T1 712013005 Full text

Kajian Kritis dari Perspektif Teori Kurikulum dan Disabilitas terhadap Isi dan
Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama Kristen bagi Anak dengan Tantangan
Mental di Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga

Oleh
Yurischa Auxiliadora Makoni
712013005

TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Teologi (S.Si Teol)

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017

Daftar Isi
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i
Abstrak ................................................................................................................................................. iii

1.

Pendahuluan .................................................................................................................................. 1
1.1.

Latar Belakang ...................................................................................................................... 1

1.2.

Identifikasi Masalah ............................................................................................................. 3

1.3.

Pembatasan Masalah ............................................................................................................ 3

1.4.

Pertanyaan Penelitian ........................................................................................................... 4

1.5.


Tujuan Penelitian .................................................................................................................. 4

1.6.

Manfaat Penelitian ................................................................................................................ 4

1.7.

Metode.................................................................................................................................... 4

1.8.

Sistematika Penulisan ........................................................................................................... 6

2. Perspektif Teori Kurikulum dan Disabilitas Terhadap Kurikulum PAK bagi Anak dengan
Tantangan Mental di Yayasan Sosial Elisabeth ................................................................................. 7

3.


2.1.

Pengertian Kurikulum.......................................................................................................... 7

2.2.

Muatan Kurikulum ............................................................................................................... 9

2.3.

Tantangan Mental (Pemahaman dasar tentang Insan dengan Tantangan mental) ..... 12

2.4.

Kurikulum PAK bagi Anak dengan Tantangan Mental dari Perspektif Disabilitas.... 15

Hasil Penelitian Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth .............................................. 17
3.1.

Tinjauan Historis Yayasan Sosial Elisabeth ..................................................................... 17


3.2.

Kurikulum PAK bagi Anak dengan Tantangan Mental di Yayasan Sosial Elisabeth . 20

3.3.

Tujuan PAK di Yayasan Sosial Elisabeth......................................................................... 20

3.4.

Isi Kurikulum dan Proses Pelaksanaan Kurikulum PAK .............................................. 21

3.5.

Evaluasi Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth .................................................. 22

4. Kajian Kritis dari Perspektif Teori Kurikulum Disabilitas Terhadap Isi dan Pelaksanaan
Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga ................................................................... 24


5.

4.1.

Tujuan Kurikulum PAK menurut Teori Kurikulum dalam Perspektif Disabilitas ..... 24

4.2.

Isi Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth ............................................................. 25

4.3.

Proses Pelaksanaan Kurikulum PAK dari Perspektif Disabilitas .................................. 27

4.4.

Evaluasi Kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth dalam Perspektif Disabilitas . 29

Penutup ........................................................................................................................................ 30
5.1.


Kesimpulan .......................................................................................................................... 30

5.2.

Saran .................................................................................................................................... 30

Daftar Pustaka .................................................................................................................................... 33

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas kasih dan
penyertaanNya penulis dimampukan untuk menyelesaikan kewajiban belajar sebagai
Mahasiswa Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) sampai pada
penyelesaian Tugas Akhir dengan baik guna memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar
Sarjana Sains Teologi (S.Si Teol).
Penulis menyadari bahwa semua tugas dan tanggungjawab sebagai Mahasiswa Teologi
tidak akan dilalui dengan baik hingga saat ini tanpa berkat kasih kemurahan dan pertolongan
dari Tuhan Yesus Kristus. Banyak hal yang penulis alami selama menjalani proses tersebut,
susah, senang, canda dan tawa silih berganti terjadi dalam kehidupan penulis namun penulis

percaya bahwa rancangan Tuhan akan indah pada waktuNya. Proses yang dialami penulis
mengajarkan kepada penulis bahwa hasil yang baik membutuhkan kerja keras, kedisiplinan
dan ketekunan. Tugas akhir ini juga tidak dapat diselesaikan menjadi sebuah karya ilmiah
tanpa adanya dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Pdt. Yusak B. Setyawan, MATS, Ph.D selaku pembimbing 1 yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membimbing penulis. Dengan bimbingan
beliau, penulis dapat mengungkapkan ide-ide dalam sebuah karya tulis. Penulis
mengucap syukur dan berterimakasih karena beliau senantiasa memberikan kritik,
saran, hingga motivasi yang memampukan penulis menyelesaikan tugas akhir dengan
baik.
2. Ibu Feriningsih P. Hagni, M.Th selaku pembimbing 2 yang telah bersedia membimbing
penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. Beliau meminjamkan buku-buku dan
menunjukkan sumber-sumber yang berkaitan dengan PAK.
3. Seluruh dosen Fakultas Teologi UKSW yang telah membagikan ilmu pengetahuan
kepada penulis selama empat tahun masa perkuliahan. Penulis bersyukur karena
memiliki kesempatan untuk belajar dari dosen-dosen yang luar biasa di Fakultas
Teologi UKSW.
4. Keluarga yang terkasih papa Viktor Makoni, mama Festi Makoni Dimu, opa Petrus
Makoni, oma Rosalina Makoni dan kedua adik tersayang Vito dan Aurel. Penulis

bersyukur karena mereka senantiasa memberikan dukungan baik dari segi materi
maupun doa dan kasih sayang. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh keluarga
i

besar yang terus mendukung dan mendengarkan curahan hati dari penulis selama
menyelesaikan tugas akhir.
5. Seluruh pengurus Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga yang telah bersedia berbagi
pengetahuan dan pengalaman kepada penulis untuk menunjang penelitian tugas akhir.
6. Sahabat-sahabat terkasih Tirsa, Kiki, Wasti, Alti, Dhavid, Yunus dan kekasih hati Juan
yang selalu setia dan tidak kenal lelah untuk memberikan ide-ide, dukungan dalam doa
dan semangat sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini.
7. Saudara-saudara seperjuangan angkatan 2013 Fakultas Teologi UKSW. Penulis
bersyukur untuk kebersamaan dan kekeluargaan baik dalam suka dan duka. Penulis
percaya bahwa bukan tanpa suatu alasan ketika Tuhan mempertemukan kami di
angkatan 2013.
Akhir kata, penulis mengucap syukur kepada Tuhan karena Tuhan telah menempatkan
orang-orang terbaik untuk membantu penulis dalam menyelesaikan proses pembelajaran dan
penulisan tugas akhir hingga penulis mampu menyelesaikan tugas dan tanggungjawab di
ranah akademik dengan sangat baik. Tugas akhir ini diharapkan bukan sebagai akhir dari
perjalanan pembelajaran penulis melainkan awal menuju tahap pembelajaran yang

baru.Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Salatiga, 11 September 2017

