Stabilitas Politik dan Demokrasi Ekonomi

Stabilitas Politik dan Demokrasi Ekonomi sebagai Dasar
Pembangunan: Perspektif Pancasila1

Oleh: Donie Kadewandana Malik2

I. Pendahuluan: Menengok Sejarah, Melihat Realitas Kekinian
Stabilitas politik dan pembangunan ekonomi merupakan subjek penting
sekaligus menarik untuk dibahas, terutama bila dikaitkan dengan negara yang
sedang membangun (developing country)3. Ketika kita mendiskusikan subjek ini,
tentu tak bisa dilepaskan dari kekuasaan pemerintahan negara. Siapa pun
pemimpin negara yang tengah berkuasa pasti menginginkan stabilitas politik yang
kokoh agar roda pemerintahan dan pembangunan berjalan dengan baik.
Bila

kita

membuka

catatan

sejarah,


kosakata

“stabilitas”

dan

“pembangunan” porsinya lebih banyak kita saksikan di masa Pemerintahan Orde
Baru yang dikomandoi oleh Soeharto. Di masa itu, stabilitas menjadi prasyarat
utama

yang

ditanamkan

sebagai

pondasi

pembangunan.


Di

masa

pemerintahannya, Soeharto merencanakan dan menyelenggarakan pembangunan
berbasis stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan.

Disampaikan dalam diskusi interaktif “Internalisasi Pancasila dalam Peningkatan Stabilitas
Politik sebagai Upaya Memperkokoh Ketahanan Nasional,” Pusat Studi Pancasila (PSP),
Universitas Pancasila, Jakarta,17 Maret 2017. Paper ini kemudian dijadikan prosiding ilmiah oleh
Pusat Studi Pancasila UP.
2
Dosen Komunikasi Politik dan Pancasila, Universitas Pancasila, Jakarta.
3
Developing country (negara berkembang) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
suatu negara yang tingkat pembangunannya berjalan lamban, standar hidup yang relatif rendah,
sektor industri yang kurang maju, pendapatan perkapita yang rendah, serta skor indeks
pembangunan manusia (IPM) yang berada di posisi menengah bawah.
1


1

Semua penghambat pembangunan, termasuk segala hal yang dapat
memantik

instabilitas bangsa

harus

ditiadakan

(untuk

tidak

menyebut

dilenyapkan). Hal itu sejalan dengan trilogi yang kerap digaungkan oleh Orde
Baru, yakni Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas nasional yang

sehat dan dinamis, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
Trilogi ini merupakan grand design yang diintrodusir Soeharto guna
mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu: mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara
itu, dalam kerangka negara Orde Baru mesti dicapai berdasarkan Pancasila.
Di dalam tulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan lebih jauh mengenai
stabilitas politik dan pembangunan di masa Pemerintahan Orde, namun penulis
hanya menyinggung sedikit untuk memberikan gambaran singkat dan mengambil
pelajaran dari sisi positif. Ini perlu dilakukan karena stabilitas yang dibangun oleh
Orde Baru begitu terencana dan aplikatif, terlepas dari sisi negatifnya.
Tulisan ini lebih bertujuan untuk menyoroti dan mengkaji lebih dalam
stabilitas politik-keamanan dan pembangunan ekonomi di dalam pemerintahan
yang tengah berjalan, yakni Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Saat tulisan

2


ini dibuat, usia Pemerintahan Jokowi-JK hampir memasuki tahun ke-3 (dilantik
sebagai presiden-wakil presiden pada 20 Oktober 2014). Masa Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla berbeda dengan Orde Baru, dalam kategori Samuel
Huntington4, masa saat ini dikatakan telah memasuki fase gelombang ketiga
menuju konsolidasi demokrasi, sehingga tidak bisa dibandingkan secara apple to
apple dengan masa Orde Baru yang sentralistik.

