T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Transmigrasi Lokal Pemerintah Provinsi Papua T2 BAB III

BAB III
KEBIJAKAN TRANSMIGRASI DI PAPUA
SEBAGAI TINDAKAN DISKRESI PEMERINTAH
PROVINSI PAPUA

A.

Keabsahan Hukum Peraturan Daerah
Papua adalah Provinsi yang memiliki sistem pemerintahan

yang menganut otonomi khusus dan menjadi salah satu daerah
tujuan sebaran penduduk dari daerah-daerah yang padat seperti
Pulau Jawa dikarenakan di Papua masih banyak lahan yang
belum dimanfaatkan potensi-potensi daerah tersebut, baik lahan
pertanian, perkebunan, bahkan perikanan. Sebaran penduduk
yang dimaksud adalah transmigrasi. Transmigrasi adalah suatu
program

yang

dibuat


oleh

pemerintah

Indonesia

untuk

memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk
(kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia.
Transmigrasi merupakan program pembangunan yang
diamanatkan Undang – Undang No. 15 Tahun 1997 sebagaimana
telah diubah menjadi Undang – Undang No. 29 Tahun 2009,
memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran

66

67


dan masyarakat di sekitarnya, meningkatkan dan memeratakan
pembangunan daerah,

serta memperkukuh

persatuan dan

kesatuan bangsa
Berkaitan dengan pelaksanaan

transmigrasi yang di buat

oleh pemerintah pusat di Papua sebagai tujuan pemerataan
pembangunan di Indonesia, oleh pemerintah daerah Provinsi
Papua dipandang bukan membawa hal baik, melainkan justru
membawa hal buruk bagi masyarakat Papua. Maka untuk
memecahkan
kebijakan

masalah


tersebut,

yang berasas

Diskresi

pemerintah
dengan

mengeluarkan
memberlakukan

Peraturan Daerah No.15 tahun 2008 tentang Kependudukan. Di
mana isi Pada Pasal 44 ayat 1 bahwa, Kebijakan Transmigrasi di
Provinsi akan dilaksanakan setelah penduduk Asli Papua
mencapai dua puluh juta jiwa. Dan pada Pasal 44 ayat 2, bahwa
pelaksanaan Transmigrasi di Papua akan dilaksanakan setelah
mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP.
Dengan diterbitnya Peraturan Daerah (Perda) No. 15 Tahun

2008 Tentang kependudukan sebagaimana dalam Pasal 44 ayat 1
dan ayat 2 yang mengatur tentang pelaksanaan transmigrasi ke

68

Papua ,Maka pemerintah daerah Provinsi Papua melakukan
tindakan diskresi.
Dalam pengertian demikian maka hakikat kekuasaan
diskresi

adalah kekuasaan bebas, yaitu dijalankan tidak lagi

menurut atau mengikuti pertimbangan peraturan per Undang Undangan yang berlaku sebelumnya. Sebab tindakan Diskresi itu
karena adannya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai,
dalam hal ini tujuan bernegara tersebut adalah untuk menciptakan
kesejahteraan rakyat (konsepsi welfare state)1
Tindakan pemerintah daerah Provinsi Papua demikian tidak
berdasarkan kewenangannya, mengingat pemerintah Provinsi
Papua adalah Gubernur beserta perakat lainnya sebagai badan
eksekutif Provinsi Papua, Gubernur adalah kepala pemerintah

yang bertanggung Jawab penuh menyelenggarakan pemerintah di
Provinsi Papua dan sebagai Wakil Pemerintah di Provinsi Papua.
Selain itu juga Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua sebagai Badan
Legislatif Daerah Provinsi Papua, Kemudian Majelis Rakyat
Papua (MRP) adalah representasi kultural orang asli Papua, Yang
1

Krisna D. Darumurt, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung,2012,h.54

