PEREMPUAN DALAM KEPEMIMPINAN MUHAMMADIYAH
PEREMPUAN DALAM KEPEMIMPINAN MUHAMMADIYAH
Oleh: Muhammad Izzul Muslimin
Mungkinkah perempuan memimpin persyarikatan Muhammadiyah ? Dalam batas
wacana pertanyaan itu dapat dijawab dengan tegas, bisa! Jangankan memimpin persyarikatan
Muhammadiyah, memimpin negara pun Muhammadiyah tidak berkeberatan. Pernyataan ini
muncul bukan karena saat ini presiden Indonesia sedang dijabat oleh seorang wanita, tetapi
hal itu sudah menjadi keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih pada Muktamarnya yang ke
XVII di Pencongan, Wiradesa Kabupaten Pekalongan pada tahun 1972. (Soal bolehnya
kepemimpinan perempuan menurut pandangan Muhammadiyah dapat dibaca dalam Adabul
Mar’ah fil Islam pada bab VIII dengan judul “Bolehkah wanita menjadi Hakim?”).
Pertanyaan yang patut diajukan kemudian, mungkinkah wacana perempuan menjadi
pemimpin itu dapat diterima di Muhammadiyah tidak hanya sebatas wacana tetapi menjadi
sebuah realitas yang diterima secara lebih terbuka? Muhammadiyah memang tidak menolak
wanita menjadi pemimpin, tetapi mungkinkah Muhammadiyah mendorong kaum perempuan
tampil menjadi pemimpin?
Realitas menunjukkan masih sulit bagi kaum perempuan untuk tampil menjadi
pemimpin. Di samping persoalan syariat, masih ada persoalan struktur dan kultur sosial yang
menyebabkan
seorang
pemimpin
perempuan
susah
dilahirkan.
Di
lingkungan
Muhammadiyah sendiri peran perempuan selama ini tersubordinasi dalam organisasi otonom
Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Dengan alasan sudah terwadahi dalam Aisyiyah dan
Nasyiatul Aisyiyah, perempuan Muhammadiyah kurang diberi peran dalam kepemimpinan
Muhammadiyah. Akibatnya Muhammadiyah yang sesungguhnya bukan organisasi kaum
laki-laki saja, dalam kenyataannya lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Sangat
sedikit wanita yang menduduki posisi pimpinan dalam Muhammadiyah. Kalaupun ada
mungkin hanya di Majelis atau Lembaga Pembantu Pimpinan.
Problem Kepemimpinan Perempuan
Sebenarnya dengan mewadahi para perempuan Muhammadiyah di Aisyiyah maupun
Nasyiatul Aisyiyah, para perempuan Muhammadiyah memiliki kiprah dan andil yang sangat
besar dalam mengembangkan Muhammadiyah terutama di lingkungan masyarakat paling
bawah. Kegiatan pengajian dan pendidikan Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal
(TK ABA) yang merupakan kegiatan Aisyiyah sangat menonjol di lingkungan kehidupan
masyarakat yang paling bawah, yaitu pada tingkat kampung dan desa. Denyut nadi
Muhammadiyah di level bawah justru banyak diwarnai oleh pengajian ibu-ibu Aisyiyah yang
notabene adalah aktivitas Muhammadiyah perempuan. Kenyataan ini sangat berkebalikan
pada tingkat elit dimana kepemimpinan perempuan Muhammadiyah kurang tampak
menonjol. Popularitas dan suara tokoh Aisyiyah tidak setenar dan selantang popularitas dan
suara teman seperjuangannya yang berada di Muhammadiyah yang umumnya kaum lakilaki.
Mengapa tokoh Aisyiyah mengalami hambatan demikian? Ada dua kemungkinan
untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, mungkin karena posisi subordinat Aisyiyah sebagai
organisasi Otonom Muhammadiyah yang menjadikan tokoh perempuan Muhammadiyah
menjadi gamang untuk bersikap atau bersuara. Ada kekhawatiran jika mereka bersikap atau
bersuara, ada kemungkinan akan berbeda dengan Muhammadiyah, yang berarti melanggar
ketentuan dimana organisasi otonom harus segaris dengan kebijakan Muhammadiyah. Kedua,
dalam posisi subordinat maka tokoh perempuan Muhammadiyah tidak terbiasa menghadapi
persoalan-persoalan
besar
yang
biasanya
menjadi
garapan
dan
tanggung
jawab
Muhammadiyah.
