Paradigma Sosiologi dan Pendekatan dalam

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Pendekatan dalam Antropologi Ekologi

 Pokok Bahasan
a. Paradigma Sosiologi dan Posisi Antropologi Ekologi
Ilmu pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena sosial
menggunakan alur dan logika berfikir berdasarkan suatu teori tertentu. Oleh karena
setiap teori mempunyai asumsi dan pemahaman tertentu terhadap realitas sosial, maka
masing-masing akan memberikan penjelasan dan pemahaman yang dapat berbeda
terhadap fenomena sosial yang menjadi objek studinya, termasuk fenomena yang
disebut masalah sosial. Asumsi, alur dan logika berfikir yang berbeda tersebut yang
menyebabkan dalam studi masalah sosial kemudian dikenal ada beberapa perspektif
yang bersumber dari teori tertentu (Soetomo, 2008).

Dengan memahami berbagai perspektif tersebut, seseorang dapat mengetahui mengapa
suatu realitas masalah sosial tertentu, sebut saja masalah kemiskinan sebagai contohnya
dapat dijelaskan dengan cara berbeda, termasuk dalam melakukan identifikasi masalah,
diagnosa dan treatment. Dalam penerapannya, sangat dimungkinkan seseorang secara
konsisten menggunakan alur berfikir berdasarkan perspektif tertentu yang menjadi
favoritnya untuk memahami dan menjelaskan masalah sosial. Walaupun demikian, tidak
tertutup kemungkinan seseorang bersikap lentur terhadap berbagai perspektif tersebut.


Dia tidak bersikap fanatik terhadap perspektif tertentu, akan tetapi mencoba
menggunakan perspektif yang dianggap sesuai dalam memahami dan menjelaskan
realita masalah sosial tertentu. Terlepas dari pilihan mana yang digunakan, dengan
memehami keseluruhan perspektif tersebut seseorang akan dapat mengetahui alur
berfikir dan penalaran orang lain dalam menjelaskan masalahnya, walaupun orang lain
tersebut menggunakan perspektif yang berbeda dengan yang dianutnya. Oleh karena itu
pemahaman tentang perspektif yang digunakan akan sangat membantu dalam menjalin
komunikasi akademik. Seseorang akan sulit memahami penjelasan dan analisis yang
dilakukan orang lain yang melakukan studi masalah sosial dengan perspektif tertentu,
apabila membacanya dengan menggunakan perspektif yang berbeda.

1

Perspektif merupakan gambaran umum dari suatu subjek ilmu pengetahuan yang
memberikan arah apa yang harus dikaji, pertanyaan apa yang harus digunakan, aturanaturan yang bagaimana yang harus diikuti untuk menginterpretasikan jawaban -jawaban
yang telah diperoleh (Zamroni, 1992)‫‏‬. Sedangkan paradigma merupakan seperangkat
proposisi yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan secara umum
dipersepsikan. Pengertian paradigma seringkali disetarakan dengan perspektif atau
sudut pandang. Paradigma juga dimaknai sebagai ideologi dan praktek suatu komunitas
ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atau realitas, memiliki

seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan
metode serupa (Salim, 2006)‫‏‬

Paradigma juga dimaknai sebagai ideologi dan praktek suatu komunitas ilmuwan yang
menganut suatu pandangan yang sama atau realitas, memiliki seperangkat kriteria yang
sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa (Salim, 2006)‫‏‬
Lebih lanjut, Salim (2006) menjelaskan bahwa sejak abad pencerahan terdapat empat
paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuan yaitu : positivisme,
post-positivisme, teori kritis dan konstruktivisme (interpretif). Perbedaan dari keempat
perspektif atau paradigma tersebut dapat dilihat dari cara pandang masing-masing
terhadap realitas dan cara yang ditempuh untuk mengembangkan sebuah ilmu
pengetahuan terutama dari aspek ontologis, epistemologis dan metodologis.

Ada tiga paradigma besar dalam ilmu sosial (sosiologi) yaitu : paradigma fakta sosial
(positivist)‫‏‬, paradigma perilaku sosial (positivist)‫‏‬, paradigma definisi sosial (interpretif)‫‏‬.
Paradigma fakta sosial berasumsi bahwa sosiologi harus mampu menjawab persoalan
kemasyarakatan secara riil di lapangan. Untuk menyusun sebuah pengetahuan
diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial harus diteliti
dalam dunia nyata sebagaiman orang mencari barang. Sedangkan paradigma perilaku
sosial bertumpu pada pandangan tentang perilaku manusia (behaviour )‫‏‬. Objek sosiologi

yang konkret adalah perilaku manusia yang nampak dan kemungkinan perulangannya.
Paradigma ini memusatkan perhatian kepada hubungan antara individu dengan
lingkungan.