69

memiliki wewenang tertentu dalam rangkah perlindungan hakhak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan
terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan
pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana telah di atur
dalam Undang - Undang.2
. Di satu sisi, apa yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi
Papua seakan berkesan menyampingkan kebijakan pemerintah
pusat. dalam hirarki penyelenggaraan pemerintahan antara

pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah yang kemudian
dibingkai dalam konstruksi otonomi daerah, idealnya adalah
Pemerintah Daerah merupakan perpanjangan tangan atas
kebijakan-kebikjakan pemerintah pusat. pemerintah daerah
memiliki

kewajiban

untuk

memastikan

keberhasilan

dan

kesuksesan program yang merupakan kebijakan pemerintah pusat
dimaksud. Dengan demikian, Memang peraturan daerah terkait
larangan transmigrasi


tersebut secara hirarki pemerintah

bertentanggan dengan Undang - Undang yang lebih tinggi.
Akan tetapi pemegang kekuasaan diskresi dalam bertindak
tidak perlu mendasari Undang - Undang secara ketat, karena
2

. Pasal 1 Huruf (d), (e), (f), dan (g) Undang-Undang No. 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua

70

bersifat kekecualian maka kekuasaan diskresi hanya dapat
digunakan secara kasuistik atau kontekstual. Pandangan itu
memperoleh pembenarannya berdasarkan konsep diskresi dalam
hukum secara filosofi, yaitu dalam pandangan perspektif hukum
alam, yang berimplikasi pada pengertian bahwa secara hakiki
konsep dikresi mendapat justifikasi karena konsisten dan sebagun
dengan tujuan hukum.3 Sebagai kekuasaan hukum maka
kekuasaan diskresi merefleksikan cita hukum. Cita hukum yang

di maksudkan adalah moralitas internal hukum seperti keadilan;
sebuah kekuatan yang mampu menyisikan keberlakukan Undang
- Undang.4
Oleh karena itu, tindakan pengambilan keputusan oleh
Pemerintah Provinsi Papua dengan tujuan mengendalikan
penduduk dengan cara menolak program transmigrasi dengan
mengeluarkan regulasi yang bertentangan dengan regulasi yang
berada diatasnya dengan menggunakan asas diskresi sesuai
dengan tujuan hukum.
Hal ini dinyatakan mengingat penggunaan asas diskresi
terkait kewenangan Pemerintah Provinsi Papua dalam mengambil
3
4

.Loc.Cit. Krisna D. Darumurt, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, h72
.Loc.Cit h. 15

71

kebijakan dalam rangka pengendalian penduduk dengan menolak

program transmigrasi Pemerintah Pusat, mempunyai alasan kuat
yaitu adanya kesenjangan antara penduduk asli Papua

dan

dengan kedatangan transmigrasi pendatang akan semakin
menambah kesenjangannya.
Untuk itu Pemerintah Provinsi Papua meyakini bahwa
Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 15 Tahun 2008
Tentang Kependudukan yang mereka keluarkan sangat berkaitan
dengan kemaslahatan hidup masyarakat Papua atau (orang asli
Papua). Mengingat pula masih banyak daerah-daerah yang masih
kosong penduduknya atau lahan kosong yang belum difungsikan
dan

berpotensi

peternakan

atau


digarap

dari

perikanan

sisi
yang

pertanian,

perkebunan,

berpotensi

menaikkan

perekonomian masyarakat di Provinsi Papua
Pilihan


mengambil

Keputusan

yang

diambil

oleh

Pemerintah Provinsi Papua untuk menyelesaikan masalah
kependudukan di tanah Papua secara langsung ataupun tidak
langsung terlihat menentang Undang - Undang yang berada
diatasnya terkait pengaturan Transmigrasi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat. Namun

dengan mengeluarkan Peraturan

72

Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 15 Tahun 2008 adalah sah
menurut Pasal 1 angka 9 (Sembilan) Undang – Undang No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebab tindakan
diskresi diartikan sebagai keputusan dan/ atau dilakukan oleh
pejabat pemerintah untuk mengatasi persoalan kongkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan. dalam hal ini
kebijakan, terkait dengan program transmigrasi yang dikeluarkan
pemerintah pusat dianggap tidak berdampak positif terutama
berhubungan dengan kehidupan orang asli Papua dimasa depan.
Kebijakan Pemerintah Provinsi Papua disatu sisi dianggap
menentang namun disisi lain Pemerintah Daerah Provinsi Papua
memiliki kewenangan yang diberikan oleh hukum dan tindakan
Diskresi sebagai bentuk kebijakan publik berupa keputusan
yang berbentuk Peraturan daerah oleh Pemerintah Provinsi
Papua.
Hal demikian itu sejalan dengan