Kenyataan yang ada dalam Muhammadiyah ini sebenarnya juga melanda hampir
sebagian besar Ormas lainnya di Indonesia, bahkan boleh dikatakan itu sudah menjadi
realitas sosial bangsa ini dimana dominasi patriarkhi memang masih sangat besar dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Tetapi dengan melihat posisi Muhammadiyah sebagai
gerakan pembaharuan Islam dan gerakan modernis Islam di Indonesia, kenyataan ini
sangatlah memprihatinkan. Muhammadiyah
sangat diharapkan bisa menjadi pelopor
pemberdayaan perempuan Islam dalam peran sosial kemasyarakatannya setelah sebelumnya
Muhammadiyah dianggap cukup berhasil dalam mempelopori peningkatan pendidikan kaum
perempuan Islam di Indonesia.
Pemberdayaan perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan adalah suatu
konsekuensi logis dari upaya pemberdayaan pendidikan kaum perempuan. Ketika tingkat
pendidikan kaum perempuan telah cukup baik dan sejajar dengan kaum laki-laki, maka
adalah sangat logis jika mereka juga diberi kesempatan dan peran sosial yang sama nilainya
dengan para kaum laki-laki.
Rekayasa Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan perempuan akan sangat sulit dilahirkan selama struktur sosial tidak
diubah atau direkayasa. Kesadaran untuk melahirkan kepemimpinan perempuan memang
harus berangkat bersama-sama dari kaum laki-laki dan perempuan. Pernyataan yang
mengatakan “biarlah perempuan berjuang sendiri untuk mendapatkan kepemimpinannya”
akan sangat tidak bijak ketika keadaan tidak kondusif untuk menuju ke arah demikian.
Membiarkan kaum perempuan berjuang sendiri untuk melawan dominasi laki-laki juga akan
berdampak kepada munculnya perasaan iri, bahkan permusuhan kaum perempuan terhadap
kaum laki-laki mengingat kaum perempuan kenyataannya secara struktural dan kultural
mereka tidak diberi kesempatan yang sama fair-nya dengan kaum laki-laki.
Di sisi lain, rekayasa yang berlebihan sehingga seolah menganak-emaskan kaum
perempuan dalam meraih posisi kepemimpinannya dibandingkan kaum laki-laki juga akan
berdampak tidak baik bagi kaum perempuan itu sendiri maupun bagi laki-laki. Oleh karena
itu perlu dicari formulasi yang tepat dimana rekayasa sosial untuk melahirkan pemimpin
perempuan di satu sisi tidak menimbulkan sikap diskriminatif terhadap kaum perempuan dan
pada sisi yang lain tidak menganak-emaskan kaum perempuan.
Memunculkan kepemimpinan perempuan seharusnya tidak didasari atas pertimbangan
karena dia perempuan, tetapi harus berangkat dari pengakuan atas potensi kepemimpinan
seseorang terlepas apakah dia seorang laki-laki ataupun perempuan. Dengan demikian, yang
perlu diciptakan adalah bagaimana seseorang yang memiliki bakat kepemimpinan baik lakilaki
maupun
perempuan,
diberikan
peluang
yang
sama
dalam
meraih
posisi
kepemimpinannya.
Perlukah Perempuan Mendapatkan Jatah Kepemimpinan ?
Ada yang menarik ketika pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar bulan
Januari lalu membahas soal keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah.
Dalam pembahasan Anggaran Rumah Tangga mengenai pasal kepemimpinan, ada perdebatan
yang seru mengenai perlu tidaknya perempuan secara eksplisit dinyatakan harus masuk
dalam kepemimpinan Muhammadiyah.
