Corak dan sistem hukum adat
CORAK & SISTEM HUKUM ADAT
Soepomo:
Sistem hukum adalah kebulatan
aturan-aturan yang berdasarkan
suatu kesatuan alam pikiran.
Untuk mengetahui sistem hukum adat harus
menyelami dasar alam pikiran yang hidup di
dalam masyarakat Indonesia.
Karena sistem hukum adat memiliki
corak yang berbeda dengan sistem
hukum lain.
Corak Hukum Adat
1.Tradisional
2.Keagamaan / religio magis
3.Kebersamaan / komunal
4.Kongkret dan visual
5.Terbuka dan sederhana
6.Dapat berubah menyesuaikan keadaan
7.Tidak dikodifikasi
8.Musyawarah mufakat
1. Tradisional:
Bersifat turun temurun, dari nenek moyang
hingga zaman sekarang keadaannya masih tetap
berlakudan dipertahankan oleh masyarakat yang
bersangkutan. [Hilman1992]
2. Keagamaan /Religio Magis:
Perilaku hukum atau kaidah yang ada berkaitan
dengan kepercayaan terhadap hal-hal ghaib / magis
(animisme-dinamisme; kepercayaan terhadap roh-roh
halus dan roh-roh nenek moyang; kepercayaan
terhadap Tuhan).
Terlihat pada adanya upacara- upacara adat yang
lazimnya diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan pada
roh-roh leluhur yang ingin diminta restu/pertolongan.
[Soerojo1979]
3. Kebersamaan / Komunal
Mengutamakan kepentingan bersama.
Kepentingan
pribadi
diliputi
oleh
kepentingan bersama:
Dalam konsep pemikiran hukum adat,
individu dipandang sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari masyarakat, dan
fungsi dari masing-masing individu adalah
dipandang untuk melangsungkan fungsi dan
kelangsungan masyarakat. [M.Koesnoe]
Corak kebersamaan ini dapat terlihat pada:
Acara “gugur gunung” [Soerojo 1979]
Semangat kekeluargaan, gotong-royong,
tolong- menolong.
Pasal 33 (1) UUD 1945 [Hilman1992]
4. Kongkrit dan Visual:
Kongkrit
jelas; nyata ; berwujud
satunya perkataan dan perbuatan
(perbuatan itu benar- benar
merupakan realisasi dari perkataan)
[Soerojo 1979]
Contoh: jual-beli
pembayaran harga dan
penyerahan barang, dilakukan pada saat yang sama
(sifat terang dan tunai).
Visual
tersembunyi.
dapat terlihat; tampak; terbuka; tidak
pemberian tanda-tanda yang
kelihatan untuk bukti penegasan atau
peneguhan dari apa yang akan atau
telah dilakukan. [Soerojo1979]
Contoh: panjer, peningset
5. Terbuka dan sederhana:
Terbuka
selalu menerima unsur-unsur dari luar,
namun yang sesuai atau setelah disesuaikan
dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
Sederhana
tidak rumit, tidak banyak administratif,
kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti
dan dilaksanakan berdasarkan saling
percaya mempercayai. [Hilman1992]
6. Dapat berubah menyesuaikan keadaan:
Hukum adat bersifat dinamis / tidak statis
Hukum adat terus-menerus dalam keadaan
tumbuh berkembang seperti hidup itu sendiri.
[Soepomo 1996]
7. Tidak dikodifikasi
Tidak dikodifikasi
hukum adat sebagian
besar tidak tertulis (non statutair).
8. Musyawarah mufakat
untuk memulai dan mengakhiri pekerjaan
sebagai sarana penyelesaikan
perselisihan/ sengketa berdasarkan asas
rukun. [M.Koesnoe].
Dilakukan secara rukun dan damai serta
saling memaafkan
Perbandingan Sistem Hukum Adat
dan
Sistem Hukum Barat (Civil Law
Sistem Hukum Barat
System) Sistem Hukum
(Civil Law System)
Adat
Statutary law
Unstatutary law
Mengenal zakelijke
Tidak mengenal
rechten dan
pembagian hak
persoonlijke rechten
Mengenal dikotomi
Tidak mengenal
pembidangan hukum:
pembidangan hukum
hukum publik dan
hukum
privat
Sistem Hukum Barat
(Civil Law System)
Menggolongkan
pelanggaran hukum
ke dalam pelanggaran
pidana dan
pelanggaran perdata
Sanksi dalam hukum
berfungsi sebagai alat
pemaksa
Sistem Hukum
Adat
Tidak mengenal
penggolongan
pelanggaran
Sanksi bukan sebagai
pemaksa, tetapi sebagai
upaya untuk
mengembalikan
keseimbangan kosmis
Sebab-sebab adanya perbedaan
tersebut
[Soerojo 1979]:
1.
