Jual Beli dan Muamalah Rabawiyah (3)
MAKALAH
JUAL BELI & MU’AMALAH RABAWIYAH
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah studi fiqh
Dosen Pengampu
Eva Nur Lailatul Fitriyah, MA
Disusun Oleh :
Ulil Huda
(12660064)
Ayu Tria N.M
(13670059)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM
MALANG
2016
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
sang pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturanNya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan makalah berjudul “Jual Beli dan Mu’amalah Rabawiyah”
untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqh.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
mendukung dan membantu penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bisa
menjadi salah satu sumber ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun
sadar bahwasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza
Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa
penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan
penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat
memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh
kalangan yang membutuhkan.
Wassalam,
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Jual Beli dalam Islam..................................................................................3
A. Pengertian Jual Beli dan Hukumnya.....................................................3
B. Rukun dan Syarat Jual Beli...................................................................5
C. Ba’i Al-Ghaib.......................................................................................11
D. Larangan Dalam Jual Beli....................................................................13
E. Khiyar...................................................................................................14
2.2 Riba dan Kaitannya dengan Bank .............................................................21
A. Pengertian Riba....................................................................................21
B. Hukum Riba.........................................................................................24
C. Hukum Muamalat dalam Bank............................................................25
BAB III PENUTUP
A. Simpulan..............................................................................................32
B. Saran....................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
3
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu sama
lain. Bagaimanapun sifat manusia tersebut, ia tak akan lepas dari hal-hal yang
berhubungan dengan manusia lain. Katakanlah si A merupakan orang yang sangat
pendiam, suka menyendiri dan tidak suka bergaul dengan orang lain. Namun,
sudah dapat dipastikan bahwa si A tak akan bisa lepas dari“berhubungan” dengan
manusia lain. Contoh sederhana saat ia pergi ke mini market untuk membeli
barang, maka ia sudah masuk kedalam kategori berhubungan dengan orang lain.
Dalam istilah fiqh, hubungan antara manusia satu dengan manusia lain disebut
“Hablum minan naas”. Hubungan antar manusia ini, diatur dalam sebuah disiplin
ilmu yang disebut “Fiqh Mu’amalah”. Salah satu cabang ilmu yang diatur oleh
fiqh muamalah yaitu jual beli dan riba.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap orang pasti melakukan
suatu transaksi yang biasa disebut jual beli. Si penjual menjual barangnya dan si
pembeli membelinya dengan menukarkan barang tersebut dengan sejumlah
uang/barang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika pada zaman dahulu
transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak,
maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas dalam satu ruang saja.
Dengan kemajuan teknologi dan maraknya penggunaan internet kedua belah pihak
dapat betransaksi dengan lancar.
Bagaimana pula dengan riba? Secara sedehana riba merupakan tambahan
uang/barang untuk suatu transaksi yang diisyaratkan sejak awal. Di dalam Islam,
riba dalam bentuk apapun diharamkan sedangkan jual beli dihalalkan. Nah
sebenarnya apa itu menurut Fiqih Muamalah seta apa saja yang temasuk kedalam
riba? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah
hukumnya menurut Fiqih Muamalah? Hal ini sangat menarik untuk dibahas.
1.2 Rumusan Masalah
4
Dari uraian diatas tentang jual beli dan riba, maka dirumuskan beberapa
pertanyaan yang nantinya akan dibahas dalam pembahasan:
1. Apa yang dimaksud dengan jual beli dalam Islam dan apa saja hal-hal
terkait dengan jual beli?
2. Apa itu muamalat rabawiyah dan bagaimana kaitannya dengan Bank
Konvensional?
1.3 Tujuan
Dari rumusan-rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan pembuatan
makalah ini:
1. Untuk mengetahui hal-hal terkait jual beli dalam Islam.
2. Untuk mengetahui hal-hal terkait mu’amalat rabawiyah dan kaitannya
dengan Bank
BAB II
PEMBAHASAN
5
2.1 Jual Beli dalam Islam
2.1.1 Pengertian jual beli dan hukumnya
Menurut etimologi, jual beli diartikan:
مقابلة الشئ بالشىء
Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)
Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Alquran surah Fathir ayat 29 dinyatakan:
جاررةة ل رنن ترببورر
ب الل رته روأ ررقابموا ال رصلرة روأ رن نرفبقوا تم رما رررزنقرنابهنم تس ر ةرا رو ر
علتني رةة ي رنربجورن تت ر
تإ رن ال رتذيرن ي رتنبلورن تكرتا ر
Artinya: “ Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.”
(QS. Fathir: 29)
Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama bebeda pendapat dalam
mendefinisikannya, antara lain:
a. Menurut ulama Hanafiyah1:
“ Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan)”
b. Menurut Imam Nawawi2 dalam kitab Al-Majmu’:
“ Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”
c. Menurut Ibnu Qudamah3 dalam kitab Al-Mugni
“ Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik”
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah :
"menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan
jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar
saling merelakan"
Jual beli disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ yakni:
a. Al-Qur’an
1 Alaudin Al-Kasyani, Bada’I Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-syarai’. Juz V hlm.133
2 Muhammad Asy-Syarbini. Mugni al-muhtaj. Juz II. hlm 2
3 Ibnu Qudamah. Al-Mugni. Juz III. Hlm 559
6
Artinya: “ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba...” (QS. Al-Baqarah: 275).
b. As-Sunnah
ل هبيمهدهه مورك لرل مبيورع مموبرروورر
ي ال وك موس ه
عممرل ال لمررج ه
عل ميوهه مومسل ل ممم أ م لر
ب ؟ مقامل م
رسئهمل الن لمهب لري مص ل ملى ال م
ب أ مط ويم ر
– رواه االبزار والحاكم
Artinya: “Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik.
Beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli
yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
Maksud dari mabrur dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari
tipu menipu dan merugikan orang lain.
c. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang
lain. Namun demikian. Bantuan atau barang tersebut harus diganti dengan
barang lain yang sesuai.
Dapat disimpulkan bahwa hukum asal jual beli adalah boleh. Namun ada
beberapa kondisi yang menyebabkan hukumnya menjadi haram, mandub,
makruh bahkan haram. Jual beli menjadi wajib hukumnya jika dalam keadaan
terdesak misal, dia memiliki persediaan makanan yang lebih, dan ada orang
lain yang sangat membutuhkannya, maka penguasa berhak memaksanya untuk
menjual barangnya. Jual beli menjadi mandub hukumnya jika harga barang
mahal, menjadi makruh seperti menjual mushaf, bisa juga jadi haram
contohnya sepeti menjual anggur kepada pembuat arak.4
4 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm 89-90
7
Hal-hal terkait jual beli ini diatur dalam Fiqh Muamalah. Fiqh Muamalah
membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia
dalam persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual beli, hutang
piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan
tanah, dan sewa menyewa.
Adapun prinsip prinsip dalam bermuamalah adalah sebagai berikut:
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang
ditentukan oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam
memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat
baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur
paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu
diperhatikan.
3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat
dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai
keadilan,
menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan
kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala bentuk muamalat yang
mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.
2.1.2 Rukun dan Syarat Jual beli
Rukun dan syarat jual beli adalah:
1. Penjual dan pembeli
Penjual dan pembeli haruslah seorang yang berakal sehat dan baligh. Jika
penjual/pembeli tersebut mumayyiz (meskipun belum baligh), maka jual
belinya sah jika ia mendapatkan izin dari walinya untuk melakukan transaksi
jual beli. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, dan Ats-Tsauri. Dan
hendaknya penjual merupakan pemilik sempurna barang yang akan dijual atau
ia mendapatkan izin dari pemiliknya untuk menjualkan barang tersebut.
2. Akad
8
Akad jual beli dianggap sah dengan segala hal yang menunjukkan tujuan jual
beli, baik itu dengan perkataan maupun perbutan. Ini adalah pendapat yang
dipilih oleh Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang
diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang
rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem mu'athaah, (
)معاطاهyaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa
mengucapkan lafadz.
3. Barang yang dijual
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan.
Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus
memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi
sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang diperjual belikan harus benda yang suci dana arti bukan benda
najis atau mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama
antara lain bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia,
kotoran hewan5 dan lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
تإ رن رالل رره:عارم ا رل نرفتنتح روبهرو تبرمك ررة
أ رن ربه رستمرع رربسورل رالل رته ي ربقوبل ر-عن نبهرما
ررتضري رالل ربه ر- عبنتد رالل رته
عنن رجاتبتر بنتن ر
ر
خنمتر روال نرمي نترتة روال نتخن نتزيتر روال رنصرناتم
رورربسول ربه رح رررم بري نرع ا رل ن ر
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda
di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang
jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih).
5 Mazhab Hanbali menetapkan bahwa kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan, hukumnya tidak najis.
9
Bank Darah
Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari
jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa
bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun
tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan
darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor,
penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang
dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual-beli darah, karena
hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan
najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat
berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka
tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja
bukan dengan akad jual-beli.
Pihak
petani
hanya
menanggung
biaya
penampungan
kotoran,
pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan
harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual-bel
b.Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak.
Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang
membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli hewan yang
membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau
semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatullahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan orang dari zikrullah,
10
seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan
manfaat apapun, maka jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu
termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka.
Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti
tambur, seruling, rebab dan lainnya.6
c. Dimiliki oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali
orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil.
Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki
oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk
melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat
mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga
pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada
di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik
barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka
transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang
berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut :
Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk
mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh
yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu
kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah
penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban
atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits hasan)
6 Kifayatul Akhyar jilid 1 halaman 236
11
Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayatan hadits ini lemah,
namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat
banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.
Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i membolehkan jual-beli
yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya mauquf. Karena
akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad
jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian
pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi batal
dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar untuk
membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor
kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku
menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil
aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda,"Semoga Allah memberkatimu
dalam perjanjianmu". (HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d.Bisa Diserahkan
Tidak boleh menjual barang yang tidak mampu diserahkan seperti menjual
burung diudara, ikan dalam air, unta yang lari, kuda yang hilang, atau harta
yang dirampas, sesuai dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra: “Nabi SAW melarang menjual barang yang ada unsur menipu.”
Menjual hal yang tidak bisa diserahkan termasuk menipu (gharar).
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah
bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak
pedang itu.
e. Harus Diketahui Keadaannya
Tidak boleh menjual barang yang tidak diketahui keadaannya. Maksud
keadaan disini baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
12
Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat oleh penjual dan pembeli
sebelum akad jual-beli dilakukan meskipun hanya sampel. Agar tidak terjadi
gharar.
Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa ditetapkan ukurannya. Baik
beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya
yang dikenal di masanya.
Tidak diperbolehkan menjual jika zat, jumlah dan sifat pasti nya tidak
diketahui, misal jika dikatakan “Saya jaul kepadamu satu dari dua baju ini”.
Walau harganya sama, tapi tidak pasti barang mana yang akan dijual.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi
rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan
bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau
jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah
dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin
barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi
terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan
suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tekhnik,
misalnya:
-
Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya
tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci.
-
Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
Dengan membuka bungkus barang sampel, atau garansi yang memastikan
pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.
4. Saling ridha
Jual beli yang tidak disertai keridhaan di antara penjual dan pembeli, maka
jual belinya tidak sah. Diriwayatkan dari Abu Sa‟id Al-Khudri.
Rasulullah SAW bersabda;
13
“Sesungguhnya jual beli itu (atas dasar) saling ridha (suka sama suka).”
(HR. Ibnu Majah : 2185. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5
dalam Shahihul Jami‟
A. Bai’ Al-Ghaib (Menjual Barang yang Tidak Ada Saat Jual Beli)
Menurut pendapat yang unggul tidak boleh menjual barang yang ghaib, yaitu
barang yang tidak dilihat oleh kedua orang yang bertekad atau salah satunya,
berbeda dengan tiga imam yang lain, walaupun ia menentukan akan segera
menyerahkannya karena kabar tidak sama dengan melihat secara langsung.
Pendapat ini berlaku jika barang yang dijual tidak diketahui ciri atau jenisnya,
tapi jika jenis atau macamnya diketahui seperti dia mengatakan: “Saya jual
kepadamu baju yang terbuat dari Yaman yang ada di dalam lemari rumahku,
atau saya jual kepadamu kuda hitam yang ada di kandangku , ada dua
pendapat ulama:
Dalam qaul qadim-nya, Imam Syafi’i mengatakan: jual beli demikian sah,
dan si pembeli berhak melakukan khiyar ketika dia melihatnya, dengan dalil
apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Mulaikah bahwa Usman r.a. membeli
sebidang tanah di Kufah kemudian Usman berkata: “Aku menjual tanahku
dengan tanahmu sedang saya belum melihatnya,” lalu Thalhah berkata:”yang
berhak melihat itu adalah saya sebab saya membeli sesuatu yang belum saya
lihat sedang kamu sudah melihat apa yang kamu beli,” lalu keduanya
mengadukan masalah itu kepada Jubair bin Muth’im, dan Jubair memutuskan
kepada Usman bahwa jual beli sah dan Thalhah berhak melihat karena dia
membeli sesuatu yang ghaib dan karena ia satu bentuk tekad terhadap benda,
maka boleh walaupun ada yang tidak diketahui tentang sifatnya sama seperti
nikah.
Sedangkan dalam qaul jadid-nya, Imam Syafi’i menyatakan tidak sah,
dengan dalil hadis Abu Hurairah r.a: Bahwa Nabi SAW melarang menjual
sesuatu yang tidak diketahui. Alasan lain, dalam akad ini ada unsur gharar,
14
sebab ia termasuk dalam jual beli, maka tidak sah jika ada yang tidak
diketahui dari sifatnya sama seperti jual beli sistem salam (ordering). Namun
jika kita mengambil qaul qadim, apakah sahnya akad mengharuskan kita
untuk menyebutkan semua sifat (ciri barang) atau tidak? Ada tiga pendapat:
1. Tidak sah sampai semua sifat (ciri)nya disebutkan sebagaimana barang
yang dipesan (musallam fihi).
2. Tidak sah sampai sifat-sifat utamanya disebutkan.
3. Sah dan tidak perlu menyebutkan sifatnya. Ini adalah pendapat yang
dipilih dalam mazhab kami (Syafi’i) karena yang menjadi patokan
adalah ru’yah (melihat) dan dia memiliki hak khiyar ketika melihat,
sehingga tidak perlu menyebutkan cirinya.
Jika diterangkan sifatnya lalu setelah melihat ternyata ada yang tidak
sama, maka pada saat itu pembeli ada hak khiyar, namun jika sama atau
lebih baik, maka ada dua pendapat. Pertama, tidak ada khiyar karena dia
mendapatinya sama dengan yang dijelaskan sama seperti barang yang
dipesan. Kedua, ada hak khiyar (sehingga ia bolehmeneruskan atau
mebatalkan akad), karena dia tahu ada khiyar ru’yah, maka tidak boleh
tanpa khiyar.
B. Larangan Dalam Jual Beli
Larangan tidak selamanya membatalkan, namun terkadang ia juga dapat
membatalkan. Larangan yang dimaksud dalam makalah ini adalah larangan
yang membatalkan. Ia dapat terwujud jika pengharaman ditujukan pada akad
itu sendiri, seperti hilangnya rukun. Diantaranya yaitu7:
1. Jual Beli Sperma Hewan Jantan (Asbu Al-Fahl)
7 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm.44-80
15
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ibnu Amru yang artinya:
“Bahwasanya Nabi SAW melarang menjual sprema hewan ajntan.”
2. Jual Beli Anak Hewan dalam Janin (Habl Al-Hablah)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu umar dengan lafal:”Rasul SAW
melarang menjual Habl Al-Hablah. Hal ini juga berlaku pada janin
manusia.
3. Jual Beli Mulasamah dan Munabadzah
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan Abi Sa’id hadis ini dengan
lafal: “Rasulullah melarang munabadzah dan mulasamah dalam jual beli”
4. Jual Beli Hushat (dengan kerikil)
Maksudnya disini adalah, jika penjual melempar batu, maka jual beli
menjadi wajib, dengan cara mengatakan:”Saya jual kepadamu baju-baju
ini yang terkena lemparan batu.