Ada sebagian pandangan yang mengatakan bahwa dengan mencantumkan perempuan
secara eksplisit dalam kepemimpinan Muhammadiyah justru akan mengesankan adanya
diskriminasi dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Padahal sampai saat ini Muhammadiyah
tidak
pernah
menghalang-halangi
perempuan
untuk
masuk
dalam
kepemimpinan
Muhammadiyah. Artinya dengan dicantumkannya secara eksplisit jatah kepemimpinan bagi
perempuan justru memberi kesan seolah-olah perempuan bisa masuk dalam kepemimpinan
Muhammadiyah hanya karena belas kasihan, bukan melalui proses seleksi yang wajar.
Sebaliknya ada juga pandangan lain yang berpendapat bahwa tanpa dieksplisitkannya
keberadaan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah maka akan sangat sulit dicapai
kesempatan bagi para perempuan masuk dalam kepemimpinan. Hal ini bukan karena
persoalan kemampuan yang menjadi kendala, tetapi lebih karena faktor sosio kultural yang
belum mendukung. Oleh karena itu dengan dicantumkannya secara eksplisit keberadaan
kaum perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah justru memberi kesempatan yang
lebih besar bagi para perempuan Muhammadiyah tanpa harus terhambat masalah di luar soal
kemampuan.
Nampaknya sebagian besar anggota Tanwir lebih memilih alasan yang kedua, yaitu
mencantumkan
secara
eksplisit
keberadaan
perempuan
dalam
kepemimpinan
Muhammadiyah. Hanya saja semangat untuk memasukkan unsur perempuan dalam
kepemimpinan Muhammadiyah itu terpaksa harus ditunda karena ada perbedaan teknis yang
belum dapat diputuskan dalam sidang Tanwir yang lalu. Persoalan teknis tersebut ialah
berkaitan siapa yang berhak mewakili kepemimpinan perempuan dalam Muhammadiyah.
Sebagian anggota Tanwir menginginkan agar siapa saja perempuan anggota Muhammadiyah
yang dianggap mampu dan memenuhi syarat dapat menjadi pimpinan Muhammadiyah.
Sementara
pendapat
lain
menghendaki
agar
kepemimpinan
Muhammadiyah diwakili secara ex-offisio oleh ketua Aisyiyah.
perempuan
dalam
Akhirnya Tanwir
memutuskan untuk mengagendakan persoalan ini pada sidang Tanwir tahun yang akan
datang.
Terlepas dari perbedaan pendapat siapa unsur perempuan yang tepat untuk duduk
dalam kepemimpinan Muhammadiyah, tentu keputusan Tanwir yang lalu merupakan sebuah
kemajuan besar bagi Muhammadiyah, dan bila itu dapat terealisasikan maka dapat dikatakan
Muhammadiyah punya peran besar dalam proses pemberdayaan kepemimpinan perempuan di
masa depan.
Tantangan Bagi Kaum Perempuan Muhammadiyah
Yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana agar peluang besar yang dibuka
oleh Muhammadiyah melalui Anggaran Rumah Tangganya tersebut dapat direspon secara
positif oleh warga Muhammadiyah baik perempuan maupun laki-laki. Para anggota
Muhammadiyah perempuan hendaknya mulai sekarang harus menata diri sehingga ketika
peluang itu dibuka nantinya tidak lagi timbul kegamangan dari para perempuan
Muhammadiyah untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan para partnernya
yang laki-laki. Jangan sampai timbul kesan bahwa perempuan dapat memimpin di
Muhammadiyah hanya karena ada dispensasi. Akan lebih baik jika para perempuan
Muhammadiyah masuk menjadi pimpinan Muhammadiyah karena melalui proses seleksi
yang fair dan didasarkan atas kualitas kemampuannya, bukan sebagaimana kekhawatiran
sebagian pihak, jadi pimpinan karena rasa belas kasihan.
Demikian pula bagi para anggota Muhammadiyah yang laki-laki, sudah saatnya
dalam alam pikirannya memberi peluang bagi para perempuan untuk memimpin, ketika
memang mereka punya kapasitas untuk itu. Jangan sampai karena egonya sebagai laki-laki
lalu menghambat perempuan untuk berprestasi dan beramal di Muhammadiyah dengan
berlindung dibalik alasan syariat, budaya, maupun etika.
