PROBLEMATIK EKSPOR OBAT HEWAN INDONESIA

PROBLEMATIK EKSPOR OBAT HEWAN
INDONESIA
Oleh : Dedy Kusmanagandi
Dalam sepuluh tahun terakhir Industri Obat Hewan Indonesia memasuki era baru dengan telah
berhasilnya beberapa perusahaan obat hewan mengekspor produknya ke beberapa negara.
Tumbuhnya industri peternakan serta meningkatnya golongan masyarakat kelas menengah di
Asia telah meningkatkan permintaan akan hasil hasil peternakan sehingga memberikan atmosfir
yang cerah bagi perkembangan perusahaan obat hewan yang responsive terhadap peluang
bisnis yang cukup menarik.
Disisi lain obat hewan Indonesia tumbuh diatas konstruksi yang labil karena keterbatasan infra
struktur dan supra struktur industri yang masih bergantung kepada impor terutama untuk sektor
produksi dan pengembangan. Sementara itu di sektor pemasaran lokal yang merupakan
pondasi awal agar tumbuh kuat, perkembangannya dibatasi oleh situasi industri perunggasan
yang belum mantap karena juga masih tergantung pada komponen impor.
Oleh karena itu sukses pemasaran obat hewan yang telah berhasil menembus pasar
Internasional, baik dikawasan Asia, Timur Tengah, ataupun Afrika harus selalu didukung oleh
penguatan keunggulan komparatif yang harus dilakukan oleh pengusaha dan pemerintah
secara kontinu.
Bagi pelaku bisnis internasional, persaingan obat hewan Indonesia di kawasan Asia Pasifik
dalam lima tahun terakhir tergoncang dengan hadirnya produk obat hewan dari RRC yang
harganya rendah. Meski diakui kualitasnya secara International masih banyak yang meragukan,

namun karena harganya yang sangat murah telah menggeser keberadaan produk dari negara
Industri yang telah maju seperti Amerika dan Eropa yang harganya tinggi. Namun demikian
ternyata tidak sampai disana, pada tahap selanjutnya produk China juga mengancam produk
ekspor dari negara-negara macan Asia seperti Korea, Thailand, India, dan Indonesia.
Yang sesungguhnya menjadi ancaman serius dari China adalah penawaran bahan bakunya
yang murah dan terdistribusi secara merata ke seluruh dunia. Penawaran bahan baku murah
dan mudahnya akses informasi dan komunikasi telah mendorong negara-negara importir obat
hewan untuk memproduksi obat hewannya sendiri. Beberaapa negara seperti Pakistan,
Vietnam, Bangladesh, Jordan, dan Mesir yang tadinya merupakan negara tujuan ekspor obat
hewan Indonesia kini mulai berbenah untuk menjadi negara eksportir obat hewan, paling tidak
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga mengurangi pangsa impor obat hewannya.
Oleh karena itu pada segmen farmasetik yang tidak membutuhkan teknologi tinggi dan
formulasinya sederhana, maka pasar ekspor obat hewan akan menurun drastis.
Sudah menjadi rahasia manager ekspor, bahwa meskipun orang begitu terbius oleh istilah
Pasar Global, namun sesungguhnya kenyataan yang terjadi di lapangan adalah hubungan
bilateral Bisnis to Bisnis (B to B) yang didukung oleh hubungan Government to Government (G
to G). Dalam hubungan B to B atau G to G tidak selamanya hubungan dibangun atas dasar
profesionalisme, tetapi banyak faktor yang mempengaruhi berlangsungnya hubungan bisnis
serta kelanggengannya melewati berbagai hambatan serta dinamika hubungan internasional.