Yurischa Auxiliadora Makoni

ii

Abstrak

Anak dengan tantangan mental yang beragama Kristen berhak mendapatkan Pendidikan
Agama Kristen yang menjawab pergumulan dan kebutuhan mereka. Yayasan sosial
merupakan salah satu lembaga sosial yang memiliki kewajiban untuk mendidik dan
membimbing anak-anak dengan tantangan mental sesuai dengan agamanya masing-masing,
salah satunya Pendidikan Agama Kristen. Maka dari itu kurikulum Pendidikan Agama
Kristen sangat diperlukan sebagai sebuah acuan dasar untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum bukan sekedar mata pelajaran, melainkan segala sesuatu yang telah direncanakan
untuk mengembangkan pemikiran anak dengan tantangan mental berdasarkan pengalaman
hidup mereka, kebutuhan, pergumulan, pengetahuan yang baru dan interaksi sosial dengan
masyarakat. Sayangnya penyususnan kurikulum Pendidikan Agama Kristen oleh Yayasan

Sosial Elisabeth belum berkaitan dengan aspek-aspek kurikulum dan kebutuhan insan dengan
disabilitas. Hal ini terlihat jelas karena tidak adanya buku pedoman bagi para pengasuh
sebagai pendidik yang tidak memiliki latar belakang pendidikan Kristen maupun psikologi.
Tidak tersedianya buku dan keterbatasan sumber daya pendidik mengakibatkan tidak
berkembangnya kurikulum Pendidikan Agama Kristen baik dari segi metode pengajaran,
materi yang tidak variatif dan tidak adanya pembahasan yang berkaitan dengan kebutuhan
nara didik dengan tantangan mental. Aspek-aspek dalam pengembangan kurikulum diabaikan
karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya kurikulum.
Kata Kunci: PAK, Kurikulum, Anak dengan Tantangan Mental, Yayasan Sosial
Elisabeth Salatiga

iii

Kajian Kritis dari Perspektif Teori Kurikulum dan Disabilitas terhadap Isi dan
Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama Kristen bagi Anak dengan Tantangan
Mental di Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga
1.

Pendahuluan


1.1. Latar Belakang
Kehidupan merupakan anugerah terindah yang diberikan Allah. Hal ini menunjukkan
bahwa semua manusia berharga di mata Allah karena manusia diciptakan segambar dan
serupa dengan Allah (Imago Dei). Namun sangat disayangkan ketika manusia dalam
menjalani kehidupannya mulai membangun sebuah standar „kenormalan‟ atau sebuah standar
kesempurnaan sehingga orang-orang yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental,
kognitif atau yang sering disebut sebagai IDD (insan dengan disabilitas) sering diasingkan
dan dikucilkan dalam kehidupan bersama sebagai umat manusia. Anak-anak dengan
tantangan mental adalah salah satu dari begitu banyak IDD yang mengalami perlakuan yang
tidak layak di dalam masyarakat.
Menurut Amin, anak-anak dengan tantangan mental adalah mereka yang kecerdasannya
jelas berada di bawah rata-rata. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang
abstrak, yang sulit-sulit, dan yang berbelit-belit.1 Disamping itu, anak-anak dengan tantangan
mental tidak mampu untuk berinteraksi sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
sehingga mereka membutuhkan pelatihan dan pendidikan khusus untuk bisa mandiri.
Kelompok anak dengan tantangan mental terbagi atas: Idiocy, Imbisil, Debil, Down Syndrom
dan cacat ganda.2
Yayasan Sosial Elisabeth yang berlokasi di daerah Karangalit Kelurahan Dukuh
Salatiga, hadir sebagai salah satu wadah atau tempat untuk mendidik, membimbing dan
mengajarkan anak-anak dengan tantangan mental tentang berbagai pengetahuan yang
berhubungan dengan kebutuhan mereka di masa yang akan datang seperti adanya pengajaran
untuk menulis, membaca, pengajaran tentang agama Kristen, dsb. Pengajaran yang diberikan
setara dengan pemberian materi di taman kanak-kanak dan sekolah luar biasa sehingga dapat
dikatakan bahwa Yayasan Elisabeth merupakan salah satu tempat yang memberikan
pendidikan informal kepada anak-anak dengan tantangan mental.
Di dalam pelaksanaan pendidikan di Yayasan Elisabeth, pendidikan atau pengajaran
agama Kristen menjadi fokus utama yang perlu untuk di ajarkan kepada anak-anak dengan
1

Moh Amin, Ortopedagogik Anak Tunagrahita (Jakarta: Depdikbud Dikti, P2TG, 1995), 11.
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual (Bandung: Mandar Maju, 1989), 35.