5. Jual Beli Al-‘Urbun
Maksudnya yaitu seseorang membeli satu barang dan memberi penjual
sejumlah uang dengan syarat uang tersebut menjadi bayaran atas harga
barang jika si pembeli rida dengan barang, kalau tidak maka barang
dikembalikan atau status barang berubah jadi hibah.
6. Dua jualan dalam Satu Akad
Contohnya seperti:”Saya jual kepadamu kuda ini dengan syarat kamu
menjual rumahmu seharga seribu dinar atau kamu membeli rumahku
dengan harga sekian”
7. Menawar diatas tawaran orang lain
16
Haram, jika tawarn oleh orang yang petama dianggap sah. Jika tawaran
dari orang petama tidak sah maka tidak haram. Seperti disebutkan dalam
sabda Nabi SAW yang artinya:
“ Jangan seorang laki-laki menawar barang yang sedang ditawar oleh
saudaranya”(HR. Muttafaq ‘alaihi)
Maksud hadis diatas adalah larangan melamar wanita yang sudah dilamar
oleh orang lain. Namun jika lamaran pertama tidak sah, maka boleh.
C. Khiyar
a. Pengertian Khiyar
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa
khiyaratan ( وخيارة- خيرا- يخير- ) خارyang sinonimnya: (( أعطاه ماهوخيرلهyang
artinya” memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya”.
Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua
urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. 8 Sayyid Sabiq
memberikan definisi khiyar sebagai berikut.
Artinya: khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa
meneruskan (akad jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara
pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan
tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan
penyesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau
pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau
barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat
mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya
kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena itu,
untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak
8 Ibid. hlm. 25.
17
atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya,
kalau kedua belah pihak menghendakinya.9
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa
khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya,
karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada
waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga
tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela
atau setuju.10
b. Dasar Hukum Khiyar
Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam
perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang.
Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh
pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak
boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja
termasuk penipuan dan kecurangan.11
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara
sunnah tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah
bin Al-Harits:
Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin
Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh
melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka
berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual
beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka
dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).12
9 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 408.
10 Ahmad Wardi Muslich. op.cit. hlm. 216.
11 Hamzah Ya‟qub. op. cit. hlm. 153.
12 Imam Bukhori, op.cit. hlm. 26.
18
Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu
Umar dengan arti sebagai berikut:
“Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan
pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah
seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau
bersabda:atau terjadi jual beli khiyar”. (HR. Al-Bukhari)13
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya
dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (aib)
yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar
syari‟at
Islam
bagi
ditetapkan
oleh
orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar
tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan
yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status
khiyar, menurut ulama fiqih adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena
masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang
merasa tertipu.14
c. Macam-Macam Khiyar
Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari’at Islam adalah adanya
hak kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau
membatalkan transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah
untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri,
memelihara kerukunan, hubungan baik serta menjalin cinta kasih di antara
sesama manusia. Adakalanya seseorang sudah terlanjur membeli barang,
sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka akan menimbulkan penyesalan salah
satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan, kedengkian, dendam dan
persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya yang dilarang oleh agama.
Syari’at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-keburukan itu,
maka syari’at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka tegaknya
keselamatan, kerukunan dan keharmonisan dalam hubungan antar manusia.
15
Berdasarkan dari hal tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk
.Imam Bukhori, Ibid. hlm. 25 13
14 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta:Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005, hlm. 80.
15 Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi),
Bandung: CV.Diponegoro, 1992, hlm. 101.
19
diketahui. Adapun macam khiyar tersebut antar lain:
a. Khiyar Majelis
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti
tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah
tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai
sempurna, berlaku dan wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan
tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun keadaan pihak yang berakad.16
Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟
bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di
tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti
jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.17
Dasar hukum khiyar majlis adalah hadist Al-Bukhari dari Ibnu Umar yang artinya:
“Dari ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi saw: Penjual dan pembeli
boleh melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah, atau salah seorang
mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda:
atau terjadi jual beli khiyar”. (HR. Al-Bukhari).18
Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan
khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau
menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah
memalingkan badan untuk meninggalkan tempat transaksi. Pada prinsipnya
khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal:
1. Keduanya memilih akan terusnya akad
2. Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.19
Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan
bolehnya khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh,
dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk mem-fasakh
atau meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih
meneruskan akad.20
b. Khiyar Syarat
16 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 177.
17 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, “ Fiqih Imam
Syafi‟i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.
18 Imam Bukhori, loc.cit. hlm. 25.
19 Sudarsono, op.cit. hlm. 410.
20 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit.hlm. 194.
20
Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang
membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar
pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia
menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia
bisa membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah suatu
bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan
persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh
memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.
Dasar hukum khiyar syarat adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim dari Ibnu Umar yang artinya:
“Dari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Apabila dua orang
melakukan jual beli, maka masing-masing pihak berhak melakukan khiyar, baik
kedua-duanya maupun salah satunya. Apabila salah satu dari keduanya
melakukan khiyar terhadap yang lainnya, kemudian mereka berdua melakukan
jual beli atas dasar kesepakatan mereka, maka jual beli telah wajib dilaksanakan.
Apabila mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan salah satu pihak tidak
meninggalkan jual beli, maka jual beli wajib dilaksanakan”.
(HR. Muttafaq alaih, dan redaksi dari Muslim).21
Khiyar syarat disyari’atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad,
atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan di dalamnya
terdapat unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang
yang berakad dalam masa khiyar syarat dan waktu yang telah ditentukan satu
kesempatan untuk menunggu karena memang diperlukan. Kalangan ulama fiqih
sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga
hari dan barang yang dijual tidak termasuk barang yang cepat rusak dalam tempo
ini.22
c. Khiyar Aib
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai
penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang
diduga sebelumnya. Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan
21 Imam Bukhori. loc.cit. hlm. 25.
22 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 111.
21
pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum
diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi
selesai disepakati sebelum serah terima barang.
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang mengakibatkan
berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli
dibidangnya.23 Menurut ijma’ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh
dilakukan pada waktu akad berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam
suatu hadis, yaitu hadis „Uqbah bin Amir r.a, dia berkata, “ Aku mendengar
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim yang
lafaznya:
“Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw
bersabda: Seorang muslim adalah saudaranya muslim lainnya, tidak halal bagi
seorang muslim apabila menjual barang jualannya kepada muslim lain yang
didalamnya ada cacat, melainkan ia harus menjelaskan (aib atau cacatnya) itu
kepadanya”. ( HR. Al-Hakim dari „Uqbah Ibnu Amir).24
Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada
barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.25
Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya. Namun
jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut dan mengetahuinya setelah
akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak melakukan
khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi sesuai dengan
adanya cacat.
Dimyauddin Djuwaini mengatakan bahwa khiyar aib bisa dijalankan
dengan syarat sebagai berikut:
1. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah
terima, jika aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.
2. Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
3. Pembeli tidak mengetahui adanya ‘aib atas obyek transaksi, baik ketika
melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli mengetahui
sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.
23 Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm. 98.
24 Ahmad Wardi Muslih. op.cit. hlm. 233.
25 Sayyid Sabiq. op. cit. hlm. 161.
22
4. Tidak ada persyaratan bara’ah (cuci tangan) dari aib dalam kontrak jual beli,
jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
5. Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad.26
Pembeli diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang telah dibeli
dan mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh
ganti apapun dari pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli
tetap membawa barang yang dibelinya sedang penjual memberikan ganti rugi
cacatnya kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.27
Hukum kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau sebagian,
sebelum akad dan sesudah akad terdapat beberapa ketentuan yaitu:
a. Barang rusak sebelum diterima pembeli
1) Barang rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, maka jual beli
batal.
2) Barang rusak oleh pembeli, maka akad tidak batal dan pembeli harus
membayar.
3) Barang rusak oleh orang lain, maka jual beli tidaklah batal, tetapi
pembeli harus khiyar antara melanjutkan atau membatalkan akad jual
beli.
b.