Corak yang berlainan antara hukum adat dan
hukum barat
2. Pandangan hidup / jiwa (Von Savigny =
volksgeist) yang berlainan di antara kedua
sistem hukum di atas
Dunia barat liberalis-rasionalistis
Dunia Timur Bersifat kosmis, tidak ada
pembedaan antara tata dunia lahir dan gaib.
Dunia manusia berhubungan erat dengan
segala hidup di alam ini yang saling
bersangkut-paut, pengaruh- mempengaruhi
Hukum Sebagai Aspek Kebudayaan
Soerjono Soekanto (1981):
Sumber: kesusilaan perorangan
cara (usage)
kebiasaan (folkways)
Sumber: kesusilaan umum
tata kelakuan (mores)
adat istiadat (custom)
hukum adat
lembaga sosial
penjiwaan
budaya
Hukum adat merupakan penjelmaan struktur alam
pikiran masyarakat, yang merupakan bagian dari
kebudayaan masyarakat tersebut
Hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu
kebutuhan yang nyata, cara hidup dan pandangan
hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan
tempat hukum itu berlaku [Soerojo1979]
Hukum adat adalah aspek kebudayaan
Hal ini sesuai dengan ajaran Von Savigny, bahwa:
“Hukum mengikuti jiwa / semangat rakyat
(volksgeist) dari masyarakat tempat hukum itu
berlaku”
Bahan Bacaan
1. Hilman hadikusuma hadikusuma, Pengantar Ilmu
Hukum Adat, 1992
2. M. Koesnoe Koesnoe, Catatan Catatan-Catatan
tentang Hukum Adat Dewasa Ini
3. ----------- , Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum
4. Soepomo Soepomo, Bab Bab-Bab tentang Hukum Adat,
1996
5. Soerojo Wignjodipoero Wignjodipoero, Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Adat, 1979
6. Soerjono Soekanto Soekanto, Hukum Adat Indonesia,
1981
Soepomo:
Sistem hukum adalah kebulatan
aturan-aturan yang berdasarkan
suatu kesatuan alam pikiran.
Untuk mengetahui sistem hukum adat harus
menyelami dasar alam pikiran yang hidup di
dalam masyarakat Indonesia.
Karena sistem hukum adat memiliki
corak yang berbeda dengan sistem
hukum lain.
Corak Hukum Adat
1.Tradisional
2.Keagamaan / religio magis
3.Kebersamaan / komunal
4.Kongkret dan visual
5.Terbuka dan sederhana
6.Dapat berubah menyesuaikan keadaan
7.Tidak dikodifikasi
8.Musyawarah mufakat
1. Tradisional:
Bersifat turun temurun, dari nenek moyang
hingga zaman sekarang keadaannya masih tetap
berlakudan dipertahankan oleh masyarakat yang
bersangkutan. [Hilman1992]
2. Keagamaan /Religio Magis:
Perilaku hukum atau kaidah yang ada berkaitan
dengan kepercayaan terhadap hal-hal ghaib / magis
(animisme-dinamisme; kepercayaan terhadap roh-roh
halus dan roh-roh nenek moyang; kepercayaan
terhadap Tuhan).
Terlihat pada adanya upacara- upacara adat yang
lazimnya diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan pada
roh-roh leluhur yang ingin diminta restu/pertolongan.
[Soerojo1979]
3. Kebersamaan / Komunal
Mengutamakan kepentingan bersama.
Kepentingan
pribadi
diliputi
oleh
kepentingan bersama:
Dalam konsep pemikiran hukum adat,
individu dipandang sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari masyarakat, dan
fungsi dari masing-masing individu adalah
dipandang untuk melangsungkan fungsi dan
kelangsungan masyarakat. [M.Koesnoe]
Corak kebersamaan ini dapat terlihat pada:
Acara “gugur gunung” [Soerojo 1979]
Semangat kekeluargaan, gotong-royong,
tolong- menolong.