pandangan Kuntjoro,

bahwa asas diskresi harus didasarkan pada arti luas yaitu asas
yang lebih luas dan selalu

dapat menghubungkan

dalam

menghadapi tugasnya itu terkait dengan gejala-gejala masyarakat
yang harus dihadapi, serta pandai memperhitungkan akibat-akibat

73

yang akan ditimbulkan dari tindakan Pemerintah dengan
penglihatan jauh ke depan.5 Jadi dapat diartikan diskresi adalah
kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam
menyelesaikan persoalan yang memerlukan penanganan segera
tetapi peraturan untuk penyelesaian persoalan itu belum ada
karena belum ada.
Jelaslah, dalam hal ini, Pemerintah Provinsi Papua tidak
dapat disalahkan karena menentang kebijakan dari Pemerintah
Pusat terkait dengan persoalan kependudukan ini, mengingat
Pemerintah Pusat disaat mengeluarkan kebijakannya telah
mempertimbangkan dampak yang berpotensi negatif bagi
masyarakat Papua terkait dengan kebijakan yang berhubungan
dengan kependudukan atau Program transmigrasi yang dicanang
oleh Pemerintah pusat.
Dengan demikian Pemerintah Provinsi

Papua

yang

merupakan pemangku kebijakan di wilayah Provinsi Papua
memiliki kewenangan untuk menggunakan asas Diskresi tersebut
mengingat Pemerintah Provinsi Papua sendiri yang mengetahui
apa yang menjadi kebutuhan bagi masyarakat Papua, masalah-

5

Ibid. .Loc.Cit. h.34

74

masalah

apa

yang

harus

mereka

minimalisir

dengan

memanfaatkan potensi-potensi yang di Provinsi Papua.
Melalui

tindakan

kebijakan

atas

diskresinya

ini,

Pemerintah Provinsi Papua telah mengambil tindakan keputusan
menentang Kebijakan Pemerintah Pusat dengan melakukan
transmigrasi lokal. Transmigrasi lokal ini dilakukan antar kota/
kabupaten atau antar wilayah di dalam Provinsi Papua sampai
jumlah penduduk asli mencapai 20.000.000 jiwa di Provinsi
Papua. Bila ketentuan jumlah tersebut tercapai maka kebijakan
transmigrasi ke Provinsi Papua dari Provinsi lain di Indonesia
berdasarkan Program Pemerintah Pusat baru dapat dilakukan. Hal
ini dijadikan pertimbangan dikarenakan Pemerintah Provinsi
Papua berpikir dengan penduduk 20.000.000 jiwa masyarakat asli
Papua dapat menerima, dan bersaing ataupun berkembang
bersama-sama dengan masyarakat pendatang.
Tampak jelas bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Papua
telah menjalankan perwujutan dan tugas Pemerintah dalam
Negara

modern

atau

welfare

state

dalam

rangka

menyelenggarakan kesejahteraan umum dengan menggunakan
diskresi yang dimilikinya, sehingga tidak terikat secara mutlak

75

oleh

peraturan

perUndang

-

Undangan

menyelenggarakan kesejahteraan umum.

dalam

rangka

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PERANAN PUBLIC RELATIONS DALAM MENGINFORMASIKAN TELKOMFLEXI MELALUI NEWSLETTER PADA KARYAWAN DI PT TELKOM Tbk DIVRE III BANDUNG

2 38 1

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

Pengaruh Kebijakan Hutang Dan Struktur Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Deviden Pada PT. Indosat

8 108 124

Perancangan Logo Ulang Tahun Kota Cimahi Ke Delapan Di Pemerintah Kota Cimahi

1 42 1

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

Uji Efektivitas Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) sebagai Larvasida terhadap Larva Aedes aegypti Instar III

17 90 58