PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL dan id

BAB I
KEWENANGAN PEMERINTAH UNTUK MEMBATALKAN
PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL YANG MELANGGAR
KEPENTINGAN NASIONAL BERDASARKAN PASAL 85 AYAT (1) DAN
AYAT (2) UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2014 TENTANG
PERDAGANGAN DIKAITKAN DENGAN VIENNA CONVENTION ON
THE LAW OF TREATIES 1969

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari adanya hubungan
antara satu dengan lainnya. Demikian juga dengan masyarakat di seluruh
dunia yang tidak terlepas dari interaksi sosial satu dengan lainnya,
hubungan ini kita kenal sebagai hubungan antarnegara. Hubungan
antarnegara ini sangat diperlukan dalam kehidupan dunia, karena tidak
ada negara di dunia yang bisa hidup sendiri tanpa adanya ketergantungan
terhadap negara lain. Dengan adanya hubungan antarnegara akan selalu
ada suatu sistem hukum yang mengatur hak dan kewajiban masingmasing pihak yang diatur oleh apa yang dinamakan hukum internasional. 1

1 Boer Mauna, Hukum Internasional, cetakan ke-4, Bandung , P.T. Alumni, , 2005, hlm. 5


1

2

Anthony Aust berpendapat bahwa hukum internasional adalah hukum
yang mengatur cara berprilaku secara luas.2 Hukum internasional
mengatur segala aspek yang berkaitan dengan hubungan antarnegara,
termasuk mengatur tata cara kehidupan dan pergaulan antarnegara yang
dirumuskan dalam suatu treaty (perjanjian internasional). Perjanjian
internasional memberikan ruang bagi setiap negara untuk menggariskan
dasar kerja sama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan
berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat mereka sendiri, 3
sehingga perjanjian internasional menjadi elemen yang tidak dapat
dipisahkan dalam hubungan antarnegara.
Dalam

perkembangannya,

perjanjian


internasional

mempunyai

beberapa nama seperti: Convention, International Agreement, pakta,
General Acts, Charter, hingga Statuta.

4

Secara keseluruhan beberapa

nama ini merujuk kepada kegiatan yang sama yakni membuat suatu
perjanjian internasional dimana pembuatan perjanjian internasional ini
digunakan setiap negara yang ingin mengikatkan dirinya secara hukum
untuk melakukan suatu kegiatan dengan negara lain atau digunakan untuk
mempererat hubungan antarnegara yang ketentuan dan syaratnya dibuat
dan dijalankan sesuai kewajiban para pihak dalam perjanjian.
Perjanjian internasional saat ini memegang peranan penting. Berbagai
aspek pada perjanjian internasional sudah dijadikan beberapa acuan
2 Anthony Aust, Hand Book of International Law, second edition, London , Cambridge University

press, , 2010, hlm.1
3 Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 82
4 Malcolm N Shaw, International Law, Fifth Edition, London , Cambridge University, 2003, hlm. 89

3

terhadap perjanjian-perjanjian lainnya dan diterima secara luas oleh
banyak negara.5 Perjanjian internasional mempunyai kekuatan mengikat
bukan hanya pada perjanjian yang dibuat, melainkan juga menjadi acuan
terhadap perjanjian-perjanjian lainnya di masa yang akan datang.
Perjanjian internasonal diatur di dalam Vienna Convention on the Law
of Treaties 1969 (selanjutnya disebut sebagai Vienna Convention 1969).
Indonesia belum meratifikasi Vienna Convention 1969 ini, akan tetapi
beberapa hal di dalam konvensi ini sudah menjadi hukum kebiasaan
internasional “customary international law” . Negara walaupun belum
meratifikasi suatu konvensi internasional

namun dikarenakan pasal

tersebut


internasional

merupakan

hukum

kebiasaan

yang

mana

merupakan sumber hukum internasional menurut Pasal 38 ayat (1)
Statuta International Court of Justice (Statuta Mahkamah Internasional) ,
maka negara tersebut secara tidak langsung terikat

secara hukum

(legally binding).