2

Yang terakhir yaitu paradigma definisi sosial berasumsi bahwa sosiologi adalah ilmu
yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretasi) tindakan sosial dan antar
hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Tindakan sosial merupakan
tindakan individu yang memiliki makna bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain,
sedangkan tindakan individu yang diarahkan ke benda mati tidak masuk dalam kategori
tindakan social. Tindakan individu ke benda mati bisa berubah menjadi tindakan sosial
jika mendatangkan efek atau ekibat ke manusia lain, misalnya mengeruk tanah sehingga
terjadi erosi, merusak hutan sehingga mendatangkan bencana banjir yang merugikan
orang lain.

Berdasarkan karakteristik dan prinsip dari ketiga paradigma tersebut, maka studi tentang
antropologi ekologi lebih tepat jika menggunakan pendekataan kualitatif dengan fokus
kajian pada kebudayaan masyarakat suku-suku di berbagai wilayah secara detail dan
mendalam. Dalam perkembangannya, antropologi ekologi berupaya menggambarkan

dan memahami hubungan antara budaya dan kebudayaan suatu masyarakat dengan
berbagai aspek lain seperti ekonomi, politik, kesehatan, sumberdaya alam (hutan, air,
tambang), geografi, arkeologi, dll. Antropologi secara umum berusaha melihat hal-hal
yang spesifik dan unik di lapangan (mikro) terkait dengan budaya masyarakat untuk
memperoleh pengetahuan atau pemahaman secara makro (induktif).

Dalam konteks penelitian ilmiah, studi antropologi ekologi cenderung menggunakan
kerangka epistemologi interpretif walaupun bisa juga berangkat dari epistemologi
positivist. Studi ini lebih tepat menggunakan teori-teori dalam paradigma definisi sosial
(interaksionisme simbolik, fenomenologi) seperti teori-teori tentang kebudayaan,
perubahan kebudayaan, teori tentang masyarakat dan dinamikanya serta tata nilai yang
ada padanya. Ketika studi ini dilakukan oleh para akademisi, maka direkomendasikan
penggunaan metode-metode penelitian dalam kerangka pendekatan interpretif seperti
studi kasus, fenomenologi, etnometodologi, etnografi, dan lain-lain. Hal ini memberikan
implikasi dalam pengumpulan dan penggalian data lapangan yaitu lebih tepat untuk
menggunakan cara yang sifatnya partisipatif, baik dalam hal observasi maupun
wawancara (indepth interview).

3


b. Pendekatan dalam Studi Antropologi Ekologi
Awal mula dari berbagai studi antropologi ekologi di masa kini sebenamya telah
ditanam sejak tahun 1930-an oleh Julian H. Steward, ketika dia menerbitkan eseinya
yang beijudul "The Economic and Social Basis of Primitive Bands'* di tahun 1936.
Menurut Harris, dalam esei inilah pertama kali Steward membuat pernyataan yang utuh
mengenai "bagaimana interaksi antara kebudayaan dan lingkungan dapat dianalisis
dalam kerangka sebab-akibat (in causal terms), tanpa harus terpeleset ke dalam
partikularisme" (1968 : 666). Posisi teoritis dan metodologis ini pada dasarnya tidak
banyak berubah ketika Steward menjelaskan dengan lebih eksplisit soal hubungan
antara lingkungan dan kebudayaan ini dalam bukunya Theory of Culture Change
(1955). Dalam buku ini Steward menguraikan, mendefinisikan serta mengembangkan
apa yang dia sebut sebagai "ekologi budaya" (cultural ecology). Perspektif ini, kata dia
"differs from the relativistic and neo-evolutionis conceptions of culture history, in that it
introduces the local environment as the extra cultural factor in the fruitless assumption
that culture comes from culture" (1955 : 36). Namun, lingkungan lokal itu sendiri bagi

Steward bukanlah faktor yang sangat menentukan (Ahimsa Putra, 1994).

Lebih lanjut Ahimsa Putra (1994) menjelaskan bahwa menurut perspektif ekologi
budaya unsur-unsur pokok adalah "pola-pola perilaku" (behavior patterns ), yakni kerja

(work) dan teknologi yang dipakai dalam proses pengolahan atau pemanfaatan

lingkungan. Dengan demikian studi ekologi budaya pertama-tama adalah mengenai "the
process of work, its organization, its cycles and rhythms and its situational modalities "

(Murphy, 1970 : 155). Titik perhatiannya adalah pada analisis struktur sosial dan
kebudayaan. Perhatian baru diarahkan pada lingkungan bilamana lingkungan
mempengaruhi atau menetukan pola-pola tingkah-laku atau organisasi kerja.