2

1

tantangan mental. Ini berarti bahwa sekalipun mereka memiliki tingkat kecerdasan yang
rendah, memiliki tetap hak sebagai umat Kristen untuk mengenal Tuhan. Iman mereka harus
terus terpelihara karena iman adalah pemberian atau anugerah dari Tuhan. 3 Pendidikan
Agama Kristen mengandung tiga unsur yaitu pendidikan, agama, dan Kristen. Pendidikan
tidak selalu berpusat pada pengetahuan akademik melainkan pembentukan karakter,
pewarisan nilai sosial dan budaya, memberikan keterampilan, maupun pengalaman kepada
nara didik. Agama berkaitan dengan penghayatan dan pemaknaan seseorang terhadap
relasinya dengan yang transenden atau yang Maha Kuasa dan pemaknaan tersebut
diaplikasikan dalam cara hidup atau praxis yang sesuai dengan apa yang dimaknai.
Sedangkan kata Kristen menunjukkan bahwa Pendidikan Agama dilakukan oleh persekutuan
iman Kristen sesuai dengan perspektif agama Kristen.4 Hal yang membedakan Pendidikan
Agama Kristen dengan Pendidikan Agama atau pendidikan yang lain adalah nilai Kristen
yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Kristen adalah suatu
usaha untuk mengkomunikasikan Firman Allah melalui pembelajaran yang dilakukan secara
sengaja, terencana dan berkelanjutan tidak hanya diberikan bagi orang-orang dewasa
melainkan pendidikan Agama Kristen perlu ditanamkan sejak dini kepada anak sehingga
anak bisa bertumbuh dalam karakter Kristus.
Pendidikan agama Kristen yang dilakukan harus sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
kebutuhan anak-anak dengan tantangan mental. Di yayasan sosial Elisabeth, para pengasuh
sebagai pendidik hanya menggunakan sebuah kurikulum yang dibuat seadanya oleh yayasan
yaitu hanya sebatas sebuah kurikulum binadiri yang meliputi kemampuan merawat diri,
mengurus diri, menolong diri, komunikasi, dan sosialisasi sehingga peneliti merasa bahwa
perlu adanya kurikulum yang memadai terkhususnya kurikulum PAK agar anak-anak dengan
tantangan mental juga bisa belajar dan bertumbuh dalam karakter Kristus. Sama seperti
bidang pendidikan yang lain, PAK juga membutuhkan sebuah kurikulum. Menurut Wyckoff,
kurikulum adalah pengalaman yang dibimbing menuju kepada pemenuhan tujuan PAK yang
meliputi tindakan dan usaha dalam menjalin relasi dengan sesama. 5 Oleh karena itu,
penyusunan materi dalam kurikulum harus dipertimbangkan dalam beberapa aspek. Menurut
Nasution, ada empat faktor yang perlu dipertimbangkan dalam sebuah kurikulum, antara lain
dasar filosofis, dasar psikologis, dasar sosiologis dan dasar organisator.6

3

Johannes, Abineno, Pokok-Pokok Penting dari Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 3.
Daniel, Nuhamara, Pembimbing PAK Pendidikan Agama Kristen, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 23.
5
D. Campbell Wyckoff, Theory and Design of Christian Education Curriculum (Philadelphia :The Westminster Press,
1960), 27.
6
Nasution, S, Pengembangan Kurikulum (Bandung: Teratai, 1964), 10.

4

2

Melalui tulisan ini, penulis ingin melakukan kajian kritis terhadap isi dan pelaksanaan
kurikulum PAK yang ada di yayasan sosial Elisabeth karena penulis merasa bahwa
kurikulum PAK yang ada di yayasan tersebut belum mampu menjawab kebutuhan dan
pergumulan iman anak-anak dengan tantangan mental. Menurut Hilda Taba, Curriculum is a
plan for learning7 atau kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan yang
bersifat umum dan khusus, dan materinya dipilih dan diorgnanisasikan berdasarkan suatu
pola tertentu untuk kepentingan proses belajar-mengajar. Biasanya dalam suatu kurikulum
sudah termasuk dengan program penilaian hasilnya. Oleh karena itu, penyususnan materi
dalam kurikulum perlu untuk dipertimbangkan secara matang dan memperhatikan aspekaspek yang berkaitan dengan kebutuhan dan pergumulan nara didik. Berdasarkan latar
belakang tersebut penulis menuliskan judul: “Kajian Kritis dari Perspektif

Teori

Kurikulum dan Disabilitas terhadap Isi dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan
Agama Kristen bagi Anak dengan Tantangan Mental di Yayasan Sosial Elisabeth
Salatiga”
1.2. Identifikasi Masalah
Yayasan sosial merupakan salah satu tempat yang memungkinkan anak dengan
tantangan mental untuk mendapatkan PAK karena adanya keterbatasan keluarga dan gereja
dalam pengajaran PAK. Anak-anak dengan tantangan mental perlu untuk mendapatkan PAK
disamping keterampilan untuk bisa mengurus diri sendiri karena PAK dapat membantu
mereka untuk tumbuh di dalam pengenalan akan Kristus. PAK dapat memberikan mereka
penguatan untuk menghadapi berbagai situasi yang ada di sekitar mereka seperti penolakan
dalam masyarakat. Penolakan yang terjadi di dalam masyarakat terjadi karena adanya sebuah
standar kenormalan yang dibangun masyarakat dalam menilai sesama manusia. Dengan
adanya sebuah standar kenormalan dalam masyarakat maka anak dengan tantangan mental
belum bisa diterima untuk berkerjasama dengan orang-orang „normal‟ baik itu dalam dunia
pekerjaan, pendidikan, lingkungan sosial, dan bahkan di dalam gereja. Oleh karena itu, PAK
dibutuhkan oleh anak dengan tantangan mental agar mereka dapat hidup bersama-sama
dengan masyarakat non disabilitas.
1.3. Pembatasan Masalah
Dari masalah yang telah dijelaskan, penulis akan memfokuskan diri kepada masalah
PAK yang didapatkan oleh anak dengan tantangan mental di Yayasan Sosial Elisabeth.
Penulis ingin meninjau kurikulum PAK yang digunakan oleh Yayasan Sosial Elisabeth dan
7

Hilda Taba, Curriculum Development: Theory and Practice (New York: Harcourt, Brace and World, 1962)

3

mengkaji isi dan pelaksanaan kurikulum PAK tersebut berdasarkan perspektif teori
kurikulum dan disabilitas.
1.4. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang ditujukan adalah :
a.

Apa isi kurikulum PAK untuk anak dengan tantangan mental di Yayasan Sosial
Elisabeth ditinjau dari perspektif teori kurikulum dan disabilitas?

b.

Bagaimana pelaksanaan kurikulum PAK untuk anak dengan tantangan mental di
Yayasan Sosial Elisabeth ditinjau dari perspektif teori kurikulum dan disabilitas?

1.5. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian maka tujuan penelitian adalah:
a.

Menganalisa isi kurikulumPAK di Yayasan Sosial Elisabeth dilihat dari
perspektif teori kurikulum dan disabilitas

b.

Melakukan kajian kritis terhadap pelaksanaan kurikulum PAK di Yayasan Sosial
Elisabeth berdasarkan perspektif teori kurikulum dan disabilitas

1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi
masyarakat maupun yayasan-yayasan sosial yang ada di Indonesia khususnya Yayasan Sosial
Elisabeth untuk lebih memperhatikan penerapan kurikulum PAK bagi anak dengan tantangan
mentaldengan mengingat bahwa IDD juga mempunyai hak sama sebagai umat Kristen untuk
bisa bertumbuh dalam karakter Kristus.
1.7. Metode
a.