Vienna Convention 1969 merupakan induk perjanjian internasional
dikarenakan pada konvensi inilah terdapat pengaturan hukum baik materi
maupun praktik di dalam membuat, melaksanakan hingga membatalkan
perjanjian.6

Pemberlakuan Vienna Convention 1969 sebagai dasar di

dalam melakukan hubungan perjanjian internasional sangat diperlukan,
sehingga suatu perjanjian internasional tidak lagi diatur dalam instument

5 Anthony Aust, Op.Cit., hal. 6
6 Ibid, hlm. 50

4

nasional masing-masing negara melainkan melalui Vienna Convention
1969.
Saat ini perjanjian internasional sudah berkembang ke berbagai
aspek salah satunya adalah perdagangan antar negara. William J.Fox
mengungkapkan bahwa perdagangan internasional sudah lama diterima

sebagai dasar fundamental bagi setiap negara untuk ketahanan ekonomi
yang lebih baik.7 Besar dan jayanya negara-negara di dunia seperti China
tidak terlepas dari keberhasilan dan aktivitas negara tersebut di dalam
perdagangan,8 oleh sebab itu perdagangan internasional menjadi penting
dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Perdagangan

internasional

ini

dirumuskan ke

dalam

suatu

perjanjian internasional perihal perdagangan internasional (perjanjian
perdagangan internasional). Perdagangan internasional juga menjadikan
perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukumnya, beberapa

perjanjian internasional membentuk suatu pengaturan perdagangan yang
sifatnya umum di antara para pihak, 9 dikarenakan sifat pengaturannya
yang umum atau lebih dikenal dengan bersifat publik, sehingga
penggunaan Vienna Convention 1969 terhadap Perjanjian perdagangan
internasional sangat diperlukan.

7 William J. Fox, Jr, International Commercial Agreements, second edition, London,Cambridge press,
hlm.11
8 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional , Cetakan ke-2, Jakarta, P.T. RajaGrafindo Persada,
2005, hlm. 2
9 Ibid, hlm. 77

5

Perjanjian

perdagangan

internasional


mengikat

berdasarkan

kesepakatan para pihak yang membuatnya , 10 negara peserta perjanjian
berkewajiban melaksanakan apa yang telah disepakati dalam perjanjian
perdagangan internasional dan terikat secara hukum (legally binding)
terhadap isi dari perjanjian tersebut. Perjanjian Internasional sendiri
terbagi atas:11
a. Perjanjian

internasional

bilateral,

yaitu

suatu

perjanjian


internasional yang pihak-pihak atau negara peserta yang terikat
hanya 2 negara
b. Perjanjian internasional

multilateral,

yaitu

suatu

perjanjian

internasional yang pihak-pihak atau negara-negara yang menjadi
peserta pada perjanjian lebih dari 2 negara
c. Perjanjian internasional kawasan (Regional), yaitu perjanjian
internasional yang berlaku bagi negara-negara dalam satu
kawasan seperti : European Union, Asean, dsb.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memberlakukan
perjanjian internasional,12 diantaranya adalah apabila para pihak

sepakat untuk terikat di dalam perjanjian internasional yang dibuat
dengan cara meratifikasinya ke dalam hukum nasionalnya masingmasing (consent to be bound by a treaty). Berdasarkan kewajiban
untuk menandatangani serta meratifikasi ketentuan seperti tersebut di
atas serta berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional di
10 Ibid
11 Wayan Parthiana, beberapa masalah dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia,
cetakan pertama, Bandung, Binacipta, 1987, hlm. 40-43
12 Article 24 Vienna Convention 1969

6

bidang

perdagangan

yang

mengharuskan

adanya


harmonisasi

ketentuan bidang perdagangan dalam kerangka kesatuan ekonomi
nasional guna menyikapi perkembangan situasi perdagangan era
globalisasi pada masa kini dan masa depan,13 maka disahkanlah
Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan (selanjutnya
disebut sebagai UU Perdagangan 2014).
Berkaitan

dengan

disahkannya

UU

Perdagangan

menimbulkan pro dan kontra dalam hal
membutuhkan

penjelasan,

salah

satunya

2014

ini,

penafsiran yang masih
mengenai

pemberian

kewenangan Pemerintah dengan persetujuan DPR untuk membatalkan
Perjanjian Pedagangan Internasional, sebagaimana terdapat pada Bab XII
Pasal 85 Ayat (1) dan Ayat (2)

Undang-undang Perdagangan 2014

tentang kerja sama perdagangan internasional:
(1)Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dapat
meninjau kembali dan membatalkan Perjanjian Perdagangan
Internasional yang persetujuannya dilakukan dengan undang
undang berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional.
(2)Pemerintah dapat meninjau kembali dan membatalkan perjanjian
Perdagangan Internasional yang pengesahannya dilakukan dengan
Peraturan Presiden berdasarkan pertimbangan kepentingan
nasional