Bangunan pemerintahan yang terbentuk di Era Reformasi sudah
desentralistik dan demokratis. Pemilu telah berjalan secara reguler dan relatif
inklusif. Sistem kepartaian pun sudah tidak menganut apa yang di sebut Giovani
Sartory dengan Hegemonic Party Sistem5, sebagaimana yang diterapkan Orde
Baru dengan Golkar sebagai partai pemerintah yang dominan. Rakyat diberikan
kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berekspresi secara terbuka. Media pun
juga sudah bebas berdiri dan tak ada campur tangan dari pemerintah, serta tak ada
sensor maupun pembreideilan.

II. Stabilitas Politik-Keamanan dalam Bingkai Pancasila
Pada bagian pembahasan ini, penulis akan menjelaskan mengenai
stabilitas politik-keamanan dan pembangunan ekonomi yang terbentuk di dalam

Pemerintahan Jokowi-JK selama dua setengah tahun. Kedua aspek ini dibahas dan
dianalisis secara terpisah untuk memberikan ulasan yang terperinci sehingga dapat

4

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta: Grafiti Pers, 1995, hlm.77
Lihat Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case of Election under a Hegemonic Party System,
Yogyakarta: UGM Press, 1992, hlm. 36.

5

3

memberikan pemahaman yang jelas. Selain itu, kedua aspek ini akan dianalisis
dalam perspektif Pancasila, yang merupakan dasar dalam bernegara.
A. Stabilitas Politik dalam Sistem Multipartai dan Keamanan Domestik
Pasca Jokowi-JK dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden pada 20
Oktober 2014, rancang bangun pemerintahan dan peta politik terlihat begitu
dinamis. Sebagaimana diketahui, pemerintahan Jokowi-JK dibentuk melalui
proses koalisi beberapa partai politik. Ini terjadi karena di Pemilu Legislatif 2014

tidak ada partai yang mendapat suara mayoritas (50% lebih). Jangankan 50%,
partai yang mencapai 20% pun tidak ada. PDI Perjuangan yang menjadi
pemenang Pemilu Legislatif pun hanya mendapat 18,95%. Padahal untuk dapat
mengusung calon presiden sesuai UU Pemilu Tahun 2012, sebuah partai wajib
mendapat 20% suara secara nasional. Sehingga pada saat itu, mau tidak mau
partai-partai yang ada harus berkoalisi guna mendapat tiket Pemilihan Presiden
2014.
Koalisi yang dibangun partai-partai dalam Pemilihan Presiden 2014
terbagi menjadi dua. Partai pendukung Jokowi-JK (Koalisi Indonesia Hebat)
berjumlah 4 partai, yaitu PDI Perjuangan, PKB, Hanura, dan Partai Nasdem.
Sedangkan Golkar, Gerindra, PAN, PPP, dan PKS (Koalisi Merah Putih)
mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sementara Partai Demokrat memilih
untuk menjadi partai non-blok.
Ketika di awal Pemerintahan Jokowi-JK, kondisi politik di parlemen
terlihat tidak kondusif akibat kekuatan politik yang kurang memadai yang dimiliki

4

pemerintah. Pada waktu itu, Pemerintahan Jokowi-JK kerap mengalami kesulitan
di dalam membuat kebijakan-kebijakan yang efektif di lingkar eksekutif. Karena

itu, Presiden Jokowi kerap melakukan komunikasi politik dengan partai yang
berada di barisan oposisi.
Berkat komunikasi politik yang intensif, akhirnya Golkar dan PAN
menyatakan diri bergabung ke dalam partai pemerintah. Dengan bergabungnya
Golkar dan PAN di barisan pemerintah, maka kekuatan politik di legislatif secara
otomatis berubah. Di barisan koalisi pendukung pemerintah terdapat enam partai
politik dengan kekuatan 347 kursi di DPR, yaitu PDI Perjuangan (109 kursi),
Partai Golkar (91 kursi) PAN (48 kursi), PKB (47 kursi), Partai Nasdem (36
kursi), dan Partai Hanura (16 kursi).
Sedangkan di lini oposisi, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih,
hanya menyisakan tiga partai yang kekuatannya berjumlah 152 kursi, yaitu Partai
Gerindra (73 kursi), PKS (40 kursi), dan PPP (39 kursi). Pasca bergabungnya
Golkar dan PPP ke barisan pendukung pemerintah, Koalisi Merah Putih akhirnya
dibubarkan karena mengalami defisit suara. Partai lainnya, seperti PKS terlihat
secara samar merapat ke barisan pemerintah setelah KMP bubar. Sementara PPP
terbelah karena konflik internal. Kubu PPP Romahurmuzy mendekat ke
pemerintah, sedang kubu PPP Suryadarma Ali-Djan Faridz berada di luar
pemerintah. Namun, kedua kubu tersebut saat tulisan ini dibuat akhirnya
memutuskan mendekat ke barisan pemerintah.