Pendekatan
Pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif dan observasi lapangan. Alasan peneliti memilih pendekatan tersebut karena
pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang
berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah. Karena orientasinya demikian,
maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa
dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun langsung di lapangan. Oleh sebab itu,
penelitian semacam ini disebut dengan field study (studi lapangan).Metode kualitatif
selalu dimulai dengan beberapa konsep pertanyaan untuk mencari tahu proses yang
terjadi. Penelitian kualitatif bersifat fleksibel, tidak terpaku pada konsep awal yang
direncanakan oleh peneliti. Penelitian kualitatif dapat berubah sesuai dengan keadaan

4

yang terjadi di lapangan.Selain itu, metode kualitatif memiliki perspektif dinamis, yakni
terus berkembang.8
Alasan mendasar metode pendekatan kualitatif dipilih karena data kualitatif
memuat penjelasan mengenai proses yang terjadi sehingga kita dapat memahami alur
secara kronologis, menilai sebab-akibat, dan memperoleh banyak penjelasan. Data
kualitatif sangat terbuka terhadap penemuan yang baru.9
b.

Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan adalah data primer. Data primer adalah data yang

dikumpulkan dari situasi aktual ketika peristiwa terjadi. 10 Cara yang dipilih untuk
mendapatkan data primer yakni melalui observasi dan wawancara secara langsung.
Peneliti menggunakan teknik wawancara karena dengan memberikan pertanyaanpertanyaan secara langsung kepada narasumber maka peneliti dapat menggali lebih
dalam informasi yang hendak didapatkan dari seorang narasumber. Selain itu, teknik
wawancara membantu peneliti untuk membangun relasi yang baik dengan narasumber
agar informasi yang didapat bersifat akurat. Peneliti juga hendak mengumpulkan data
dengan melakukan observasi atau pengamatan langsung tentang bagaimana pengajaran
agama Kristen di Yayasan Sosial Elisabeth. Cara observasi sangat baik untuk dilakukan
karena peneliti dapat memastikan hasil wawancara dengan kenyataan yang terjadi di
lapangan. Selain itu, peneliti juga akan mengumpulkan data melalui tinjauan pustaka
terhadap kurikulum PAK yang digunakan di Yayasan Sosial Elisabeth.
c.

Pengumpulan Data
Peneliti melakukan dua tahap untuk melakukan pengumpulan data. Tahap

pertama adalah melakukan wawancara. Dalam wawancara, pertanyaan yang diajukan
bersifat terbuka dan tidak terstruktur. Hal ini tergantung dari jawaban-jawaban yang
diberikan oleh informan dan pertanyaan dapat disesuaikan dengan kondisi pada saat
wawancara dilakukan. Untuk merekam data, peneliti akan menggunakan catatan kasar.
Tahap kedua adalah analisis kritis terhadap kurikulum yang telah disusun oleh para
pengurus yayasan. Analisis kritis ini dilakukan untuk untuk meninjau kembali apakah
kurikulum yang ada mampu menjawab kebutuhan dan pergumulan anak-anak dengan
tantangan mental.

8

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitan Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), 25-

26.
9

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2009) mengutip Matthew B Miles & A.
Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: U-I Pres, 1992), 284-285.
10
Silalahi, Metode Penelitian Sosial, 289.

5

d.

Informan
Informan yang akan diwawancarai untuk pengumpulan data adalah pengurus

Yayasan Sosial Elisabeth sebagai pembuat kurikulum, para pengasuh untuk mengetahui
sejauh mana pelaksanaan kurikulum PAK telah dilaksanakan dan anak-anak dengan
tantangan mental sebagai nara didik. Melalui pengurus yayasan, para pengasuh dan
anak-anak dengan tantangan mental, peneliti dapat memperoleh informasi mengenai
cara mengajar maupun kurikulum.
1.8. Sistematika Penulisan
Di dalam proses penulisan, karya tulis ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama
merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, identifikasi serta rumusan
masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan. Pada bagian pendahuluan inilah dikemukakan akar permasalahan dan opini awal
penulis yang mendasari penulisan.
Bagian kedua berisi teori-teori yang relevan dengan karya tulis. Teori-teori yang
digunakan adalah teori mengenai kurikulum PAK dan teori mengenai disabilitas khususnya
teori disabilitas bagi anak-anak dengan tantangan mental. Teori tersebut diharapkan mampu
menjelaskan mengenai isi dan pelaksanaan kurikulum PAK bagi anak-anak dengan tantangan
mental. Selain itu, teori-teori tersebut juga diharapkan mampu menjelaskan kebutuhan serta
pengalaman iman Kristen anak-anak dengan tantangan mental.
Bagian ketiga berisi hasil penelitian. Dalam bagian ini akan dilakukan penelitian
terhadap isi dan pelaksanaan kurikulum PAK di Yayasan Sosial Elisabeth Salatiga. Penelitian
akan dilakukan dengan wawancara dan pengumpulan data tertulis. Bagian keempat berisi
kajian terhadap hasil penelitian. Setelah dilakukan penelitian, data yang telah dikumpulkan
akan ditinjau berdasarkan teori yang sudah di paparkan pada bagian kedua.

Isi dan

pelaksanaan kurikulum akan dikaji berdasarkan teori kurikulum PAK dan teori disabilitas
bagi anak-anak dengan tentangan mental.
Bagian kelima yang merupakan penutup berisi kesimpulan dari hasil kajian penelitian
yang akan ditinjau secara kritis dari teori-teori dan saran. Saran akan diberikan kepada
Yayasan Sosial Elisabeth di Salatiga apabila setelah melakukan analisa dari hasil penelitian
terdapat ketidaksesuaian kurikulum PAK yang digunakan dengan teori yang ada serta
kebutuhan iman anak-anak yang mengalami tantangan mental.

6

2.