Jika barang rusak semuanya setelah diterima oleh pembeli
1) Barang rusak dengan sendirinya atau rusak yang disebabkan oleh penjual,
pembeli atau orang lain, maka jual beli tidaklah batal sebab barang telah
keluar dari tanggung jawab penjual. Akan tetapi jika yang merusak orang
lain, maka tanggungjawabnya diserahkan kepada perusaknya.
2) Jika barang rusak oleh penjual maka ada dua sikap yaitu:
a) Jika pembeli telah memegangnya baik dengan seizin penjual maupun
tidak, tetapi telah membayar harga, maka penjual yang bertanggung
jawab.
b) Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belum
diserahkan, maka akad menjadi batal.
c. Barang rusak sebagian setelah dipegang oleh pembeli
1) Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya ataupun orang
26 Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm.99.
27 Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj. “Bidayatul Mujtahid”,
Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm.815.
23
lain.
2) Jika disebabkan oleh pembeli, maka perlu dilihat dari dua segi. Jika
dipegang atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang yang dirusak
oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas seizinnya, maka jual beli batal
atas barang yang dirusaknya.28
d.
Khiyar Ru’yah
Khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam
batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.
Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah
dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau
benda yang belum pernah diperiksa.
Sedangkan menurut Imam Syafi‟i khiyar ru‟yah ini tidak sah dalam proses
jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada
ditempat) sejak semula dianggap tidak sah.
Syarat Khiyar Ruyah bagi yang membolehkannya antara lain:
a. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan
dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
b. Barang
dagangan
yang
ditransaksikan
dapat
dibatalkan
dengan
mengembalikan saat transaksi.
c. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya,
sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.29
2.2 Riba dan Kaitannya dengan Bank
2.2.1 Pengertian Riba
Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti
tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam
tukar menukar antara harta dengan harta.
Adapun menurut ahli fiqh riba adalah penambahan pada salah satu dari dua
ganti yang sejenis tanpa adanya ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan
28 Rahmat Syafi‟i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 90.
29 Sayyid Sabiq. op.cit. hlm. 158.
24
dianggap riba karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan
dan tidak ada riba didalamnya, melainkan keuntungan jual. Hanya saja tambahan
dengan istilah “Riba” yang diharamkan dalam Al-Qur’an menerangkan
pengharamannya karena tambahan yang diambil itu adalah sebagai ganti dari
tempo. Misal seseorang menjual barang kepada orang lain secara terhutang hingga
tempo tetentu, dan jika jatuh waktu tempo dan belum dibayar akan dinaikkan
jumlah hutangnya serta melambatkan tempo30.
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba AlFadhl dan riba An-Nasa'. Sedangkan Imam As-Syafi'i membaginya menjadi tiga,
yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa' dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally
menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan
secara ijma' berdasarkan nash Al Qur'an dan hadits Nabi" (Az Zawqir Ala Iqliraaf
al Kabaair vol. 2 him. 205).
Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutangpiutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan
riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba
fadhl dan riba nasi’ah. Fokus kepada riba dalam jual beli yaitu :
Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar
benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang
namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang
dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang
jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan "barang ribawi".
Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu,
korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika
jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
Apakah riba fadhl hanya berlaku pada harta yang disebukan dalam hadis
saja? Ulama bereda pendapat mengenai masalah ini. Menurut pendapat
30 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 217
25
Syafi’iyyah, alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah
alat tukar jual beli, maka dengan ini hukum penukaran uang dengan uang pun
harus sama kadar/konversinya. Sedangkam komoditi lainnya seperti garam dan
sebagainya adalah sebagai bahan makanan. Jadi tukar menukar barang yang
sejenis dimana barang itu termasuk bahan makanan, berlaku hukum riba jika tidak
sama kadarnya. Namun menurut ulama Syafi’iyyah jika tukar menukar barang
yang tidak sejenis misal gandum dengan jagung, maka tidak dikenai hukum riba
meskipun ada tambahan31.
Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan
ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh
ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah
dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan
ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang
tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya
lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masingmasing benda itu.
Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar
dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor
satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas
nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masingmasing benda itu.
Terigu : Demikian juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram,
bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas
nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas
nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masingmasing benda itu.
Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan
ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak
31 Rahcmat Syafe’i, Fiqh Muamalah. Hlm 267-268
26
boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah
dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Garam
Riba Nasi’ah
Nasi'ah bersal dari kata nasa' yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi
karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di
masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak
lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya
pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi'ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Contoh : Yuka ingin membeli rumah. Dia meminjam uang kepada bank sebesar
200 juta dengan bunga 14 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus
dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah
transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.
2.2.2 Hukum Riba
Riba adalah salah satu dari 7 dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
SAW. Sebagaimana hadits berikut ini :
انجترتنببوا ال رسبنرع ال نبموتبرقا ت: عنن الن رتبتري صلى الله عليه وسلم رقارل
رورما به رن ريا: ت رقابلوا
عنن أ رتبي بهرري نرررة ر
ر
حترق روأ رك نبل التررربا روأ رك نبل رماتل
الترشنربك تبرالل رته روالترس ن: رربسورل الل رته ؟ رقارل
حبر رورقتنبل الن رنفتس ال رتتي رح رررم الل ربه إ رلا تبال ن ر
حرصرناتت ال نرغاتفلتت ال نبمنؤتمرنا ت
عل ري نته
بمت ررفقق ر. ت
ال ني رتتيتم روالت رروترلي ي رنورم ال رزنحتف رورقنذبف ال نبم ن
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jauhilah oleh
kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para shahabat bertanya,"Apa saja ya
Rasulallah?". "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan
Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari
peperangan dan menuduh zina. (HR. Muttafaq alaihi)
As-Sarakhsy berkata bahwa seorang yang makan riba akan mendapatkan
lima dosa atau hukuman sekaligus. Yaitu At-Takhabbut, Al-Mahqu, Al-Harbu, AlKufru dan Al-Khuludu fin-Naar.
27
At-Takhabbut : Kesurupan seperti kesurupannya syetan.
Al-Mahqu : Dimusnahkan oleh Allah keberkahan hartanya
Al-Harbu : Diperangi oleh Allah SWT
Al-Kufru : dianggap kufur dari perintah Allah SWT. Dan dianggap keluar
dari agama Islam apabila menghalalkannya. Tapi bila hanya memakannya
tanpa mengatakan bahwa riba itu halal, dia berdosa besar.
Al-Khuludu fin-Naar : yaitu kekal di dalam neraka, sekali masuk tidak akan
pernah keluar lagi dari dalamnya
2.2.3
Hukum Muamalat dalam Bank
A. Kredit dan Kartu Kredit
Kredit dibolehkan dalam hukum jual-beli secara Islami. Kredit adalah
membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk
tunai tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah :
bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil. Gambaran umumnya adalah penjual
dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang
sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan.
Namun sebagai syarat harus dipenuhi ketentuan berikut :
1. Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya
dilakukan kemudian. Misalnya : harga rumah 100 juta bila dibayar tunai
dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun.
2. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya
mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.
Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi
sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan) Untuk lebih jelasnya agar bisa
dibedakan antara sistem kredit yang dibolehkan dan yang tidak.
Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit
dengan menaikkan harga diperkenankan. Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli
makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya.
Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan
harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang
28
yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan
harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.
Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual-beli kredit ini, karena pada
asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual-beli kredit tidak bisa
dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang
boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas
pemaksaan dan kezaliman.
Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram. Imam Syaukani
berkata: "Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur
berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang
kiranya lebih tepat."
Kartu Kredit
Di zaman ini berbelanja dengan menggunakan kartu kredit memberikan banyak
kelebihan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Masalah keamanan.
Seseorang tidak perlu membaya uang tunai / cash kemana-mana. Cukup
membawa sebuah kartu kredit dan biasanya kartu itu bisa diterima dimanapun
di belahan dunia ini. Seseorang tidak perlu merasa khawatir untuk kecopetan,
kecurian atau kehilangan uang tunainya. Bahkan bila kartu kredit ini hilang,
seseorang cukup menghubungi penerbit kartu itu dan dalam hitungan detik
kartu tersebut akan diblokir.
b. Masalah kepraktisan.