Tujuan umum ekologi budaya menurut Julian Steward adalah "untuk menjelaskan asalusul, ciri-ciri dan pola-pola budaya tertentu yang tampak di berbagai daerah yang
berlainan" (1955 : 36). Lebih khusus lagi, cabang antropologi ini berusaha untuk
menentukan apakah penyesuaian diri berbagai masyarakat manusia pada lingkungannya
memerlukan bentuk-bentuk perilaku tertentu ataukah penyesuaian diri tersebut bersifat
luwes, artinya masih memberikan ruang dan kemungkinan pada berbagai pola perilaku
4

lain yang mungkin diwujudkan. Steward yakin bahwa tujuan ini dapat dicapai dengan
mempelajari relasi antara kebudayaan dan lingkungannya dalam kurun waktu tertentu.

Ada tiga langkah dasar yang perlu diikuti dalam studi ekologi budaya ini, yakni (1)

melakukan analisis atas hubungan antara lingkungan dan teknologi pemanfaatan dan
produksi; (2) melakukan analisis atas "pola-pola perilaku dalam eksploitasi suatu
kawasan tertentu yang menggunakan teknologi tertentu" dan (3) melakukan analisis atas
"tingkat pengaruh dari pola-pola perilaku dalam pemanfaatan lingkungan terhadap
aspek-aspek lain dari kebudayaan" (Steward, 1955 : 40 - 41). Selanjutnya Steward juga
mengatakan bahwa beberapa sektor kebudayaan lebih erat kaitannya dengan
pemanfaatan lingkungan daripada sektor-sektor yang lain. Perhatian utama, menurut
dia, perlu diarahkan pada sektor-sektor yang penting ini, yang dia sebut sebagai "inti
budaya" (cultural core). Dari sudut pandangan lingkungan hal ini berarti bahwa
metodenya menuntut dilakukannya pemfokusan pada aspek-aspek lingkungan yang
penting bagi adaptasi tertentu (Vayda and Rappaport, 1968 : 485), dan bukan pada
keseluruhan lingkungan.

Lewat perspektif ini bisa dikemukakan pertanyaan tentang bagaimana variabel-variabel
tertentu, baik budaya maupun lingkungan, berinteraksi; bagaimana kerja mereka diatur
dan sampai di mana tingkat kestabilan sistem yang terbentuk. Namun, seperti
dikemukakan oleh Vayda dan Rappaport, jawaban atas berbagai per-tanyaan ini
memang tidak dapat dikatakan sebagai penjelasan tentang asal-usul gejala sosial-budaya
tertentu. Untuk menjawab persoalan ini Steward perlu menoleh ke studi silang-budaya
(cross- cultural).


Walaupun mengakui pentingnya sumbangan Steward dalam studi ekologi, Vayda dan
Rappaport masih mempertanyakan metode dan kesimpulannya sebab Steward tidak
mengikuti prosedur studi perbandingan cross-cultural yang ketat untuk menguji tingkat
signifikansi korelasi-korelasinya. Prosedur pengambilan samplenya tidak cukup ketat
untuk menutup kemungkinan adanya korelasi semu. Bahkan jika memang korelasi
antara adaptasi dan unsur-unsur kebudayaan tertentu memang signifikan secara statistik,
hal ini masih belum berarti bahwa hubungan sebab-akibat memang ada. Demikian pula,
5

jika dapat diperoleh bukti adanya korelasi yang signifikan serta ada hubungan sebabakibat, hal itu juga belum berarti bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut merupakan
unsur yang mutlak harus ada dalam proses adaptasi tersebut, sebagaimana diyakini oleh
Steward (Vayda dan Rappaport, 1968 : 485 486).

Mengingat berbagai kekurangan dalam teori dan metode Steward tersebut, Vayda dan
Rappaport kemudian mengusulkan sebuah pendekatan lain untuk menelaah hubungan
manusia dengan lingkungannya, suatu pendekatan yang menurut keyakinan mereka
akan membawa kita pada "suatu ilmu ekologi yang memiliki hukum-hukum dan
prinsip-prinsip yang berlaku untuk manusia maupun untuk spesies yang lain" (1968 :
492). Bagi dua pakar antropologi ini, fakta bahwa fenomena manusia merupakan

fenomena yang kompleks, bervariasi dan bersifat khas pada setiap populasi, tidaklah
harus berarti bahwa prinsip- prinsip, konsep-konsep ataupun berbagai pendekatan yang
digunakan oleh ilmuwan-ilmuwan lain tidak dapat atau tidak boleh dimanfaatkan oleh
ahli antropologi.

Jika diperhatikan kenyataan bahwa baik perilaku manusia maupun hewan berfungsi
sebagai proses adaptasi mahluk terhadap lingkungannya dan kedua-duanya tunduk pada
semacam seleksi, maka terbuka kemungkinan bagi kita untuk mempelajari keduanya
dengan menggunakan satu kerangka teori tertentu. Atas dasar keyakinan inilah Vayda
dan Rappaport, seperti halnya Simpson (1962), kemudian mengajak kita untuk
memandang kebudayaan manusia sebagaimana kita memandang perilaku hewan.
Kebudayaan harus diperlakukan dan ditafsirkan in the same way as the behavior or part
of the behavior of any other species, for instance, in its adaptive aspects and consequent
interaction with natural selection (1968 : 493). Dengan demikian perhatian perlu kita

arahkan pada unit-unit analitis seperti misalnya populasi manusia, ekosistem dan
komunitas biotik di mana populasi manusia tercakup di dalamnya, dan tidak lagi
dipusatkan pada gejala-gejala budaya atau gejala yang bersifat ideologis. Pandangan ini
telah memperoleh dukungan dan dipopulerkan oleh banyak ahli antropologi dan
arkeologi (Baker, 1962; Helm, 1962).