5

Alhasil, kini partai oposisi hanya satu yang bertahan yakni Gerindra.
Sementara Partai Demokrat lebih nyaman disebut sebagai partai penyeimbang.
Dengan demikian, kekuatan politik di DPR berhasil dikuasai oleh partai koalisi
pendukung pemerintah. Stabilitas politik yang ada perlahan mulai kondusif dan
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak menghadapi pertentangan
yang tajam.
Walaupun demikian, kehadiran oposisi juga tetap dibutuhkan sebagai
fungsi check and balance guna menyeimbangkan jalannya pemerintahan agar
tetap berada di rel yang benar. Bahkan menurut Robert Dahl, keberadaan oposisi
dapat menjadi tolok ukur tingkat kadar sehat atau tidaknya negara demokrasi.6
Hal ini juga senada dengan apa yang pernah diungkapkan oleh sejarawan politik
Inggris Lord Acton, bahwa kekuasaan pemerintahan yang terlalu besar dan tanpa
adanya pengawasan berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan.
Kendati kondisi politik di tingkat nasional dapat dikondusifkan, namun
situasi politik mulai kembali memanas tatkala Pemilihan Gubernur DKI Jakarta
2017 berlangsung. Partai-partai yang berkoalisi di DPR, pada tataran Pilkada DKI
terbelah. PDI Perjuangan, Nasdem, Golkar, dan Hanura, berada di barisan
pendukung cagub-cawagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-DJarot Saiful

Hidayat. Sementara Partai Demokrat, PKB, PAN, PPP mengusung Agus
Harimurti Yudhoyono-Silviana Murni. Kemudian, Gerindra dan PKS mendukung
Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno.

6

Robert A Dahl, On Democracy, USA: Yale University Press, 1989.

6

Sampai dengan tulisan ini dibuat, dari hasil Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta ternyata tidak ada calon yang memenangkan pemilihan karena tidak ada
yang mendapat suara mayoritas 50% lebih, sehingga harus dilakukan pemilihan
tahap kedua. Dari data KPU7, hasil pemilihan menunjukkan Agus Harimurti
Yudhoyono-Sylviana Murni mendapat suara sebanyak 936.609 (17.07%), Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat sebanyak 2.357.637 (42.96%), dan
Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno sebanyak 2.193.636 (39.97%).
Di tahap kedua ini pasangan cagub-wagub yang lolos adalah Basuki Tjahaya
Purnama (Ahok)-Jarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Sementara partai yang tadinya mendukung Agus Harimurti Yudhoyono-Silviana

Murni mulai mendekat ke salah satu pasangan calon yang maju ke tahap dua.
Hemat penulis, walaupun nuansa politik memanas di Pemilihan Gubernur
DKI, terlebih banyak isu agama yang dibawa di dalam proses kampanye, namun
stabilitas politik di tingkat nasional masih terlihat kondusif. Dalam hal ini, roda
Pemerintahan Jokowi-JK (eksekutif) relatif berjalan dengan baik, terutama dalam
proses pembuatan kebijakan dan relasi dengan legislatif (DPR). Namun, bukan
berarti harus pemerintah lepas tangan. Sentimen keagamaan yang terlalu kuat
dalam politik, khususnya pilkada, berpotensi memicu disintegrasi bangsa. Oleh
karena itu, pemerintah bersama-sama civil society, ormas Islam, dan para tokoh
agama diharapkan dapat bergandeng tangan guna menangani polemik sentimen
keagamaan yang sudah melampaui batas apalagi sampai menciderai nilai-nilai
Pancasila.
7

