Patofisiologi Alergi Makanan

PATOFISIOLOGI ALERGI MAKANAN
Zuhrial Zubir, Herlina M.Sitorus
Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi
Fakultas Kedokteran
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RS.H.Adam Malik Medan

LATAR BELAKANG
Makanan adalah salah satu penyebab alergi yang berbahaya.Tidak semua reaksi
makan yang tidak diinginkan adalah suatu alergi makanan.Klasifikasi dari EAACI ( European
Association of Alergy and Clinical Immunology) membagi reaksi makanan yang tidak
diinginkan menjadi reaksi toksik dan non toksik.Reaksi toksik adalah reaksi iritan yang
ditimbulkan oleh racun dari makanan misalnya daging yang terkontaminasi oleh bakteri,atau
makan yang terkontaminasi oleh pestisida.Reaksi non toksik dapat berupa reaksi imunologis
atau non imunologis.Reaksi non imunologis (intoleransi makanan) seperti reaksi akibat zat
yang terdapat pada makanan seperti histamin pada ikan, tiramin yang terdapat pada keju,atau
pada orang yang defesiensi laktolosa.1
Alergi makanan adalah respons abnormal terhadap makanan yang diperantarai oleh
reaksi alergi imunologis.Sebagian besar keluhan mengenai makanan adalah intoleransi
makanan bukan suatu alergi makanan. Alergi makanan dapat bermanisfestasi seperti alergi
yang lain pada satun organ atau berbagai organ target pada kulit seperti urtikaria,angioedema

,dermatitis kontak,pada saluran napas rinitis;asma saluran cerna nyeri abdomen ,muntah
pada kardiovaskuler syok anafilaktik.Alergi makanan pada orang dewasa dapat merupakan
alergi yang sudah terjadi saat anak-anak atau reaksi yang memang baru terjadi pada usia
dewasa.Secara umum patofisiologi alergi makanan dapat diperantarai IgE maupun tidak
diperantarai oleh IgE.1

MEKANISME
Saluran pencernaan, yang merupakan organ imunologik terbesar dalam tubuh yang
terus-menerus terkena serangkaian besar paparan

antigen eksogen termasuk bakteri

komensal dan protein tertelan. Lapisan epitel tunggal memisahkan beban antigenik ini dari
limfosit, antigen presenting sel (APC), sel-sel stroma dan sel-sel kekebalan lainnya di

1
Universitas Sumatera Utara

lamina propria, terdiri dari mukosa terkait limfoid jaringan (MALT). Dalam MALT ,
populasi unik sel dendritik (DC) berinteraksi dengan diet alergen , dan menentukan nasib

respon adaptif yang dihasilkan, yaitu imunitas terhadap toleransi.2
Toleransi secara oral tergantung dari utuhnya jaringan dan aktivitas barier sistem
gastrointesitinal. Barier ini meliputi sel epitel yang bergabung dengan ikatan yang kuat dan
lapisan mukus yang tebal seperti lumen dan enzym yang bersifat brush border, garam
empedu dan pH yang tinggi dimana kombinasi keadaan ini akan menurunkan aktivitas
antigen secara imunogenic. Kemudian sistem imunologi inate

seperti sel NK,Lekosit,

makrofag,sel epitel,dan toll like receptor dan sistem imun adaptatif intra epitel dan lymposit
lamina propria,peyer patches,sIgA dan sitokin.3
Faktor host

juga

mempengaruhi alergi makanan berbagai faktor

host

dapat


mempengaruhi perkembangan alergi makanan. Satu studi kembar menemukan secara
signifikan lebih tinggi tingkat kesesuaian dari alergi kacang di antara kembar monozigot
(64%) dibandingkan dengan kembar dizigot (7%), hal ini menunjukkan pengaruh genetik
yang kuat. Proses perkembangan saluran gastrointestinal juga bisa menjadi faktor penyebab,
dalam suatu studi epidemiologi telah menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari alergi
makanan pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa.4
Sebaliknya, studi

berbasis

populasi

menunjukkan

bahwa

pengenalan awal

makanan dapat melindungi dari alergi makanan. Di Israel, di mana bayi diberi makan camilan

kacang (Bamba) mulai usia dini, ada kejadian 10 kali lipat lebih rendah alergi kacang
dibandingkan dengan anak-anak Yahudi di sekolah Ibrani di London, di mana produk kacang
tidak diperkenalkan sampai anak-anak lebih tua.Dua studi terbaru menunjukkan bahwa
peran waktu paparan alergen mungkin berbeda untuk makanan yang berbeda. Awal
paparan telur, dengan 4 sampai 6 bulan usia, tampaknya pelindung untuk alergi telur.
Sebaliknya paparan susu

antara 4 dan 6 bulan usia dikaitkan dengan risiko tertinggi

mengembangkan alergi susu. Sementara penelitian berbasis kuesioner ini, menunjukkan
bahwa studi pada satu alergen makanan mungkin tidak berlaku untuk makanan

lain.

Perbedaan mungkin juga karena variasi dalam bentuk makanan diperkenalkan (yaitu, telur
alami vs telur panggang) atau kuantitas paparan pada setiap periode usia.4
Peningkatan

permeabilitas


usus telah dinyatakan sebagai potensi penyebab

kerusakan toleransi, karena bayi yang alergi makanan ditemukan memiliki peningkatan
permeabilitas dibandingkan dengan anak-anak yang sehat, keadaan ini

diukur melalui

laktulosa kemih / rasio manitol. Gangguan fungsi normal saluran menjadi penghalang karena
perubahan di lambung pH atau komensal bakteri adalah faktor lain yang perlu
2
Universitas Sumatera Utara

dipertimbangkan. Dalam sebuah penelitian terhadap 152 pasien pada pengobatan antasida
untuk dispepsia, peningkatan sensitisasi alergi makanan terlihat pada 25% pasien setelah 3
bulan. Selain itu, pencernaan lambung telah terbukti untuk mengurangi alergenisitas
protein makanan, seperti alergen telur.4
Tambahan dari faktor host dapat memodulasi respons klinis makanan alergi. Dalam
sebuah studi dari reaksi alergi makanan fatal, mayoritas korban telah mendasari asma.
Latihan, konsumsi alkohol, penggunaan obat (yaitu, beta blocker, angiotensin converting
inhibitor enzim, antidepresan trisiklik), dan infeksi bersamaan dapat meningkatkan keparahan

reaksi anafilaksis atau mengurangi khasiat epinefrin.4
Faktor alergen makanan juga mempunyai karakteristik yang

meliputi: (1) berat

molekul yang relatif kecil, umumnya