Kasus yang dapat dikaitkan dengan UU perdagangan 2014 ini
memang tidak ada mengingat UU ini baru akan dilaksanakan terhitung
13 Dasar menimbang Point (d) Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan

7

pada awal tahun 2015 ini, akan tetapi UU perdagangan ini akan memiliki
dampak yang sangat luas dikemudian hari terutama dengan akan
diadakannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 yang merupakan
regionalisasi di kawasan Asean yang juga memberlakukan perdagangan
sebagai aktivitas utama. Selain MEA juga UU perdagangan 2014 ini akan
mempengaruhi perjanjian perdagangan internasional baik bilateral,
regional, maupun multilateral khususnya dalam bidang perdagangan
dikemudian hari, sehingga pembahasan perihal UU perdagangan 2014 ini
sangat dibutuhan.
Beberapa hal yang menjadi permasalahan yang penulis ingin kaji
dalam Pasal 85 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Perdagangan 2014
ini adalah perihal kewenangan pemerintan, sejauh mana pemerintah dan
DPR dapat meninjau ulang serta membatalkan perjanjian perdagangan
internasional yang dibuat, mengingat besarnya dampak yang mungkin
ditimbulkan dari peninjauan kembali atau pembatalan terhadap perjanjian
yang dibuat, serta mengingat bahwa perjanjian perdagangan internasional
yang dibuat juga mengikutsertakan negara lain sebagai peserta dalam
kesepakatan.
Pasal 11 UUD 1945 memberikan kekuasan kepada presiden
dengan persetujuan DPR untuk melakukan hubungan luar negeri seperti
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain.14 pengaturan dalam UUD 1945 ini memberikan landaasan hukum
14 Pasal 18 UUD 1945

8

bagi Indonesia untuk mengadakan hubungan luar negeri dalam hal ini
perjanjian internasional akan tetapi jika dikaitkan dengan UU perdagangan
2014, penggunaan istilah pemerintah dalam UU perdagangan 2014
apakah merujuk kepada presiden menurut UUD 1945 atau merujuk
kepada pihak lain masih perlu diberikan penjelasan lebih jauh lagi.
Hal lain yang ingin penulis kaji dalam pasal 85 ayat (1) dan (2) ini
adalah istilah kepentingan nasional, yang mana menjadi dasar yang
diterapkan terhadap peninjauan kembali dan pembatalan terhadap
perjanjian perdagangan internasional yang dibuat. Kepentingan nasional
sendiri merupakan konsep yang diterapkan oleh beberapa negara seperti
Amerika serikat, Jerman, Inggris termasuk Indonesia karena pemerintah
menentukan urutan prioritas kepentingan yang hendak dipertahankan dan
tujuan yang hendak dicapai.15 Selain itu kepentingan nasional mempunyai
cakupan yang sangat luas karena menyangkut bukan hanya bidang
perdagangan yang dikategorikan kedalam lingkup ekonomi, akan tetapi
juga masalah politik sosial hingga ketahanan negara juga termasuk di
dalam lingkup kepentingan nasional.

Dalam Penjelasan pasal 18 UU Perjanjian Internasional, Kepentingan
nasional

diartikan

sebagai

kepentingan

umum

(public

interest),

perlindungan subjek hukum Republik Indonesia, dan yurisdiksi kedaulatan
Republik Indonesia. Sebagai salah satu batasan yang diberikan oleh
15 Mochtar Kusumaatmadja, Politik Luar Negeri Indonesia, Bandung, Alumni, 1983, hlm. 5

9

pemerintah

dalam

mengantisipasi

kerugian

terkait

perdagangan

internasional, penggunaan kepentingan umum dan yurisdiksi kedaulatan
sangatlah luas dan perlu penjelasan lebih mendalam terutama mengingat
keterkaitannya terhadap proses perjanjian perdagangan internasional
yang dibuat dan dijalankan oleh indonesia dengan negara lain.

Keterkaitan yang mungkin timbul dari Undang-undang Perdagangan
2014 ini dengan Vienna Convention 1969 antara lain adalah bahwa
Vienna Convention 1969 tidak memberikan kewenangan kepada salah
satu pihak untuk membatalkan perjanjian tetapi perjanjian dapat
dibatalkan dengan cara pembatalan (denunciation)16. Pembatalan dibagi
menjadi 2 yaitu : pengakhiran (termination) yang terjadi didalam perjanjian
bilateral17, serta penarikan diri (withdrawal) yang terjadi pada pejanjian
multilaeral18.