Selamat berjuang kaum perempuan Muhammadiyah, umat menanti kiprahmu !
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 08 2002
Oleh: Muhammad Izzul Muslimin
Mungkinkah perempuan memimpin persyarikatan Muhammadiyah ? Dalam batas
wacana pertanyaan itu dapat dijawab dengan tegas, bisa! Jangankan memimpin persyarikatan
Muhammadiyah, memimpin negara pun Muhammadiyah tidak berkeberatan. Pernyataan ini
muncul bukan karena saat ini presiden Indonesia sedang dijabat oleh seorang wanita, tetapi
hal itu sudah menjadi keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih pada Muktamarnya yang ke
XVII di Pencongan, Wiradesa Kabupaten Pekalongan pada tahun 1972. (Soal bolehnya
kepemimpinan perempuan menurut pandangan Muhammadiyah dapat dibaca dalam Adabul
Mar’ah fil Islam pada bab VIII dengan judul “Bolehkah wanita menjadi Hakim?”).
Pertanyaan yang patut diajukan kemudian, mungkinkah wacana perempuan menjadi
pemimpin itu dapat diterima di Muhammadiyah tidak hanya sebatas wacana tetapi menjadi
sebuah realitas yang diterima secara lebih terbuka? Muhammadiyah memang tidak menolak
wanita menjadi pemimpin, tetapi mungkinkah Muhammadiyah mendorong kaum perempuan
tampil menjadi pemimpin?
Realitas menunjukkan masih sulit bagi kaum perempuan untuk tampil menjadi
pemimpin. Di samping persoalan syariat, masih ada persoalan struktur dan kultur sosial yang
menyebabkan
seorang
pemimpin
perempuan
susah
dilahirkan.
Di
lingkungan
Muhammadiyah sendiri peran perempuan selama ini tersubordinasi dalam organisasi otonom
Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Dengan alasan sudah terwadahi dalam Aisyiyah dan
Nasyiatul Aisyiyah, perempuan Muhammadiyah kurang diberi peran dalam kepemimpinan
Muhammadiyah. Akibatnya Muhammadiyah yang sesungguhnya bukan organisasi kaum
laki-laki saja, dalam kenyataannya lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Sangat
sedikit wanita yang menduduki posisi pimpinan dalam Muhammadiyah. Kalaupun ada
mungkin hanya di Majelis atau Lembaga Pembantu Pimpinan.
Problem Kepemimpinan Perempuan
Sebenarnya dengan mewadahi para perempuan Muhammadiyah di Aisyiyah maupun
Nasyiatul Aisyiyah, para perempuan Muhammadiyah memiliki kiprah dan andil yang sangat
besar dalam mengembangkan Muhammadiyah terutama di lingkungan masyarakat paling
bawah. Kegiatan pengajian dan pendidikan Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal
(TK ABA) yang merupakan kegiatan Aisyiyah sangat menonjol di lingkungan kehidupan
masyarakat yang paling bawah, yaitu pada tingkat kampung dan desa. Denyut nadi
Muhammadiyah di level bawah justru banyak diwarnai oleh pengajian ibu-ibu Aisyiyah yang
notabene adalah aktivitas Muhammadiyah perempuan. Kenyataan ini sangat berkebalikan
pada tingkat elit dimana kepemimpinan perempuan Muhammadiyah kurang tampak
menonjol. Popularitas dan suara tokoh Aisyiyah tidak setenar dan selantang popularitas dan
suara teman seperjuangannya yang berada di Muhammadiyah yang umumnya kaum lakilaki.
Mengapa tokoh Aisyiyah mengalami hambatan demikian? Ada dua kemungkinan
untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, mungkin karena posisi subordinat Aisyiyah sebagai
organisasi Otonom Muhammadiyah yang menjadikan tokoh perempuan Muhammadiyah
menjadi gamang untuk bersikap atau bersuara. Ada kekhawatiran jika mereka bersikap atau
bersuara, ada kemungkinan akan berbeda dengan Muhammadiyah, yang berarti melanggar
ketentuan dimana organisasi otonom harus segaris dengan kebijakan Muhammadiyah. Kedua,
dalam posisi subordinat maka tokoh perempuan Muhammadiyah tidak terbiasa menghadapi
persoalan-persoalan
besar
yang
biasanya
menjadi
garapan
dan
tanggung
jawab
Muhammadiyah.
