Pengertian Dasar Hukum Rukun dan Syarat (1)

PENGERTIAN, DASAR HUKUM, RUKUN DAN SYARAT RAHN
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: FIQIH MU’AMALAH KONTEMPORER
Dosen Pengampu : Imam Mustafa, S.H.I., M.SI

Disusun oleh :
Hanik Istifazah

(1502100057)

Kelas D
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) METRO
TAHUN AJARAN 2016/2017

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................

i

DAFTAR ISI................................................................................................................


ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................

1

BAB II PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.

Pengertian Rahn............................................................................................
Dasar Hukum Rahn........................................................................................
Rukun Rahn....................................................................................................
Syarat-syarat rahn.........................................................................................

2
4

6
7

BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................

10

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................

11

2

BAB I
Pendahuluan
Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, telah meletakkab\n kaidah-kaidah
dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah dan juga
mu’amalah (hubungan antar makhluk).
Setiap orang pasti butuh berinteraksi dengan yang lainnya, untuk saling menutupi

kebutuhan dan saling tolong menolong.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bernunculan fenomena
ketidak percayaan diantara mnanusia, khususnya dijaman sekarang ini, sehingga orang
terdesak untuk meminta jaminan benda/barang berharga dalam memimjamkan hartanya.
Salah satu dalam hal jual beli yang sangat beragam salah satunya dengan cara rahn
(gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika
memenuhi syarat dan rukunnya. Banyak orang yang masih belum mengetahui tentang rahn
secara benar, oleh karena itu saya mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai, hukun, rukun
dan syaratnya.

1

BAB II
PEMBAHASAN
RAHN
A. Pengertian ar-Rahn
Kata ar-rahn secara etimilogi berarti tetap, kekal dan jaminan, dinamai juga dengan
al-habsu, artinya penahanan.1
Al-Bahuti dan Ibnu Qudamah mendefinisikan rahn secara etimologi yaitu:
“Rahn secara bahasa berarti tetap dan abadi; dikatakan ma’un rahinun, artinya air yang

menggenang; na’matun rahinatun artinya yang abadi. Dikatakan juga bahwa rahn adalah
penahanan, berdasarkan firman Allah adalah ‘Tiap-tiap bertanggung jawab atas apa yang
telah diperbuatnya’, maksudnya tertahan. Rahn lebih condong dengan arti yang pertama,
karena tertahan berarti tetap tidak berpindah sedikitpun”.2
Pengertia rahn (barang jaminan) secara terminilogi, ada beberapa defefenisi yang
dikemukakan para ulama fikih diantaranya yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah
mendefinisi ar-rahn yaitu:
“menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar piutang, baik seluruhnya maupun sebahagian”
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan rahn yaitu:
“menjadikan materi (barang) sebagai jaminan terhadap utang, yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang berutang tidak bisa membayar utangnya”
Dan ulama Malikiyah, mendefinisikan rahn yaitu:
“harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”

1 Nurhayati, Sri, Akutansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), edisi 4,
h.269
2Sebagaimana menurut Mansur Bin Yunus bin Idris al-Bahuti, Kasy al-Qana’ ‘anMatn alIqna’,(Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), IX/117, yang
dikutip oleh Imam Mustafa, h.191


2

Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (angunan) bukan saja harta yang
bersifat materi, tetapi juga juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yag dijadikan
barang

jaminan

(angunan)

tidak

harus

diserahkan

secara

aktual,


tetapi

boleh

penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang
diserahkan sebagai surat jaminannya adalah sertifikat sawah.
Ulama Hanafiyah mendefinisi rahn adalah
“menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar piutang, baik seluruhnya maupun sebagian”
Sedangakn definisi yang dikemukakan Syafi’iyah dan Hambaliah mengandung
pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanyalah harta
yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama
Malikiyah. Walaupun sebenarnya manfaat itu menurut Syafi’iyah dan Hambaliah termasuk
dalam pengertian harta.3
Al-Qurtubi mendefinisikan rahn sebagai berikut:
“Barang yang ditahan oleh pihak yang memberi utang sebagai jaminan dari orang
yang berutang, sampai pihak pengutang melunasi utang tersebut”4
Sementara Ibnu Qudamah mendefinisikan rahn sebagai berikut:
“Barang yang dijadikan jaminan untuk utang, agar pemberi utang dapat menjual
barang tersebut apabila pihak pengutang tidak mampu membayar utangnya”5

Menurut pandangan lain, gadai (rahn) adalah menjadikan suatu benda bernilai
menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi
tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.6
Secara terminologi syara’, rahn berarti penahanan terhadap suatu barang dengan
hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Rahn dapat juga
didefinisikan sebagai penetapan sebuah barang yang memiliki nilai finansial dalam