6

Bilamana kita perhatikan berbagai studi antropologi ekologi di tahun 1960' an, yang
dibangkitkan oleh ekologi budaya Julian Steward, kita dapat mengklasifikasikan
berbagai studi ini paling tidak dalam empat aliran, yakni : pendekatan etnoekologi,
pendekatan ekologi silang-budaya {cross-cultural ecological approach), pendekatan
ekosistemik kultural, yang diwakili oleh buku Geertz Agricultural Involution (1963),
dan pendekatan ekosistemi materialistik, seperti yang tampak dalam berbagai studi yang
dilakukan oleh para ahli antropologi seperti Vayda (1961; 1967), Rappaport (1967;
1968; 1971), Harris (1966), Leeds (1965). Dua dari empat aliran ini; yaitu etnoekologi
dan ekosistemik materialistik atau ekologi fungsional yang baru dari Vayda dan kawankawannya masih tetap populer hingga kini.

Aliran etnoekologi dicetuskan oleh ahli antropologi dengan latar belakang linguistik
yang kuat. Tujuan dan metode dari pendekatan ini banyak berasal dari etnosains
(Ethnoscience)0, dan pertama kali diperkenalkan oleh Conklin (1954) serta didukung
oleh Frake, yang dalam sebuah simposium yang betjudul "Ecology and Anthropology"
pada pertemuan AAAS di tahun 1960, membawakan paper berjudul "Cultural Ecology
and Ethnography" (1962). Tujuan etnosains, seperti kita ketahui, adalah melukiskan
lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsi dasarnya adalah

bahwa lingkungan atau "lingkungan efektif' (effective environment) bersifat kultural
sebab lingkungan "obyektif' yang sama dapat, dan pada umumnya "dilihat" atau "dip ah
ami" (perceived) secara berlainan oleh masyarakat yang berbeda latar-belakang
kebudayaanya. "Lingkungan budaya" (cultural environment), "ethnoenviron- menf\ atau
"cognized environment" ini, dikodefikasi dalam bahasa.

Oleh karenanya untuk memahami lingkungan ini kita harus mengungkapkan taksonomitaksonomi, klasifikasi-klasifikasi yang ada dalam istilah-istilah lokal, sebab dalam
taksonotni dan klasifikasi inilah terkandung pernyataan-pernyataan atau ide-ide
masyarakat yang kita teliti mengenai lingkungannya. Klasifikasi tentang lingkungan ini
berisi berbagai informasi yang penting untuk mendapatkan etnoekologi masyarakat
yang diteliti. Bilamana berbagai macam taksonomi, klasifikasi serta makna
referensialnya ini telah dideskripsikan, langkah selanjutnya adalah memformulasikan

7

aturan-aturan perilaku terhadap lingkungan yang dianggap tepat oleh masyarakat yang
kita teliti (Franke, 1962).

Dengan pendekatan etnoekologi ini diharapkan kita akan mampu menebak perilaku
orang dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan. Relevansi informasi
semacam ini bagi studi mengenai lingkungan terletak dalam pendapat bahwa pandangan
orang {people's cognition) mengenai lingkungan merupakan bagian dari mekanisme
yang menghasilkan perilaku fisik yang nyata, lewat man a orang secara langsung
menciptakan perubahan dalam lingkungan fisik mereka (Vayda and Rappaport, 1968 :
491). Sayangnya dalam praktek kebanyakan ahli antropologi hanya sampai pada tingkat
pendeskripsian hirarki atau taksonomi ber-bagai istilah lokal dan tidak berusaha
mengaitkan istilah- istilah ini dengan pola-pola perilaku.

Kecenderungan ini juga telah membawa banyak ahli antropologi pada apa yang Vayda
dan Rappaport sebut "ethnosystematics" dan bukannya etnoekologi, dan memperkecil
arti pendekatan ini bagi studi antropologi ekologi. Selain itu etnoekologi juga tidak
memiliki prosedur-prosedur yang dapat diterapkan secara universal pada etnosistematik
untuk mendapatkan etnoekologi ataupun relasi-relasi yang nyata dalam suatu sistem
ekologi (Vayda and Rappaport, 1968 : 491).