Selain

(suspension)19,
melanggar

itu

serta

hukum

perjanjian

dapat

juga

menjadikan

nasional(invalidity20)

dapat

penangguhan

ketidakabsahan
sebagai

dasar

karena
mengakhiri

perjanjian.
Pembatalan

(Denunciation) diatur didalam article 56 Vienna

Convention 1969, jika dikaitkan dengan istilah pembatalan menurut pasal
85 ayat (1) dan (2) UU perdagangan yang mana pemberian kewenangan
16 Art.56 Vienna Convention 1969
17 Art.54 Vienna Convention 1969
18 Art.56
19 Art.57 Vienna Convention 1969
20 Art.46 Vienna Convention 1969

10

kepada pemerintah dengan persetujuan DPR untuk membatalkan
perjanjian internasional, pengaturan dalam article 56 tersebut dapat
dijadikan acuan.
UU perjanjian internasional hanya mengatur mengenai pembatalan
(denunciation) baik pengakhiran dalam perjanjian bilateral (termination)
maupun penarikan diri dalam perjanjian multilateral (withdrawal). pasal 18
mengatur perjanjian berakhir apabila :
1. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan
dalam perjanjian;
2. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
3. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan
perjanjian;
4. salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan
perjanjian;
5. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama
(amandement);
6. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
7. objek perjanjian hilang;
8. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
UU perjanjian internasional juga mencantumkan pembuatan perjanjian
baru yang menggantikan perjanjian lama dalam pasal 18 poin ke 5 yang

11

mana juga diatur didalam Vienna Convention 1969 didalam pasal 39,
yakni:
A treaty may be amended by agreement between the parties. The
rules laid down in Part II apply to such an agreement except insofar as the
treaty may otherwise provide
Amandemen dapat dilakukan apabila telah dicantumkan terlebih
dahulu klausul mengenai amandemen didalam perjanjian atau telah
disetujui oleh para pihak dalam perjanjian yang dibuat. 21 Hal ini perlulah
ditinjau keterkaitannya terhadap istilah peninjauan kembali yang diuraikan
dalam UU Perdagangan pasal 46 ayat (1) dan (2)
Vienna Convention 1969 juga mengatur tata cara pembatalan suatu
perjanjian melalui ketidakabsahan belakunya perjanjian (invalidity of
treaties), di dalam bab kedua dari bagian kelima, didalam Article 46 :
(1) A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a
treaty has been expressed in violation of a provision of its internal
law regarding competence to conclude treaties as invalidating its
consent unless that violation was manifest and concerned a rule
of its internal law of fundamental importance.
(2) A violation is manifest if it would be objectively evident to any
State conducting itself in the matter in accordance with normal
practice and in good faith.
Dalam Article 46 ayat (1) menjelaskan bahwa, suatu negara tidak
dapat mengemukakan bahwa kesepakatan untuk mengikatkan diri
terhadap suatu perjanjian ternyata melanggar suatu ketentuan dari hukum
nasionalnya kecuali bila pelanggaran itu nyata, sedangkan Pasal 46 ayat
21 Article 40 Vienna Convention,

12

(2) menyatakan bahwa pelanggaran tersebut haruslah terbukti secara
obyektif bagi setiap negara peserta atas dasar praktek itikad baik.
Ketentuan dari hukum nasional sebagaimana dijelaskan dalam article
46 ayat (1), jika dikaitkan dengan dasar pembatalan menurut pasal 85
ayat (1) dan (2) “melanggar kepentingan nasional”, belum memberukan
penjelasan secara terperinci dan terlalu luas sehingga memerlukan
penjelasan lebih lanjut apakah kepentingan nasional didalam uu
perdagangan ini merujuk pada pengertian kepentingan nasional menurut
UU perjanjian internasional ataukah merujuk pada ketentuan lainnya.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti bermaksud
untuk menulis skripsi yang berkenaan dengan hukum

Perjanjian

Internasional dengan judul:

“KEWENANGAN

PEMERINTAH

UNTUK

MEMBATALKAN

PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL YANG MELANGGAR
KEPENTINGAN NASIONAL BERDASARKAN PASAL 85 AYAT (1) DAN
AYAT

(2)

UNDANG-UNDANGNO

7

TAHUN

2014

TENTANG

PERDAGANGAN DIKAITKAN DENGAN VIENNA CONVENTION ON
THE LAW OF TREATIES 1969.”