3 Haroen, Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.252
4 Sebagaimana Menurut ‘Amr Yusuf bin Abdillah bin ‘Abdul Barr al-Qurtubi, al-Kafi fi Fiqih
ahli al-Madinah (al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al Sani, 2005), yang dikutip oleh Imam
Mustofa, h.192
5Sebagaimana Menurut Ibnu Qudamah, Mughni al-Mukhtaj al-Syamilah al-Isdar Sani,
2005), IX/117 , yang dikutip oleh Imam Mustafa, h.192
6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010), h.106

3

pandangan syariat sebagai jaminan bagi utang di mana seluruh atau sebagian utang
tersebut dapat dibayar dengannya.7
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulka bahwa rahn atau gadai yaitu

jaminan yang diserahkan oleh pihak pengutang kepada yang memberi utang. Pemberi utang
memiliki kuasa penuh untuk menjual barang jaminan tersebut apabila pihak pengutang tidak
mampu membayar utangnya saat jatuh tempo. Apabila uang hasil penjualan barang jaminan
tersebut melebihi jumlah utang, maka sisanya harus dikembalikan kepada pengutang,
namun bila kurang dari jumlah utang, pihak pengutang harus menambahinya agar utangnya
tersebut terbayar lunas.8
Dalam rahn, barang gadaian tidak otomatis menjadi milik pihak yang menerima gadai
(pihak yangmemberi pinjaman) sebagai pengganti piutangnya. Dengan kata lain fungsi rahn
di tangan murtahin (pemberi utang) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari rahin (orang
yang berutang). Namun, barang gadaian tetap milik rahin.9
Substansi dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang
diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya
melakukan transaksi utang piutang.10
B. Dasar Hukum Rahn
Dasar hukum Rahn antara lain:
A. Al-Qur’an

1. Al Qur’an, Surat Al Baqarah 282

‫شهند ديوا د‬

‫ست د ي‬
‫مدنوا د‬
‫ن‬
‫ن ا ندلى ا د د‬
‫ذا ت د د‬
‫دوا ي‬....‫مى دفا ك يت دب دويه د‬
‫م د‬
‫س م‬
‫ل د‬
‫دا ي دن يت د ي‬
‫نا د‬
‫ج ل‬
‫ي دا دي يدها ال مذ ني ي د‬
‫شهند دي ي ن‬
‫م ب ند دي ي ل‬
‫م ي دك دويدنا در د د‬
‫ج ل‬
‫ن‬
‫ ن‬...
‫ن فددر د‬

‫ فدا ن ي‬, ‫م‬
‫ن رن د‬
‫ل ودا د ي‬
‫ن لد ي‬
‫جا ل نك د ي‬
‫مدرا ددتا ن‬
‫م ي‬
‫جلي ي ن‬
“Hai orang-orang yang beriman, bila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendak-lah kamu menuliskannya. .. dan per-saksikanlah
dengan orang lelaki saksi diantaramu. Jika tiada 2 lelaki maka boleh seorang lelaki dan
2 orang perempuan ......... ”11
7Ibrahim, Azharsyah, GALADAN RAHN: ANALISIS KORELASI DARIPERSPEKTIF EKONOMI
ISLAM, Vol 1, No 1 (2012), h.55
8 Mustafa, Imam, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h.193
9 Nurhayati, Sri, Akutansi Syariah di Indonesia,..., h.269
10 Arrum Mahmudahningtyas, Analisis Kesyariahan Transaksi Rahn Emas, Jurnal Ilmiah
Mahasiswa FEB Vol 3, No 1.
11Martono, prospek rahn (gadai syari’ah) dalam mendukung pemberdayaan ekonomi
rakyat, Al-Iqtishad: Journal of Islamic Economics, (Jakarta: Vol 1, No 2: July 2009), h.35


4

2.

Al Qur’an, Surah Al Baqarah 283

‫دوا د‬
‫ة‬
‫م ي‬
‫س د‬
‫ض ل‬
‫كات نببا فدرن د‬
‫قب دوي د‬
‫ها ل‬
‫ج د‬
‫ودإ ن ي‬
‫م ع ددلى د‬
‫ن د‬
‫م تد ن‬
‫فرل ودل د ي‬
‫ن ك دن يت د ي‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan ber-mu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)”12
B. Hadits
1. Hadits riwayat ‘Aisyah

