17Fatwa.Hukum Duduk Diatas Nisan

Saudara Khairurijal
Garut, Jawa Barat
Hukum Duduk Diatas Nisan
Pertanyaan Masalah Kubur:
Dalam suatu ceramah di Ciamis beberapa waktu yang lalu, yang diberikan oleh seorang
da’I dari daerah tersebut, menganjurkan agar tidak tergesa-gesa pulang sebelum selesai
penguburan jenazah, padahal kadang-kadang kita lama menunggu, dan menimbulkan kelelahan,
apakah boleh kitaduduk di atas nisan? Mohon penejelasannya, terima kasih.
Jawaban:
Kubur berasal dari Bahasa Arab:…….., yaitu tempat menguburkan jenazah. Menurut
syari’ah Islam, karena di dalamnya terdapat jenazah; mayat manusia, maka kubur harus
dihormati, tetapi tidak boleh berlebihan, misalnya dengan menyembahnya atau minta
pertolongan kepadanya, dan juga tidak boleh merendahkannya, dengan berjalan diatasnya atau
duduk diatasnya, sebagaimana ditegaskan dalam suatu hadist Nabi saw:
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah bersabda” Seseorang diantara
kamu duduk diatas bara apai hingga membakar bajunya, lalu merembet ke kulitnya, adalah
lebih baik baginya, daripada duduk di atas kubur.” (HR. Muslim, No. 2/667)
Pada kesempatan lain Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Dari Uqbah ibn ‘Amir, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sungguh, saya
berjalan di atas bara api, atau pedang, atau melepas sandal yang ada pada kakiku, adalah lebih
saya sukai daripada saya berjalan di atas kubur seorang muslim.” (HR. Ibnu Majah, shahih alJami’: 5038)

Hadist-hadist tersebut melukiskan bahwa berjalan atau duduk di atas bara api adalah lebih
baik daripada berjalan dan duduk di atas kubur. Ini menunjukkan bahwa berjalan dan duduk di
atas kubur adalah berdosa, maka lebih baik menjaga diri dari perbuatan tersebut, dengan mencari
celah-celah antara kubur-kubur, dan hendaklah menbuka sandalnya ketika masuk ke tempat
kubur, dan berdoa untuk orang-orang mukmin.

Wignyo Sumartono.
Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Pernah saya mendengarkan penyuluhan KB, antara lain bahwa bersenggama dalam
keadaan haid dapat mencegah kehamilan. Kepada Suara Muhammadiyah bidang Fatwa kami
mohon penjelasannya, tentang hukum bersenggama dalam keadaan haid. Terimakasih.
Jawaban:
Menurut Jumhur (sebagian besar) ulama, mendatangi (bersenggama dengan) istri adalah
bahagian dari kewajiban yang wajib dilakukan suami. Maka mendatangi (bersenggama dengan
istri) termasuk ibadah yang harus memenuhi persyaratan ibadah, anatar lain ialah bersih, baik
dari lahir maupun batin. Karena itulah mendatangi (bersenggama dengan) istri juga harus melihat
apakah istri dalam keadaan suci atau tidak suci (haid).

Mendatangi (bersenggama dengan) istri dalam keadaan haid menurut syari’ah Islamiyah

adalah haram. Para ahli kesehatan pun memandangnya tidak sehat. Dalam al-Qur’an Allah
menegaskan sebagai berikut:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, Katakanlah: “haidh itu adalah
kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh: dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah, 2:222)
Rahasia larangan mencampuri istri pada waktu haid, menurut al-Maraqiy antara lain ialah
1. Menyebabkan infeksi pada ovum (sel reproduksi pada wanita), dan kadang-kadang
infeksi tersebut mengembang hingga ke rahim, dan sangat berbahaya.
2. Sering juga menimbulkan infeksi pada kelamin laki-laki, dan menimbulkan rasa sakit dan
demam yang berbahaya.
Singkatnya, berhubungan seksual pada waktu istri sedang dalam keadaan haid adalah
sangat berbahaya, baik terhadap suami maupun terhadap istri. Karena itulah Allah melarangnya,
dan mengharamkannya.

