BERBAGAI PERILAKU MENTALITAS MANUSIA (1)

BERBAGAI PERILAKU MENTALITAS MANUSIA (1)
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa akhir kalimatnya (ucapannya/perkataannya)
Laa Ilaaha Illallah, maka dia (akan) masuk surga”. (HR Ahmad, Dawud dan Hakim, dari
Mu’adz, HS).
Sebelum mensyarahi hadits, perlu diketahui bahwa kata “perilaku” bisa bermakna
perbuatan, tindakan dan ucapan. Sedangkan kata “mentalitas” bisa bermakna kepribadian,
nurani dan hati yang menentukan perilaku.
Dalam konteks hati, Rasulullah saw bersabda: “……….bila daging itu baik, maka tubuh
baik seluruhnya. Ingat, daging itu ialah hati” (HR Bukari)
Secara syarah, hadits menunjukkan perintah halus, yaitu setiap muslim supaya bisa
membaca kalimat Laa Ilaaha Illallah setiap hari sesudah shalat fardhu sedikitnya lima
kali misalnya, atau berapa kali semampunya asal dengan ikhlas. Membiasakan membaca
demikian itu termasuk ibadah ‘Aammah. Dalam konteks Laa ilaaha illallah sebagai
dzikir, Rasulullah saw bersabda:
Paling utamanya dzikir ialah laa ilaah illallah dan paling utamanya do’a ialah
alhamdulillah .(HR Turmudzi, dari Jabir, HS).
Ketika membaca laa ilaaha illallah, muslim harus yakin dan mengerti/memahami
maknanya lalu berdo’a kepada Allah SWT mohon semoga kalimat/ucapan terakhir
menjelang mati bisa membaca laa ilaaha illallah. Dengan demikian, kalau dia pada akhir
hidupnya bisa membacanya, maka dia termasuk orang yang –insya Allah- akan masuk
surga.

Jadi, pembiasaan membaca laa ilaaha illallah – terserah berapa kali tiap hari – itu
merupakan perilaku, sedangkan pengertian/pemahaman dan pengamalan makna laa
ilaaha illallah itu merupakan mentalitas pembaca yang menyadari. Dan itulah mentalitas
yang baik yang timbul karena iman yang berfungsi.
Rasulullah saw bersabda: “barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah dia berbuat kebajikan kepada tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia menghormati tamu. Dan barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau hendaknya dia diam.
(HR Bukhari, Nasaai dan Ahmad, dari Abu Hurairah).
Secara syarah, hadits menunjukkan tiga perintah kepada muslim yang beriman kepada
Allah SWT dan hari akhir/kiamat supaya memiliki perilaku mentalitas yang baik Islami.
Dan realisasi perintah tersebut akan menimbulkan pergaulan yang saling hormatmenghormati, toleransi, solidaritas, rasakebersamaan dan kekompakan. Dan tiga perintah
itu ialah:
1. Muslim supaya berbuat kebaikan Islami yang antara lain menghormati tetangga
dengan tidak mengganggu, memberi pertolongan, menengok kalau keluarga tetangga
ada yang sakit dan lainnya.
2. Muslim supaya memuliakan /menghormati tamu. Caranya antara lain: menyambut
kedatangannya dengan ramah tamah/sopan santun, segera menyilahkan duduk di
tempat yang sudah disediakan di ruang tamu yang tertata baik, rapi dan bersih,
menghidangkan hidangan pertama iala senyum. Rasulullah saw bersabda: Senyummu

pada muka saudaramu itu sedekahmu. (HR Bukhari) .

Tetangga dan tamu wajib dihormati, meskipun mereka itu non muslim selama mereka
tidak berbuat buruk terhadap muslim. Sebab, Allah SWT tidak melarang muslim untuk
berbuat kebaikan dan adil kepada non muslim (QS Al Mumtahanah (60): 8).
Selanjutnya dalam memuliakan/menghormati tamu, kalau hidangan (minuman/makan)
memang sudah tersedia hendaknya dihidangkan dan bersemangat mempersilahkan
tamunya untuk minum/makan dengan penuh keakraban. Kalau tamu mempunyai
maksud/keinginan/tujuan, hendaknya muslim memenuhinya, tetapi muslim kalau tidak
mempunyai apa yang diinginkan tamunya, hendaknya menolak dengan kata-kata yang
baik dan minta maaf
3. Muslim supaya berkata/berucap/berbicara dengan perkataan /ucapan/bicara yang
baik-baik atau diam saja sewaktu berkumpul.
Kalau tiga perintah tersebut dapat dilaksanakan dengan ikhlas demi hanya mengharap
ridha Allah SWT, terujudlah perilaku mentalitas Islami dalam pergaulan hidup
bertetangga, berkeluarga dan bermasyarakat dan menimbulkan saling menghormati,
keamanan dan kebersamaan.
Perilaku mentalitas Islami ialah mendirikan shalat (mentalitas ini prinsip dan wajib),
memberikan/mensedekahkan harta yang dicintai (ini berat dan sulit) kepada kerabat, anak
yatim, orang miskin, ibnu sabil, orang meminta-minta, memerdekakan buduk,