‫د‬
‫ما ي‬
‫عانء د‬
‫ن‬
‫ن د‬
‫ش د‬
‫شت ددرى ن‬
‫ة در ن‬
‫ه ع دن يدها أ م‬
‫ه ع دل يي يهن ود د‬
‫سل م د‬
‫صدلى الل د‬
‫ى الل د‬
‫ي د‬
‫م ي‬
‫ن الن مب ن م‬
‫عد ي‬
‫ض د‬
‫د‬
‫ه د نير ب‬
‫حد ني يد ل‬
‫عا ن‬
‫ن ن‬
‫ن د‬
‫ما إ ندلى أ د‬
‫من ي د‬
‫ل د‬
‫ي دهدويد نيي ط ددعا ب‬
‫م ي‬
‫ دوايرت دهد د‬,‫معيل دويم ل‬
‫ج ل‬
“Dari ‘Aisyah ra sesungguhnya Nabi SAW pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi dengan berutang dengan tempo tertentu, Beliau menjaadikan baju
perangnya menjadi jaminan utang tersebut”13
2. Hadits riwayat Abu Hurairah:

‫سوي د‬
‫ دقا د‬:‫ن انبى هددري يدرة د دقال‬
‫ف م‬
‫ب ب نن د د‬
‫قت نهن‬
‫ضهيدر ي ديرك د د‬
‫م ) ال م‬
‫ه ع دل دي يهن ود د‬
‫ل در د‬
‫سل د د‬
‫صدلى الل د‬
‫ل اللهن د‬
‫عد ي‬
‫ذا د‬
‫ن يد ي‬
‫إن د‬
(‫ه‬
‫ف د‬
‫ب ند د‬
‫ب ودي ديرك د د‬
‫شدر د‬
‫ميرهدويبنا ودع ددلى ال مذ ن د‬
‫كا د‬
‫قت د د‬
‫ن د‬
“dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah shallallaahu “alaihi wa sallam bersabda:
“Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan
yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan
meminumnya wajib mmbayar.”14

3. Hadits riwayat Abu Hurairah:

‫ع دن أ دبى هدريرة د دقا د د‬
‫م دقا د‬
‫سوي د‬
‫ن‬
‫أ م‬:‫ل‬
‫ه ع دل دي يهن ود د‬
‫ن در د‬
‫سل م د‬
‫صملى الل د‬
‫ي ن‬
‫ل اللهن د‬
‫ ل د ي دغيل دقد المرهد د‬: ‫ل‬
‫د يد‬
‫ه‬
‫صا ن‬
‫حب نهن ال م ن‬
‫ن‬
‫م د‬
‫ه ود ع دل دي يهن غ دير د‬
‫م د‬
‫ه غ دن ي د‬
‫ه لد د‬
‫ذى درهدن د د‬
‫ن د‬
‫م ي‬
12 Mustafa, Imam, Fiqih Mu’amalah Kontemporer..., h.193
13 Sebagaimana menurut Muhammad bin Ismail Abu Abdullah, Shahih Bukhari, (Digitl
Library, al-Maktabah alSyamilah al-Isdar al-Sani,2005), VIII/258, hadits nomor 2252, yang
dikutip oleh Imam Mustafa, h.194
14 Sebagaimana Menurut Muhammad Ibnu Ismail Abu Abdullah al-Bukhari..., II/888,
hadits nomor 2377, yan dikutip oleh Imam Mustafa, h.194

5

“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “barang yang
digadakan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah
keuntungan dan tanggung jawabnyalh bila ada kerugian (atau biaya). (HR Syafi’i dan
Daraqutni)”15
C. Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits itu dalam
pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan
kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah
mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya.
Asy-Syafi’i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang
berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib
tidak ada keputusan. Mazhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad)
rahin dipaksakan untuk menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh murtahin. Jika
jaminan sudah berada ditangan murtahin, orang yang menggadaikan mempunyai hak
memanfaatkan, berbeda dengan asy-Syafi’i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku
selama tidak merugikan/membahayakan pemegang gadaian.16
Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 283, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa arrahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang
jaminan itu bisa langsung dipegang/ dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh pemberi
piutang. Maksudnya adalah karena tidak semua barang jaminan dapat dipegang/ dikuasai
oleh pemberi piutang secara langsung, maka setidaknya ada semacam pegangan yang
dapat menjamin bahwa barang dalam status al-marhun (menjadi angunan utang). Misalnya
bila angunan itu sebidang tanah, maka yang dikuasai (al-qabdh) adalah surat tanah
(sertifikat tanah).17
Kaum muslimin juga telah bersepakat (ijma’) mengenai diperbolehkannya rahn.
Dalam realitas kehidupan masyarakat rahn sangat lazim terjadi, karena dengan berutang
menggunakan jaminan akan mempermudah pembayaran utang.18
C. Rukun Rahn
Rukun rahn ada 5, yaitu:
1. Yang menggadaikan (ar-Rahin)