Kenyataan yang ada dalam Muhammadiyah ini sebenarnya juga melanda hampir
sebagian besar Ormas lainnya di Indonesia, bahkan boleh dikatakan itu sudah menjadi
realitas sosial bangsa ini dimana dominasi patriarkhi memang masih sangat besar dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Tetapi dengan melihat posisi Muhammadiyah sebagai
gerakan pembaharuan Islam dan gerakan modernis Islam di Indonesia, kenyataan ini
sangatlah memprihatinkan. Muhammadiyah
sangat diharapkan bisa menjadi pelopor
pemberdayaan perempuan Islam dalam peran sosial kemasyarakatannya setelah sebelumnya
Muhammadiyah dianggap cukup berhasil dalam mempelopori peningkatan pendidikan kaum
perempuan Islam di Indonesia.
Pemberdayaan perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan adalah suatu
konsekuensi logis dari upaya pemberdayaan pendidikan kaum perempuan. Ketika tingkat
pendidikan kaum perempuan telah cukup baik dan sejajar dengan kaum laki-laki, maka
adalah sangat logis jika mereka juga diberi kesempatan dan peran sosial yang sama nilainya
dengan para kaum laki-laki.
Rekayasa Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan perempuan akan sangat sulit dilahirkan selama struktur sosial tidak
diubah atau direkayasa. Kesadaran untuk melahirkan kepemimpinan perempuan memang
harus berangkat bersama-sama dari kaum laki-laki dan perempuan. Pernyataan yang
mengatakan “biarlah perempuan berjuang sendiri untuk mendapatkan kepemimpinannya”
akan sangat tidak bijak ketika keadaan tidak kondusif untuk menuju ke arah demikian.
Membiarkan kaum perempuan berjuang sendiri untuk melawan dominasi laki-laki juga akan
berdampak kepada munculnya perasaan iri, bahkan permusuhan kaum perempuan terhadap
kaum laki-laki mengingat kaum perempuan kenyataannya secara struktural dan kultural
mereka tidak diberi kesempatan yang sama fair-nya dengan kaum laki-laki.
Di sisi lain, rekayasa yang berlebihan sehingga seolah menganak-emaskan kaum
perempuan dalam meraih posisi kepemimpinannya dibandingkan kaum laki-laki juga akan
berdampak tidak baik bagi kaum perempuan itu sendiri maupun bagi laki-laki. Oleh karena
itu perlu dicari formulasi yang tepat dimana rekayasa sosial untuk melahirkan pemimpin
perempuan di satu sisi tidak menimbulkan sikap diskriminatif terhadap kaum perempuan dan
pada sisi yang lain tidak menganak-emaskan kaum perempuan.
Memunculkan kepemimpinan perempuan seharusnya tidak didasari atas pertimbangan
karena dia perempuan, tetapi harus berangkat dari pengakuan atas potensi kepemimpinan
seseorang terlepas apakah dia seorang laki-laki ataupun perempuan. Dengan demikian, yang
perlu diciptakan adalah bagaimana seseorang yang memiliki bakat kepemimpinan baik lakilaki
maupun
perempuan,
diberikan
peluang
yang
sama
dalam
meraih
posisi
kepemimpinannya.
Perlukah Perempuan Mendapatkan Jatah Kepemimpinan ?
Ada yang menarik ketika pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar bulan
Januari lalu membahas soal keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah.
Dalam pembahasan Anggaran Rumah Tangga mengenai pasal kepemimpinan, ada perdebatan
yang seru mengenai perlu tidaknya perempuan secara eksplisit dinyatakan harus masuk
dalam kepemimpinan Muhammadiyah.
