TAHUN BARU HIJRIYAH TEROBOSAN

TAHUN BARU HIJRIYAH TEROBOSAN
DAKWAH KULTURAL
Oleh : Mu’ammal Hamidy
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia tentukan
bulan itu (berotasi) pada tempat-tempat persinggahannya, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan”. (QS. Yunus 5).
Tahun Hijriyah dibuat berdasarkan perhitungan ‘qamar’ atau bulan. Sesuai dengan
bunyi ayat di atas, tujuannya adalah untuk membuat perhitungan dengan arti yang
lebih luas. Termasuk hitungan adalah evaluasi program dan permasalahan. Kemudian,
tahun ini diberi nama ‘hijriyah’, yang bermakna sangat strategis bagi perjuangan
Islam, karena hijrah itu sendiri yang sekalipun arti harfiyahnya ‘pindah’, namun
mengandung makna pemindahan dari jahili ke islami. Sehingga hijrah berarti
‘perjuangan menegakkan syari’at Islam’ sebagai pemindahan dari tradisi jahili.
Karena memang hijrah Nabi saw ke Madinah itu maksud utamanya adalah
membangun sebuah negara dan masyarakat baru yang Islami, berbeda dengan negara
dan masyarakat yang ada di zaman itu, seperti masyarakat Majusi di Persi dan
masyarakat Kristen di Romawi, serta masyarakat jahili di Makah.
Masyarakat baru ini ditandai dengan pengubahan nama pusat pemerintahan ‘Yatsrib’
menjadi ‘Madinah’, yang konon memberi arak ke mana negara dan masyarakat baru
ini hendak dibawa. Madinah sendiri asal artinya adalah Perkumpulan perumahan yang
jumlahnya lebih besar daripada perumahan di pedesaan, atau bisa disebut kota besar.

Sering pula orang menyebutkan Madinah, artinya ‘modern’. Kini, dikenal dengan
sipil. Sehingga masyarakat madani yang dicanangkan banyak orang sekarang disebut
‘sivil society’, yaitu masyarakat yang berdasa hokum. Sedang hokum yang dimaksud
adalah hokum Allah. Dan memang kita tahu, bahwa ayat-ayat hokum dan hadis-hadis
hokum pada umumnya turun di Madinah, yang selanjutnya dikenal dengan ‘surat
madaniyah’ atau ‘ayat madaniyah’. Tidak sama dengan masyarakat Romawi dan Persi
yang dikendalikan oleh raja, yang cenderung ‘raja itulah sumber hukum’, yang
cenderung otoriter, sehingga sering terdengan ungkapan ‘king can’t do no wrong’
(=raja tidak pernah bersalah). Juga tidak sama dengan masyarakat jahili di Makah
yang dikendalikan sekelompok elit yang otoriter pula.
Pembangunan masyarakat baru di Madinah ini merupakan awal kebangkitan Islam,
dengan berbagai trobosan, semisal mengadakan perjanjian dengan masyarakat
sekelilingnya yang berlainan agama, mengadakan persaudaraan seiman, mengadakan
perubahan hukum secara radikal, seperti larangan berzina dan pembatalan adopsi
anak, di samping ada yang secara evolusional seperti larangan minum khomer dan
riba, dan juga mengakui keabsahan hukum yang telah ada. Semuanya terarah pada
syari’at Allah. Karena tugas utama seorang rasul adalah menegakkan syari’at Allah :
“Siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah berarti kafir-zhalimfasiq” (QS. Al-Maidah 44, 45, 47)
Kebangkitan itu tidak mandek, sekalipun syari’at telah sempurna dan komplit
meliputi berbagai sector kehidupan. Kerena tidak mustahil agama ini, setelah

ditinggalkan oleh Rasul, dikotori oleh pengikutnya dengan berbagai bid’ah dan
khurafat serta pembenaran atas pelanggaran hukum baik dengan sadar ataupun tidak
sadar. Bahkan besar pula kemungkinan di antara pemeluknya itu tidak mengerti
tentang Islam, walaupun ber KTP Islam dsb. Kemungkinan-kemungkinan ini sudah

