Amal Usaha Politik Muhammadiyah

Amal Usaha Politik Muhammadiyah
Achmad Jainuri
Dalam sebuah forum Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Jawa Timur, yang
mengkritisi hasil Pemilu 2004, ada sebuah usulan menarik bagaimana jika Muhammadiyah
membentuk sebuah partai politik sebagai satu amal usaha baru, yang posisinya sama dengan
amal usaha lainnya yang telah dimiliki oleh Muhammadiyah. Sebagai pembina amal usaha
politik ini adalah Majlis Hikmah. Usulan ini mungkin sebagai "pemanjaan" atau ulu-ulu, kata
orang Jawa, menyuruh melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak dikehendaki. Dari pada
setengah-setengah, tidak jelas antara terjun langsung atau tidak langsung ke dunia politik praktis,
maka tidak ada salahnya Muhammadiyah merubah bentuk dan organisasi sosial keagamaan
menjadi partai politik. Di samping itu, perkembangan yang terjadi dalam Muhammadiyah
menunjukkan adanya indikasi semakin tertariknya warga Muhammadiyah untuk terjun ke dalam
politik praktis. Jika usulan ini disetujui, di satu sisi, menjembatani keinginan sebagian warga
Muhammadiyah yang sejak lama ingin menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik, dan di
sisi lain, mengakomodasi keinginan sebagian yang lain untuk menjadikan Muhammadiyah tetap
sebagai gerakan non-politik, namun memberikan kebebasan anggotanya untuk menyalurkan
aspirasi politik praktisnya pada partai politik yang dikehendaki. Pertanyaannya kemudian adalah:
mengapa solusi ini yang dipilih dan bisakah gagasan ini direalisasikan, sejauh mana keterlibatan
pimpinan Muhammadiyah dalam mengelola partai baru nanti, dan bagaimana dampaknya
terhadap persyarikatan Muhammadiyah sendiri.
Euforia politik warga Muhammadiyah yang menggebu-gebu setelah jatuhnya pemerintahan Orde

Baru sebagian telah tertampung oleh kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN). Ketokohan
Amien Rais sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mendeklarasikan PAN dan
kemudian duduk sebagai Ketua partai, serta lambang matahari sebagai simbol partai
mengaburkan banyak orang dan mereka ini menganggap bahwa PAN adalah Muhammadiyah.
Padahal PAN adalah partai terbuka yang tidak memiliki hubungan struktural dengan
Muhammadiyah dan gerakan sosial keagamaan apapun. Tetapi opini yang berkembang di
sebagian masyarakat menganggap bahwa PAN sama dengan Muhammadiyah. Ketidak-jelasan
hubungan inilah yang sampai sekarang menjadi sebuah dilema, yang pada akhirnya sangat tidak
menguntungkan Muhammadiyah. Dilema hubungan ini menjadikan Muhammadiyah tidak bisa
berbuat banyak pada saat terjadi persoalan di internal partai, termasuk tarik-menarik di antara
kader Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah dalam memperebutkan posisi urutan nomor jadi
anggota legislatif. Namun banyak juga di kalangan warga Muhammadiyah yang menilai
hubungan keduanya secara proporsional-rasional. Yang disebut terakhir ini menilai bahwa PAN
memang bukan Muhammadiyah tetapi mereka ini memandang bahwa PAN merupakan satu
partai yang paling memungkinkan, di antara partai-partai lain, yang bisa memperjuangkan
aspirasi politik warga Muhammadiyah. Oleh karena itu ketika harapan seperti ini tidak terpenuhi
sebagaimana yang nampak dalam program maupun peran wakil partai di lembaga legislatif, yang
sebagian dan mereka ini dinilai sama saja dengan anggota legislatif pada umumnya, mereka
menjadi sangat kecewa. Dalam banyak kasus, Muhammadiyah selalu dituntut memenuhi
keinginan partai agar organisasi sosial keagamaan ini secara transparan mendukung keputusan

tertentu dari partai. Penyebutan nama Amien Rais sebagai calon presiden secara transparan
seperti yang diminta oleh PAN telah menyebabkan mis-komunikasi di antara dua organisasi ini
dalam waktu yang cukup lama. Hubungan antara keduanya mencair ketika Muhammadiyah
secara terbuka mendukung pencalonan Amien Rais menjadi presiden dan juga PAN dalam

pemilihan umum anggota legislatif, yang dikukuhkan dalam pertemuan PP Muhammadiyah yang
diperluas di Yogyakarta, dan terakhir, melalui pertemuan PP dan PW Muhammadiyah yang
dihadiri oleh Amien Rais di Yogyakarta pada 11 April 2004. Hasil pertemuan ini menetapkan
Muhammadiyah sebagai salah satu tim pemenangan pilihan presiden untuk Amien Rais.
Dukungan politis seperti inilah yang pada akhirnya bisa mendorong keterlibatan yang lebih jauh
dari Muhammadiyah ke dalam politik praktis. Jika kecenderungan seperti ini menjadi sebuah
fenomena yang umum di kalangan warga Muhammadiyah, maka apa salahnya Muhammadiyah
mendirikan Partai Politik sebagai bagian dari amal usaha Muhammadiyah.
Ada dua cara yang mungkin bisa ditempuh untuk merealisasi keinginan ini, pertama, menginkuisisi PAN menjadi partai politik Muhammadiyah atau, kedua, mendirikan partai politik baru.
Meskipun keinginan ini mungkin akan mendapatkan reaksi penolakan dari fungsionaris PAN,
terutama jika pilihan dijatuhkan pada cara yang pertama. Namun, langkah mendirikan partai atau
melibatkan diri secara langsung ke dalam partai merupakan pilihan yang pada akhirnya harus
dipertimbangkan untuk menghindari sikap "setengah hati" Muhammadiyah dalam menghadapi
perkembangan politik Indonesia kontemporer. Jika pendirian partai politik ini yang dipilih, maka
bentuk dan sifat partai bisa terbuka, tergantung kesepakatan stakeholders nanti yang akan