Ada sebagian pandangan yang mengatakan bahwa dengan mencantumkan perempuan
secara eksplisit dalam kepemimpinan Muhammadiyah justru akan mengesankan adanya
diskriminasi dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Padahal sampai saat ini Muhammadiyah
tidak
pernah
menghalang-halangi
perempuan
untuk
masuk
dalam
kepemimpinan
Muhammadiyah. Artinya dengan dicantumkannya secara eksplisit jatah kepemimpinan bagi
perempuan justru memberi kesan seolah-olah perempuan bisa masuk dalam kepemimpinan
Muhammadiyah hanya karena belas kasihan, bukan melalui proses seleksi yang wajar.
Sebaliknya ada juga pandangan lain yang berpendapat bahwa tanpa dieksplisitkannya
keberadaan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah maka akan sangat sulit dicapai
kesempatan bagi para perempuan masuk dalam kepemimpinan. Hal ini bukan karena
persoalan kemampuan yang menjadi kendala, tetapi lebih karena faktor sosio kultural yang
belum mendukung. Oleh karena itu dengan dicantumkannya secara eksplisit keberadaan
kaum perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah justru memberi kesempatan yang
lebih besar bagi para perempuan Muhammadiyah tanpa harus terhambat masalah di luar soal
kemampuan.
Nampaknya sebagian besar anggota Tanwir lebih memilih alasan yang kedua, yaitu
mencantumkan
secara
eksplisit
keberadaan
perempuan
dalam
kepemimpinan
Muhammadiyah. Hanya saja semangat untuk memasukkan unsur perempuan dalam
kepemimpinan Muhammadiyah itu terpaksa harus ditunda karena ada perbedaan teknis yang
belum dapat diputuskan dalam sidang Tanwir yang lalu. Persoalan teknis tersebut ialah
berkaitan siapa yang berhak mewakili kepemimpinan perempuan dalam Muhammadiyah.
Sebagian anggota Tanwir menginginkan agar siapa saja perempuan anggota Muhammadiyah
yang dianggap mampu dan memenuhi syarat dapat menjadi pimpinan Muhammadiyah.
Sementara
pendapat
lain
menghendaki
agar
kepemimpinan
Muhammadiyah diwakili secara ex-offisio oleh ketua Aisyiyah.
perempuan
dalam
Akhirnya Tanwir
memutuskan untuk mengagendakan persoalan ini pada sidang Tanwir tahun yang akan
datang.
Terlepas dari perbedaan pendapat siapa unsur perempuan yang tepat untuk duduk
dalam kepemimpinan Muhammadiyah, tentu keputusan Tanwir yang lalu merupakan sebuah
kemajuan besar bagi Muhammadiyah, dan bila itu dapat terealisasikan maka dapat dikatakan
Muhammadiyah punya peran besar dalam proses pemberdayaan kepemimpinan perempuan di
masa depan.
Tantangan Bagi Kaum Perempuan Muhammadiyah
Yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana agar peluang besar yang dibuka
oleh Muhammadiyah melalui Anggaran Rumah Tangganya tersebut dapat direspon secara
positif oleh warga Muhammadiyah baik perempuan maupun laki-laki. Para anggota
Muhammadiyah perempuan hendaknya mulai sekarang harus menata diri sehingga ketika
peluang itu dibuka nantinya tidak lagi timbul kegamangan dari para perempuan
Muhammadiyah untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan para partnernya
yang laki-laki. Jangan sampai timbul kesan bahwa perempuan dapat memimpin di
Muhammadiyah hanya karena ada dispensasi. Akan lebih baik jika para perempuan
Muhammadiyah masuk menjadi pimpinan Muhammadiyah karena melalui proses seleksi
yang fair dan didasarkan atas kualitas kemampuannya, bukan sebagaimana kekhawatiran
sebagian pihak, jadi pimpinan karena rasa belas kasihan.
Demikian pula bagi para anggota Muhammadiyah yang laki-laki, sudah saatnya
dalam alam pikirannya memberi peluang bagi para perempuan untuk memimpin, ketika
memang mereka punya kapasitas untuk itu. Jangan sampai karena egonya sebagai laki-laki
lalu menghambat perempuan untuk berprestasi dan beramal di Muhammadiyah dengan
berlindung dibalik alasan syariat, budaya, maupun etika.
Selamat berjuang kaum perempuan Muhammadiyah, umat menanti kiprahmu !
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 08 2002