diprediksi oleh Rasulullah Saw sendiri, misalnya dalam salah satu firasatnya beliau
menyatakan :
Artinya : “Sesungguhnya hanya ada dua (pedoman), yaitu : al-Kalam dan alHadyu (perkataan dan petunjuk), sedang sebaik-baik perkataan adalah firman Allah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Hanya saja kalian nanti akan
mengada-ada dengan sesuatu yang baru dan kepada kalian akan dibuat hal-hal baru,
padahal setiap yang baru itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka. (HR. Muslim).
Ibnu ‘Abbas r.a. salah seorang sahabat Nabi Saw yang sejak kecil sudah cerdas dan
bisa mengamati perilaku Nabi, karena kedekatan kekeluargaaan dengan beliau, dalam
merespon hadis nabi di atas dia mengatakan :
Artinya :”Tidak datang satu pun tahun pada manusia melainkan dalam tahun itu
mereka akan mengada-ada dengan model-model baru (bid’ah) dan memetikan
sunnah hingga bid’ah –bid’ah subur sedang sunnah mati”.
Dan masih banyak lagi hadis maupun atsar sahabat yang semakna dengan itu.
Kemudian, kalau kita amati yang ada di masyarakat kita sekarang ini, apa yang
digambarkan Rasulullah saw maupun Ibnu Abbas di atas adalah klop, sebagai imbas

dari perkembangan kultur yang menyeruak ke kanan dan ke kiri. Sebabnya hanya
satu, yaitu “kebodohan”. Mereka ini tergolong mayoritas, dan berada di seluruh
lapisan dan di seluruh jajaran. Bahkan, kalau kita boleh mengambil analisis Syekh
Abdulqadir Audah, mereka itu ada juga di kelompok “cendikiawan” (al-Mutsaqqafin).
(Lihat al-Islam Baina Jahli Abnaihi wa ‘Ajzi ‘Ulamaihi/Islam antara Kebodohan
Ummatnya dan Kelemahan Ulma’anya). Karena mereka ini tidak bisa membedakan
mana yang Sunnah dan mana yang kultur, tidak bisa membedakan mana sunnah yang
shahihah dan mana sunnah yang dha’ifah, disebabkan oleh latar belakang
pendidikannya yang sekuler. Mereka itu ada di grass roots sampai di kelas elit, ada di
lingkungan pemulung sampai lingkungan pengulang. Kata Syekh Abdulqadir Audah,
yang paling menyedihkan kalau hal itu ada di tingkat elit dan pengulung. Karena
mereka ini rata-rata mempunyai pengaruh yang kuat, lantaran status sosialnya yang
mapan. Mereka itu enggan terhadap hukum Islam, walaupun tidak mau dikatakan
‘tidak Islam’. Dan karena jumlahnya cukup banyak, sering pula dijadikan ‘alat
pembenaran’ oleh kelompok tertentu. Misalnya perolehan suara partai Islam dalam
pemilu ke pemilu tahun 1955-1999 sangat kecil, dibandingkan dengan partai yang
tidak berasas Islam. Ini, menunjukkan bahwa ummat Islam sendiri tidak menyukai
Islam. Akhirnya, apa saja yang menggunakan lebel Islam tidak disukai dan tidak
diminati, mereka lebih suka bergabung dengan non Islam daripada dengan kelompok
Islam. Mirip dengan apa yang digambarkan Allah dalam al-Qur’an :

“Kalau dia diingatkan agar mematuhi hukum-hukum Allah, malah bersikukuh
dengan dosa-dosa yang dilakukannya dengan penuh kebanggaan”.
Kelompok ini sementara ini kurang mendapat perhatian, padahal mereka ini sangat
potensial, terutama bagi kalangan elit. Di sini diperlukan kelenturan dakwah baik
teknis maupun bahasanya. Untuk golongan ini dakwah melalui pendekatan cultural
sangat perlu, dengan catatan ‘tidak keluar dari koridor Islam yang bersumber pada
Qur’an dan Sunnah’. Sementara kultur sendiri asal artinya adalah budaya atau
kebudayaan, ialah : (1). Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat, atau (2). Keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk social yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah laku. (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Berbicara tentang karya batin atau ilmu, Islam sangat respect, bahkan
selalu menganjurkan umatnya untuk selalu berthalabul ilmi dari buaian sampai ke
liang lahat (minal mahdi ilalahdi) atau yang sekarang dikenal dengan ‘long life

iducation’. Juga tentang masalah seni dan adat istiadat Islam sangat menghargai.
Bahkan ada hadis yang berbunyi :
Artinya : “Sesungguhnya Allah ta’ala itu indah, suka yang indah-indah”. (HR.
Muslim dan Tirmidzi).
Al-Qur’anul Karim sendiri yang bersajak, dan dianjurkan membacanya dengan

lagu, adalah suatu seni. Sehingga tidak seorang ulama’ pun, setahu saya, yang tidak
mengakui akan keesahan seni baca al-Qur’an dan seni tulis al-Qur’an (tahsinul
khath).
Dilihat dari sisi ini, maka Islam tidak menentang kultur. Dan kultur sebagai hasil
karya manusia layak dipakai media Dakwah, takubahnya dengan penemuanpenemuan qaidah fiqhiyah dan ushul fiqih untuk memahami nas al-Qur’an dan hadis
serta alat beristimbat hukum. Wallahu a’lam.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002