Kelemahan lain dari pendekatan ini adalab ketidakmampuannya untuk memberikan
berbagai informasi pada peneliti mengenai proses-proses ekologi dan relasi-relasi dalam
lingkungan yang secara tidak disadari mempengaruhi manusianya. Dengan kata lain,
pendekatan ini tidak memungkinkan seorang peneliti mengetahui "fungsi tersembunyi"
(latent function) suatu gejala budaya, yang mungkin penting bagi pemahaman kita
mengenai relasi-relasi manusia dengan lingkunganya.

Pendekatan Ekologi Silang-Budaya tampak dalam studi yang dilakukan oleh Netting
(1968; 1969) dan Goldschmidt et al (1965). Netting melakukan penelitiannya di
kalangan orang Kofyar di Nigeria dari tahun 1960 hingga 1962. Dipengaruhi oleh
ekologi budaya dari Julian Steward, penelitian ini ditujukan untuk melukiskan sistem
8

pertanian orang Kofyar yang dianggapnya unik dan sangat terintegrasi. Dia juga
menganalisis saling hubungan antara sistem pertanian mereka dan latar-belakang sosialbudaya petaninya. Netting menyebut pendekatannya bersifat 'ekologi budaya", sebab
unit yang dipelajarinya adalah "a culturally defined population of human beings" dan
perhatiannya lebih diarahkan pada aspek budaya proses adaptasi orang Kofyar daripada
terhadap aspek fisiknya. Walaupun Netting mengakui akan pentingnya aspek biologi
dalam adaptasi manusia, dia beranggapan bahwa melakukan penalaran lewat analogi
dari ilmu biologi merupakan suatu langkah yang berbahaya dalam ilmu sosial.

Dalam usahanya untuk mempertajam pendekatan Steward, Netting memusatkan
studinya pada satu suku-bangsa dalam suatu wilayah yang kecil dengan lingkungan
alam yang relatif stabil, dan berbagai sarana produksi dari suku ini ditelaah dengan
teliti. Untuk menunjukkan hubungan fungsional antar variabel digunakan berbagai
metode antara lain analisis dan deskripsi sinkronis, per- bandingan silang-budaya, dan
analisis sejarah. Sayangnya, dua metode yang terakhir tidak dilakukan dengan ketat,
sehingga kita tidak menemukan jejak- jejak penajaman kerangka teori yang telah
dikembangkan oleh Steward. Berkenaan dengan perbandingan silang-budaya, hanya
data dari suku Ibo saja yang dipakai (1968; 1969). Dalam hal ini, studi yang dilakukan
oleh Goldschmidt dan kawan-kawannya (1965) tampak lebih berbobot.

Di awal tahun 60-an Walter Goldschmidt mengetuai sebuah proyek bernama
"Kebudayaan dan Ekologi di Afrika Timur". Proyek ini disponsori oleh Universitas
California, Los Angeles. Tujuannya adalah melakukan studi perbandingan yang
terkontrol (controlled comparison) mengenai perbedaan dalam kebudayaan pada
kelompok-kelompok dari empat macam suku-bangsa yang masing-masing mempunyai
ciri: satu sektor dicurahkan terutama pada aktivitas-aktivitas penggembalaan dan sektor
lain dicurahkan pada kegiatan- kegiatan pertanian (1965: 400). Orientasi teoritis proyek
ini muncul dari usaha untuk menggabungkan teori struktural-fungsional dengan teori
evolusi. Teori evolusi, di mata Goldschmidt, juga merupakan teori fungsional dalam arti
bahwa "teori ini mengandung tesis fungsional yang paling dasar yaitu bahwa (1)
pranata-pranata (institutions) dalam masyarakat merupakan mekanisme- mekanisme
interaksi sosial yang berfungsi untuk berlangsungnya kehidupan masyarakat, dan (2)
9

semua bagian dalam sistem sosial harus merupakan suatu keseluruhan yang terintegrasi,
sehingga perubahan-perubahan di satu bagian memerlukan penyesuaian-penyesuaian
pada unsur-unsur yang lain" (1965: 402).

Goldschmidt selanjutnya menambahkan bahwa teori fungsional memberikan prioritas
pada aspek-aspek sosial-budaya tertentu di atas aspek-aspek yang lain, hal mana berarti
bahwa beberapa unsur memiliki pengaruh-pengaruh yang langsung dan terus-menerus
terhadap keseluruhan struktur masyarakat atau kebudayaan, sedang unsur-unsur yang
lain bersifat pinggiran {peripheral); "aktivitas-aktivitas dalam bidang tertentu lebih
dekat pada faktor-faktor eksternal tertentu seperti lingkungan, atau pada faktor-faktor
internal tertentu seperti misalnya perubahan-perubahan teknis, dan karenanya lebih peka
dan rapuh terhadap tekanan-tekanannya" (p. 402). Jejak-jejak konsepsi "inti budaya"
tampak jelas di sini, dan usaha untuk menggabungkan teori fungsional dan evolusi juga
mengingatkan kita pada evolusi multilinear dan ekologi budaya Julian Steward.
Kerangka teoritis dan strategis penelitian yang diadopsi dalam penelitian ini tampak
masih berada dalam tradisi ekologi budaya Julian Steward. Perbedaannya adalah bahwa
proyek ini juga menelaah ciri-ciri sikap dan kepribadian dari masyarakat yang diteliti.
Hasil studi yang dilakukan oleh Edgerton dalam proyek ini menunjukkan bahwa
penyesuaian-penyesuaian ekonomi yang berlainan antar penggembala dan petani, yang
dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang berbeda, memang telah menghasilkan nilainilai, sikap dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda pula (1965: 447).