Perspektif Teori Kurikulum dan Disabilitas Terhadap Kurikulum PAK bagi
Anak dengan Tantangan Mental di Yayasan Sosial Elisabeth

2.1. Pengertian Kurikulum
Pendidikan adalah salah satu alat penting yang dibutuhkan manusia untuk mencapai
makna dan pemenuhan hidup.11 Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia nomor
20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Pendidikan diselenggarakanpada jalur formal, nonformal, dan informal pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan. Jalur pendidikan formal bersifat terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi
sedangkan jalur pendidikan nonformal dan informal yang sering diasosikan sebagai
pendidikan luar sekolah bisa didapatkan melalui berbagai institusi atau kelembagaan
salah satunya yaitu yayasan sosial. Phillips H. Combs mengungkapkan bahwa pendidikan
luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di
luar sistem formal untuk memberikan layanan kepada nara didik dalam rangka mencapai
tujuan belajar.12
Yayasan sosial menjadi salah satu wadah terlaksananya pendidikan luar sekolah
karena pada hakekatnya pendidikan tersebut dapat terlaksana kapan saja dan di mana saja,
asalkan “ada insan yang berkomunikasi secara sadar dan bermakna, baik secara langsung
ataupun dengan perantara medium komunikasi”.13 Suatu pendidikan dapat mencapai tujuan
yang optimal apabila struktur pendidikannya jelas terarah dan terencana. Kurikulum adalah
cara agar pendidikan menjadi sistematis.
Kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga di zaman Yunani kuno yang
berasal dari kata curir dan curere, artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari (start
sampai finish).14 Mengacu pada pemikiran Hilda Taba, dalam bukunya Nasution menuliskan
kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai
anggota yang produktif dalam masyarakatnya. Dalam proses tersebut ada dua subjek yang
terlibat, yakni pendidik dan nara didik. Pendidik memiliki tanggungjawab untuk membawa
Elly Macha, “Disability and Public Issues: Health, Poverty, Education, Gender, and Unemployment”, Doing Theology
from Disability Perspective (Manila: ATESEA, 2011), 95.
12
Soelaiman Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1992), 50.
13
Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, 66.
14
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 3.

11

7

para nara didik pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Pendidik tidak
semata-mata sebagai “pengajar” yang melakukan transfer of knowledge tetapi juga sebagai
“pendidik” yang melakukan transfer of values dan sekaligus sebagai “pembimbing yang
memberikan pengarahan dan menuntun nara didik dalam belajar.15 Kurikulum tidak hanya
meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi, hubungan
sosial antara guru dan murid, metode mengajar, mengevaluasi termasuk kurikulum.16 Selain
itu, kurikulum juga tidak hanya dilaksanakan di dalam kegiatan akademik, melainkan juga
melalui kegiatan-kegiatan non akademik seperti pengabdian masyarakat dan kegiatan yang
berhubungan dengan keterampilan.
Kurikulum dipersiapkan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam
mempersiapkan nara didik dengan kemampuannya menginternalisasi nilai atau hidup sesuai
dengan norma masyarakat dan mampu mengembangkan kemampuan nara didik sesuai
dengan minat dan bakatnya. Kurikulum juga harus bisa menyajikan pengalaman eksistensial
manusia yakni memperkenalkan kebebasan dan kemandirian berpikir, kekuasaan sosial dan
politik, menghargai kebebasan orang lain, dan menerima keberagaman pendapat serta
keberagaman individu di dalam masyarakat tanpa memperhatikan golongan, ras, ataupun
keyakinan.17
Wina Sanjaya yang mengacu pada pemikiran Hamalik menjelaskan bahwa kurikulum
memiliki tiga peranan penting, yaitu: 18 Pertama, peranan konservatif yaitu kurikulum
membantu nara didik untuk memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup
masyarakatnya agar ketika mereka kembali ke masyarakat, mereka dapat menjunjung tinggi
dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut. Kedua, peran kreatif yaitu kurikulum
harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat
yang terus berubah. Kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu
nara didik untuk mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berpartisipasi
aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang terus bergerak maju secara dinamis. Ketiga,
peran kritis dan evaluatif yaitu kurikulum berperan dalan menyeleksi dan mengevaluasi
segala sesuatu yang dianggap bermanfaat bagi kehidupan nara didik.
Oleh karena itu, kurikulum sebagai sebuah rencana belajar membutuhkan perencanaan
yang baik dan tepat sasaran. Kurikulum tidak hanya menyangkut rencana akan tetapi
15

Sadirman, Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 125.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), 5-6.
17
Patrick Slattery, Curriculum Development in the Postmodern Era (New York dan London: Garland Publishing Inc., 1995),
xii.
18
Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 10.

16

8

bagaimana proses pelaksanaan rencana yang melibatkan dua subjek yaitu pendidik sebagai
implementator dan nara didik yang akan menerapkan kurikulum secara konkret dalam
kehidupan mereka. Melalui kurikulum yang tepat sasaran, nara didik mampu produktif di
tengah masyarakatnya.
2.2. Muatan Kurikulum
Kurikulum sebagai suatu sistem tentu mempunyai mempunyai komponen-komponen
yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ralph W.
Tyler mengemukakan empat prinsip dasar yang menjadi inti kajian kurikulum, yaitu: 19
Pertama, rumusan tujuan pendidikan dan tujuan kurikulum yang hendak dicapai. Tujuan yang
telah dirumuskan berfungsi untuk menentukan arah dan corak kegiatan pendidikan dan tujuan
tersebut menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan pendidikan. Kedua, pengalaman
pendidikan dan pengalaman nara didik digunakan dalam proses pendidikan. Proses ini akan
membantu nara didik untuk berkembang karena mereka belajar untuk mengeksplorasi
pengalaman pribadi mereka ke dalam pengetahuan yang baru mereka dapat sehingga
memberi mereka pengalaman yang baru.
Ketiga,

pengalaman

pendidikan

maupun

pengalaman

kehidupan

nara

didik

diorganisasikan secara efektif dengan menggunakan metode yang tepat dalam pengajaran.
Metode yang dipilih harus kreatif agar nara didik mendapat pengalaman pendidikan yang
baru, bukan sekedar menghafal materi yang diberikan dalam proses belajar. Metode perlu
disusun sekreatif dan seinovatif mungkin, bahkan bisa menggunakan kurikulum tersembunyi.
Kurikulum tersembunyi adalah bagian yang tidak secara sengaja diajarkan, misalnya
peraturan untuk menjaga sikap.20 Keempat, melakukan evaluasi untuk kurikulum yang telah
dilaksanakan untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan tujuan awal. Evaluasi terhadap
kurikulum bertujuan untuk memperbaiki dan menyempurnakan program pendidikan untuk
nara didik dan strategi bagaimana program itu harus dilaksanakan.
Keberhasilan pendidikan juga bisa diukur dari hasil empat pilar pengalaman belajar
menurut UNESCO. Empat pilar pendidikan diorientasikan pada pencapaian ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik, yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat
(learning to do), belajar menjadi seseorang (learning to be), dan belajar hidup bersama

19
20

Ralph W. Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (London: The University of Chicago Press, 2013), vii.
A. V. Kelly, The Curriculum Theory and Practice (London: SAGE Publications, 2004), 6.