B. Identifikasi Masalah

13

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
permasalahan dalam penelitian ini :
1. Bagaimana kewenangan pemerintah untuk membatalkan Perjanjian
Perdagangan Internasional berdasarkan Pasal 85 Ayat (1) dan Ayat
(2) Undang-Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan
berdasarkan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 ?
2. Bagaimana pengertian kepentingan nasional sebagai dasar
pembatalan Perjanjian Perdagangan Internasional berdasarkan
Pasal 85 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang No 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan berdasarkan Vienna Convention on the Law
of Treaties 1969
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengkaji dan menganalisis kewenangan pemerintah untuk
membatalkan Perjanjian Perdagangan Internasional berdasarkan
Pasal 85 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang no 7 tahun 2014
tentang Perdagangan berdasarkan Vienna Convention on the Law
of Treaties 1969.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis pengertian kepentingan nasional
sebagai dasar pembatalan Perjanjian Perdagangan Internasional
berdasarkan Pasal 85 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang No.7
tahun 2014 tentang Perdagangan dikaitkan dengan Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969.
.

D. Kegunaan Penelitian

14

Dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Secara Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum
Perjanjian Internasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan literatur untuk dipergunakan dalam penelitian lebih lanjut, dan
menambah wawasan tentang hukum Perjanjian Internasional.

2. Kegunaan Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak
yang terkait pada khususnya Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Hukum dan HAM, Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam

Pembuatan Perjanjian Perdagangan

Internasional .
E. Kerangka Pemikiran
Hukum internasional yang dahulu lebih dikenal dengan nama hukum
bangsa-bangsa (the law of nation), hukum antarbangsa (the law among
nation), hukum antar negara ( inter-state law), dalam sejarah perjalanan
hidupnya telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dari dahulu
hingga sekarang.22

Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai

keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip

22 I Wayan Parthiana, Op.Cit, hlm. 9.

15

dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa
dirinya terikat untuk menaati dalam hubungan mereka satu sama lain. 23
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional adalah :
Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara negara
dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara
atau antara subjek hukum bukan negara satu sama lain. 24

Subjek hukum internasional seperti yang diuraikan oleh Mochtar
Kusumaatmadja adalah negara-negara anggota masyarakat internasional,
yang memenuhi unsur-unsur konstitutif: (1) penduduk yang tetap, (2)
Wilayah tertentu, (3) Pemerintahan; dan (4) kedaulatan. 25
Dalam arti yang sebenarnya subjek hukum internasional adalah
pemegang hak dan kewajiban menurut hukum internasional, 26 artinya
dengan menjadi subjek hukum internasional, maka hak dan kewajiban
internasional mengikat secara hukum terhadapnya. Subjek hukum
internasional yang diakui saat ini diantaranya: 27
1.
2.
3.
4.
5.

Negara
Takhta suci
Palang Merah Internasional
Organisasi Internasional
Individu

23 J.G.Starke, Pengantar hukum internasional, edisi ke-10, cetakan ke-5, P.T Sinar Grafika, Jakarta,
2006, hlm.3
24 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, cetakan pertama, P.T.
Alumni, Bandung , 2003, hlm 3
25 Boer Mauna, Op.Cit., hlm.17
26 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R Agoes, Op.Cit., hlm. 97
27 Ibid, hlm. 98-103

16

Sumber hukum internasional diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional dalam menangani perkara-perkara pengadilan
internasional, yaitu:
a. International Conventions, whether general or particular,
establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b. International Custom, as evidence of a general practice accepted
as law;
c. The General Principles of Law recognised by civilized nations;
d. Subject to The Provisions of Article 59, judicial decisions and the
teachings of the most highly qualified publicists of the various
nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.
Sumber hukum Internasional yang diatur di dalam Statuta Mahkamah
Internasional digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan
perkara-perkara lnternasional.28 Salah satu sumber hukum internasional
menurut

