakan Sosial Islam : Teori, Pendekatan, dan
Studi Kasus, Yogyakarta : Gading Publishing.
Jurnal
Ismail K. Poonawala, Ismail K. 1991. Al-Qur’an Dalam Rasa’il Ikhwan Al-Shafa,
Jurnal Ulumul Qur’an Vol II No. 9.
Lundeto, Adri & Dachrud, Musdalifah, 2012. Pesantren di Sulawesi Utara:Analisis
Kritis Sistem Pendidikannya, Conference Proceedings Annual International
Conference On Islamic Studies (AICIS XII) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Koran
Khazanah Republika, Ikhwan Al- Shafa Menyebarkan Filsafat, Selasa 31 Agustus 2010.
Khazanah Republika, Madrasah Harus Bermutu Universal, Senin 26 September 2016.
16