Kejujuran, saling pengertian, adalah dua sisi suatu trapezium yang berpadu dengan dua sisi
lainnya yaitu saling memanfaatkan dan mencari keuntungan bagi kedua belah pihak.
Kedekatan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Asean bukan merupakan jaminan para
pengusaha dapat melenggang dengan mudah untuk mengekspor produknya. Bahkan
sebaliknya Malaysia dan Thailand bersaing dengan Korea Selatan adalah kompetitor serius
dalam memperebutkan kue ekspor tidak saja untuk kawasan Asean sendiri, tetapi juga untuk
bentangan negara-negara Asia Pacific.
Malaysia yang dikatakan sebagai negara serumpun, merupakan salah satu anggota negara
persemakmuran yang sangat ketat menerapkan kebijakan patent obat hewan. Oleh karena itu
produk pengikut (Me too product) buatan Indonesia cukup sulit untuk dapat menembus
kawasan semenanjung Malaya tersebut. Pebisnis yang ‘kreatif’ memanfaatkan celah yang dapat
digunakan sebagai pintu masuk ke Malaysia adalah dengan melalui gerbang Entikong, di
perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak. Namun, jangan berbahagia dulu. Disana harga jual
obat hewan sungguh tidak menggembirakan. Oleh karena itu beberapa perusahaan lebih
senang menjual obat hewannya di Tanggerang karena masih bisa “Cincai” dengan customer
yang bonusnya dikurangi dan bisa diberikan kemudian pada saat hari raya Imlek.
Tentu bukan hanya Malaysia yang memiliki “Entry Barrier” tinggi. Philipina pun punya
kebanggaan tersendiri dalam membeli produk luar. Pilihan utamanya tentu saja ‘harus buatan
Amerika’. Kalau tidak, buatan “saudara tua”nya dari Eropa. Untuk produk buatan Asean masih
boleh dipakai tetapi ditempatkan di prioritas belakang, dan sudah pasti “tidak perlu ada stock”.

Wah ! Kalau sudah demikian, ujung-ujungnya importir akan meminta “Usance LC” lebih dari
dua bulan. Itu sudah bagus. Karena pengiriman barang dari Manila ke Mindanao bisa hampir
satu bulan. Pada musim penghujan pengiriman akan lebih lama lagi. Karena itu kalau
perusahaan punya cabang di Manado lebih mudah mengirim barang dari sini dari pada dari
Manila. Bahkan untuk produk yang belum terdaftar pun beberapa agen mau membawanya
kalau kapal yang tambat di Pelabuhan Bitung masih kosong. Sedangkan agen di Makati akan
bilang “No li me tangere (Jangan sentuh aku)” katanya. Kecuali vaksin Tetelo, orang Tagalog
masih mau beli, apalagi harganya bagus, dan masih ada untung kalau dijual lagi.
Karakteristik Vaksin sebagai barang ekspor memiliki perbedaan dibanding obat hewan jenis
Farmasetik ataupun premik. Hal ini karena produsen dan ekportir vaksin masih bisa dihitung
dengan jari untuk kawasan Asia. Hal ini berkait dengan mengglobalnya pabrik vaksin dunia,
terutama di Amerika dan Eropa, sehingga jumlah produsen vaksin Asia yang masih dapat
bertahan semakin terseleksi. Gelombang akuisisi produsen vaksin oleh perusahaan besar dunia
bahkan sudah mencaplok perusahaan menengah di Australia sampai pulau kecil seperti Malta.
Oleh karena itu apabila produsen Vaksin Asia dapat survive diantara keterbatasan produksi
Telur SPF, maka untuk sementara tidak sulit untuk mengekspor vaksin unggas ke manca
negara, sepanjang kualitas dan imunogenitasnya terjaga pada batas standar minimum. Untuk
segmen pasar vaksin unggas meskipun ancaman dari Utara masih tetap merupakan bahaya
latent, tetapi ternyata berdasarkan uji kualitas dan daya imunogeniknya di beberapa negara
membuktikan hasilnya banyak yang tidak memuaskan.

Oleh karena itu anda sudah dapat menemukan vaksin unggas buatan Indonesia di Philipina
atau Thailand. Tetapi kemungkinan besar bukan grup CP Thailand yang membelinya. Tidak
usah khawatir, meski CP ada dimana-mana, Thailand bukan seluruhnya milik CP. Masih ada
grup lain yang juga merupakan prospek yang potensial. Thailand adalah negara yang sangat