Aliran ketiga dalam antropologi ekologi adalah pendekatan ekosistem. Kerangka teori
ekosistem ini mendapatkan modelnya dari ilmu biologi dan ekologi umum. Versi
kultural dalam pendekatan ini diwakili oleh studi Clifford Geertz mengenai sistem
pertanian dan perubahan ekologi di Indonesia (1963). Geertz meminjam konsep
ekosistem dari ahli-ahli ekologi tumbuh-tumbuhan dan binatang, yang menggunakan
istilah ekosistem untuk menunjuk setiap sistem yang berfungsi dan berinteraksi, yang
terdiri dari satu atau lebih organisme dan lingkungan efektifnya.

Dengan menggunakan konsep ini Geertz dapat menempatkan aktivitas manusia,
transaksi-transaksi biologis dan proses- proses fisik dalam satu sistem analitik (1963: 3).
10

Namun demikian, agar tidak terjebak dalam rangkaian relasi yang tak terhingga, Geertz
mendefinisikan ekosistem sebagai suatu sistem di mana variabel-variabel budaya,
biologis dan fisik yang sudah dipilih memang betul-betul saling berkaitan. Prosedur ini
mirip dengan pembedaan antara "inti budaya" dengan lingkungan yang relevan dalam
ekologi budaya Julian Steward. Akan tetapi meskipun Geertz bersandar pada model
ekologi, di mana si ahli antropologi menerapkan konsep-konsep ekologi pada
masyarakat tersebut secara langsung dan menyeluruh dan masyarakat manusia hanya
dilihat sebagai suatu gejala biotis sejajar dengan gejala biotis lainnya (1963: 5). Di
sinilah terletak perbedaan pokok antara analisis ekosistemik dari Clifford Geertz dengan
pendekatan ekosistem dari Vayda dan beberapa ahli antropologi lain yang oleh Orlove
disebut "Aliran Columbia- Michigan" (1980).

Aliran keempat dalam antropologi ekologi, yaitu versi yang materialistik dari analisis
ekosistemik, adalah antropologi ekologi neo-fiingsional (neo-func- tional ecology).
Untuk memahami perkembangan dan berbagai perdebatan dalam aliran ini kita perlu
kembali ke sebuah simposium yang berjudul "Role of Animals in Human Ecological
Adjustments" yang diselenggarakan dalam pertemuan tahunan AAAS yang ke 128 di

Denver, Colorado, dalam bulan December 1961. Simposium ini, menurut pencetus
idenya, Anthony Leeds dan Andrew P. Vayda, merupakan tindak lanjut dari penelitian
mereka tentang peranan babi dalam ekonomi orang Melanesia.

Penelitian ini telah membawa mereka pada kesadaran akan perlunya cara analisis baru,
data baru serta informasi yang lebih banyak dari berbagai kawasan di dunia, mengenai
penelitian-penelitian lain yang sejajar dengan tema simposium tersebut, yakni tentang
hubungan manusia dengan binatang. Makalah yang masuk kemudian diseleksi
berdasarkan atas beberapa kriteria - yakni pemanfaatan binatang- binatang tertentu serta
berbagai produk yang dihasilkannya bagi suatu masyarakat tertentu, ciri-ciri binatang
yang menjadi dasar cara pemanfaatan tersebut dan effek dari pemanfaatan tersebut
terhadap pola-pola dan organisasi kebudayaan. Hasil dari simposium ini terbit dalam
bentuk sebuah buku berjudul Man, Culture and Animals. Redaksi buku ini, yaitu Leeds
dan Vayda, merasa yakin bahwa keteraturan-keteraturan yang tampak dalam peranan
yang dimainkan oleh binatang dalam proses adaptasi manusia dengan lingungannya,
11

seperti ditunjukkan oleh paper-paper yang diterbitkan, dapat membawa para ahli ke
perumusan hipotesa-hipotesa baru serta memperlihatkan manfaat analisis fungsional
untuk menelaah "the operation of maintaining environmental variables at values
conducive to the survival and expansion of human population" (Leeds and Vayda, 1965

: iii - iv).