Data dari Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, lihat www.kpujakarta.go.id

7

Dari elaborasi di atas, menunjukan bahwa siapapun pemimpin (presiden)
yang berkuasa di era multipartai seperti sekarang ini akan terlihat kesulitan jika
hanya mengandalkan kekuatan satu partai. Karena dengan banyaknya partai, maka
dipastikan tetap harus ada koalisi untuk menstabilkan kondisi politik di parlemen.
Inilah harga yang diharus dibayar jika sistem kepartaian menganut multipartai
terlebih dengan sistem pemilu proporsional yang mengandalkan suara terbanyak.
Karena itu, saran dan rekomendasi penulis untuk demokrasi yang lebih
stabil ke depannya, penyederhanaan partai perlu dilakukan, tentunya dengan tidak
menghambat proses demokratisasi seperti zaman Orde Baru dahulu. Menurut
penulis 5 partai adalah angka yang sesuai untuk mencapai demokrasi dan politik
pemerintahan yang lebih stabil. Lima partai tersebut meliputi: 2 partai nasionalis,
1 partai Islam berbasis massa islam NU, 1 partai berbasis massa Islam
Muhammadiyah, dan 1 partai berasas Islam.
Dalam konteks negara Pancasila, sirkulasi kekuasaan yang berputar di
masa Reformasi sudah berjalan dengan semestinya karena berlangsung secara
teratur dan demokratis. Jadi, pemilu dan pilkada yang ada di masa Reformasi
sudah sesuai dengan demokrasi politik. Artinya, rakyat sebagai pemegang
kedaulatan utama sudah diberi ruang kebebasan yang luas untuk mengekspresikan
sikap politiknya dan memilih pemimpin yang dikehendaki sesuai dengan
aspirasinya masing-masing. Tinggal bagaimana strategi presiden (eksekutif)
mengkonsolidasikan dan menstabilkan kekuatan politik di parlemen (legislatif),
sehingga proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan dapat efektif

8

dan efisien melalui mekanisme musyawarah mufakat, yang pada akhirnya
pembangunan dapat berjalan stabil.
Selain itu, dalam hal stabilitas keamanan di paruh Pemerintahan JokowiJK relatif kondusif. Hanya ada beberapa peristiwa yang sempat membuat
mencekam pemerintahan. Seperti adanya aksi massa bela Islam oleh segelintir
masyarakat dan kelompok Islam yang dipicu oleh pernyataan Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok terkait Surat Al-Maidah ayat 51. Peristiwa ini muncul di kala
proses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 tengah berjalan. Kemudian, adanya
aksi teror bom di beberapa tempat yang sempat membuat riuh situasi. Namun,
gangguan-gangguan kemanan itu dengan cepat dan taktis dapat diantisipasi oleh
pihak aparat keamanan, baik itu kepolisian maupun TNI. Hubungan Presiden
dengan TNI dan Polri pun relatif solid di dua tahun setengah pemerintahan
berjalan, sehingga membuat erat koordinasi di antar keduanya, terutama ketika
ada ancaman keamanan.
B. Demokrasi Ekonomi dalam Bingkai Pancasila
Ide mengenai demokrasi ekonomi hampir sama dengan demokrasi politik.
Keduanya mesti bertumpu pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Bahkan Bung Hatta pernah mengingatkan, “Demokrasi politik saja tidak dapat
melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus

9

pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka,
persamaan dan persaudaraan belum ada.”8
Sebagaimana ide demokrasi politik, demokrasi ekonomi juga didasarkan
pada pengalaman buruk peradaban manusia masa lalu ketika kediktatoran
penguasa mengekploitasi kehidupan ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya. Pada
saat itu, raja-raja tidak hanya berkuasa penuh secara politik dan juga militer tetapi
juga ekonomi. Berbagai macam kekayaan alam, tanah, beserta sumber daya
lainnya dimonopoli oleh negara.9
Dalam kerangka Pancasila, Yudi Latif di dalam bukunya Revolusi
Pancasila mengemukakan tujuan revolusi pancasila yang salah satunya adalah
revolusi ekonomi. Di dalamnya disebutkan bahwa revolusi ekonomi bertujuan
untuk penghapusan sistem ekonomi kapitalistik-kolonialistik, menjadi sistem
ekonomi yang merdeka, berkeadilan, dan berkemakmuran. Ini bermakna bahwa
tujuan revolusi pancasila sebagai emansipasi kemanusiaan harus sejalan dengan
tujuan kemerdekaan yang terkandung dalam alinea kedua Pembukaan UUD NKRI
1945, yakni mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (material dan spiritual),
berlandaskan nilai-nilai Pancasila.10
Lebih jauh, gagasan revolusi pancasila yang disusun Yudi Latif terdiri atas
tiga basis: superstruktur mental-kultural, basis material, dan agensi politikal.
8

Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Jakarta: Panji Masyarakat, 1960.
Jimly Asshiddiqie, “Memperkenalkan Gagasan Konstitusi Ekonomi“, dipresentasikan di
Universitas Trisakti, Jakarta, 12 Juli. Diakses dari http://www.jimly.com
10
Yudi Latif, Revolusi Pancasila , Jakarta: Mizan, 2015, hlm. 65.

9

10

Dimensi demokrasi ekonomi tertuang di dalam basis material yang diarahkan
untuk

menciptakan

perekonomian

merdeka

yang

berkeadilan

dan

berkemakmuran; berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong-royong) dan
penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting-yang menguasai
hajat hidup orang banyak, serta atas bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya; seraya memberikan peluang bagi hak pribadi dengan
fungsi sosial.11
Dalam konteks itu, demokrasi ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila tidak sekadar mengacu pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi lebih
dari itu akses terhadap ekonomi harus menyentuh rakyat secara keseluruhan,
sehingga terjadi pemerataan. Bukan yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap
miskin. Tapi semuanya dapat mengakses ekonomi secara berkeadilan dan
berkemakmuran, berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong-royong).
Jika kita melihat realitas cakupan kebijakan ekonomi yang selama ini ada,
maka kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia dominan masih terpusat di
Jawa. Lebih dari setengah orang Indonesia tinggal di Jawa sehingga wajar jika
orang miskin juga sebagian besar menetap di Jawa. Di sisi lain, jika kita melihat
tingkat kemiskinan, sebenarnya program pengentasan kemiskinan harus berfokus
pada daerah-daerah non-Jawa, khususnya Indonesia bagian Timur. Sebagai
gambaran, tingkat kemiskinan di Jawa dan Bali pada September 2014 itu rata-rata
hanya berkisar 10,4 persen atau 15,3 juta orang. Tetapi tingkat kemiskinan di

11

Ibid, hlm. 96.

11

timur Indonesia (Nusa Tenggara, Maluku dan Papua) nyaris mencapai 20 persen,
sekitar 3 juta jiwa.12
Lalu bagaimana dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang dibuat
oleh Pemerintahan Jokowi-JK? Penulis tidak bisa menyimpulkan secara
mendalam mengingat usia pemerintahan baru setengah perjalanan, dan proses
pembangunan masih terus berjalan. Namun, berdasarkan penelusuran penulis dari
laporan media massa, hingga awal 2017, Jokowi telah membuat 15 paket
kebijakan ekonomi yang tujuannya untuk menstabilisasi perekonomian domestik
di tengah tekanan ekonomi global. Kebijakan yang dibuat dalam sudut pandang
pemerintah sebagaimana dilaporkan media, tidak saja berupa stimulus bagi dunia
usaha, tetapi juga langsung kepada rakyat banyak terutama yang berpenghasilan
rendah. 15 paket kebijakan ekonomi ini bila dicermati mencoba untuk
memberikan akses ekonomi yang seluas-luasnya bagi rakyat banyak di berbagai
daerah di Indonesia. Terutama bagi akses penduduk di luar Jawa. Yang terpenting
dari semua itu, bahwa keputusan yang diambil pemerintah melalui proses dan
pertimbangan yang baik sehingga hasilnya diharapkan dapat berkualitas dan
bertumpu pada kepentingan rakyat banyak.