stabil, meskipun pergantian pemerintah terjadi melalui kudeta, perekonomian tetap berjalan
normal. Hubungan G to G dengan Indonesia didukung oleh hubungan ‘Army’ to ‘Army’ yang
terjalin sejak era orde baru. Apalagi jika Thailand Selatan nanti berkembang. Tentu bukan
karena faktor “serumpun” dan unsur geopolitik. Menjangkau kawasan tersebut dari Medan dan
NAD sangatlah mudah. Tinggal bagaimana meningkatkan potensi daerah menjadi keunggulan
komparatif yang signifikan, maka ekpor Sumatra bagian Utara tidak lagi hanya komoditas
pertanian tetapi juga produk hasil industri teknologi tinggi.
Tentu bukan perkara mudah mengembangkan suatu produk lalu mengekpornya. Produsen
vaksin ternak di Taiwan memberikan pelajaran bahwa mengekspor vaksin tidak semudah
menjual aneka produk Taiwan yang menyebar ke berbagai belahan dunia. Vaksin dan obat
hewan bukanlah dagangan biasa. Produk ini dilindungi berbagai peraturan dan perundangundangan yang memiliki bias yang bervariasi dalam penerapannya. Apalagi pihak berwenang
menetapkan industri vaksin bukanlah prioritas produk ekspor unggulan dan negara tujuan
ekspor mengharapkan keseimbangan neraca perdagangan bilateral diantara ke dua negara.
Jadi mengekspor produk yang mengandung komponen impor tinggi dan hanya bermanfaat bagi
industri yang juga memiliki komponen impor yang tinggi adalah suatu potensi kerugian negara.

Dengan keterbatasan lahan yang ada, mengembangkan industri peternakan di Taiwan akan
mengorbankan industri lainnya yang lebih prospektif dan padat teknologi tinggi. Hal ini berbeda
dengan kebijakan yang dipilih Vietnam, Myanmar, India dan Pakistan yang merupakan negara
yang memiliki bentangan daratan yang luas. Semestinya negara-negara tersebut memiliki
industri pendukung peternakan yang memadai, tetapi kenyataannya hanya India yang
mempersiapkannya dengan cukup terpadu, termasuk industri obat hewan. India memiliki
industri hulu dalam bidang kemikalia untuk mendukung industri obat hewan jauh meninggalkan
Indonesia yang hanya seadanya. Produk intermediates-nya digunakan oleh beberapa produsen
di Eropa dan Amerika guna menghasilkan bahan baku yang kemudian di ekspor ke
mancanegara. Namun hambatan India adalah citra, kredibilitas, dan konsistensi. Terlalu banyak
“middle man” yang mengaku produsen tetapi sering berganti principal semakin memperburuk
citra produk India. Lucunya banyak orang India di Jakarta yang berkata “Don’t trust any Indian”.
Sesungguhnya keadaan ini banyak menguntungkan perusahaan obat hewan Indonesia. Apalagi
bagi Pakistan yang memiliki konflik lama dengan India, maka mereka lebih memilih obat hewan
Indonesia dari pada produk India. Beberapa distributor di Colombo, yang memiliki kaitan
‘sejarah’ dengan India, ternyata juga lebih menganggap produk Indonesia lebih berkualitas dari
pada produk India. Hal yang sama dengan di Vietnam. Negara yang merupakan tempat leluhur
bangsa Indonesia berasal, menganggap Indosia (mereka lebih sering menyebut ‘Indosia’ atau
‘Indo’ saja tidak menyebut lengkap Indonesia) adalah negara yang maju.
Namun Vietnam kini adalah negara macan baru Asean. Banyak investasi baru ditanam di negeri

Ho Chi Min ini, salah satunya adalah industri Obat Hewan. Peraturan yang ketat dalam
mengimpor obat hewan oleh pemerintah Vietnam, mendorong tumbuhnya industri ini di dalam
negeri. Impor obat hewan yang hanya boleh dilakukan oleh BUMN local membuat proses impor
berbelit-belit. Registrasi yang memakan waktu cukup lama ternyata tidak banyak membantu
lancarnya import license. Karena itu tumbuhnya self mixing farm hanya tinggal menunggu hari
saja. Demikian juga dengan selfmixing obat sendiri yang kemudian diikuti oleh permintaan
pasar. Apalagi pasokan bahan baku dari China berjalan lancar. Hubungan G to G antara