Statuta

Mahkamah

Internasional

ini

adalah

Perjanjian

Internasional (International Convention) sebagai realisasi hubunganhubungan internasional yang sudah sejak lama dilakukan oleh negaranegara di dunia.29
I.Wayan Parthiana mendefinisikan Perjanjian Internasional sebagai
kata sepakat antara dua atau lebih subjek internasional mengenai suatu
obyek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada yang
diatur oleh hukum internasional. 30 Dengan kata sepakat yang diajukan
oleh dua atau lebih subjek internasional sudah dapat dikatakan sebagai
Perjanjian Internasional.
28 J G Starke, Op.Cit, hlm.66
29 I.Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, cetakan 1, Cv. Mandar Maju, Bandung, 2002,
hlm.V

30 Ibid, hlm. 13

17

Perjanjian Internasional sendiri sudah diatur di dalam Vienna
Convention On The Law Of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969
1969), sebelum tahun 1969 hukum Perjanjian Internasional sebagian
besar terdiri dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Kaidahkaidah ini untuk sebagian besar telah dikodifikasikan dan disusun kembali
dalam Vienna Convention 1969 yang dibentuk tanggal 23 Mei 1969 dan
mulai berlaku pada tanggal 27 Januari 1980 menyusul masuknya 35
pengesahan (ratifikasi) atau aksesi sebagaimana disyaratkan oleh Pasal
84 Vienna Convention 1969.
Vienna Convention 1969 sendiri merupakan konvensi internasional
yang

mengatur tentang

perjanjian

internasional,

Indonesia

belum

meratifikasi vienna convention 1969 ini, akan tetapi indonesia mengakui
berlakunya vienna convention 1969, dikarenakan oleh beberapa hal yakni;
a. Pasal 38 statuta mahkamah internasional menetapkan bahwa
salah satu sumber hukum internasional yang digunakan oleh
mahkamah untuk mengadili perkara-perkara adalah perjanjian
internasional.31 Perjanjian internasional sendiri merupakan suatu
ketentuan yang pada akhirnya disempurnakan oleh Vienna
Convention 1969 yang menjelaskan dan mengatur perjanjian
internasional baik dari segi teori maupun praktik.
b. Vienna Convention 1969 mengatur beberapa provision yang
sudah

menjadi

sumber

31 Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional

hukum

kebiasaan

internasional

18

(international custom),32 yang mana merupakan praktek-praktek
negara yang sudah dilakukan berkali-kali tanpa adanya protes
atau tantangan dari pihak lain.
c. Indonesia sendiri telah memiliki undang-undang yang mengatur
tentang perjanjian internasional yaitu UU no. 24 tahun 2000
tentang perjanjian internasional dan pengaturan perihal vienna
convention di indonesia belumlah dijelaskan secara jelas pada
undang-undang ini maupun peraturan perundangan lainya, akan
tetapi didalam praktik pembuatan dan pemberlakuan perjanjian
internasional, pengaturan dalam Vienna Convention 1969
berdasarkan poin ( a) dan (b) diatas, tetap diterapkan disamping
penggunaan UU no 24 tahun 2000 tentang perjanjian
internasonal.
Perjanjian internasional membolehkan suatu negara untuk tidak
menerapkan atau mengecualikan beberapa pengaturan atau pasal
dari perjanjian internasional, salah satunya ketentuan mengenai
ratifikasi, ketika suatu negara telah meratifikasinya, negara tersebut
berkewajiban untuk mengundangkannya kedalam hukum nasional
negara tersebut. Salah satu cara lainnya bagi suatu negara untuk
terikat

kepada

suatu

perjanjian

penundukan secara diam-diam.33

32 Boer Mauna, Op. Cit, hlm. 10
33 Huala Adolf, Op. Cit, hlm. 79

internasional

adalah

melalui

19

Penundukan secara diam-diam memungkinkan suatu negara
mengadopsi muatan suatu perjanjian internasional tanpa mengikatkan
diri secara tegas terhadap perjanjian tersebut. Pemerintah Indonesia
tidak meratifikasi Vienna Convention 1969 tentang hukum perjanjian,
akan tetapi dalam UU No.24 tahun 2000 tentang perjanjian
internasional, sebagian besar muatannya sama dengan konvensi wina
1969.
Menurut Vienna Convention 1969, dalam Article 2 huruf b yang
dimaksud Perjanjian Internasional adalah :
(a) “treaty” means an international agreement concluded between
States in written form and governed by international law, whether
embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation.
Perjanjian Internasional (treaty) dapat dibuat antara negara baik oleh
2 pihak (bilateral) atau oleh lebih dari 2 pihak (multilateral), dapat
diperjanjikan antar negara atau negara dengan organisasi internasional
atau