12

Dzulfian Syafrian dan Didik J. Rachbini, Stabilitas Politik dan Demokrasi Ekonomi di
Indonesia,
diakses
pada
14
Maret
2017,
dari
https://dzulfiansyafrian.wordpress.com/2015/08/12/stabilitas-politik-dan-demokrasi-ekonomi-diindonesia/

12

III. Kesimpulan
Di awal kekuasaan Pemerintahan Jokowi-JK, kondisi politik nasional,
tepatnya di parlemen cenderung belum stabil. Hal itu terlihat, dari adanya
kegaduhan politik di DPR sehingga pemerintah kerap mengalami kesulitan di
dalam membuat kebijakan-kebijakan yang efektif di lingkar eksekutif. Namun
setelah Presiden Jokowi intens melakukan komunikasi politik dengan partai yang
berada di barisan oposisi, kekuatan politik di DPR kemudian berhasil dikuasai
oleh partai koalisi pendukung pemerintah. Stabilitas politik saat ini terlihat mulai
kondusif dan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak menghadapi
pertentangan yang tajam. Selain itu, pilkada yang sudah digelar secara serentak
menunjukan bahwa demokrasi politik relatif berjalan baik dan partisipasi politik
juga terlihat relatif mengalami kenaikan. Ini menunjukan adanya kesesuaian
dengan amanat Pancasila, terutama sila keempat. Masalah keamanan nasional pun
relatif terkendali dengan adanya koordinasi yang erat di antara penegak hukum,
walaupun ada riak-riak kecil yang muncul.
Dari sisi pembangunan perekonomian, khususnya bidang infrastruktur, di
masa Pemerintahan Jokowi-JK masih terus berjalan, sehingga terlalu dini bila
penulis memberi penilaian secara dalam. Namun, kita semua berharap
perekonomian yang berkeadilan, berlandaskan gotong-royong, dan pemerataan
diharapkan dapat tercapai. Sehingga demokrasi ekonomi yang diamanatkan
konstitusi dan Pancasila dapat benar-benar terpenuhi, paling tidak sudah on the
right track.

13

Terakhir, dapat disimpulkan bahwa relasi stabilitas politik-keamanan dan
pembangunan ekonomi sesungguhnya tak dapat dipisahkan. Bila stabilitas politikkeamanan tercipta, maka pembangunan ekonomi akan bisa terselenggara dengan
baik pula. Yang menjadi tantangan ke depan adalah terkait sistem multipartai. Jika
ke depannya kita masih menganut sistem tersebut, kondisi politik bangsa relatif
sulit berjalan dengan baik terlebih jika pemimpin nasional tidak bisa menjaga
hubungan baik dan melakukan komunikasi politik antar partai. Maka dari itu, ke
depannya penyederhanaan partai diperlukan guna menghasilkan pemerintahan
yang stabil, namun hal itu harus dilakukan dalam koridor yang demokratis.

14

Daftar Pustaka
Asshiddiqie,

Jimly,“Memperkenalkan

Gagasan

Konstitusi

Ekonomi“,

dipresentasikan di Universitas Trisakti, diakses dari www.jimly.com
Dahl, Robert A., On Democracy, USA: Yale University Press, 1989.
Gaffar, Afan, Javanese Voters: A Case of Election under a Hegemonic Party
System, Yogyakarta: UGM Press, 1992.

Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Jakarta: Panji Masyarakat, 1960.
Huntington, Samuel P., Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta: Grafiti Pers,
1995.
Latif, Yudi, Revolusi Pancasila , Jakarta: Mizan, 2015.
Syafrian, Dzulfian dan Didik J. Rachbini, Stabilitas Politik dan Demokrasi
Ekonomi di Indonesia, diakses dari https://dzulfiansyafrian.wordpress.com

www.kpujakarta.go.id

15