Kerangka teori yang digunakan di sini adalah seperti yang dianjurkan oleh Simpson
(1962), yaitu penekanan yang lebih besar pada perilaku fisik yang nyata, lewat mana
manusia secara langsung mempengaruhi dan mengubah lingkungannya. Dilihat dari
perspektif ini kebudayaan manusia menjadi tidak lebih dari sekedar perilaku atau bagian
dari perilaku suatu spesies primat tertentu. Kemampuan beberapa ahli untuk
menggunakan pendekatan ini dalam analisis mereka membuat penyunting buku
tersebut, terutama Vayda, merasa optimis dan berkata the prospects are promising for
further development of a science of ecology with laws and principles that apply to man
as they do to other species (1965 : iv).

Kelemahan dari pendekatan ini sebenarnya telah dinyatakan oleh salah satu artikel
dalam buku itu sendiri. Antikel ini, yang ditulis oleh Collins, adalah mengenai logika
analisis fungsional yang digunakan para ahli antropologi dan geografi dalam
mempelajari hubungan-hubungan antara manusia, kebudayaan dan binatang. Menurut
Collins, logika penjelasan fungsional mereka memang dapat lepas dari kritikan Hempel
yang menyatakan bahwa analisis fungsional tidak mampu menjelaskan asal-usul unsur
kebudayaan tertentu. Sayangnya, hal ini berarti pula hilangnya dua kelebihan yang ada
dalam pendekatan tersebut. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Vayda dan Rappaport,
penggunaan pendekatan ekologi umum (general ecology) dalam antropologi akan dapat
mengungkapkan tidak hanya cara bekerjanya atau berfungsinya unsur-unsur
kebudayaan namun juga asal-usulnya dan kehadirannya (1968 : 496). Dengan hilangnya
keuntungan kedua, hal itu berarti bahwa hanya berfungsinya unsur-unsur kebudayaan
saja yang dapat disajikan oleh studi fungsional yang baru. Analisis fungsional, kata
Collins, memang menjelaskan perilaku atau bekerjanya sistem-sistem tetapi bukan
kehadiran atau keberadaan unsur-unsur kebudayaan (1965). Hal ini, bagi sebagian ahli

12

antropologi, ternyata bukan sesuatu yang luar biasa atau patut dikagumi, kalau bukan
sesuatu yang sepele.

Periode tahun 1970-an juga merupakan periode di mana ide mengenai antropologi
ekologi baru dilontarkan. Mengingat Vayda adalah pelopor pendekatan ini, tidak ada
salahnya untuk mengetahui sekelumit riwayat perkembangan karir dan berbagai karya
Vayda setelah penelitiannya di Papua Nugini. Seperti bisa kita lihat pada berbagai
tulisaunya di tahun 1960-an, pada masa itu Vayda lebih memperhatikan masalah
bagaimana mekanisme-mekanisme budaya memberikan sumbangan pada terciptanya
keseimbangan-keseimbangan antara populasi manusia dengan sumber-sumber daya
mereka. Kerangka teori yang sesuai dengan minat ini tentu saja pendekatan fungsional
atau sistemik, dimana asumsi equilibrium menjadi landasan bagi semua strategi
penelitian dan perumusan masalah. Kemudian di tahun 1970-an, Vayda mulai lebih
tertarik pada masalah ketimpangan dalam hubungan manusia dengan lingkungannya.
Berbagai aktivitasnya sebagai pendiri dan penyunting jumal Human Ecology
membawanya pada kontak yang lebih sering dengan para ahli dari berbagai disiplin dan
dengan karya yang luas mengenai hubungan manusia dengan lingkungannya, baik
dalam masyarakat modern maupun dalam kelompok-kelompok sosial yang lebih kecil,
yang masih agak terisolir. Hal ini juga turut membelokkan minat dan isi karya-karyanya
di kemudian hari. Didorong oleh keinginan untuk melakukan penelitian mengenai
hubungan yang timpang dalam situasi dan suasana yang baru serta kesadaran bahwa
program-program ekologi yang bersifat interdisipliner seperti yang ditawarkan oleh
Cook College akan memberikan lebih banyak kesempatan untuk melakukan penelitian
semacam itu daripada yang ada di universitas Columbia, Vayda kemudian pindah ke
Cook College di Universitas Rutgers, New Jersey, pada tahun 1972.

Tidak lama setelah itu perpindahan ini membuahkan hasilnya. Di tahun 1975, bersama
dengan Bonnie McCay, salah seorang mahasiswinya dari universitas Columbia yang
turut pindah ke Rutgers, Vayda menulis sebuah artikel mengenai arah-arah baru dalam
ekologi dan antropologi ekologi di mana mereka juga memperkenalkan pendekatan
antropologi ekologi yang baru. Benih dari pendekatan ini sebenarnya sudah terlihat
dalam artikel Vayda mengenai peperangan (1974). Berbeda dengan karya-karya
13

sebelumnya (1961; 1968) yang difokuskan pada fungsi peperangan sebagai mekanisme
penye- imbang dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya, artikel ini
(1974) pertama-tama berusaha merumuskan generalisasi-generalisasi mengenai perang
itu sendiri serta dinamika dalam sistem-sistem sosial dan ekologi. Untuk mencapai
tujuan ini peperangan dipandang hanya sebagai salah satu dari se- jumlah proses
adaptasi

manusia

terhadap

kekacauan

(perturbations)

yang

terjadi

dalam

lingkungannya.