menentukan. Sedangkan fungsinya adalah memperjuangkan aspirasi politik Muhammadiyah.
Para pengurus partai bisa direkrut dari aktifis partai maupun fungsionaris organisasi
Muhammadiyah. Pengurus partai bertanggungjawab kepada Muhammadiyah dari semua
program partai yang telah dilaksanakan. Dalam hal pertanggungjawaban ini Muhammadiyah
memiliki kontrol terhadap partai tentang kebijakan yang telah digariskan oleh Muhammadiyah.
Tidak seperti sekarang ini, dalam hubungannya dengan PAN, Muhammadiyah "terkebiri" oleh, di
satu sisi, ketidakmungkinan Muhammadiyah terlibat langsung untuk mengontrol partai, karena
Muhammadiyah memang tidak memiliki hubungan struktural dengan PAN, dan di sisi lain,
kesulitan menghindari opini umum yang mengkaitkan Muhammadiyah sama dengan PAN atau
sebaliknya.
Namun banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum Muhammadiyah benar-benar menekuni
politik praktis ini. Warga Muhammadiyah harus dipersiapkan menjadi orang yang bermental
politisi Indonesia, meskipun hal ini akan sulit pada mulanya. Apa yang secara normatif baik
menurut Muhammadiyah belum tentu baik menurut tradisi politik Indonesia saat ini. Kejujuran
yang selama ini menjadi salah satu nilai yang harus ditanamkan dalam setiap pribadi seseorang,
tidak berlaku dalam bahasa politik. Penyampaian manuver politik tertentu dengan menggunakan
bahasa yang jujur akan merugikan strategi politik Muhammadiyah karena lawan akan dengan
mudah menebak langkah politiknya. Bahasa politik yang ambiguous kurang biasa bagi warga
Muhammadiyah. Karena itu jika modal kemampuan bahasa ini tidak dimilikinya akan
menegaskan bahwa politik yang dikembangkannya adalah politik "jalan lurus," yang dalam

tradisi politik Indonesia era reformasi ini disamakan dengan "politik lugu." Namun
sesungguhnya, secara ideal, nilai-nilai yang dipraktikkan oleh politik "jalan lurus" itu sama
dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh "high politic," yang lebih menekankan pada
penanaman nilai-nilai etika moral agama yang membentuk prilaku setiap individu orang.
Ekspresi politik "jalan lurus" ini bisa dilakukan dengan cara penyadaran masyarakat mengenai
kewajiban dan hak politik mereka melalui civic education. Kesadaran politik seperti inilah yang
oleh lbnu Khaldun disebut sebagai siyasah madaniyah, yang mendasarkan politik pada tingkat
kedewasaan dan kesadaran warga anggota masyarakat dalam menata kehidupan mereka sendiri.
Dalam konsep politik seperti ini institusi sosial formal yang disebut negara tidak diperlukan lagi.
Masyarakat sudah cukup dewasa untuk mengatur diri sendiri, tanpa adanya sebuah pemerintahan

dan negara. Tatanan dasar kehidupan masyarakat yang diinginkan oleh Muhammadiyah, disadari
atau tidak, mengacu pada konsep pendewasaan diri individu warga dan pemberdayaan
masyarakat sipil, dan karena itu penekanan pada pembenahan sumber daya manusia melalui
pendidikan menjadi program utama gerakan ini. Dari hasil pembinaan inilah pengaruh
Muhammadiyah ada di banyak tempat: birokrasi, militer, dan berbagai partai politik. Ketetapan
sikap untuk "tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana" telah lama dilakukan oleh
Muhammadiyah. Oleh karena itu jika Muhammadiyah ingin tetap pada posisi seperti ini, tidak
ada jalan lain kecuali tidak melibatkan diri pada politik praktis. Namun semangat warga
Muhammadiyah yang menggebu dan tertarik dengan "keuntungan"' yang diperoleh dari

keterlibatan ke dalam politik praktis harus difasilitasi dengan pendirian partai politik, untuk
melaksanakan keinginan politik Muhammadiyah. Jika partai politik Muhammadiyah ini yang
dipilih, maka kebulatan dukungan warga Muhammadiyah terhadap pilihan partai sangat
diperlukan. Namun untuk
memperoleh dukungan ini mungkin sangat sulit karena demokratisasi di Muhammadiyah sejak
awal telah menjadikan warganya terbiasa dalam perbedaan pilihan. Karena itu pada saat ada
anjuran keharusan untuk memilih hanya satu partai mereka ini tidak terbiasa. Dilema inilah yang
barangkali menarik untuk diangkat sebagai salah satu agenda yang perlu dipecahkan dalam
Muktamar Muhammadiyah yang akan datang di Malang, Jawa Timur.
Achmad Jainuri Ph.D. adalah Pembina Bidang Litbang dan Pendidikan, Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Timur.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 14 2004