Saudara Jami’un
Kampar, Riau, Sumatera
Pertanyaan:
Ketika saya mau keluar dari masjid karena sudah selesai shalat berjama’ah, ada seseorang
yang menghadangi saya. Dia mengatakan haram melewati orang yang sedang mengerjakan

shalat. Dan baru sekali itu saya mengalaminya. Kami mohon dijelaskan dengan dalilnya.
Jawaban.
Shalat adalah suatu ibadah yang sangat memerlukan kekhusyu’an dan ketenangan, maka
orang yang sedang shalat tidak boleh terganggu baik dari kanan, kiri, belakang, terutama dari
depan, tempat sujud kepada Allah SWT, tempat sujud adalah tempat yang paling mulia. Karena
itulah Rasulullah dengan tegas melarang kepada siapa pun melewati tempat sujud orang yang
sedang shalat.
Al-Bhukariy dalam shahihnya meriwanyatkan sebagai berikut:
Artinya: “Abu Juhaim berkata: Rasulullah saw bersabda: Seandainyaorang yang lewat di
depan orang yang sedang shalat mengetahui (siksaan) apa yang menimpanya nanti, niscanya ia
berhenti selama empat puluh hari adalah lebih baik baginya daripada lewat di depan orang
yang sedang shalat. Abu Nadar berkata: Saya tidak tahu persis, apakah ia berkata empat puluh
hari, atau empat puluh bulan, atau empat puluh tahun.” (HR. Al-Bukhariy, I, Kitab ash-Shalah:
65)
Hadist tersebut melukiskan, apabila disruh memilih antara berjalan di depan orang yang
shalat, yaitu ditempat persujudan, dan menunggu empat puluh hari, maka lebih baik menunggu
empat puluh hari. Ini menunjukkan bahwa berjalan di tempat sujud orang yangs edang
mengerjakan shalat adalah berdosa besar. Karena itulah diperingatkan dengan keras oleh
Rasulullah saw.


Sebagai upaya untuk mengantisipasinya agar tidak ada orang yang lewat didepan kita
sedang mengerjakan shalat, alangkah baiknya jika di tempat sujud kita diberi tanda (batas),
supaya orang yang hendak lewat tidak melalui tanda tempat sujud kita tersebut. Tanda (batas)
tersebut misalnya dengan tikar, sajadah, atau sapu tangan.
Saudara H. Moh. Sopandi
Jl. Kenari II No. 11 RT.01/04 Kota Sukabumi
Pertanyaan
Mohon penjelasan pengertian Inkar Sunnah. Apakah sebenarnya pengertian tersebut?.
Apakah penganut Inkar Sunnah itu termasuk orang murtad, kafir, dan sebagainya atau masih
dalam lingkungan Islam?. Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap penganut itu kalau sudah
tidak menerima Sunnah?.
Hal tersebut diatas saya sampaikan karena di Sukabimu sudah mulai menyebar. Konon
kabarnya Inkaru Sunnah itu pusatnya di Jakarta. Dengan demikian kami mihon dengan hormat
agar jawaban dibalas langsung ke alamat saya disamping dimuat di Majalah Suara
Muhammadiyah, demi murninya aqidah Qur’an Sunnah.
Jawaban:
Sebelum kami menguraikan jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu kami beri catatan
bahwa dalam pertanyaan tersebut tidak dijelaskan bagaimana praktek-praktek dan ibadah-ibadah
yang dikerjakan oleh penganut Inkar Sunnah tersebut. Oleh sebab itu kami hanya memberikan
keterangan yang bersifat umum saja.

Untuk menjawab persoalan Inkaru Sunnah (penginkaran terhadap as-Sunnah), tidak
terlepas dari penelusuran sejarah hukum Islam dari masa sahabat dan sesudahnya. Dalam sejarah
tercatat bahwa ketika Daulah Abbasiyah berkuasa telah terjadi suatu kondisi yang berbeda
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004