9

(learning to live together). 21 Keempat pilar ini dapat membantu pendidik untuk bisa
mengembangkan proses belajar mengajar yang lebih kondusif dan komunikatif karena
naradidik diajak untuk bisa mengeksplor materi yang didapatkan dalam kelas dalam proses
interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Nasution, dalam melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum
terdapat empat asas pokok, yaitu asas filosofis, asas psikologis, asas sosiologis, dan asas
organisatoris. 22 Pertama, asas filosofis berkaitan dengan tujuan pendidikan yang sesuai
dengan filsafat negara. Asas filosofis yang digunakan di Indonesia adalah Pancasila. Maka
nara didik perlu didik menjadi manusia yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Pendidikan
tidak selalu mengajarkan hal-hal akademik saja melainkan juga nilai-nilai kehidupan. Filsafat
sebagai sebuah pandangan hidup agar tujuan pendidikan dan pengajaran bisa tercapai untuk
menghasilkan nara didik yang menjadi manusia beriman, berilmu, selaras dan seimbang.
Penerapan asas filosofis bisa diterapkan melalui metode-metode kreatif seperti menempelkan
tulisan-tulisan yang berisi tentang nilai-nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat di
tembok atau dinding.
Kedua, asas psikologis dalam kurikulum mempertimbangkan faktor anak yakni
psikologi anak (perkembangan anak) dan psikologi belajar (proses belajar anak). Kebutuhan
anak juga harus diperhatikan seperti kebutuhan jasmaniah, kebutuhan pribadi, kebutuhan
sosial, dan beragam kebutuhan lain. Sebagai manusia yang berkembang, anak juga perlu
diperhatikan perkembangannya seperti perkembangan intelektual dan perkembangan sosialemosional. Psikologi perkembangan anak diperlukan terutama dalam menetapkan isi
kurikulum yang diberikan kepada anak agar tingkat keluasan dan kedalaman bahan pelajaran
sesuai dengan taraf perkembangan anak.23
Ketiga, asas sosiologis meliputi keadaan individu sebagai makhluk sosial. Anak tidak
hidup sendiri terisolasi dari manusia lainnya, ia selalu hidup dalam suatu masyarakat. Anak
perlu memahami tugas dan tanggungjawabnya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai
dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat baik dari segi budaya
maupun kemajuan iptek. Perkembangan yang terjadi dalam masyarakat menuntut kurikulum
untuk ikut berkembang. Kurikulum juga harus mampu menggunakan masyarakat sebagai
bentuk pembelajaran. Keempat, asas organisatoris mempertimbangkan bentuk dan organisasi
21

Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), 116.
22
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, 11-14.
23
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Bandung: Sinar Baru, 1989), 1-15.

10

bahan pelajaran yang disajikan. Bahan ajar yang sering digunakan dalam proses belajar
mengajar ialah buku pegangan. Akan tetapi pendidik juga bisa menggunakan bahan ajar lain
yang menunjang proses pendidikan.
Keempat asas yang dikemukakan oleh Nasution masih sangat bersifat umum bagi
pengembangan kurikulum di bangku pendidikan karena asas-asas tersebut tidak didasarkan
pada jenjang usia pendidikan. Dalam mengembangkan kurikulum bagi anak khsusnya anak
dengan tantangan mental maka pemahaman tentang masa perkembangan anak sangat
diperlukan. Sanjaya mengemukakan pentingnya pemahaman tentang masa perkembangan
disebabkan pertama, setiap anak didik memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu.
Pada setiap tahapan itu anak memiliki karakteristik dan tugas-tugas perkembangan tertentu.
Kedua, nara didik yang sedang berada pada masa perkembangan merupakan periode yang
sangat menentukan untuk keberhasilan dan kesuksesan hidup mereka. Ketiga, pemahaman
akan perkembangan anak akan memudahkan dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan.24
Kurikulum yang dibuat bagi nara didik harus di terapkan terlebih dahulu dalam kehidupan
pendidik. Artinya bahwa nara didik tidak saja sebagai pengajar tetapi juga menjadi model
bagi nara didik dalam berperilaku. Pendidik sebagai model yang baik akan memberikan
konsep berpikir kepada nara didik.
Jadi, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa konsep dari seorang anak terhadap sesuatu
dapat mempengaruhi pengertiannya sekaligus tingkah lakunya. Anak sebagai subjek belajar
harus mampu menghayati dan melakukan apa yang dipahaminya dalam proses belajar. Dalam
proses pendidikan yang menyangkut dalam hal belajar danmengajar pasti harus tepat sasaran
dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan
asas-asas dari kurikulum yang dijadikan sebagai landasan dalam pengembangannya sehingga
dengan begitu akan membantu kemampuan anak-anak dalam hal pengertian mereka untuk
menentukkan jenis penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan anak dari hasil belajar
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Beberapa bentuk kurikulum yang ditawarkan adalah subject curriculum, activity
curriculum, experience curriculum, life curriculum dan core curriculum. Subject curriculum
yaitu penyajian mata pelajaran secara terpisah sesuai dengan minat dan kebutuhan nara didik
dan hanya menggunakan satu bahan ajar. Activity curriculum yaitu kurikulum yang berpusat
pada kegiatan. Materi yang diberikan kepada nara didik dalam bentuk sebuah proyek yang
harus diselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan pendidik. Nara didik dilatih untuk bisa
24

Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 28.