Pasal 33 (1) UUD 1945 [Hilman1992]
4. Kongkrit dan Visual:
Kongkrit
jelas; nyata ; berwujud
satunya perkataan dan perbuatan
(perbuatan itu benar- benar
merupakan realisasi dari perkataan)
[Soerojo 1979]
Contoh: jual-beli
pembayaran harga dan
penyerahan barang, dilakukan pada saat yang sama
(sifat terang dan tunai).
Visual
tersembunyi.
dapat terlihat; tampak; terbuka; tidak
pemberian tanda-tanda yang
kelihatan untuk bukti penegasan atau
peneguhan dari apa yang akan atau
telah dilakukan. [Soerojo1979]
Contoh: panjer, peningset
5. Terbuka dan sederhana:
Terbuka
selalu menerima unsur-unsur dari luar,
namun yang sesuai atau setelah disesuaikan
dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
Sederhana
tidak rumit, tidak banyak administratif,
kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti
dan dilaksanakan berdasarkan saling
percaya mempercayai. [Hilman1992]
6. Dapat berubah menyesuaikan keadaan:
Hukum adat bersifat dinamis / tidak statis
Hukum adat terus-menerus dalam keadaan
tumbuh berkembang seperti hidup itu sendiri.
[Soepomo 1996]
7. Tidak dikodifikasi
Tidak dikodifikasi
hukum adat sebagian
besar tidak tertulis (non statutair).
8. Musyawarah mufakat
untuk memulai dan mengakhiri pekerjaan
sebagai sarana penyelesaikan
perselisihan/ sengketa berdasarkan asas
rukun. [M.Koesnoe].
Dilakukan secara rukun dan damai serta
saling memaafkan
Perbandingan Sistem Hukum Adat
dan
Sistem Hukum Barat (Civil Law
Sistem Hukum Barat
System) Sistem Hukum
(Civil Law System)
Adat
Statutary law
Unstatutary law
Mengenal zakelijke
Tidak mengenal
rechten dan
pembagian hak
persoonlijke rechten
Mengenal dikotomi
Tidak mengenal
pembidangan hukum:
pembidangan hukum
hukum publik dan
hukum
privat
Sistem Hukum Barat
(Civil Law System)
Menggolongkan
pelanggaran hukum
ke dalam pelanggaran
pidana dan
pelanggaran perdata
Sanksi dalam hukum
berfungsi sebagai alat
pemaksa
Sistem Hukum
Adat
Tidak mengenal
penggolongan
pelanggaran
Sanksi bukan sebagai
pemaksa, tetapi sebagai
upaya untuk
mengembalikan
keseimbangan kosmis
Sebab-sebab adanya perbedaan
tersebut
[Soerojo 1979]:
1.
Corak yang berlainan antara hukum adat dan
hukum barat
2. Pandangan hidup / jiwa (Von Savigny =
volksgeist) yang berlainan di antara kedua
sistem hukum di atas
Dunia barat liberalis-rasionalistis
Dunia Timur Bersifat kosmis, tidak ada
pembedaan antara tata dunia lahir dan gaib.
Dunia manusia berhubungan erat dengan
segala hidup di alam ini yang saling
bersangkut-paut, pengaruh- mempengaruhi
Hukum Sebagai Aspek Kebudayaan
Soerjono Soekanto (1981):
Sumber: kesusilaan perorangan
cara (usage)
kebiasaan (folkways)
Sumber: kesusilaan umum
tata kelakuan (mores)
adat istiadat (custom)
hukum adat
lembaga sosial
penjiwaan
budaya
Hukum adat merupakan penjelmaan struktur alam
pikiran masyarakat, yang merupakan bagian dari
kebudayaan masyarakat tersebut
Hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu
kebutuhan yang nyata, cara hidup dan pandangan
hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan
tempat hukum itu berlaku [Soerojo1979]
Hukum adat adalah aspek kebudayaan
Hal ini sesuai dengan ajaran Von Savigny, bahwa:
“Hukum mengikuti jiwa / semangat rakyat
(volksgeist) dari masyarakat tempat hukum itu
berlaku”
Bahan Bacaan
1. Hilman hadikusuma hadikusuma, Pengantar Ilmu
Hukum Adat, 1992
2. M. Koesnoe Koesnoe, Catatan Catatan-Catatan
tentang Hukum Adat Dewasa Ini
3. ----------- , Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum
4. Soepomo Soepomo, Bab Bab-Bab tentang Hukum Adat,
1996
5. Soerojo Wignjodipoero Wignjodipoero, Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Adat, 1979
6. Soerjono Soekanto Soekanto, Hukum Adat Indonesia,
1981