Di tengah-tengah makin gencarnya kritik analisis neo-fungsional dan munculnya kritik
terhadap ekologi biologi atau ekologi umum, dari mana antropologi ekologi meminjam
landasan-landasan teorinya, serta di tengah munculnya per- kembangan-perkembangan
barn dalam berbagai disiplin lain yang dekat dengan antropologi ekologi,
diperkenalkanlah antropologi ekologi yang baru oleh Vayda dan McCay. Dua ahli
antropologi ekologi ini melihat adanya empat kelemahan dalam pendekatan neofungsional, yakni: (1) penekanan yang berlebihan pada faktor eneiji; (2) ketidakmampuannya

menjelaskan

gejala-gejala

kultural;

(3)

keasyikannya

dengan

keseimbangan-keseimbangan yang statis {static equilibria), dan (4) ketidak-jelasannya
mengenai unit analisis yang tepat.

Dalam analisis biologi penekanan pada efisiensi penangkapan enerji hanya bermanfaat
dalam suatu situasi di mana enerji merupakan faktor yang menentukan. Jika tidak, maka
penelitian harus diarahkan pada masalah-masalah yang mengancam kehidupan
organisme atau pada hal-hal yang dianggap oleh orang yang diteliti sebagai masalah
(Vayda dan McCay, 1975 : 296). Para ahli ekologi- pun mulai menyadari bahwa modelmodel dalam analisis sistem tidak dapat menjelaskan proses-proses biologis. Karena
kekhususan-kekhususan serta "opportunism" yang ada dalam proses evolusi, modelmodel tersebut tidak dapat misalnya menebak strategi apa yang diambil oleh suatu
organisme dalam me- nanggapi masalah-masalah lingkungan yang dihadapi. Pandangan
yang berpusat pada soal keseimbangan (equilibrium centered) yang dianut oleh para
ahli ekologi juga telah dikritik karena ketidakmampuannya untuk menangani masalahmasalah kontemporer seperti pengotoran, kepunahan berbagai spesies flora dan fauna,
pertambahan penduduk.
14

Berkenaan dengan unit analisis, beberapa ahli ekologi menolak pandangan bahwa
ekosistem merupakan suatu sistem yang mengatur dan menentukan dirinya sendiri
dengan tujuan-tujuan seperti meningkatkan efisiensi enerji atau produktivitas, efisiensi
daur-ulang bahan gizi, biomas dsb. Oleh karena ekosistem hanyalah suatu unit analisis,
dan bukan merupakan suatu jasad biologis yang betul-betul ada (biological entity), para
ahli biologi kemudian mulai me- mandang seleksi alam sebagai proses yang bekerja
pada individu-individu yang hidup, dan bukan pada suatu ekosistem (Vayda dan
McCay, 1975 : 1299).

Melihat berbagai kritik dalam biologi dan ekologi, kemiripannya dengan berbagai
kecaman terhadap penjelasan neo-fungsional dalam antropologi ekologi, serta
perkembangan baru dalam berbagai disiplin yang terkait, seperti geografi dan ilmu
kedokteran, Vayda dan McCay kemudian mengusulkan sebuah perspektif baru bagi
antropologi ekologi, yang lebih memusatkan perhatian pada masalah-masalah
lingkungan dan berbagai tanggapan atau respons yang diwujudkan untuk menghadapi
masalah-masalah tersebut.
 Hasil Pembelajaran
Mampu memahami dan menjelaskan :
(1) Paradigma definisi sosial dan posisi antropologi ekologi
(2) Pendekatan dalam antropologi ekologi dan contoh penerapan pendekatan tersebut
dalam membaca kasus di kehutanan


Aktifitas
(1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah,
(2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan
(3) Diskusi dan menjawab kuis



Kuis dan latihan
(1) Jelaskan pentingnya paradigma dalam melakukan analisis sosial kehutanan !
(2) Terangkan beberapa pendekatan dalam antropologi ekologi dan berikan contoh
kasus di kehutanan yang dapat dianalisis dengan pendekatan tersebut !
15

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya .
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta
Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa , FKT UGM, Yogyakarta
Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan
Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta

Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta
Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat .
Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta
Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MRUnited Press. Jakarta.
Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan .
Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta.
Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta
Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press.
Yogyakarta
Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT.
Aditya Media. Yogyakarta
Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten
Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat .
FKT UGM. Yogyakarta
Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development,
Volume 29, No. 2, UK
Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM
Yogyakarta

16

Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian . Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta.
Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta
Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar . Rajawali Pers. 2010. Jakarta
Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta
Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta
Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan
Tipologi. Artikel

Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh
Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta

Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa
Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta

Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi
Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta

17