Membawa uang tunai apalagi dalam jumlah yang besar tentu sangat tidak
praktis. Dengan kartu kredit seseorang bisa membawa uang dalam jumla
JUAL BELI & MU’AMALAH RABAWIYAH
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah studi fiqh
Dosen Pengampu
Eva Nur Lailatul Fitriyah, MA
Disusun Oleh :
Ulil Huda
(12660064)
Ayu Tria N.M
(13670059)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM
MALANG
2016
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
sang pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturanNya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan makalah berjudul “Jual Beli dan Mu’amalah Rabawiyah”
untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqh.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
mendukung dan membantu penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bisa
menjadi salah satu sumber ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun
sadar bahwasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza
Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa
penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan
penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat
memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh
kalangan yang membutuhkan.
Wassalam,
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Jual Beli dalam Islam..................................................................................3
A. Pengertian Jual Beli dan Hukumnya.....................................................3
B. Rukun dan Syarat Jual Beli...................................................................5
C. Ba’i Al-Ghaib.......................................................................................11
D. Larangan Dalam Jual Beli....................................................................13
E. Khiyar...................................................................................................14
2.2 Riba dan Kaitannya dengan Bank .............................................................21
A. Pengertian Riba....................................................................................21
B. Hukum Riba.........................................................................................24
C. Hukum Muamalat dalam Bank............................................................25
BAB III PENUTUP
A. Simpulan..............................................................................................32
B. Saran....................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
3
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu sama
lain. Bagaimanapun sifat manusia tersebut, ia tak akan lepas dari hal-hal yang
berhubungan dengan manusia lain. Katakanlah si A merupakan orang yang sangat
pendiam, suka menyendiri dan tidak suka bergaul dengan orang lain. Namun,
sudah dapat dipastikan bahwa si A tak akan bisa lepas dari“berhubungan” dengan
manusia lain. Contoh sederhana saat ia pergi ke mini market untuk membeli
barang, maka ia sudah masuk kedalam kategori berhubungan dengan orang lain.
Dalam istilah fiqh, hubungan antara manusia satu dengan manusia lain disebut
“Hablum minan naas”. Hubungan antar manusia ini, diatur dalam sebuah disiplin
ilmu yang disebut “Fiqh Mu’amalah”. Salah satu cabang ilmu yang diatur oleh
fiqh muamalah yaitu jual beli dan riba.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap orang pasti melakukan
suatu transaksi yang biasa disebut jual beli. Si penjual menjual barangnya dan si
pembeli membelinya dengan menukarkan barang tersebut dengan sejumlah
uang/barang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika pada zaman dahulu
transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak,
maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas dalam satu ruang saja.
Dengan kemajuan teknologi dan maraknya penggunaan internet kedua belah pihak
dapat betransaksi dengan lancar.
Bagaimana pula dengan riba? Secara sedehana riba merupakan tambahan
uang/barang untuk suatu transaksi yang diisyaratkan sejak awal. Di dalam Islam,
riba dalam bentuk apapun diharamkan sedangkan jual beli dihalalkan. Nah
sebenarnya apa itu menurut Fiqih Muamalah seta apa saja yang temasuk kedalam
riba? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah
hukumnya menurut Fiqih Muamalah? Hal ini sangat menarik untuk dibahas.
1.2 Rumusan Masalah
4
Dari uraian diatas tentang jual beli dan riba, maka dirumuskan beberapa
pertanyaan yang nantinya akan dibahas dalam pembahasan:
1. Apa yang dimaksud dengan jual beli dalam Islam dan apa saja hal-hal
terkait dengan jual beli?
2. Apa itu muamalat rabawiyah dan bagaimana kaitannya dengan Bank
Konvensional?
1.3 Tujuan
Dari rumusan-rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan pembuatan
makalah ini:
1. Untuk mengetahui hal-hal terkait jual beli dalam Islam.
2. Untuk mengetahui hal-hal terkait mu’amalat rabawiyah dan kaitannya
dengan Bank
BAB II
PEMBAHASAN
5
2.1 Jual Beli dalam Islam
2.1.1 Pengertian jual beli dan hukumnya
Menurut etimologi, jual beli diartikan:
مقابلة الشئ بالشىء
Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)
Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Alquran surah Fathir ayat 29 dinyatakan:
جاررةة ل رنن ترببورر
ب الل رته روأ ررقابموا ال رصلرة روأ رن نرفبقوا تم رما رررزنقرنابهنم تس ر ةرا رو ر
علتني رةة ي رنربجورن تت ر
تإ رن ال رتذيرن ي رتنبلورن تكرتا ر
Artinya: “ Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.”
(QS. Fathir: 29)
Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama bebeda pendapat dalam
mendefinisikannya, antara lain:
a. Menurut ulama Hanafiyah1:
“ Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan)”
b. Menurut Imam Nawawi2 dalam kitab Al-Majmu’:
“ Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”
c. Menurut Ibnu Qudamah3 dalam kitab Al-Mugni
“ Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik”
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah :
"menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan
jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar
saling merelakan"
Jual beli disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ yakni:
a. Al-Qur’an
1 Alaudin Al-Kasyani, Bada’I Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-syarai’. Juz V hlm.133
2 Muhammad Asy-Syarbini. Mugni al-muhtaj. Juz II. hlm 2
3 Ibnu Qudamah. Al-Mugni. Juz III. Hlm 559
6
Artinya: “ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba...” (QS. Al-Baqarah: 275).
b. As-Sunnah
ل هبيمهدهه مورك لرل مبيورع مموبرروورر
ي ال وك موس ه
عممرل ال لمررج ه
عل ميوهه مومسل ل ممم أ م لر
ب ؟ مقامل م
رسئهمل الن لمهب لري مص ل ملى ال م
ب أ مط ويم ر
– رواه االبزار والحاكم
Artinya: “Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik.
Beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli
yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
Maksud dari mabrur dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari
tipu menipu dan merugikan orang lain.
c. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang
lain. Namun demikian. Bantuan atau barang tersebut harus diganti dengan
barang lain yang sesuai.
Dapat disimpulkan bahwa hukum asal jual beli adalah boleh. Namun ada
beberapa kondisi yang menyebabkan hukumnya menjadi haram, mandub,
makruh bahkan haram. Jual beli menjadi wajib hukumnya jika dalam keadaan
terdesak misal, dia memiliki persediaan makanan yang lebih, dan ada orang
lain yang sangat membutuhkannya, maka penguasa berhak memaksanya untuk
menjual barangnya. Jual beli menjadi mandub hukumnya jika harga barang
mahal, menjadi makruh seperti menjual mushaf, bisa juga jadi haram
contohnya sepeti menjual anggur kepada pembuat arak.4
4 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm 89-90
7
Hal-hal terkait jual beli ini diatur dalam Fiqh Muamalah. Fiqh Muamalah
membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia
dalam persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual beli, hutang
piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan
tanah, dan sewa menyewa.
Adapun prinsip prinsip dalam bermuamalah adalah sebagai berikut:
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang
ditentukan oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam
memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat
baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur
paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu
diperhatikan.
3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat
dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai
keadilan,
menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan
kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala bentuk muamalat yang
mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.
2.1.2 Rukun dan Syarat Jual beli
Rukun dan syarat jual beli adalah:
1. Penjual dan pembeli
Penjual dan pembeli haruslah seorang yang berakal sehat dan baligh. Jika
penjual/pembeli tersebut mumayyiz (meskipun belum baligh), maka jual
belinya sah jika ia mendapatkan izin dari walinya untuk melakukan transaksi
jual beli. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, dan Ats-Tsauri. Dan
hendaknya penjual merupakan pemilik sempurna barang yang akan dijual atau
ia mendapatkan izin dari pemiliknya untuk menjualkan barang tersebut.
2. Akad
8
Akad jual beli dianggap sah dengan segala hal yang menunjukkan tujuan jual
beli, baik itu dengan perkataan maupun perbutan. Ini adalah pendapat yang
dipilih oleh Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang
diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang
rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem mu'athaah, (
)معاطاهyaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa
mengucapkan lafadz.
3. Barang yang dijual
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan.
Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus
memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi
sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang diperjual belikan harus benda yang suci dana arti bukan benda
najis atau mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama
antara lain bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia,
kotoran hewan5 dan lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
تإ رن رالل رره:عارم ا رل نرفتنتح روبهرو تبرمك ررة
أ رن ربه رستمرع رربسورل رالل رته ي ربقوبل ر-عن نبهرما
ررتضري رالل ربه ر- عبنتد رالل رته
عنن رجاتبتر بنتن ر
ر
خنمتر روال نرمي نترتة روال نتخن نتزيتر روال رنصرناتم
رورربسول ربه رح رررم بري نرع ا رل ن ر
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda
di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang
jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih).
5 Mazhab Hanbali menetapkan bahwa kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan, hukumnya tidak najis.
9
Bank Darah
Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari
jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa
bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun
tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan
darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor,
penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang
dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual-beli darah, karena
hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan
najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat
berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka
tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja
bukan dengan akad jual-beli.
Pihak
petani
hanya
menanggung
biaya
penampungan
kotoran,
pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan
harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual-bel
b.Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak.
Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang
membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli hewan yang
membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau
semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatullahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan orang dari zikrullah,
10
seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan
manfaat apapun, maka jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu
termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka.
Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti
tambur, seruling, rebab dan lainnya.6
c. Dimiliki oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali
orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil.
Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki
oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk
melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat
mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga
pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada
di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik
barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka
transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang
berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut :
Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk
mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh
yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu
kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah
penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban
atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits hasan)
6 Kifayatul Akhyar jilid 1 halaman 236
11
Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayatan hadits ini lemah,
namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat
banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.
Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i membolehkan jual-beli
yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya mauquf. Karena
akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad
jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian
pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi batal
dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar untuk
membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor
kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku
menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil
aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda,"Semoga Allah memberkatimu
dalam perjanjianmu". (HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d.Bisa Diserahkan
Tidak boleh menjual barang yang tidak mampu diserahkan seperti menjual
burung diudara, ikan dalam air, unta yang lari, kuda yang hilang, atau harta
yang dirampas, sesuai dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra: “Nabi SAW melarang menjual barang yang ada unsur menipu.”
Menjual hal yang tidak bisa diserahkan termasuk menipu (gharar).
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah
bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak
pedang itu.
e. Harus Diketahui Keadaannya
Tidak boleh menjual barang yang tidak diketahui keadaannya. Maksud
keadaan disini baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
12
Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat oleh penjual dan pembeli
sebelum akad jual-beli dilakukan meskipun hanya sampel. Agar tidak terjadi
gharar.
Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa ditetapkan ukurannya. Baik
beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya
yang dikenal di masanya.
Tidak diperbolehkan menjual jika zat, jumlah dan sifat pasti nya tidak
diketahui, misal jika dikatakan “Saya jaul kepadamu satu dari dua baju ini”.
Walau harganya sama, tapi tidak pasti barang mana yang akan dijual.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi
rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan
bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau
jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah
dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin
barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi
terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan
suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tekhnik,
misalnya:
-
Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya
tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci.
-
Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
Dengan membuka bungkus barang sampel, atau garansi yang memastikan
pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.
4. Saling ridha
Jual beli yang tidak disertai keridhaan di antara penjual dan pembeli, maka
jual belinya tidak sah. Diriwayatkan dari Abu Sa‟id Al-Khudri.
Rasulullah SAW bersabda;
13
“Sesungguhnya jual beli itu (atas dasar) saling ridha (suka sama suka).”
(HR. Ibnu Majah : 2185. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5
dalam Shahihul Jami‟
A. Bai’ Al-Ghaib (Menjual Barang yang Tidak Ada Saat Jual Beli)
Menurut pendapat yang unggul tidak boleh menjual barang yang ghaib, yaitu
barang yang tidak dilihat oleh kedua orang yang bertekad atau salah satunya,
berbeda dengan tiga imam yang lain, walaupun ia menentukan akan segera
menyerahkannya karena kabar tidak sama dengan melihat secara langsung.
Pendapat ini berlaku jika barang yang dijual tidak diketahui ciri atau jenisnya,
tapi jika jenis atau macamnya diketahui seperti dia mengatakan: “Saya jual
kepadamu baju yang terbuat dari Yaman yang ada di dalam lemari rumahku,
atau saya jual kepadamu kuda hitam yang ada di kandangku , ada dua
pendapat ulama:
Dalam qaul qadim-nya, Imam Syafi’i mengatakan: jual beli demikian sah,
dan si pembeli berhak melakukan khiyar ketika dia melihatnya, dengan dalil
apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Mulaikah bahwa Usman r.a. membeli
sebidang tanah di Kufah kemudian Usman berkata: “Aku menjual tanahku
dengan tanahmu sedang saya belum melihatnya,” lalu Thalhah berkata:”yang
berhak melihat itu adalah saya sebab saya membeli sesuatu yang belum saya
lihat sedang kamu sudah melihat apa yang kamu beli,” lalu keduanya
mengadukan masalah itu kepada Jubair bin Muth’im, dan Jubair memutuskan
kepada Usman bahwa jual beli sah dan Thalhah berhak melihat karena dia
membeli sesuatu yang ghaib dan karena ia satu bentuk tekad terhadap benda,
maka boleh walaupun ada yang tidak diketahui tentang sifatnya sama seperti
nikah.
Sedangkan dalam qaul jadid-nya, Imam Syafi’i menyatakan tidak sah,
dengan dalil hadis Abu Hurairah r.a: Bahwa Nabi SAW melarang menjual
sesuatu yang tidak diketahui. Alasan lain, dalam akad ini ada unsur gharar,
14
sebab ia termasuk dalam jual beli, maka tidak sah jika ada yang tidak
diketahui dari sifatnya sama seperti jual beli sistem salam (ordering). Namun
jika kita mengambil qaul qadim, apakah sahnya akad mengharuskan kita
untuk menyebutkan semua sifat (ciri barang) atau tidak? Ada tiga pendapat:
1. Tidak sah sampai semua sifat (ciri)nya disebutkan sebagaimana barang
yang dipesan (musallam fihi).
2. Tidak sah sampai sifat-sifat utamanya disebutkan.
3. Sah dan tidak perlu menyebutkan sifatnya. Ini adalah pendapat yang
dipilih dalam mazhab kami (Syafi’i) karena yang menjadi patokan
adalah ru’yah (melihat) dan dia memiliki hak khiyar ketika melihat,
sehingga tidak perlu menyebutkan cirinya.
Jika diterangkan sifatnya lalu setelah melihat ternyata ada yang tidak
sama, maka pada saat itu pembeli ada hak khiyar, namun jika sama atau
lebih baik, maka ada dua pendapat. Pertama, tidak ada khiyar karena dia
mendapatinya sama dengan yang dijelaskan sama seperti barang yang
dipesan. Kedua, ada hak khiyar (sehingga ia bolehmeneruskan atau
mebatalkan akad), karena dia tahu ada khiyar ru’yah, maka tidak boleh
tanpa khiyar.
B. Larangan Dalam Jual Beli
Larangan tidak selamanya membatalkan, namun terkadang ia juga dapat
membatalkan. Larangan yang dimaksud dalam makalah ini adalah larangan
yang membatalkan. Ia dapat terwujud jika pengharaman ditujukan pada akad
itu sendiri, seperti hilangnya rukun. Diantaranya yaitu7:
1. Jual Beli Sperma Hewan Jantan (Asbu Al-Fahl)
7 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm.44-80
15
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ibnu Amru yang artinya:
“Bahwasanya Nabi SAW melarang menjual sprema hewan ajntan.”
2. Jual Beli Anak Hewan dalam Janin (Habl Al-Hablah)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu umar dengan lafal:”Rasul SAW
melarang menjual Habl Al-Hablah. Hal ini juga berlaku pada janin
manusia.
3. Jual Beli Mulasamah dan Munabadzah
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan Abi Sa’id hadis ini dengan
lafal: “Rasulullah melarang munabadzah dan mulasamah dalam jual beli”
4. Jual Beli Hushat (dengan kerikil)
Maksudnya disini adalah, jika penjual melempar batu, maka jual beli
menjadi wajib, dengan cara mengatakan:”Saya jual kepadamu baju-baju
ini yang terkena lemparan batu.
5. Jual Beli Al-‘Urbun
Maksudnya yaitu seseorang membeli satu barang dan memberi penjual
sejumlah uang dengan syarat uang tersebut menjadi bayaran atas harga
barang jika si pembeli rida dengan barang, kalau tidak maka barang
dikembalikan atau status barang berubah jadi hibah.
6. Dua jualan dalam Satu Akad
Contohnya seperti:”Saya jual kepadamu kuda ini dengan syarat kamu
menjual rumahmu seharga seribu dinar atau kamu membeli rumahku
dengan harga sekian”
7. Menawar diatas tawaran orang lain
16
Haram, jika tawarn oleh orang yang petama dianggap sah. Jika tawaran
dari orang petama tidak sah maka tidak haram. Seperti disebutkan dalam
sabda Nabi SAW yang artinya:
“ Jangan seorang laki-laki menawar barang yang sedang ditawar oleh
saudaranya”(HR. Muttafaq ‘alaihi)
Maksud hadis diatas adalah larangan melamar wanita yang sudah dilamar
oleh orang lain. Namun jika lamaran pertama tidak sah, maka boleh.
C. Khiyar
a. Pengertian Khiyar
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa
khiyaratan ( وخيارة- خيرا- يخير- ) خارyang sinonimnya: (( أعطاه ماهوخيرلهyang
artinya” memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya”.
Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua
urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. 8 Sayyid Sabiq
memberikan definisi khiyar sebagai berikut.
Artinya: khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa
meneruskan (akad jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara
pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan
tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan
penyesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau
pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau
barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat
mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya
kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena itu,
untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak
8 Ibid. hlm. 25.
17
atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya,
kalau kedua belah pihak menghendakinya.9
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa
khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya,
karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada
waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga
tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela
atau setuju.10
b. Dasar Hukum Khiyar
Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam
perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang.
Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh
pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak
boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja
termasuk penipuan dan kecurangan.11
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara
sunnah tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah
bin Al-Harits:
Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin
Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh
melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka
berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual
beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka
dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).12
9 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 408.
10 Ahmad Wardi Muslich. op.cit. hlm. 216.
11 Hamzah Ya‟qub. op. cit. hlm. 153.
12 Imam Bukhori, op.cit. hlm. 26.
18
Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu
Umar dengan arti sebagai berikut:
“Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan
pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah
seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau
bersabda:atau terjadi jual beli khiyar”. (HR. Al-Bukhari)13
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya
dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (aib)
yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar
syari‟at
Islam
bagi
ditetapkan
oleh
orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar
tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan
yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status
khiyar, menurut ulama fiqih adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena
masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang
merasa tertipu.14
c. Macam-Macam Khiyar
Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari’at Islam adalah adanya
hak kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau
membatalkan transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah
untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri,
memelihara kerukunan, hubungan baik serta menjalin cinta kasih di antara
sesama manusia. Adakalanya seseorang sudah terlanjur membeli barang,
sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka akan menimbulkan penyesalan salah
satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan, kedengkian, dendam dan
persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya yang dilarang oleh agama.
Syari’at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-keburukan itu,
maka syari’at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka tegaknya
keselamatan, kerukunan dan keharmonisan dalam hubungan antar manusia.
15
Berdasarkan dari hal tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk
.Imam Bukhori, Ibid. hlm. 25 13
14 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta:Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005, hlm. 80.
15 Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi),
Bandung: CV.Diponegoro, 1992, hlm. 101.
19
diketahui. Adapun macam khiyar tersebut antar lain:
a. Khiyar Majelis
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti
tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah
tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai
sempurna, berlaku dan wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan
tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun keadaan pihak yang berakad.16
Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟
bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di
tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti
jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.17
Dasar hukum khiyar majlis adalah hadist Al-Bukhari dari Ibnu Umar yang artinya:
“Dari ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi saw: Penjual dan pembeli
boleh melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah, atau salah seorang
mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda:
atau terjadi jual beli khiyar”. (HR. Al-Bukhari).18
Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan
khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau
menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah
memalingkan badan untuk meninggalkan tempat transaksi. Pada prinsipnya
khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal:
1. Keduanya memilih akan terusnya akad
2. Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.19
Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan
bolehnya khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh,
dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk mem-fasakh
atau meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih
meneruskan akad.20
b. Khiyar Syarat
16 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 177.
17 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, “ Fiqih Imam
Syafi‟i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.
18 Imam Bukhori, loc.cit. hlm. 25.
19 Sudarsono, op.cit. hlm. 410.
20 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit.hlm. 194.
20
Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang
membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar
pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia
menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia
bisa membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah suatu
bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan
persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh
memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.
Dasar hukum khiyar syarat adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim dari Ibnu Umar yang artinya:
“Dari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Apabila dua orang
melakukan jual beli, maka masing-masing pihak berhak melakukan khiyar, baik
kedua-duanya maupun salah satunya. Apabila salah satu dari keduanya
melakukan khiyar terhadap yang lainnya, kemudian mereka berdua melakukan
jual beli atas dasar kesepakatan mereka, maka jual beli telah wajib dilaksanakan.
Apabila mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan salah satu pihak tidak
meninggalkan jual beli, maka jual beli wajib dilaksanakan”.
(HR. Muttafaq alaih, dan redaksi dari Muslim).21
Khiyar syarat disyari’atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad,
atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan di dalamnya
terdapat unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang
yang berakad dalam masa khiyar syarat dan waktu yang telah ditentukan satu
kesempatan untuk menunggu karena memang diperlukan. Kalangan ulama fiqih
sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga
hari dan barang yang dijual tidak termasuk barang yang cepat rusak dalam tempo
ini.22
c. Khiyar Aib
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai
penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang
diduga sebelumnya. Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan
21 Imam Bukhori. loc.cit. hlm. 25.
22 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 111.
21
pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum
diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi
selesai disepakati sebelum serah terima barang.
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang mengakibatkan
berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli
dibidangnya.23 Menurut ijma’ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh
dilakukan pada waktu akad berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam
suatu hadis, yaitu hadis „Uqbah bin Amir r.a, dia berkata, “ Aku mendengar
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim yang
lafaznya:
“Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw
bersabda: Seorang muslim adalah saudaranya muslim lainnya, tidak halal bagi
seorang muslim apabila menjual barang jualannya kepada muslim lain yang
didalamnya ada cacat, melainkan ia harus menjelaskan (aib atau cacatnya) itu
kepadanya”. ( HR. Al-Hakim dari „Uqbah Ibnu Amir).24
Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada
barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.25
Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya. Namun
jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut dan mengetahuinya setelah
akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak melakukan
khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi sesuai dengan
adanya cacat.
Dimyauddin Djuwaini mengatakan bahwa khiyar aib bisa dijalankan
dengan syarat sebagai berikut:
1. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah
terima, jika aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.
2. Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
3. Pembeli tidak mengetahui adanya ‘aib atas obyek transaksi, baik ketika
melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli mengetahui
sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.
23 Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm. 98.
24 Ahmad Wardi Muslih. op.cit. hlm. 233.
25 Sayyid Sabiq. op. cit. hlm. 161.
22
4. Tidak ada persyaratan bara’ah (cuci tangan) dari aib dalam kontrak jual beli,
jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
5. Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad.26
Pembeli diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang telah dibeli
dan mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh
ganti apapun dari pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli
tetap membawa barang yang dibelinya sedang penjual memberikan ganti rugi
cacatnya kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.27
Hukum kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau sebagian,
sebelum akad dan sesudah akad terdapat beberapa ketentuan yaitu:
a. Barang rusak sebelum diterima pembeli
1) Barang rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, maka jual beli
batal.
2) Barang rusak oleh pembeli, maka akad tidak batal dan pembeli harus
membayar.
3) Barang rusak oleh orang lain, maka jual beli tidaklah batal, tetapi
pembeli harus khiyar antara melanjutkan atau membatalkan akad jual
beli.
b.