11

memecahkan masalah dan menyelesaikan sendiri tugas-tugasnya. Experience curriculum
yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman nara didik. Life curriculum yaitu kurikulum
yang berlandaskan pada proses sosial dan fungsi kehidupan sehingga kurikulum tersebut
berisi materi-materi pembelajaran yang berhubungan dengan kehidupan nara didik. Core
curriculum yaitu kurikulum yang bertujuan mengembangkan integrasi, melayani kebutuhan
nara didik dan meningkatkan keaktifan belajar serta hubungan antara kehidupan dan belajar.
Kurikulum bukanlah sekedar silabus atau daftar mata pelajaran tetapi keseluruhan
proses pendidikan yang dimulai dari tujuan hingga evaluasi. Penulis memilih core curriculum
yang memperhatikan isi mata pelajaran, mengajak nara didik untuk berpartisipasi aktif,
memasukkan pengalaman hidup nara didik, dan mempertimbangkan keseharian nara didik
karena dalam proses belajar, anak sebagai subjek belajar harus mampu menghayati dan
melakukan apa yang dipahaminya. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan asas-asas
dari kurikulum yang dijadikan sebagai landasan dalam pengembangan kurikulum sehingga
dapat membantu kemampuan anak-anak dalam hal pengertian mereka untuk menentukkan
jenis penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan anak dari hasil belajar untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
2.3. Tantangan Mental (Pemahaman dasar tentang Insan dengan Tantangan mental)
Mental bagi manusia merupakan pelengkap kehidupan yang paling „sempurna‟ sebab
kecerdasan adalah satu-satunya pembenar yang menjadi pembeda antara manusia dengan
makhluk lain yang ada di muka bumi ini. Sepanjang waktu selama manusia beraktivitas, ia
akan melibatkan mental sebagai pengendali motorik tubuh dalam beraktivitas. Oleh sebab itu,
kelainan atau gangguan alat sensoris ini pada seseorang berarti ia telah kehilangan sebagian
besar kemampuan untuk mengabstraksi peristiwa yang ada di lingkungan secara akurat.
Istilah tantangan mental dalam beberapa referensi disebut pula dengan berkelainan mental
subnormal, terbelakang mental, lemah ingatan, febleminded, tunagrahita.25 Defenisi tantangan
mental yang dikemukakan oleh The American Association on Mental Deficiency yang
mengacu kepada pendapat Grossman menyatakan bahwa tantangan mental merupakan
keadaan fungsi intelektual umum di bawah rata-rata, dan terjadi bersamaan dengan
kekurangan pada perilaku adaptif.26

25
26

Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), 87-88.
James Payne & James Patton, Mental Retardation (Colombus: Charles Merrill Publishing Company, 1981), 35.

12

Menurut data dari International Labour Organization (ILO) pada tahun 2010, insan
dengan tantangan mental di Indonesia berjumlah sekitar 1.389.614.27 Payne & Patton dalam
bukunya menyatakan bahwa tantangan mental terjadi karena dua faktor yaitu faktor biologi
dan faktor psikososial.28 Faktor biologi yaitu adanya kelainan kromosom pada aspek jumlah
maupun bentuknya. Kelainan pada jumlah kromosom menyebabkan terjadinya down
syndrom pada anak. Selain itu, terjadinya infeksi yang terjadi pada masa prenatal dapat
berakibat rusaknya jaringan otak, adanya gangguan metabolisme dan kekurangan kelenjar
getah bening pada ibu hamil. Sedangkan faktor psikososial yaitu tidak terpenuhinya
kebutuhan psikososial awal-awal perkembangan seperti kurangnya penerimaan orang tua
terhadap kondisi anak, trauma, anti sosial karena adanya tekanan dan stigma negatif
masyarakat. Anak dengan tantangan mental bukan sekedar kehilangan fungsi bagian
tubuhnya tetapi juga merasakan diskriminasi dalam kehidupan sosial. Adanya stigma negatif
masyarakat sehingga mereka kesulitan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, kesulitan
dalam menggunakan fasilitas umum yang diciptakan oleh dan untuk orang non disabilitas,
sulitnya mendapatkan pekerjaan, dan kesulitan mendapatkan kesetaraan dengan orang non
disabilitas.
Secara psikologis, anak dengan tantangan mental diklasifikasikan menurut indeks
mental inteligensinya yaitu IQ 0-25 dikategorikan idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecil, dan
IQ 50-75 kategori debil dan moron. Melalui indeks inteligensinya, anak dengan tantangan
mental dapat dikelompokan menjadi anak dengan tantangan mental mampu didik, anak
dengan tantangan mental mampu latih dan anak dengan tantangan mental mampu rawat.29
Anak dengan tantangan mental mampu didik memiliki kemampuan untuk mengikuti
program sekolah biasa walaupun hasilnya tidak maksimal. Kemampuan yang dapat
dikembangkan dari anak dengan tantangan mental mampu didik yaitu membaca, menulis,
mengeja, berhitung. Selain itu, mereka juga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan mandiri

untuk mengerjakan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Mereka juga

mampu dilatih untuk memiliki keterampilan untuk kepentingan kerja di kemudian hari.
Namun, anak retardasi memiliki kesulitan untuk mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa.
Hal ini terjadi karena kurikulum yang digunakan di sekolah luar biasa bersifat umum tanpa
memperhatikan klasifikasi insan dengan disabilitas. Nara didik dengan dengan tantangan

International Labour Organization, “Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia” yang diunduh dari
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_233426.pdf
pada 16 Maret 2017 pukul 21.00, 2.
28
Payne, Patton, Mental Retardation, 62&91.
29
Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, 90.
27