antar

organisasi

internasional,

ditulis

diatas

kertas,

serta

menggunakan hukum internasional sebagai dasar pengaturannya .34
Vienna Convention 1969 pada dasarnya memuat prinsip itikad baik
(good Faith) dan prinsip suatu perjanjian menjadi undang-undang bagi
para pihak pada perjanjian (Pacta Sunt Senvanda).35 Prinsip ini adalah
prinsip yang telah menjadi prinsip mutlak dalam setiap Perjanjian
Internasional yang dibuat oleh para pihak.
34 Anthony Aust, Op.Cit., hlm. 53
35 Budiono, Suatu Study terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina 1969 tentang hukum Perjanjian,
C.V Bina Cipta, cetakan pertama, Bandung, 1986 hlm. 15

20

Pengaturan mengenai Perjanjian Internasional di Indonesia sudah
diatur di dalam beberapa instrumen hukum. UUD 1945 Pasal 11 ayat (3)
memberikan dasar hukum bagi negara untuk membuat aturan yang
mengatur tentang ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional,
sehingga dibuatlah Undang-Undang No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional (selanjutnya disebut sebagai UU Perjanjian Internasional)
yang lahir didasarkan karena mendesaknya kebutuhan hukum untuk
adanya sebuah UU Nasional tentang Perjanjian Internasional di
Indonesia,36

namun tetap mempertimbangkan pasal-pasal di dalam

Vienna Convention 1969 yang sudah menjadi hukum kebiasaan
internasional. UU Perjanjian Internasional ini memberikan kepastian
hukum terhadap segala Perjanjian Internasional yang dibuat di Indonesia.
Sebagai bagian terpenting dalam proses pembuatan perjanjian,
pengesahan perjanjian internasional perlu mendapat perhatian mendalam
mengingat pada tahap tersebut suatu negara secara resmi mengikatkan
diri pada perjanjian itu. Dalam praktiknya, bentuk pengesahan terbagi
dalam empat kategori, yaitu (a). ratifikasi (ratification) apabila negara yang
akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani
naskah perjanjian. (b). aksesi (accesion) apabila negara yang akan
mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani
naskah perjanjian. (c). penerimaan (acceptance) dan penyetujuan
(approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara36 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional , cetakan pertama, Refika Aditama,
Bandung, 2000, hlm.14

21

negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan
perjanjian internasional tersebut.

F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan beberapa metode
penelitian, antara lain:
1.
Metode pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif. Penelitian dengan pendekatan yuridis
normatif

adalah

penelitian

hukum

kepustakaan

yang

menitikberatkan pada penafsiran hukum dan konstruksi hukum 37
Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa
37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat: cetakan
ke-3, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm 23

22

yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book)
atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. 38

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang peneliti pergunakan adalah Deskriptif
Sistematik yaitu penelitian yang bersifat menggambarkan atau
melukiskan kenyataan yang ada mengenai pengaturan terhadap
kewenangan

Pemerintah

untuk

membatalkan

perjanjian

Perdagangan Pasal 85 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dikaitkan dengan
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dan peraturan
pelaksana lainnya yang berlaku kemudian diidentifikasi secara
sistematis terhadap pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam
pengaturan

tersebut

serta

mendapatkan

jawaban

dari

permasalahan yang ada dalam penelitian ini.
3. Tahapan penelitian
Adapun tahapan penelitian yang dilakukan dalam mendukung
kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research),
38 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum:, cetakan ke-2, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2008, hlm 118

23

Studi kepustakaan merupakan suatu metode pengumpulan data
yang diperoleh dengan cara membaca bahan-bahan kepustakaan
atau buku-buku yang berkaitan dengan topik masalah atau
pembahasan yang sedang diteliti. Dalam hal ini bahan-bahan hukum
yang berkaitan dengan masalah kewenangan Pemerintah untuk
membatalkan perjanjian Perdagangan Internasional yang melanggar
kepentingan nasional berdasarkan Pasal 85 Ayat (1) dan Ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
dikaitkan dengan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969
dan peraturan pelaksanaan lainnya yang berlaku.