15 Muhammad Syafi’ Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Depok: Gema Insani,
2001), h129.
16 Sudarsono, Heri, Bank & Lembaga Keuangan Syaria..., h. 174
17 Elimartati, Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’:Tinjauan Furuq Fiqiyah, Vol 11, No 2
(2012), h.324
18 Mustofa, Imam, Fiqih Mu’amalah Kontemporer,..., h. 195

6

Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang
akan digadaikan.
2. Penerima gadai (al-murtahin)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan
modal dengan jaminan barang (gadai).
3. Barang Jaminan (al-marhun)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan
utang.
4. Utang (marhun bihi)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya
tafsiran marhun.
5. Sighat, ijab, dan qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.19
D. Syarat-syarat Rahn
Dalam setiap akad, unsur dan rukunnya harus memenuhi syarat. Berkaitan dengan rahn,
syarat bagi para pihak yang berakad sama dengan syarat dalam akad lainnya. Syarat
tersebut adalah :
1. Para pihak harus berakal
2. Sudah baligh
3. Tidak dalam paksaan atau terpaksa
Pasal 330 KHES menyebutkan bahwa para pihak yang melakukan gadai harus cakap
hukum. Cakap hukum disini berarti berakal, sudah dewasa atau baligh, serta tidak dalam
paksaan.
Terkait syarat sigat atau akad, kalangan Hanafiyah mensyaratkan agar akad tidak terikat
dengan syarat tertentu, tidak tergantung pada suatu kejadian di masa mendatang. 20 Akad
rahn yang terikat oleh suatu syarat misalnya, penerima mau melaksanakan akad dengan
syarat pemberi jaminan mau membeli barang tertentu miliknya. Sementara akad yang
digantungkan dengan suatu kejadian di masa mendatang misalnya, akad rahn berlangsung
selama tidak turun hujan, maka akad tidak jadi. Adanya persyaratan dan penggantungan
akad dengan sesuatu yang lain diluar akad maka akan membuat akad tersebut rusak.
Syarat yang terkait dengan utang adalah:
1. Utang merupakan hak yang harus dibayar;
19 Sudarsono, Heri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2013), h.
175
20 Sebagaimana menurut Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar
al-Fikr,2005), VI/70, yang dikutip oleh Imam Mustofa, h.196

7

2. Jumlah utang dapat tertutupi dengan nilai barang yang digadaikan atau jumlah utang
tidak boleh melebihi dari nilai barang yang menjadi jaminan;
3. Hak utang harus jelas.21
Menurut kalangan Syafi’iyah dan Hambaliah mensyaratkan utang adalah:
1. Utang merupakan utang yang tetap dan wajib dibayar oleh Rahin;
2. Utang harus mengikat kedua belah pihak;
3. Jumlah, ukuran dan sifat utang harus jelas diantara pihak yang berakad.22
Berdasarkan kesepakatan ulama, syarat yang terkait dengan barang yang digadaikan
atau yang menjadi jaminan utang adalah sama halnya dengan syarat barang yang menjadi
objek jual beli. Hal karena barang jaminan tersebut harus dapat dijual oleh penerima
jaminan (murtahin) disaat orang yang menggadaikantidk mampu membayar utangnya.
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek jual beli adalah:
1. Barang yang digadaikan harus benar-benar ada dan nyata. Transaksi terhadap
barang yang belum atau tidak ada berarti tidak sah, begitu juga barang yang belum
pasti adanya, seperti binatang yang masih dikandungan ibunya;
2. Objek transaksi berupa barang yang bernilai, halal, dapat dimiliki, dapat disimpan
dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak menimbulkan kerusakan;
3. Barang yang dijadaikan transaksi merupakan hak mlik secara sah dan kepemilikan
sempurna. Berdasarkan ayat ini maka tidak sah menggadaikan pasir ditengah
padang atau air laut yang masih dilaut atau menggadaikan panas matahari, karena
tidak adanya kepemilikan yang sempurna;
4. Objek harus dapat diserahkan saat transaksi, berdasarkan.berdasarkan syarat ini
maka tidak sah menggadaikan binatar liar, ikan dilautan atau burung yang berada di
awang, karena tidak bisa diserahkan kembali kepada pembeli;
5. Selain syarat diatas,ada satu syarat lagi yang mutlakhrus trpenuhi, yaitu barang yang
digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti emas, perak, logam
mulia,jendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah menjadikan
makananyang mudah busuk, seperti kue basah sebagai jaminan utang, karena tidak
tahan lama.23