mengeluarkan zakat, menepati janji, sabar menghadapi kesempitan/kesusahan dan jujur
(QS Al-Baqarah (2): 177).
Selain itu, perilaku mentalitas Islami ialah bahwa bila muslim menerima
kesulitan/kesempitan/kesusahan, dia sabar. Sebaliknya bila dia menerima
kesenangan/harta, dia bersyukur (HR Muslim dan Ahmad). Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya orng-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertaqwalah kepala Allah supaya kamu mendapat rahmat (QS AlHujuraat: 10).
Tafsir ayat antara lain:
1. Sesama mukmin harus ber- ukhuwah (bersaudara) berdasarkan iman. Ayat inilah
sebagai argumentasi adanya penyebutan Ukhuwah Imaniyah sekaligus disebut
Ukhuwah Imaniyah Islamiyah karena ukhuwah itu ajaran Islam, Maka Ukhuwah
Imaniyah Islamiyah (UII) menumbuhkan akhlaqul karimah yang puncaknya ikhlas
demi mengharap ridha Allah SWT semata.
2. Konsekuensi logis prang yang beriman ialah mengusahakan dan mewujudkan
perilaku mentalitas ikhlas, rasa cinta Islami,tolenrasi, solidaritas, rasa kebersamaan ,
UII dan suasana kondusif dalam hidup berumah tangga, bertetangga, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
3. Sebelum terjadi perselisihan antara sesama muslim/mukmin – apalagi pertentangan,
pertengkaran, ketegangan dan permusuhan- masing-masing sesama muslim
diperintahkan supaya berbuat Ishlah.

4. Ishlas mengandung makna perbaikan, kemanfaatan, keamanan, perdamaian,
ketertiban, keselamatan dan kesejahteraan. Dan setiap muslim mukmin dituntut untuk
merealisasikan dan mensosialisasikan makna ishlah dengan pergaulan hidup
semampunya.
5. Konsekuensi logis orang beriman harus memelihara dan mempertahankan makna
ishlah. Berarti kalau ada orang yang mengganggu dan menyerangnya, maka muslim
mukmin boleh membals serangan secara seimbang (QS Al-Baqarah: 194).

6. Setelah perilaku mentalitas UII dan Ishlah, ayat memerintahkan mukmin untuk
bertaqwa kepada Allah SWT. Taqwa adalah hidup berhati-hati menjaga diri jangan
sampai dimurkai Allah SWT dengan menjalankan perintah-Nya, menjauhi laranganNya dan mengikuti petunjuk-Nya dengan ikhlas. Dan taqwa merupakan solusi
memberi jalan keluarga dari kesulitan/kesempitan dan mendapatkan rizki yang tidak
disangka-sangka (QS Ath-Thalaq: 2 dan 3).
Dengan demikian, taqwa dapat menghindari perilaku mentalitas sekularistik, kapitalistik,
hedonistik (hal yang cenderung ke arah hal yang dapat memberikan kenikmatan),
perilaku politik yang oportunistik, kehidupan yang egoistik dan individualistik.
Selanjutnya ayat menunjukkan bahwa kalau perilaku mentalitas UII, Ishlah dan taqwa
dapat direalisasikan dengan ikhlas, maka pelaksanaannya akan mendapat rahmat-Nya.
Dalam konteks realisasi UI, Ishlah dan taqwa, Allah SWT dengan rahmat-Nya memberi
petunjuk sekaligus memberi peringatan berupa larangan:

1. Sesama mukmin dilarang saling olok memperolokan antara mereka, karena bisa jadi
bahwa yang diperolok-olokan lebih baik daripada yang memperolok-olok.
2. Sesama mukmin tidak boleh saling mencela.
3. Sesama mukmin tidak boleh saling memanggil dengan gelar yang tidak baik, seperti
hai kafir, hai fasik, hai musyrik, hai beguk dan lainnya sebagai seburuk-burk
panggilan sesudah iman.
4. Kalau seseorang terlanjut berbuat/mengerjakan apa yang dilarang tersebut dan tidak
bertobat, maka dia termasuk orang dzalim (QS Al-Hujuraat: 11).
5. Sesama mukin tidak boleh saling berprasangka buruk.
6. Sesama mukmin tidak boleh saling mencari-cari kesalahan orang lain.
7. Sesama mukmin tidak boleh menggunjing, karena bergunjing ibarat orang yang
makan daging saudaranya sendiri. Hal ini tentu dibenci.
8. Untuk supaya tidak melakukan larangan, mukmin diperintahkan bertaqwa kepada
Allah SWT Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS Al-Hujuraat: 12).
Dengan demikian, ada pelajaran penting sebagai petunjuk Allah SWT, yaitu bahwa iman
dan taqwa itu menjadi motivator, stimulator dan dinamisator terwujudnya UII dan ishlah
bagi mukmin yang imannya berfungsi dengan izin dan pertolongan Allah SWT dalam
pergaulan hidup.
Sehubungan dengan iman dan taqwa, secara ekstra serius, muslim hendaknya
memperhatikan firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenarbenarnya taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam. (QS Ali- ‘Imran: 102).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21 2002