Penelitian

Kepustakaan dengan mengkaji data sekunder yang berkaitan
dengan objek penelitian. Adapun yang dimaksud dengan data
sekunder terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat seperti:
1. Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969
2. Undang-Undang Dasar 1945
3. Undang-undang

Nomor

7 Tahun

2014

tentang

Perdagangan
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

24

seperti RUU Perdagangan, naskah akademik, karya-karya
ilmiah para sarjana, jurnal dan tulisan-tulisan lain yang
bersifat ilmiah dsb. Penelitian terhadap bahan seperti jurnal
internasional.

Bahan

sekunder

ini

dimaksudkan

untuk

membantu menganalisis dan memahami bahan hukum
primer.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Contohnya kamus
umum, kamus istilah hukum, black law dictionary..

4.Teknik pengumpulan data
Data penelitian yang ada dikumpulkan dengan teknik
sebagai berikut :
a. Studi kepustakaan dikaitkan dengan badan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
b. Wawancara
Dilakukan untuk mencari pemahaman mengenai pembelakukan
peraturan perundang-undangan, istilah hukum dalam undangundang melalui mekanisme wawancara terhadap instansiinstansi terkait.

5.

Metode Analisis Data

25

Metode yang digunakan adalah yuridis kualitatif, yaitu data yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan wawancara kemudian
disusun secara sistematis, dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif
untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Data tersebut
kemudian dianalisis secara interpretatif menggunakan teori maupun
hukum positif yang telah dituangkan kemudian secara deduktif ditarik
kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.

6. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka penelitian lapangan
antara lain di lakukan di Bandung dan Jakarta:
a.
Perpustakaan
Fakultas

Hukum

Universitas

Padjadjaran, Gedung Mochtar Kusumaadmadja Jalan Dipati
Ukur Nomor. 35 Bandung.
b.
Pusat Sumber

Daya

Informasi

Ilmiah

dan

Perpustakaan Universitas Padjadjaran (CISRAL) Jalan Dipati
Ukur Nomor. 46 Bandung.
c.
Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, Jl.
Taman Pejambon No. 6. Jakarta Pusat 10110
d.
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Jl.
Ridwan Sais No.5, Jakarta Pusat
e.
Kementrian Hukum dan Ham Republik Indonesia, Jalan Let
Jend. MT Haryono No 24, Jakarta Timur

26

Daftar Pustaka

A. Buku-buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum: PT
Rajagrafindo Persada, cetakan ke-2, Jakarta, 2008
Anthony Aust, Hand Book of International Law, second edition: Cambridge
University press, London, 2010
Boer Mauna, Hukum Internasional, Bandung: P.T.Alumni, 2005

27

Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Study terhadap Aspek Operasional
Konvensi Wina 1969 tentang hukum Perjanjian: C.V Bina Cipta,
cetakan pertama, Bandung, 1986
D.W.Greigh, International Law Second Edition, Cambridge Journal,
London: 1976
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional,: Refika
Aditama, Bandung 2000
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, cetakan ke-2, 2005
I Wayan Parthiana, beberapa masalah dalam Hukum Internasional dan
Hukum Nasional Indonesi: Bina Cipta, cetakan pertama, Bandung,
1987
___________________Perjanjian Internasional, bagian satu: C.V. Mandar
Maju, cetakan pertama, Bandung, 2002
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh: C.V. Sinar
Grafika, Jakarta, 2007
Malcolm N Shaw, International Law, Fifth Edition: Cambridge University,
London, 2003
_____________________________,
Fourth
Edition:
Cambridge
University, London1997
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R Agoes, Pengantar Hukum
Internasional, Bandung:P.T. Alumni, 2003
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normative Suatu
Tinjauan Singkat: PT Rajagrafindo Persada, cetakan ke-3,
Jakarta,2009

B. Jurnal dan Sumber lain
ABC Australia, PM Abbott Tegaskan Tolak Minta Maaf Atas Isu
Penyadapan, 19 November 2013, diakses di www.news.detik.com,
tanggal 15 mei 2014 pukul 13.45

28

International Court of Justice , Judgement, 25 september 1977, diakses di
www.icj-cij.org/docket/files/92/7375.pdf, pada tanggal 26 Agustus
2014, pukul 15.14.

Muhammad Ahalla, Peranan Kepentingan Nasional Dalam Hubungan
Internasional, 27 Desember 2012, diakses di www.muhammadahalla-fisip12.web.unair.ac.id, tanggal 15 mei 2014, pukul 15.45

C. Perundang-undangan dan konvensi
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Amandemen Ke-IV Tahun
1945
Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan
Undang-Undang No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969

Statuta Mahkamah Internasional
United Nation Charter

29