13

mental hanya mampu berpikir secara konkret, mereka kesulitan berpikir secara abstrak. Anak
dengan tantangan mental mampu latih bisa diberdayakan untuk mengurus diri sendiri,
menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan melakukan fungsi sosial kemasyarakatan
menurut kemampuannya. Anak dengan tantangan mental mampu rawat adalah mereka yang
memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau
melakukan sosialisasi. Ia membutuhkan perawatan sepenuhnya dari orang lain sepanjang
hidupnya.
Di Indonesia anak dengan tantangan mental ataupun insan dengan disabilitas sering
disebut sebagai penyandang cacat, bahkan dalam undang-undang pun disebut sebagai
penyandang cacat. Dalam UU 4/1997 penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat
fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental. Definisi mengenai
insan dengan disabilitas ini secara tidak langsung menunjukkan kuatnya budaya kenormalan
di tengah masyarakat Indonesia. Pertama, adanya stigma negatif dalam masyarakat terhadap
anak dengan tantangan mental. Kedua, penolakan dan diskriminasi terhadap anak dengan
tantangan mental. Ketiga, marjinalisasi terhadap anak dengan tantangan mental dalam akses
pelayanan publik. Keempat, marjinalisasi dan diskriminasi anak dengan tantangan mental
dalam penafsiran teks-teks.
Agama pun seakan-akan menambah kesulitan bagi anak-anak dengan tantangan mental,
termasuk agama Kristen Protestan. Demi perkembangan teologi disabilitas, terdapat beberapa
tantangan dalam berteologi disabilitas. 30 Pertama, tantangan mental sebagai sebuah upah
dosa. Di Indonesia, anak dengan tantangan mental dianggap sebagai orang berdosa atau anak
dari pendosa. Kedua, anak dengan tantangan mental dianggap sebagai sebuah penyakit yang
harus disembuhkan. Menurut Kirk, mental retarded is not disease but a condition. 31
Tantangan mental tidak bisa disembuhkan atau diobati untuk menjadi manusia yang sehat
secara jasmani. Paradigma masyarakat kerap menganggap bahwa mereka yang tidak dapat
disembuhkan berarti memiliki kekurangan dalam iman. Selain itu, keutuhan hanya milik
mereka yang non-disabilitas.
Ketiga, tantangan mental sebagai sebuah takdir. Takdir adalah sesuatu yang ditetapkan
oleh Tuhan sehingga kerap kali Tuhan disalahkan karena ketidakadilan yang Tuhan ciptakan.

Christiani, “Persons with Disabilities in Indonesia”, Doing Theology from Disability Perspective (Manila: ATESEA,
2011), 8.
31
Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, 88.

30

14

Keempat, tantangan mental dikaitkan dengan spiritualitas dan tubuh. Tubuh kerap
dikesampingkan sebab roh yang dianggap lebih penting. Padahal tubuh sama pentingnya
dengan roh sehingga penerimaan terhadap tubuh juga penting. Kelima, rumah untuk semua.
Salah satu rumah yang dapat orang dengan disabilitas merasa aman dan nyaman adalah panti
ataupun yayasan sosial. Di yayasan sosial mereka berkumpul dan saling menerima.
Tantangan berteologi di Indonesia adalah membuat Indonesia sebagai rumah bagi semua.
Bukan hanya penerimaan, tetapi terwujud juga dalam fasilitas yang bisa diakses insan dengan
disabilitas. Mereka membutuhkan dan berhak dicintai dan diterima apa adanya, mendapat
pendidikan, bekerja, menikah, memiliki anak, hidup sesuai dengan hukum negara,
diperbolehkan memilih tempat serta bersama siapa ia akan tinggal, memiliki sahabat dan
teman, beribadah, dan bisa mengekspresikan emosi mereka.32
Yayasan sosial menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi insan dengan
disabilitas karena di tempat tersebut mereka diterima dengan berbagai kondisi dan keadaan
yang ada pada mereka. Dengan tinggal di yayasan sosial ataupun panti, insan dengan
disabilitas diasingkan dari keluarga dan masyarakat mereka. Ini adalah tantangan bagi teologi
untuk mengembangkan lingkungan yang mempromosikan rumah bagi semua orang, di mana
orang mengembangkan komunitas yang dipenuhi cinta, akseptabilitas dan solidaritas. Melalui
ini, dunia bisa menjadi rumah bagi semua orang.33
2.4. Kurikulum PAK bagi Anak dengan Tantangan Mental dari Perspektif Disabilitas
“Kurikulum” dalam pengertian pendidikan agama Kristen dipahami sebagai program
pembelajaran lengkap untuk anak-anak berdasarkan pada Alkitab yang bertujuan untuk
mengerjakan iman dalam hati anak-anak, untuk membawa iman yang baru menjadi nyata
dalam perbuatan.34 Menurut Lois E. Lebar, isi kekristenan tanpa pengalaman adalah hampa
dan pengalamn tanpa isi adalah kebutaan. Isi yang esensial dari pengajaran Kristiani adalah
kebenaran-kebenaran sebagaimana diungkapkan atau diwahyukan oleh Kristus dan dalam
Alkitab melalui bimbingan roh kudus.35
Terdapat lima asas yang bisa menjadi pembimbing dalam melaksanakan PAK. 36
Pertama, Alkitab sebagai pembimbing. Segala sesuatu yang disampaikan dan diajarkan dalam
PAK harus sesuai dengan pengajaran dalam Alkitab. Kedua, memecahkan masalah
32

Tom Tait dan Nicky Genders, Caring for People with Learning Disabilities (London: Arnold, 2002), 16.
Tabita Kartika Christiani, “Persons with Disabilities in Indonesia”, Doing Theology from Disability Perspective (Manila:
ATESEA, 2011), 10
34
Louis Berkhof dan Cornelius Van Til, Foundation of Christian Education, (Surabaya: Momentum Christian Literature,
2012), 6.
35
Lois E. Lebar, “Curriculum, “ in An Introduction to Evangelical Christian Education, (Chicago: Moody, 1964), 89.
36
Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif & Menarik (Yogyakarta: ANDI, 2006), 5.

33

15

kehidupan. Pendidikan yang relevan seharusnya dapat membantu nara didik memecahkan
masalah-masalah yang penting dalam kehidupannya. Isi Alkitab yang disampaikan harus
menyentuh pergumulan nara didik. Ketiga, memberikan perhatian kepada nara didik.
Kebutuhan maupun pengalaman nara didik yang selalu mengalami perubahan sesuai
kondisinya menjadi suatu bimbingan untuk mendesain kurikulum yang sesuai dengan
pengalaman dan kebutuhan mereka. Keempat, gereja dan jemaat. Kegiatan pelayanan jemaat
bagi Tuhan dan sesamamenjadi panggilan utama.Kegiatan pelayanan gereja perlu berfokus
kepada mereka di luar komunitas gereja, mereka yang didiskriminasi dan dimarjinalisasi
dalam kehidupan sosial. Kelima, Injil Yesus Kristus. Injil sebagai pernyataan Allah sekaligus
sebagai kunci untuk memahami makna sejarah dan keberadaan manusia. Di samping itu,
Tuhan Yesus diakui sebagai pusat firman Allah dan alasan keberadaan gereja.
Alkitab yang did