Vietnam dengan RRC semakin menyuburkan kecenderungan ini. Kini Vietnam sudah menjadi
negara baru industri obat hewan, dan siap mengekspor obat hewan dan vaksin ke negara lain.
Kepentingan nasional suatu bangsa berada diatas berbagai hal, termasuk perdagangan
Internasional. Oleh karena itu jangan pernah menyerahkan pengelolaannya kepada pedagang
yang hanya ingin mencari keuntungan, karena berbagai cara akan dilakukan termasuk
mengakali peraturan sepanjang hal itu menguntungkan kelompoknya. Pelajaran penting dari
Myanmar adalah tidak pernah memberikan izin impor bagi mereka yang tidak mampu
mengekspor. Berbeda dengan Vietnam yang hanya menunjuk BUMN sebagai importir, di
Myanmar siapa saja boleh mengimpor barang tetapi harus diseimbangkan dengan pemasukan
devisa dari produk Myanmar yang berhasil dijual ke luar negeri, kemana saja boleh asal
menghasilkan devisa. Pada saat kekuatan politik Amerika menekannya, Myanmar segera
berkelit dengan menggalakkan Euro untuk transaksi Internasionalnya. Demikian pula ketika

BONY (Bank Of New York) menghentikan arus keuangan kepada Bank-bank devisa di Yangon,
mereka segera mengalihkannya melalui Hongkong dan Singapore. Bagi orang-orang Birma,
Indonesia adalah negara sahabat yang memahami dan menghargai kepentingan Nasionalnya.
Ekspor obat hewan Indonesia ke nagara-negara berkembang merupakan hal yang tepat,
meskipun hal itu dilakukan secara kebetulan dan bukan karena pilihan strategi. Pakistan,
Yemen, Mesir, dan Nigeria adalah negara-negara anggota OKI dimana Indonesia terlibat aktif
dan dihormati sebagai negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia. Hubungan
multilateral yang kini memiliki beberapa kerangka kerja dalam kerjasama ekonomi merupakan
media komunikasi yang efektif dalam mengembangkan agribisnis termasuk obat hewan.
Negara-negara Afrika memang memiliki keterbatasan dalam masalah penyediaan devisa.
Namun banyak pengusaha yang memiliki account di Bank Internasional dapat dipercaya untuk
membuka LC tanpa harus di back up oleh asuransi ekspor yang biayanya cukup mahal.
Beberapa Bank di Yemen dan Nigeria memang memiliki peringkat E untuk penutupan premi
resiko transaksi perbankan Internasional. Dengan kata lain, kita harus menghitung biaya lebih
tinggi dan memilih container dari perusahaan yang lebih murah agar harga masih dapat
bersaing. Apalagi bila mengingat route pengiriman ke Afrika Barat jaraknya hampir sama
dengan pengiriman ke Amerika Latin. Jadi, memasarkan obat hewan di pasar Internasional
khususnya di Timur Tengah dan Afrika adalah perjuangan. Seperti mengikuti kejuaraan
Internasional, nama bangsa ikut dipertaruhkan. Ketika container berangkat menuju negara
tujuan ekspor adalah seperti bendera merah putih dikibarkan ketika memperoleh medali emas.

Padahal pengusaha Indonesia tidak cukup mendapat pelatihan, bimbingan, apalagi fasilitas
yang memadai.
Meskipun banyak orang mengatakan industri obat hewan Indonesia meningkat, namun lebih
banyak lagi yang tidak sependapat dengan hal tersebut. Hal ini terjadi karena asumsi
peningkatan industri obat hewan dihitung berdasarkan dugaan adanya peningkatan populasi
ternak dan konsumsi obat hewan. Terlepas dari polemik tersebut, sesungguhnya kemajuan
suatu industri harus dilihat dari tumbuhnya infra struktur pendukung serta output yang dihasilkan
memiliki daya saing yang nyata di kawasan regional. Apabila dilihat begitu derasnya produk
obat hewan impor yang masuk ke Indonesia, maka sebetulnya tidak cukup alasan untuk
mengatakan industri obat hewan Indonesia berkembang. Ketika dipenghujung tahun 2006
lactose menghilang di pasaran, industri obat hewan Indonesia ternyata tidak siap
mengantisipasinya. Rencana produsen lactose dunia mengalihkan produknya dalam bentuk lain
yang lebih profitable sudah lama terdengar, namun tanpa R & D yang memadai, Industri obat

hewan Indonesia tidak punya pilihan, selain menunggu supplier datang menawarkan barang
substitusi alternatif.