Jika barang rusak semuanya setelah diterima oleh pembeli
1) Barang rusak dengan sendirinya atau rusak yang disebabkan oleh penjual,
pembeli atau orang lain, maka jual beli tidaklah batal sebab barang telah
keluar dari tanggung jawab penjual. Akan tetapi jika yang merusak orang
lain, maka tanggungjawabnya diserahkan kepada perusaknya.
2) Jika barang rusak oleh penjual maka ada dua sikap yaitu:
a) Jika pembeli telah memegangnya baik dengan seizin penjual maupun
tidak, tetapi telah membayar harga, maka penjual yang bertanggung
jawab.
b) Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belum
diserahkan, maka akad menjadi batal.
c. Barang rusak sebagian setelah dipegang oleh pembeli
1) Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya ataupun orang
26 Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm.99.
27 Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj. “Bidayatul Mujtahid”,
Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm.815.
23
lain.
2) Jika disebabkan oleh pembeli, maka perlu dilihat dari dua segi. Jika
dipegang atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang yang dirusak
oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas seizinnya, maka jual beli batal
atas barang yang dirusaknya.28
d.
Khiyar Ru’yah
Khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam
batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.
Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah
dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau
benda yang belum pernah diperiksa.
Sedangkan menurut Imam Syafi‟i khiyar ru‟yah ini tidak sah dalam proses
jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada
ditempat) sejak semula dianggap tidak sah.
Syarat Khiyar Ruyah bagi yang membolehkannya antara lain:
a. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan
dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
b. Barang
dagangan
yang
ditransaksikan
dapat
dibatalkan
dengan
mengembalikan saat transaksi.
c. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya,
sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.29
2.2 Riba dan Kaitannya dengan Bank
2.2.1 Pengertian Riba
Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti
tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam
tukar menukar antara harta dengan harta.
Adapun menurut ahli fiqh riba adalah penambahan pada salah satu dari dua
ganti yang sejenis tanpa adanya ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan
28 Rahmat Syafi‟i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 90.
29 Sayyid Sabiq. op.cit. hlm. 158.
24
dianggap riba karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan
dan tidak ada riba didalamnya, melainkan keuntungan jual. Hanya saja tambahan
dengan istilah “Riba” yang diharamkan dalam Al-Qur’an menerangkan
pengharamannya karena tambahan yang diambil itu adalah sebagai ganti dari
tempo. Misal seseorang menjual barang kepada orang lain secara terhutang hingga
tempo tetentu, dan jika jatuh waktu tempo dan belum dibayar akan dinaikkan
jumlah hutangnya serta melambatkan tempo30.
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba AlFadhl dan riba An-Nasa'. Sedangkan Imam As-Syafi'i membaginya menjadi tiga,
yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa' dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally
menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan
secara ijma' berdasarkan nash Al Qur'an dan hadits Nabi" (Az Zawqir Ala Iqliraaf
al Kabaair vol. 2 him. 205).
Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutangpiutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan
riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba
fadhl dan riba nasi’ah. Fokus kepada riba dalam jual beli yaitu :
Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar
benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang
namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang
dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang
jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan "barang ribawi".
Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu,
korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika
jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
Apakah riba fadhl hanya berlaku pada harta yang disebukan dalam hadis
saja? Ulama bereda pendapat mengenai masalah ini. Menurut pendapat
30 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 217
25
Syafi’iyyah, alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah
alat tukar jual beli, maka dengan ini hukum penukaran uang dengan uang pun
harus sama kadar/konversinya. Sedangkam komoditi lainnya seperti garam dan
sebagainya adalah sebagai bahan makanan. Jadi tukar menukar barang yang
sejenis dimana barang itu termasuk bahan makanan, berlaku hukum riba jika tidak
sama kadarnya. Namun menurut ulama Syafi’iyyah jika tukar menukar barang
yang tidak sejenis misal gandum dengan jagung, maka tidak dikenai hukum riba
meskipun ada tambahan31.
Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan
ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh
ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah
dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan
ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang
tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya
lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masingmasing benda itu.
Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar
dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor
satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas
nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masingmasing benda itu.
Terigu : Demikian juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram,
bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas
nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas
nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masingmasing benda itu.
Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan
ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak
31 Rahcmat Syafe’i, Fiqh Muamalah. Hlm 267-268
26
boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah
dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Garam
Riba Nasi’ah
Nasi'ah bersal dari kata nasa' yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi
karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di
masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak
lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya
pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi'ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Contoh : Yuka ingin membeli rumah. Dia meminjam uang kepada bank sebesar
200 juta dengan bunga 14 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus
dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah
transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.
2.2.2 Hukum Riba
Riba adalah salah satu dari 7 dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
SAW. Sebagaimana hadits berikut ini :
انجترتنببوا ال رسبنرع ال نبموتبرقا ت: عنن الن رتبتري صلى الله عليه وسلم رقارل
رورما به رن ريا: ت رقابلوا
عنن أ رتبي بهرري نرررة ر
ر
حترق روأ رك نبل التررربا روأ رك نبل رماتل
الترشنربك تبرالل رته روالترس ن: رربسورل الل رته ؟ رقارل
حبر رورقتنبل الن رنفتس ال رتتي رح رررم الل ربه إ رلا تبال ن ر
حرصرناتت ال نرغاتفلتت ال نبمنؤتمرنا ت
عل ري نته
بمت ررفقق ر. ت
ال ني رتتيتم روالت رروترلي ي رنورم ال رزنحتف رورقنذبف ال نبم ن
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jauhilah oleh
kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para shahabat bertanya,"Apa saja ya
Rasulallah?". "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan
Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari
peperangan dan menuduh zina. (HR. Muttafaq alaihi)
As-Sarakhsy berkata bahwa seorang yang makan riba akan mendapatkan
lima dosa atau hukuman sekaligus. Yaitu At-Takhabbut, Al-Mahqu, Al-Harbu, AlKufru dan Al-Khuludu fin-Naar.
27
At-Takhabbut : Kesurupan seperti kesurupannya syetan.
Al-Mahqu : Dimusnahkan oleh Allah keberkahan hartanya
Al-Harbu : Diperangi oleh Allah SWT
Al-Kufru : dianggap kufur dari perintah Allah SWT. Dan dianggap keluar
dari agama Islam apabila menghalalkannya. Tapi bila hanya memakannya
tanpa mengatakan bahwa riba itu halal, dia berdosa besar.
Al-Khuludu fin-Naar : yaitu kekal di dalam neraka, sekali masuk tidak akan
pernah keluar lagi dari dalamnya
2.2.3
Hukum Muamalat dalam Bank
A. Kredit dan Kartu Kredit
Kredit dibolehkan dalam hukum jual-beli secara Islami. Kredit adalah
membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk
tunai tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah :
bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil. Gambaran umumnya adalah penjual
dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang
sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan.
Namun sebagai syarat harus dipenuhi ketentuan berikut :
1. Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya
dilakukan kemudian. Misalnya : harga rumah 100 juta bila dibayar tunai
dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun.
2. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya
mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.
Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi
sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan) Untuk lebih jelasnya agar bisa
dibedakan antara sistem kredit yang dibolehkan dan yang tidak.
Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit
dengan menaikkan harga diperkenankan. Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli
makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya.
Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan
harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang
28
yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan
harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.
Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual-beli kredit ini, karena pada
asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual-beli kredit tidak bisa
dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang
boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas
pemaksaan dan kezaliman.
Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram. Imam Syaukani
berkata: "Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur
berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang
kiranya lebih tepat."
Kartu Kredit
Di zaman ini berbelanja dengan menggunakan kartu kredit memberikan banyak
kelebihan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Masalah keamanan.
Seseorang tidak perlu membaya uang tunai / cash kemana-mana. Cukup
membawa sebuah kartu kredit dan biasanya kartu itu bisa diterima dimanapun
di belahan dunia ini. Seseorang tidak perlu merasa khawatir untuk kecopetan,
kecurian atau kehilangan uang tunainya. Bahkan bila kartu kredit ini hilang,
seseorang cukup menghubungi penerbit kartu itu dan dalam hitungan detik
kartu tersebut akan diblokir.
b. Masalah kepraktisan.
Membawa uang tunai apalagi dalam jumlah yang besar tentu sangat tidak
praktis. Dengan kartu kredit seseorang bisa membawa uang dalam jumla