21 Ibid., V/74-80, h.196
22Sebagaimana Menurut Abu al-Qasim ‘Abdul Karim bin Muhammad bin ‘Abdul Karim alQuzwan al-Rafi’i, al-‘Aziz fi Syarh al-Wajiz, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah alIsdar al-Sani, 2005), X/31; al-Sarwani, Hwasyi al-Syarani, Digital Library, al-Maktabah alSyamilah al-Isdar al-sani,2005), V/52, yang dikutip oleh Imam Mustafa, h.196
23 Sebagaimana Menurut Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami...,VI/82-87, yang dikutip
oleh Imam Mustafa, h.197

8

Menurut ulama Hanafiyah, syarat barang yang harus digadaikan harus barang yang
berharga, jelas, dapat diserahterimakan, dapat disimpan tahan lama, terpisah dari barang
lainnya, baik benda bergerak maupun tidak. Lebih rincinya, dijelaskan sebagai berikut:
1. Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan; harus pada waktu akad dan
dapat diserahterimakan;
2. Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai;
3. Barang yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan, sekiranya barang
4.
5.
6.
7.
8.

tersebut dapat untuk melunasi utang;
Barang harus jelas spesifikasinya, ukuran, jenis jumlah, kualitas, dan seterusnya;
Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna;
Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah;
Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan;
Barang yang digadaikan harus utuh; tidak sah menggadaikan mobil hanya
seperempat atau separuhnya.24

Jadi, rahn dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah
dijelaskan diatas. Jika tidak terpenuhi salah satunya, baik dari rukun ataupun syarat rahn,
maka rahn tersebut dikatakan tidak sah.

24 Sebagaimana Menurut al-Quduri, al-Jauharah al-Nayirah, (Digital Library, al-Maktabah
al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), II/368, yang dikutip oleh Imam Mustafa, h.198.

9

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ar-rahn secara etimilogi berarti tetap, kekal dan jaminan, dinamai juga
dengan al-habsu, artinya penahanan.
Rahn atau gadai yaitu jaminan yang diserahkan oleh pihak pengutang
kepada yang memberi utang. Pemberi utang memiliki kuasa penuh untuk menjual
barang jaminan tersebut apabila pihak pengutang tidak mampu membayar utangnya
saat jatuh tempo.
Rukun rahn ada 5, yaitu: yang menggadaikan (ar-Rahin), penerima gadai (almurtahin), barang Jaminan (al-marhun), utang (marhun bihi), sighat, ijab, dan qabul.
Syarat rahn yang terkait dengan pihak yang berakad ada tiga, yaitu: Para
pihak harus berakal, sudah baligh, tidak dalam paksaan atau terpaksa.
Syarat yang terkait dengan utang adalah: Utang merupakan hak yang harus
dibayar, jumlah utang dapat tertutupi dengan nilai barang yang digadaikan atau
jumlah utang tidak boleh melebihi dari nilai barang yang menjadi jaminan, hak utang
harus jelas
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek jual beli yaitu:
Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan; harus pada waktu akad dan
dapat diserahterimakan, barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan)
yang bernilai, barang yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan,
sekiranya barang tersebut dapat untuk melunasi utang, barang harus jelas
spesifikasinya, ukuran, jenis jumlah, kualitas, dan seterusnya, barang harus milik
pihak yang menggadaikan secara sempurna, barang yang digadaikan harus
menyatu, tidak terpisah-pisah, barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut
digadaikan, barang yang digadaikan harus utuh.

10

DAFTAR PUSTAKA
Sri Nurhayati, Akutansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), edisi 4.
Imam Mustafa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (cetakan I), Jakarta: Rajawali Pers,2016.
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010).
Azharsyah Ibrahim, Galadan Rahn: Analisis Korelasi Dariperspektif Ekonomi Islam, Vol 1,
No 1 (2012).
Martono, prospek rahn (gadai syari’ah) dalam mendukung pemberdayaan ekonomi rakyat,
Al-Iqtishad: Journal of Islamic Economics, (Jakarta: Vol 1, No 2: July 2009).
Elimartati, Perbedaan ar-Rahn dan Bay’ al-Wafa’:Tinjauan Furuq Fiqiyah, Vol 11, No 2, 2012
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (cet. 1), Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Arrum Mahmudahningtyas, Analisis Kesyariahan Transaksi Rahn Emas, Jurnal Ilmiah
Mahasiswa FEB Vol 3, No 1.
Heri

Sudarsono,

Bank

&

Lembaga

Keuangan

Ekonisia,2013.

11

Syariah,

(cet.

2),

Yogyakarta: