Ruang11 FIksi Volume 1 Cermin Lowres
# 11 FIKSI
cermin rorrim
RUANG
Endhy Prasetyo - Christian Parreno - Hiroki Muto - M. Shamin Sharum
Avianti Armand - Laras Primasari - Tania Chumaira - Annisa Nur Ramadhani
Yusni Aziz - Savitri Sastrawan - Nazmi Anuar - Shreyank Khemalapure
juli 2017
edisi #11: Fiksi
2
RUANG #11: FIKSI
v o l. 1 : Ce r m i n
tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari:
Endy Prasetyo
Christian Parreno
Hiroki Muto
M Shamin Sharum
Avianti Armand
Laras Primasari
Tania Chumaira
Annisa Nur Ramadhani
Savitri Sastrawan
Yusni Aziz
Nazmi Anuar
Shreyank Khemalapure
RUANG
PEMBUKA
Fiksi adalah cerita rekaan, penuturan subyektif tentang hasil imajinasi yang berakar dari fakta. Ia
diasosiasikan dengan “ketidaknyataan” dan “kebohongan”, sementara fakta terkait dengan
“kenyataan” dan “kebenaran”. Sepanjang sejarah, karya iksi terbukti mampu mendorong batas
imaji ruang dan pemikiran di sebuah jaman. Seperti bagaimana Archigram mengenalkan kota yang
dapat bergerak atau pemikiran utopis para Metabolis yang mendorong lahirnya Nakagin Capsule
Tower diTokyo. Edisi kesebelas RUANG ini berangkat dari pertanyaan kami tentang apa yang akan
terjadi jika hubungan arsitektur dan iksi didekatkan kembali dalam diskursus arsitektur.
RUANG sangat berterima kasih atas respon positif para kontributor dari dalam dan luar negeri
yang ikut mempertanyakan, membahas, atau bahkan meredeinisi kembali pertanyaan tersebut;
dan menerjemahkannya dalam sebuah karya. Sebanyak sebelas dari total sembilan belas artikel
akan mengisi volume 1:“Cermin”.
Endhy Prasetyo akan membuka volume “Cermin” dengan “Realitas Arsitektur Fiksi”. Ia membahas
batasan realitas, arsitektur, dan iksi; serta hubungan di antara ketiganya. Selanjutnya Christian
Parreno bercerita bagaimana iksi, yang dilihat sebagai sesuatu yang nyata, telah mendasari
proses mendesain dan diskursus arsitektur melalui “Fiction as Truth in Architecture”. Hiroki Muto
kemudian membahas apa yang iksi telah lakukan pada kota melalui “Fictional City”. Dilanjutkan
oleh M. Shamin Sharum, melalui “Media Fiction / Media Futures”, yang melihat bagaimana media
dewasa ini telah memberi kesempatan bagi pengguna untuk menikmati peran ksional sebagai
arsitek.
Tim RUANG juga berkesempatan untuk mewawancara Avianti Armand, arsitek praktisi yang juga
terkenal lewat karya-karya iksinya, dalam “Antara Fiksi, Kritik, dan Arsitektur”. Setelah itu, Laras
Primasari menyelidiki bagaimana drama dan idealisme sebuah proyek dapat saja gagal jika tidak
ada dukungan politik di baliknya melalui “From Mies, For Detroit”. Sesudahnya, Tania Chumaira
mengkritisi tren hunian masa kini yang sebetulnya didominasi oleh ruang virtual lewat “Distopia
Hunian Kekinian”. Masih dalam konteks tempat tinggal, Annisa Nur Ramadhani memeriksa
eksistensi ruang sosial dalam rumah susun melalui “Ruang Sosial dalam Rumah Susun: Fiksi(kah)?”.
Yang dilanjutkan oleh pengamatan Yusni Aziz tentang workshop Alter Shelter yang menggunakan
iksi untuk mengkritisi isu hunian.
Savitri Sastrawan lalu menceritakan bagaimana arsitektur telah memicu mimpi dan memorinya di
“My Dream – Architecturally”. Dan sebagai penutup, Nazmi Anuar dan Shreyank Khemalapure
akan mendiskusikan bagaimana karya Mies van der Rohe ditampilkan di berbagai ilm lewat “Mies
at the Movie”.
Melalui edisi ini, kami mengajak pembaca untuk lupakan sejenak klien, keterbangunan, konteks
ataupun tektonika; mari kita berandai-andai atas ruang dan kota.
Selamat menikmati RUANG!
ISI
vol.1: Cermin
8
Realita Fiksi Arsitektur
esai Endy Prasetyo
20
Fiction as Truth in Architecture
26
Fictional City
32
Media Fiction
40
esai
Antara Fiksi, Kritik, dan Arsitektur
52
From Mies, From Detroit
60
Distopia Hunian Kekinian
66
esai
Eksistensi Ruang Sosial dalam
Rumah Susun: Fiksi(kah)?
essay Christian Parreno
essay Hiroki Muto
essay M Shamin Sharum
Avianti Armand
essay Laras Primasari
esai Tania Chumaira
Annisa Nur Ramadhani
78
Alter Shelter
88
My Dream - Architecturally
98
Mies at the Movies
esai Yusni Aziz
essay Savitri Sastrawan
essay Nazmi Anuar & Shreyank Khemalapure
K O N T R I B U T O R
ENDY PRASETYO Lulus
dari Institut Teknologi Sepuluh
Nopember tahun 2007 dan
menjadi staff pengajar pada tahun
berikutnya. Minat yang mendalam
dalam arsitektur konseptual dan
manifestasinya telah membawa
ia memimpin studio arsitektur
eksperimental dari 2014 yang
menekankan pada pemikiran kritis
pada arsitektur sebagai masalah
konseptual. Dia menolak untuk
percaya adanya batas antara
konsep dan perwujudan dalam
arsitektur. Saat ini ia memulai
penelitian tentang pendekatan
teoritis terhadap arsitektur
sebagai masalah konseptual.
Mendirikan ordes arsitektur
adalah tindakan nyata untuk lebih
jauh membaurkan batas antara
akademis dan praktek dalam arsitektur.
CHRISTIAN PARRENO
is a Research Fellow and PhD
candidate at the Oslo School
of Architecture and Design,
investigatin the relation
between boredome, space,
and modern architecture. His
research, published in this
issue, has been carried out
partly at the Bartlett School
of Architecture and at the
University of California, Los
Angeles. He holds an MA in
Histories and Theories from the
Architectural Association, and
a degree in Architecture from
Universidad San Fransisco de Quito.
EP
CP
HM
MSS
HIROKI MUTO Born
in 1983, Nagano, Japan.
He finished his bachelor
in Department of Science
and Engineering at Waseda
University and then
continued his Graduate
School of Creative Science
and Engineering at the
same institution. From
2011 to 2013, he had the
opportunity to continue his
study at Berlage Institute,
the Netherlands. Currently,
he is one of the partners of
theWorkshop,inc.
M SHAMIN SHARUM
A partner at no-to-scale
studio and founding
partner of Sesiseni. Shamin
created these platforms as
a way to mediate between
architecture and other
fields such as writing and
fabrication. He also writes
in his spare time and finds
no differentiation between
the word count on Word
or the black background
on AutoCAD. Obtained a
MArch RIBA Pt. 2 from the
University of Greenwich,
London specializing in
design curation, exhibitions
and creative publishing.
Currently based in Kuala
Lumpur, Malaysia.
AA
ARVIANTI ARMAND
Arsitek, kurator dan penulis
yang telah melahirkan
berbagai karya. “Pada Suatu
Hari, Ada Ibu dan Radian”
miliknya memenangkan
Cerpen Terbaik Kompas
tahun 2009. Dua tahun
kemudian, “Perempuan
Yang Dihapus Namanya”
meraih penghargaan Kusala
Sastra Khatulistiwa. Di
bidang arsitektur, Rumah
Kampung karyanya bersama
sang suami, Terry Armand,
memenangkan penghargaan
IAI tahun 2008.
LARAS PRIMASARI
lulus dari Arsitektur ITB
tahun 2010, lalu memulai
karirnya sebagai penulis di
IAAW dan ELLE Decoration
Indonesia sambil berpraktik
sebagai arsitek. Setelah
itu Ia memutuskan untuk
memperdalam ilmu real
estate dan rancang kota di
UNSW Australia. Saat ini
Laras bekerja sebagai penulis
lepas dan asisten akademik
di almamaternya di Bandung.
Ia sedang tertarik untuk
mendalami topik hyperdensity
serta studi cross-genre antara
real estate dengan morfologi kota.
LP
TC
ANR
TANIA CHUMAIRA
adalah peneliti dengan afiliasi
Universitas Indonesia yang
menaruh minat terhadap
ruang, kebertubuhan,
serta bagaimana era digital
membuat keduanya berubah.
Ia juga tertarik akan fabrikasi,
analog maupun digital. Hal
tersebut memotivasinya
untuk melanjutkan studi
di The Bartlett School of
Architecture di jurusan
Design for Performance and
Interaction. Fabrikasi selalu
membantu Tania untuk
menguji hipotesanya terhadap
ruang dan manusia melalui
model studi 1:1.
Ia selalu percaya bahwa ruang
adalah proyeksi dari manusia,
sehingga segala perubahan
lingkung bangun yang ada
berasal dari perilaku kita
sendiri.
ANNISA NUR
RAMADHANI adalah
mahasiswi arsitektur
penggemar wacana dan
isu-isu tentang permukiman
dan perkotaan. Setelah
menyelesaikan studi sarjana
arsitekturnya di ITS pada
tahun 2016 lalu, saat ini
Annisa sedang mengenyam
pendidikan pasca-sarjana
di kampus yang sama ITS
Surabaya.
YA
YUSNI AZIZ Alumnus
dari double-degree bachelor
program kerjasama antara
ITS dan Saxion Hogeschool
of Applied Sciences.
Kemudian menyelesaikan
riset di Berlage Institute
pada tahun 2013. Saat ini
sedang sibuk dengan riset
independen dan mengasuh
blog pribadi di www.
yusniaziz.com
D.A.E. SAVITRI
SASTRAWAN is
a Balinese nomad,
DewaAyuEka Savitri
Sastrawan is an ar ts and
language freelancer. She is
an ar tist, a Bahasa Indonesia
- English translator, and
currently completing Master s
in Global Ar ts at Goldsmiths,
Univer sity of London. She
previously studied Fine Ar t
Painting at ISI Denpasar,
Bali and Chelsea College of
Ar t and Design, UAL, UK.
Her research interest is to
explore the interdisciplinar y
possibilities in the ar ts and
language within the global
society and culture .
DSS
NA
SK
NAZMI ANUAR runs
the collaborative research
and design office Normal
Architecture and teaches at
the School of Architecture,
Building & Design, Taylor’s
University, Kuala Lumpur. He
believes that architecture
should not be limited to the
job of designing buildings
but should be practiced as a
discipline of knowledge and a
process of cultural production.
He holds a Bachelor of
Architecture from UPM,
Kuala Lumpur and a Masters
in Architecture and Urban
Design from The Berlage,
Delft.
SHREYANK
KHEMALAPURE teaches
Humanities and History of
Architecture at L. S. Raheja
School of Architecture,
Mumbai since 2015. He also
develops projects ranging
from architectural research
to documentary film making
at Room for Architecture mostly in collaboration. He
graduated from The Berlage,
Center for Advanced Studies
in Architecture and Urban
Design in 2014.
RUANG
Editorial Board :
Ivan Kurniawan Nasution
Yusni Aziz
Roianisa Nurdin
Fath Nadizti
Laras Primasari
web : www.membacaruang.com
facebook : /ruangarsitektur
twitter : @ruangarsitektur
tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com
email : [email protected]
Segala isi materi di dalam majalah elektronik ini
adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing
penulis. penggunaan gambar untuk keperluan
tertentu harus atas izin penulis.
Desain sampul:
Ivan Nasution
Maria Sheherazade Giudici & Davide Sacconi
REALITA
ARSITEKTUR
FIKSI
Endy Yudho Prasetyo
Apakah itu iksi, realita dan arsitektur; dan apa hubungan yang terjadi di
antara ketiganya. Apa kita sebetulnya butuh arsitektur iksi? Apa gunanya untuk
keilmuan arsitektur? Kenapa eksistensinya masih saja relevan?
Dalam tulisan singkat ini, saya akan
membahas aspek realita yang ada
pada arsitektur iksi. Terbagi menjadi
tiga bagian, saya akan mulai dengan
mengajukan pertanyaan kritis mengenai realita, lalu berlanjut ke pembahasan mengenai arsitektur, dan
diakhiri dengan elaborasi tentang
arsitektur iksi.
Beberapa pembahasan yang termuat
merupakan sudut pandang yang saya
miliki, dalam hal ini saya lebih berperan sebagai pemerhati amatir akan
hubungan antara iksi dan realita.
Meski tidak dapat dipungkiri, sudut
pandang tersebut sudah tertanam
dan menjadi bagian dari diri saya ketika berperan sebagai seorang arsitek
praktisi dan pengajar arsitektur.
Kita mulai dengan pembahasan pertama, apakah sesungguhnya realita itu?.
Sebagian mungkin akan menghubungkan kata realita dengan kondisi sekarang dan masa lalu yang sedang atau
telah terjadi. Yang telah diterima oleh
reseptor panca indera untuk diteruskan ke otak dan diproses sebagai informasi dan pemahaman.
9
Gambar kiri: Plug-in
City karya Archigram.
Sumber: http://megaestructuras.tumblr.com/
page/10
edisi #11: Fiksi
Urutan proses itu melibatkan dua
elemen yang sama penting. Objek
atau kejadian yang berlangsung, dan
pemahaman oleh subjek pengamat.
Satu elemen tersebut tidak akan berarti tanpa bagian yang lain.
Ilustrasi akan perbedaan pemahaman.
sumber: pinterest.com,
2016
bingung banyak penonton, karena
tipisnya batasan (dan tidak jarang
dicampur-adukkan) antara kejadian
yang sesungguhnya dengan kejadian
yang iksional. Kontradiksi dan kekacauan tersebut semakin memperkuat
persepsi saya akan realita yang sebenarnya.
Dalam A Monster Call, Conor berimajinasi tentang monster pohon raksasa
yang membantunya menerima kenyataan bahwa ibunya sakit dan mungkin tidak lama lagi meninggal. Sangat
kontradiktif, dimana seorang anak
menciptakan sebuah tokoh imajiner
untuk membantunya menerima realita. Menariknya, tidak hanya Conor,
tetapi saya sebagai penonton juga
berhasil disadarkan monster itu bahLalu kemudian muncul pertanyaan, wa dunia ini tidak pernah sempurna.
dari kedua hal tersebut, manakah Bad things do happen sometimes.
realita itu? Kejadian yang sedang
berlangsung, atau pemahaman oleh Pertanyaan yang kemudian timbul,
subjek ?
apakah sosok monster rekaan tersebut hanyalah iksi yang bisa kita kesaSeperti ilustrasi di atas, pemaha- mpingkan, atau bagian dari realita?
man oleh subjek pengamat dapat
sama sekali berbeda antara subjek Hal tersebut dapat dikorelasikan
satu dengan yang lain. Kedua orang dengan istilah pseudo-emotion dan
itu memiliki pendapat berbeda akan pseudo-reailty. Sebuah emosi dan kenangka yang tergeletak di lantai ka- yataan semu. Seperti saat kita menrena perbedaan sudut pandang. Fak- dapat perasaan menegangkan ketika
tanya, angka yang tergeletak hanya menonton ilm horror atau bermain
satu. Oleh karena, itu salah satu dari video game yang penuh monster dan
mereka pasti salah. Tapi, apa betul re- darah. Meskipun kejadian tersebut
alita adalah sesuatu yang tunggal?
tidak secara langsung kita alami, namun ada informasi yang diterima oleh
Kata ‘realita’ mengingatkan saya akan otak. Dan kejadian yang dialami otak
beberapa judul ilm yang mencam- kita adalah sebuah kenyataan, meski
pur adukan iksi-imajinasi, dan re- kita mendapatkannya dari sesuatu
alita, seperti Big Fish, A Monster Call, yang semu.
dan Birdman. Jalan cerita membuat
10
RUANG | kreativitas tanpa batas
Pemahaman realita oleh sensor panca indera telah dibahas Socrates dan
diteruskan muridnya, Plato. Menurut
mereka, indera isik yang kita miliki
pada dasarnya menghalangi kita untuk memahami kebenaran realita
yang sesungguhnya1. Dan realita
akan lengkap ketika kita melibatkan
apa yang disebut knowledge2.
Sebagai contoh, jika terdapat dua
orang yang berdikusi akan kata “jeruk”, bagaimana kita yakin bahwa
mereka berdiskusi akan jeruk yang
sama?
Dengan demikian, kita perlu mempertanyakan akan realita jeruk yang
mereka diskusikan. The realm of form
yang diyakini oleh Socrates dan Plato
merupakan sebuah alam, dimana terdapat data akan pemahaman akan
“ke-jeruk-an” sebuah jeruk. Ia dapat
dilihat sebagai bank data imajiner yang
dimiliki semua orang akan pemahaman objek dan kejadian. Sehingga jika
kita melihat atau membayangkan sebuah jeruk, pada dasarnya kita hanya
melakukannya pada perwakilan dari
sebuah jeruk, bukan jeruk yang sebenarnya.
11
Atas: Monster pohon
dalam ilm a Monster
Call. Sumber: alisoneldred.com, 2016
Kiri bawah: Perwakllan sebuah jeruk
sumber: google image,
2016
1) Socrates dan
Plato berkeyakinan
bahwa kebenaran
sesungguhnya berada
pada alam Form,
(The realm of Form)
dimana alam tersebut
adalah alam abstraksi,
bukan alam isikal
yang kita lihat saat ini.
2) Saya yakin bahwa
Knowledge yang dimaksud oleh Socrates
dan Plato, lebih dekat
ke arah kata ‘pemahaman’ ketimbang
kata ‘pengetahuan’.
edisi #11: Fiksi
3) Sir Nikolaus Bernhard Leon Pevsner,
seorang ahli sejarah
arsitektur dan seni
menjelaskan pemahaman akan arsitektur
dalam buku yang
berjudul ‘An Outline of
European Architecture’, yang diterbitkan
pada tahun 1942.
Plato menyampaikan bahwa kita
hendaknya melihat tidak dengan
panca indera, namun dengan knowledge. Hal tersebut membawa kita
pada pemahaman bahwa realita,
sesungguhnya adalah apa yang kita
yakini, dengan objek, dan kejadian,
yang secara isik terjadi, berperan sebagai pemicunya.
Lalu bagaimanakah dengan realita
dalam arsitektur? Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebaiknya kita
bertanya lebih dahulu tentang apa
itu arsitektur.
Banyak sekali pendapat berbeda
akan kata arsitektur, di samping fakta
bahwa kata arsitektur tercipta dari
penggabungan dari dua kata dari
bahasa Yunani, “chief ” dan “builder”.
Secara literal, keduanya dapat diterjemahkan sebagai “kepala tukang”.
Pembahasan arsitektur juga tidak
bisa lepas dari konsep klasik ‘triad’
arsitektur yang dipaparkan oleh Marcus Vitruvius Pollio (81SM-15). Bahwa arsitektur terdiri dari venustas
(keindahan), utilitas (kegunaan), dan
irmitas (kekokohan). Tidak mengherankan jika kemudian Pevsner
(1942)3 menyatakan bahwa segala
jenis naungan atau perlindungan
yang memungkinkan manusia untuk beraktivitas di dalamnya adalah
bangunan. Dan kata arsitektur ditasbihkan pada bangunan yang dibuat
dengan intensi keindahan.
Jika kita mengambil kesimpulan sementara bahwa arsitektur adalah
sebuah objek isik berupa bangu12
nan yang memiliki intensi keindahan,
maka sesungguhnya hampir mustahil
membuang objek terbangun dalam
pembahasan arsitektur. Tapi benarkah
demikian?
Ide bahwa arsitektur sebagai sebuah
objek isik tampaknya sangat bertolak
belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Peter Eisenman. Ia beranggapan bahwa perwujudan arsitektur
sesungguhnya adalah ide. Ide dibalik
rancangan suatu objek, sebuah abstraksi, tanpa wujud isik. Sehingga objek isik yang dapat kita amati sesungguhnya adalah sebuah media, sebuah
wadah dimana ide tersebut tertuang.
Eisenman bahkan menyebut bahwa
RUANG | kreativitas tanpa batas
bangunan yang ia rancang sesungguhnya hanyalah model isik dengan
skala 1:14 tidak lebih ‘penting’ dari
maket model dengan skala berapapun dalam perannya sebagai media
ide. Bahwa arsitektur sesungguhnya
adalah hal (ide) yang tertuang di kertas gambar (bukan gambar dan kertasnya) dan bukan pula benda yang
terbangun di atas tanah5. Sehingga
pertanyaannya bukanlah ‘apakah
benda itu adalah sebuah arsitektur?,
namun ‘bagaimanakah arsitektur
benda itu?.
menuliskan “Model of House II” untuk
foto bangunan House II miliknya. Hal
itu tampaknya sangat menghibur Eisenman karena foto tersebut secara
tidak langsung memaparkan ide Eisenman bahwa objek terbangun tidak
lebih adalah sebuah maket model
skala 1:1.
Arsitektur sebagai sebuah ide mungkin sebuah gagasan yang tidak mudah untuk diterima. Materialitas, dan
proses membangun ide itu juga tidak
dapat dipisahkan dari diskursus arsitektur. Namun kemudian sebuah
Dalam wawancara bersama Iman pertanyaan muncul di benak saya,
Ansari, Eisenman mengatakan salah Apakah seorang arsitek akan hilang
satu majalah Prancis tanpa sengaja ke-arsitek-an-nya jika rancangannya
tidak pernah dibangun?
Hal tersebut mengingatkan saya pada
seorang seniman yang juga seorang
arsitek bernama Giovanni Battista
Piranesi, yang selama hidupnya hanya
sempat memiliki satu bangunan yang
terbangun. Begitu juga dengan salah
satu arsitek eksperimental Lebbeus
Woods, yang juga hanya memiliki satu
karya terbangun, berupa karya instalasi yang menempel pada bangunan
yang dirancang oleh Steven Holl.
Apakah Zaha Hadid bukan seorang
arsitek sebelum Vitra Fire House
terbangun? Apakah Archigram juga
hanya sekelompok anak muda yang
banyak memiliki waktu luang?
Pemahaman Eisenman akan arsitektur nampaknya cukup sejalan dengan
Bernard Tschumi. Menurutnya, arsitektur pada dasarnya adalah sebuah
bentuk ilmu pengetahuan, dan bukan
13
4) Skala 1:1, saya
sengaja menggunakan kata ‘skala 1:1’
dan bukan kata ‘skala
sebenarnya’ dikarenakan skala berapapun
menurut pemahaman
Eisenman adalah
‘sebenarnya’.
5) Wawancara
Peter Eisenman
dengan Iman Ansari
yang dipublikasikan
pertama kali pada
Hamshahri Architecture di Iran pada
tahun 2013.
Keterangan foto:
Foto House II, Peter
Eisenman.
sumber: www.
architectural-review.
com
edisi #11: Fiksi
6) Bernard Tschumi,
Red is Not a Color,
2012
7) Pembahasan
mengenai abstraksi
arsitektur merupakan
pembahasan lanjutan
yang pernah saya
paparkan dalam topik
Dematerialization of
Architecture, sebuah
paparan singkat pada
komunitas deMaya,
Surabaya, pada tahun
2012 yang lalu.
bentuk ilmu pengetahuan, dan bukan
ilmu pengetahuan akan bentuk6. Pendapat Tschumi memperkuat pendapat Eisenman, bahwa arsitektur adalah hal yang abstrak, dan bukanlah hal
yang isikal, dan materialistik.
“arsitektur iksi pada
dasarnya memiliki
esensi yang sama
dengan arsitektur
yang non-iksi.”
Andrea Palladio (1508-1580) menghabiskan sisa waktu hidupnya untuk
menggambar ulang semua bangunan
yang ia rancang selama hidupnya
dan menuangkan pemahamannya
tentang arsitektur dalam buku berjudul “I quattro libri dell’architettura”,
atau The Four Books of Architecture.
Palladio menyatakan bahwa ia ingin
dikenang sebagai arsitek yang merancang bangunan-bangunan yang
ada di dalam buku yang ia tulis, bukan sebagai arsitek yang merancang
bangunan yang telah terbangun. Ia
merasa bahwa gagasan yang ada di
buku, jauh lebih murni dibandingkan bangunan yang terbangun. Hal
tersebut menurut saya menunjukkan keyakinannya bahwa semakin
abstrak media yang digunakan untuk
menunjukkan ide arsitektur, semakin
murni arsitektur tersebut7.
Dari pembahasan yang saya kemukakan, saya ingin memperkenalkan sudut
pandang yang menunjukkan bahwa
arsitektur adalah suatu hal yang abstrak, bukan isikal dan materialistik.
Hal tersebut penting untuk disadari
sebelum kita membahas topik ketiga,
arsitektur iksi.
Arsitektur iksi mungkin akan mudah
dikorelasikan dengan rancangan arsitektur yang sifatnya eksperimental,
spekulatif, dengan konteks sebagai
sesuatu yang imajinatif, dengan seting
waktu yang tidak mengekang. Kekuatan dari arsitektur tersebut kemudian
Kita kembali ke pertanyaan semula, terletak pada pemikiran dan proses
apakah arsitektur itu?
eksperimen dari sang perancang, dan
bisa saja tidak berorientasi kuat pada
14
RUANG | kreativitas tanpa batas
objek yang dihasilkan.
Sebuah arsitektur yang bermula
dengan pertanyaan “Bagaimana
jika?”. Pertanyaan tersebut jelas menandakan bahwa setting dan konteks
yang menjadi dasar berpijak adalah
sebuah proses imajinasi.
Jika kita amati lebih jauh, arsitektur
Archigram, Super Studio, dan Lebbeus Woods adalah sekian dari banyak pionir yang memulai pergerakan
akan arsitektur eksperimental. Meski
dalam sudut pandang saya, arsitektur eksperimental bukanlah pergerakan arsitektur yang mungkin bisa
kita bandingkan dengan arsitektur
klasik, modern, dan postmodern. Namun lebih kepada pergerakan untuk
mengembalikan peran arsitektur sebagai wadah dari ide dan inovasi.
Hal tersebut didukung dengan pernyataan oleh Archigram. Mereka berkiprah di era pesatnya perkembangan
teknologi dan peradaban manusia8,
yang sayangnya menurut mereka
tidak diikuti oleh perkembangan keilmuan arsitektur. Archigram lalu memulai ‘kampanye’ dengan menuangkan
ide-ide yang pada masa itu, dan mungkin sampai dengan sekarang, dianggap
nyeleneh dalam dunia arsitektur.
Salah satu karya Archigram yang
fenomenal adalah Moving Cities yang
pada dasarnya tidak pernah lepas
dari hal yang bersifat spekulatif, secermat apapun prediksi dan kalkulasi
sang perancang. Dengan demikian,
arsitektur iksi pada dasarnya memiliki esensi yang sama dengan arsitektur yang non-iksi.
Firma dan studio arsitek semacam
15
8) Archigram
didirikan pada tahun
1960an, sebuah era
dimana teknologi
pada masa tersebut
mengalami perkembangan yang sangat
pesat, pendaratan
manusia ke Bulan
yang pertama kali
adalah salah satunya.
Foto tengah: Karya
Instalasi Lebbeus
Woods “The Lights
Pavillion”.
sumber: dezeen.com
Foto bawah: Media
kampanye Archigram
yang berbentuk
majalah.
sumber: arcspace.com
edisi #11: Fiksi
Atas: Moving Cities,
karya Ron Herron,
Archigram, 1964
sumber: archigram.net
fenomenal yang dirancang Ron Herron di tahun 1964. Ron memaparkan ide tentang sebuah (mungkin
lebih tepatnya, beberapa) kota yang
dapat berpindah layaknya sebuah
kendaraan yang sangat besar.
Dalam karya tersebut Ron mempertanyakan kondisi statis dari sebuah kota. Fleksibilitas lokasi dari
sebuah kota yang dapat berpindah
diyakini memiliki keunggulan dibanding sebuah kota yang statis. Sebagian
mungkin akan berpendapat bahwa
apa yang dilakukan oleh Ron adalah suatu hal yang sia-sia, karena toh
sampai dengan saat ini karya tersebut belum terbangun, dan kemungkinan besar tidak akan terbangun. Pertanyaannya, apakah betul itu adalah
sesuatu yang sia-sia? Mungkin itu sebuah pertanyaan yang tidak mudah
untuk dijawab, satu hal yang pasti
bahwa karya tersebut mampu men16
ciptakan sebuah diskusi baru dalam
dunia arsitektur.
Sebuah irma arsitektur Meksiko yang
berbasis di Guadalajara, Estudio 3.14
merancang sebuah dinding raksasa
berwarna merah muda keunguan
yang memisahkan Amerika dengan
Meksiko. Karya tersebut baru-baru
ini hangat dibicarakan, karena diilhami
dari pernyataan presiden Amerika
terpilih, Donald Trump, yang ingin
mendirikan dinding pemisah dua negara tersebut.
Meski sesungguhnya tidak terlalu
spekulatif (dikarenakan sampai saat ini
Donald Trump masih bersikukuh untuk mendirikan dinding tersebut, sehingga konteks dan setting-nya jelas),
namun bersifat sangat eksperimental.
Rancangan dan visualisasi Estudio 3.14
menjadi viral dan banyak didiskusikan.
Apalagi mereka juga memperkirakan
RUANG | kreativitas tanpa batas
program apa saja yang ada di dalam
struktur tersebut. Menariknya, juga
muncul diskusi yang memperkirakan
biaya yang mungkin akan dihabiskan
apabila dinding tersbut terbangun,
dan hal tersebut menjadi pertanyaan
kritis para pembayar pajak di Amerika Serikat. Banyak pengamat dan
diskusi yang menyebutkan bahwa
mendirikan dinding tersebut adalah
tindakan yang hampir mustahil, dengan segala pertimbangan, terutama
pembiayaan, dan kemanfaatannya.
Dengan demikian, apakah yang dilakukan oleh Estudio 3.14 adalah
sia-sia?
Setidaknya, karya tersebut menciptakan diskusi baru yang telah saya
sebutkan sebelumnya. Berbicara
mengenai ke-‘sia-sia’-an arsitektur
eksperimental, Lebbeus Woods
dalam sebuah diskusi menyatakan
bahwa, “dari segi ekonomi, waktu
dan sumber daya, arsitektur eksperimental adalah hal yang mungkin terlihat tidak memiliki arah yang jelas
dan mungkin sia-sia9, namun dampak
yang dihasilkan, dalam hal ini diskusi,
dan timbulnya pemikiran-pemikiran
dan kemungkinan-kemungkinan baru
dalam bidang arsitektur maupun bidang lain adalah sesuatu hal yang
sangat esensial dalam perkembangan
keilmuan arsitektur.
Arsitektur iksi pada dasarnya menuntut dan melatih sang perancang untuk
berpikir kritis dalam segala hal, baik
dalam hal menentukan konteks dan
setting yang imajinatif maupun menyusun hipotesa dari kemungkinankemungkinan yang terjadi. Selain itu,
sang perancang juga dituntut untuk
secara konsisten mempertahankan
apa yang telah ditentukan menjadi
parameter pada langkah sebelumnya.
Pada dasarnya, arsitektur iksi bukan-
17
9)Pernyataan Lebbeus
Woods dalam sebuah
wawancara yang
dipublikasikan secara
online.
Foto bawah: Dinding
pemisah antara
Amerika dan Meksiko,
karya Estudio 3.14,
2016
edisi #11: Fiksi
bukanlah pekerjaan mudah yang
dengan mudah dimanipulasi, semua
imajinasi dan spekulasi yang terjadi
memiliki dasar yang kuat, sehingga
rancangan tersebut menjadi runtut
dan konsisten.
Untuk menutup tulisan ini, saya
mengangkat kembali pembahasanpembahasan sebelumnya dan mencoba untuk menarik benang merah
hubungan antara ketiganya, pembahasan mengenai realita, serta
hubungannya dengan arsitektur dan
arsitektur iksi.
“karya tersebut
mampu menciptakan
diskusi baru dalam
dunia arsitektur”
Dari pembahasan pertama dapat
kita simpulkan bahwa realita, pada
dasarnya sangat bergantung dengan
persepsi pengamat, dan objek isik,
‘hanyalah’ pemicu yang menghasilkan
informasi dan pemahaman. Dalam
hal ini arsitektur iksi memiliki peran yang penting, dimana kita perlu
mempertanyakan, apakah media
18
arsitektur iksi yang kemungkinan besar adalah gambar bukanlah suatu arsitektur, jika pada kenyataannya gambar tersebut mampu menghasilkan
informasi dan pemahaman terhadap
pengamat. Jika kita kaitkan dengan arsitektur pada pembahasan kedua, dimana keterbangunan dalam arsitektur,
adalah hal yang tidak esensial, maka
peran arsitektur iksi sudah seharusnya berada di garda depan dalam
perkembangan keilmuan arsitektur.
Sifat arsitektur iksi yang mampu
memancing kemungkinan timbulnya
diskusi dan pengetahuan baru dapat
kita gali, serta sifat arsitektur iksi yang
mengedepankan ide tanpa membutuhkan media isik berupa obyek terbangun merupakan instrumen yang
eisien dalam mendorong keilmuan
arsitektur, terutama di masa sekarang
untuk menghindari kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dikarenakan
posisi arsitektur yang cenderung hadir
untuk melayani pasar.
Akhir kata, arsitektur iksi memang
memiliki konteks dan setting yang imajinatif, iksional, dan mungkin dalam
sudut pandang tertentu sia-sia, namun
dampak yang di terima oleh pengamat adalah sebuah realita. Sebuah realita arsitektur iksi.
RUANG | kreativitas tanpa batas
“Sebuah arsitektur
bermula dengan
pertanyaan
“Bagaimana jika?”.
Pertanyaan tersebut
jelas menandakan
bahwa setting dan
konteks yang menjadi
dasar berpijak adalah
sebuah proses
imajinasi.”
Endy Yudho Prasetyo
19
edisi #11: Fiksi
20
RUANG | kreativitas tanpa batas
FICTION AS
TRUTH IN
ARCHITECTURE
Christian Parreno
When my love swears that she is made of truth,
I do believe her though I know she lies,
That she might think me some untutored youth,
Unlearn’d in the world’s false subtleties.
Thus vainly thinking that she thinks me young,
Although she knows my days are past the best,
Simply I credit her false-speaking tongue:
On both sides thus is simple truth suppressed.
But wherefore says she not she is unjust?
And wherefore say not I that I am old?
O, love’s best habit is in seeming trust,
And age in love loves not to have years told.
Therefore I lie with her and she with me,
And in our faults by lies we lattered be.
Left Images: “Ring”
Instalation at Place
Vendome, Paris,
France, by Arnaud
Lapierre. Copyright:
Arnaud Lapierre.
(William Shakespeare, Sonnet 138)
21
edisi #11: Fiksi
[1] Harry O. Frankfurt.
On Truth. London:
Phaidon, 2007. 87-89
[2] Antonio Negri. Negri on Negri. In http://
www.christianhubert.
com/writings/index.
htm
Harry O. Frankfurt refers to the Sonnet 138 by William Shakespeare to
describe truth as a construction of iction. 1 In the story, the intimacy of
two lovers is mediated by a tacitly agreed artiice that bases their relationship. While the woman feigns to believe that her companion is younger
than she knows he is, the man realises that she is aware of his deceit but
— exchanging sympathies — he assents to the portrayal of her as truthful. Their arrangement turns away from the factual to aspire to the ideal,
as a lexible tale of desire, without the need of exterior approval. The
possibilities of their future are thus delineated by the unveriiable limits
that they have established. The illusion is operational — a condition to be
assembled — as Antonio Negri declares, ‘the sole criterion of truth… is
action. Truth is itself an action… a confrontation. When one acts, one goes
beyond solitude because to act is to search for the truth, and truth always
appears in common’. 2
If truth is action, then iction as truth has the capacity of structuring any
system of interiority — the space of sentiments and reason — and exte-
“Ring” Instalation at
Place Vendome, Paris,
France, by Arnaud
Lapierre. Copyright:
Arnaud Lapierre.
22
RUANG | kreativitas tanpa batas
riority — the space of the world and society. Simultaneously, it tests and
challenges the boundaries of its ield of action through the creation of the
new or the obliteration of the old. These attempts of positive or negative
transcendence not only expose the strengths and the vulnerabilities possessed by the performing agent but also contributes to the formation of
identity and the environment, as when mythical stories inspire actions and
reactions. In this manner, the truth of iction turns into a methodology of
design that supports and organises expression, with the aim to avoid capricious detours by establishing intrinsic regulations that delineate potential
engagement, saving the designer from the sabotage of arbitrariness.3
In architecture, these operations manifest in the sequence of its ideation
and encounter. In the irst instance, what emerges is the philosophical and
ethical question of how form is ought to be conceived. Fiction serves as an
instrumental and valuable truth that mobilises the parameters and intentions of patterns and motifs, which can serve to trace back the premises
of design once it has been represented or materialised. The resulting construct can elude the rational and appeal
to the emotional, uncovering the truth of
iction as a mood rather than as a function
— even if function is the chosen style or
attitude. In the second stage, the presence
of the individual establishes a rapport with
the surroundings in which new narratives
about dwelling emerge. Although these
revelations are informed by accumulated
knowledge and dormant expectations,
they are modiied by the mutual inluence
between the involved forces, generating
other truths or destabilising existing ones,
in a moment of collision of ictions. As
such, the intentions of architecture change
with inhabitation and inhabitation is coloured by the gestures of architecture.
23
[3] For Adam Phillips,
this truth is scientiic
since it avoids unnecessary desire. On
Kissing, Tickling and
Being Bored. London:
Faber and Faber,
1993. xvii-xviii.
edisi #11: Fiksi
[4] Anthony Vidler.
‘The Third Typology’.
In Kate Nesbitt
(ed.), Theorizing a
New Agenda for
Architecture. London:
Princeton Architectural
Press, 2000. 261-263
The architectural search for the ultimate iction not only problematizes
the autonomy of form and its experience but also its relation to history.
For instance, creating a chronological account based on the understanding
of the past as truth, Anthony Vidler identiies three main typologies in the
development of modern architecture. The irst goes back to the rationalist
philosophy of the Enlightenment, with a natural unit of design based on the
‘primitive hut’ (1755) by Marc-Antoine Laugier. Subsequently, the second
arises at the end of the nineteenth century in response to conditions of
mass production and technological development, epitomized in the work
of Le Corbusier. Finally, the third stands free of determined roles, enabling
architectural design and urban planning to become ontological entities, as
in the ‘stararchitecture’ of Zaha Hadid, OMA, and Peter Eisenman, among
others.4 This classiication appears as a historical ictionalization of architectural ictions, connecting nodes of the past as episodes of the discourse of
the discipline — indicative rather than undisputable.
“Fiction as truth projects
architecture as iction”
Under this light, iction in architecture turns into a dynamic truth, as a topological enabler that combines function and expression through various
techniques of design, in intertextual coexistence with other phenomena.
Analogous to the literary — like in the lovers of the Sonnet 138 — it provides systematization and order, with a beginning and an end yet articulating multiple and concurrent spaces and temporalities.
24
RUANG | kreativitas tanpa batas
“If truth is action,
then iction as truth
has the capacity of
structuring any system
of interiority — the
space of sentiments
and reason — and
exteriority — the
space of the world and
society.”
Christian Parreno
25
FICTIONAL
CITY
Hiroki Muto
In our contemporary urban narratives, ictional city has been existed in many
types. The next question is : how can we take into account their potential to
reconnect the society back with their genuine culture?
Story
From the word “ictional city”, you might imagine some books written by
Italo Calvino and Jonathan Swift, or sometimes Franz Kafka and Jorge Luis
Borges. In the stage of their works, generally categorized as “Fantasy Literature”, practical causal relationships and dynamics are distorted, even making
readers dizzied. However, any cities as the stage of stories are originally
ictional, even if those cities are named and function the same as they are in
the real world, in the sense that events and human lives occurred there are
ictional. And in the most of cases, readers enjoy those ictions as something
independent, detached from the real urban lives.
Project
Not only cities, which are created by individual imagination and presented
as the form of stories, are the ictional cities. From Le Corbusier or Russian
27
Left: Illustration by
J.J. Grandville for the
1856 edition of
“Gulliver’s Travels” by
Jonathan Swift.
source: hubpages.com
edisi #11: Fiksi
Avant-garde to radical urbanisms in 60’s (mainly characterized by Archigram
and Metabolism) and even early OMA in 70’s, there have been many urban
projects regarded as ictional, because of their unfeasibility and absurdity (at
least for general public).
However, any projects on a city by architects, urbanists, and artists with urban vision, regardless of whether they are imaginary or realistic, are started
as ictional, in order to represent the collective imagination of a society. They
“project” on a city as ictions social requests and desirable futures, which are
not yet clearly formed, and ask its actuality to the citizens. The represented
collective imagination is given back to citizens, becoming a devise to arouse
more imagination.
If a story is a iction disconnected from the reality, a project is a iction connected with the reality. When it is actually connected with the reality, or realized as urban development, the ictional aspect of the project inishes its role.
Rem Koolhaas, OMA,
“Exodus, or the
Voluntary Prisoners of
Architecture”, 1972.
source: not-for-them.
blogspot.com
Database
It is not easy to differentiate reality from iction in the contemporary cities,
driven by information technology and global capitalism. In a sense, a contemporary city itself is already ictional. This ictionality is characterized especially
by the lack of the immediacy and originality of the place and human body in
the cities, which are illed with numerous amount of stories.
Although those stories are sometimes related with certain places, they are
limitlessly rewritable on the places. And although they are sometimes connected with physicality, our perception stays supericial because of the sev28
RUANG | kreativitas tanpa batas
eral layers of virtual body. Therefore the
stimulating experience of immediacy
and originality doesn’t exist anymore,
which was the essence of the reality.
The main cause of this ictionality lies
on the process of how the contemporary city generates stories. The contemporary city is a database which stores
every information, and users gets any
desirable stories by picking and combining any information out of it. Regardless of whether those stories serve
purely entertainment purpose (games
or communication through information
technology), or help us to easily establish our identity by holding differences
from others in a symbolic way (any branding strategy form fashion to urban
development), the consumption of these stories is already necessary for
contemporary urban lifestyle.
The stories generated from the database allow ininite simulation, resulting
into the distortion of time and space in our perception. Furthermore the
absence of imagination or subjectivity promotes the disappearance of immediacy and originality. This contemporary city with full of stories is the 3rd
type of ictional city. It should not necessarily be denied to enjoy the small
narratives generated by the database, in the age where the “Grand Narratives” (Jean-François Lyotard) doesn’t exist anymore. However, if those
stories are disconnected from our places and bodies, and exclude the possibility of our subjectivity and imagination, the urbanity or urban culture that
consists of those stories will end up just as a temporal commodity, which is
copied and consumed all over the world.
Food Culture and 4th Fictional City
In order to create genuine culture based on place and body, it will be a good
way to start from basic fundamentals for human life: food, shelter, and clothing. Especially among these three, food has been deeply related with place
and body, through the process of production, distribution, and consumption,
and played an important role as one major aspect of urban culture. (These
days, clothing has too much of symbolic feature as fashion, and shelter is also
being absorbed in real estate image strategy, both losing its purity.)
29
Location-based online
game “Ingress” by
Niantic, Inc. (2013- ).
source: i.imgur.com
edisi #11: Fiksi
However, the more food is regarded as fundamental for human life, it tends
to be operated in a more systematic way: the rule that it should be produced, processed, and distributed with the maximum suficiency based on
the latest science and technology, and also should be circulated and consumed through the best market principle. As a result, food issue including
food culture is absorbed in the contemporary ictionality: simulation of stories by the database, or the condition that the whole process is compressed
in a story and presented to customers without the real value of food.Then it
loses the suficient power to intervene the reality as a fundamental element
for human life.
What we propose now is the 4th ictional city as the miniature of the contemporary city. This sanctuary generates stories of a city through every type
of ictionality: the strong subjectivity of the irst type, the representation of
collective imagination of the 2nd, and the utilization of the database of the
3rd. The story (=iction) gains the immediacy and originality by the connection with place and body through the mediation of food. The paradox, or
iction as the platform of reality bridges to the new urban culture.
Conceptual diagram
of 4th ictional city =
“Crack of Urbanity”.
©The Workshop
What was described above is the conceptual sketch of the project “Crack
of Urbanity”, which we, theWorkshop is planning now. This theoretical project takes the form of food festival and is temporary inserted in the urban
space. A collective story is generated there by the interactive communication based on information technology, while holding the physical and cultural
experience of food as the main axis.The site is planned to be in Bangkok, the
global city with full of vitality and desirable nodes of several powers.
30
RUANG | kreativitas tanpa batas
“However, any
projects on a city by
architects, urbanists,
and artists with
urban vision,
regardless of whether
they are imaginary or
realistic, are started
as ictional, in order
to represent the
collective imagination
of a society.”
Hiroki Muto
31
MEDIA FICTION /
MEDIA FUTURES
Muhammad Shamin bin Sahrum
Media Fiction discusses how the new forms of media that empower users to
embrace ictional roles of the architect. However, paradoxically, will the advancement of media that evolved from mere representation towards collaborative, interactive, network and user-oriented slowly dismantled the autonomy of
Cedric Price famously scolded to a bickering husband and wife when designing their new house, saying ”You don't need a new house, you need a divorce!”
Which goes to show that a new building isn't always the answer. It also
serves as a point of departure for architects to consider non-building solutions as a medium, as an agent of change. Before we delve in further, this essay wishes to bring the reader into seeing to what extent does architectural
media play a role within the contemporary society. What its future possibilities are. Also touching on what we previously imagined to be ictional and
what may well be the future of architectural media.
Architectural media varies in medium and form and includes, but is not
limited to, drawings, models, diagrams, ilms, text/writings, websites and installations to name a few. With some mediums lending itself more towards the
cultural production of architecture such as drawings, imagery and models.
Now, let us dissect the deinition of 'architectural media'. The word 'Media',
which is Latin, is the plural of 'Medium', with its nouns meaning 'vehicle',
33
Left : ‘Cedric Price –
Wish We Were Here’,
Portrait of Cedric
Price. (Source: Cedric
Price Estate)
edisi #11: Fiksi
[1] Papamichael, K.,
1999. Digital Media
in Architecture: Opportunities and Challenges. Berkeley, University of California.
Avaliable at: https://
buildings.lbl.gov/sites/
all/iles/43080.pdf
'method', and 'avenue'. From that, Kostantinos Papamichael1 deines architectural media as ”anything used in architectural practice, not only with respect to documents, but the equipment used for their production as well.”
Here, she further states that if we were to distill it down, it can be abstracted
as ”essential media”, which are images and messages. ”Images come in the
form of pictures, drawings, paintings, scale models, plots, etc. While messages
can contain three information elements: text, sound and gestures.” In effect,
these 'mediums' function as transmitting elements for the dissemination of
architecture to a wider audience. The digital sphere has further added and
expanded upon the already existing forms of architectural media. Changing
how we interact, organize and respond to the environment, as individuals
and as communities.cted with the reality. When it is actually connected with
the reality, or realized as urban development, the ictional aspect of the project inishes its role.
An example worth discussing is the growing role of open source software
and now, hardware, in dissolving the traditional roles of the architect. Globally we are witnessing a resurgence of maker 'communities' emerging from
fabrication labs, do-it-yourself drone building groups to DIWO, do-it-with-eachother movements like Wikihouse. What the 'networked society' managed to
do, is use existing architectural media and democratize it to everyone and
anyone with internet access. Take the Wikihouse movement for example
by London architecture irm 00:/ (pronounced, zero-zero). They took the
Detail joint of a
‘Wikihouse’. (Source:
WikiHouse.cc)
34
RUANG | kreativitas tanpa batas
same underlying principal from open source software, i.e. Wikipedia; an open
source platform, and applied this to built structures. Alastair Parvin2 of 00:/
who spearheaded the project, asks the audience during a TED talk what
would happen if everyone could print their own house? 30 years ago this
idea of everyone 'printing' their own house would seem highly ictional.
Wikihouse enables anyone to download the house plans, have it CNC manufactured and self-assembled. A full scale prototype was built in 2012, with improvements subsequently made by the community. Questions of authorship
arise and blur the boundaries between production and designer, professional
and amateur. How will this affect the role of the professional 'architect' if
everyone can build? Questions similar to this and more will force the profession to think its roles differently and adapt.
[2] Parvin, A., 2013.
Architecture by the
People for the People.
[TED] February 2013.
Available at: https://
www.ted.com/talks/
alastair_parvin_architecture_for_the_people_by_the_people
Indy Johar, author and founding architect of 00:/, in their report Compendium
for the Civic Economy3, underlies that an overall emerging recurrent theme in
all of the self-building communities is ”self-organization & collaborative management built on user-centric and open scale-free platforms.” An opening
passage of the report summarizes the current movement, ”A civic economy
is emerging, one which is fundamentally both open and social. It is an economy which is fusing the culture of Web 2.0 with civic purpose”. Here, the
expanded role of architectural media has been pushed further, not merely
as a representation, but as a platform of creating agency.The real change is in
letting people from beyond the architecture/design ield to utilize mediums
often associated with architectural production. It transcends its former role
and becomes a tool for social construct.information, and users gets any desirable stories by picking and combining any information out of it. Regardless
of whether those stories serve purely entertainment purpose (games or
communication through information technology), or help us to easily establish our identity by holding differences from others in a symbolic way (any
branding strategy form fashion to urban development), the consumption of
these stories is already necessary for contemporary urban lifestyle.
[3] Ahrensbach,
T., Beunderman, J.,
and Johar, I., 2011.
Compendium for the
Civic Economy. 00:/
Publishers: London.
Through the increasingly important role of the internet and the mobile device, the separation between information and ourselves becomes thinner.
Jeremy Hight4 in his article, A New Area for Collective Activism, explained it
brilliantly by saying ”The breadth and coverage of our realities keep expanding, but they are converging in our awareness of space and time”. If we
talked about 'information and reality converging in our awareness of space
and time' 20 years back, people would have surely thought of the ictional
future that Ridley Scott envisioned through his 1982 ilm Blade Runner. ”This
is augmented reality, a new and emerging level of interaction. Augmented
[4] Hight, J., 2008. A
New Arena for Collective Activism, Volume
Magazine #16:
Engineering Society,
July 2008.
35
edisi #11: Fiksi
Above: Opening title
scene from ‘Blade
Runner’ (1982)
reality is a system of technology and visualization that allows information
to be placed in the ield of vision as one moves,” explains Hight. A recent
cultural phenomenon would be the Pokemon GO! craze to best describe the
immense potential of augmented reality.
cermin rorrim
RUANG
Endhy Prasetyo - Christian Parreno - Hiroki Muto - M. Shamin Sharum
Avianti Armand - Laras Primasari - Tania Chumaira - Annisa Nur Ramadhani
Yusni Aziz - Savitri Sastrawan - Nazmi Anuar - Shreyank Khemalapure
juli 2017
edisi #11: Fiksi
2
RUANG #11: FIKSI
v o l. 1 : Ce r m i n
tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari:
Endy Prasetyo
Christian Parreno
Hiroki Muto
M Shamin Sharum
Avianti Armand
Laras Primasari
Tania Chumaira
Annisa Nur Ramadhani
Savitri Sastrawan
Yusni Aziz
Nazmi Anuar
Shreyank Khemalapure
RUANG
PEMBUKA
Fiksi adalah cerita rekaan, penuturan subyektif tentang hasil imajinasi yang berakar dari fakta. Ia
diasosiasikan dengan “ketidaknyataan” dan “kebohongan”, sementara fakta terkait dengan
“kenyataan” dan “kebenaran”. Sepanjang sejarah, karya iksi terbukti mampu mendorong batas
imaji ruang dan pemikiran di sebuah jaman. Seperti bagaimana Archigram mengenalkan kota yang
dapat bergerak atau pemikiran utopis para Metabolis yang mendorong lahirnya Nakagin Capsule
Tower diTokyo. Edisi kesebelas RUANG ini berangkat dari pertanyaan kami tentang apa yang akan
terjadi jika hubungan arsitektur dan iksi didekatkan kembali dalam diskursus arsitektur.
RUANG sangat berterima kasih atas respon positif para kontributor dari dalam dan luar negeri
yang ikut mempertanyakan, membahas, atau bahkan meredeinisi kembali pertanyaan tersebut;
dan menerjemahkannya dalam sebuah karya. Sebanyak sebelas dari total sembilan belas artikel
akan mengisi volume 1:“Cermin”.
Endhy Prasetyo akan membuka volume “Cermin” dengan “Realitas Arsitektur Fiksi”. Ia membahas
batasan realitas, arsitektur, dan iksi; serta hubungan di antara ketiganya. Selanjutnya Christian
Parreno bercerita bagaimana iksi, yang dilihat sebagai sesuatu yang nyata, telah mendasari
proses mendesain dan diskursus arsitektur melalui “Fiction as Truth in Architecture”. Hiroki Muto
kemudian membahas apa yang iksi telah lakukan pada kota melalui “Fictional City”. Dilanjutkan
oleh M. Shamin Sharum, melalui “Media Fiction / Media Futures”, yang melihat bagaimana media
dewasa ini telah memberi kesempatan bagi pengguna untuk menikmati peran ksional sebagai
arsitek.
Tim RUANG juga berkesempatan untuk mewawancara Avianti Armand, arsitek praktisi yang juga
terkenal lewat karya-karya iksinya, dalam “Antara Fiksi, Kritik, dan Arsitektur”. Setelah itu, Laras
Primasari menyelidiki bagaimana drama dan idealisme sebuah proyek dapat saja gagal jika tidak
ada dukungan politik di baliknya melalui “From Mies, For Detroit”. Sesudahnya, Tania Chumaira
mengkritisi tren hunian masa kini yang sebetulnya didominasi oleh ruang virtual lewat “Distopia
Hunian Kekinian”. Masih dalam konteks tempat tinggal, Annisa Nur Ramadhani memeriksa
eksistensi ruang sosial dalam rumah susun melalui “Ruang Sosial dalam Rumah Susun: Fiksi(kah)?”.
Yang dilanjutkan oleh pengamatan Yusni Aziz tentang workshop Alter Shelter yang menggunakan
iksi untuk mengkritisi isu hunian.
Savitri Sastrawan lalu menceritakan bagaimana arsitektur telah memicu mimpi dan memorinya di
“My Dream – Architecturally”. Dan sebagai penutup, Nazmi Anuar dan Shreyank Khemalapure
akan mendiskusikan bagaimana karya Mies van der Rohe ditampilkan di berbagai ilm lewat “Mies
at the Movie”.
Melalui edisi ini, kami mengajak pembaca untuk lupakan sejenak klien, keterbangunan, konteks
ataupun tektonika; mari kita berandai-andai atas ruang dan kota.
Selamat menikmati RUANG!
ISI
vol.1: Cermin
8
Realita Fiksi Arsitektur
esai Endy Prasetyo
20
Fiction as Truth in Architecture
26
Fictional City
32
Media Fiction
40
esai
Antara Fiksi, Kritik, dan Arsitektur
52
From Mies, From Detroit
60
Distopia Hunian Kekinian
66
esai
Eksistensi Ruang Sosial dalam
Rumah Susun: Fiksi(kah)?
essay Christian Parreno
essay Hiroki Muto
essay M Shamin Sharum
Avianti Armand
essay Laras Primasari
esai Tania Chumaira
Annisa Nur Ramadhani
78
Alter Shelter
88
My Dream - Architecturally
98
Mies at the Movies
esai Yusni Aziz
essay Savitri Sastrawan
essay Nazmi Anuar & Shreyank Khemalapure
K O N T R I B U T O R
ENDY PRASETYO Lulus
dari Institut Teknologi Sepuluh
Nopember tahun 2007 dan
menjadi staff pengajar pada tahun
berikutnya. Minat yang mendalam
dalam arsitektur konseptual dan
manifestasinya telah membawa
ia memimpin studio arsitektur
eksperimental dari 2014 yang
menekankan pada pemikiran kritis
pada arsitektur sebagai masalah
konseptual. Dia menolak untuk
percaya adanya batas antara
konsep dan perwujudan dalam
arsitektur. Saat ini ia memulai
penelitian tentang pendekatan
teoritis terhadap arsitektur
sebagai masalah konseptual.
Mendirikan ordes arsitektur
adalah tindakan nyata untuk lebih
jauh membaurkan batas antara
akademis dan praktek dalam arsitektur.
CHRISTIAN PARRENO
is a Research Fellow and PhD
candidate at the Oslo School
of Architecture and Design,
investigatin the relation
between boredome, space,
and modern architecture. His
research, published in this
issue, has been carried out
partly at the Bartlett School
of Architecture and at the
University of California, Los
Angeles. He holds an MA in
Histories and Theories from the
Architectural Association, and
a degree in Architecture from
Universidad San Fransisco de Quito.
EP
CP
HM
MSS
HIROKI MUTO Born
in 1983, Nagano, Japan.
He finished his bachelor
in Department of Science
and Engineering at Waseda
University and then
continued his Graduate
School of Creative Science
and Engineering at the
same institution. From
2011 to 2013, he had the
opportunity to continue his
study at Berlage Institute,
the Netherlands. Currently,
he is one of the partners of
theWorkshop,inc.
M SHAMIN SHARUM
A partner at no-to-scale
studio and founding
partner of Sesiseni. Shamin
created these platforms as
a way to mediate between
architecture and other
fields such as writing and
fabrication. He also writes
in his spare time and finds
no differentiation between
the word count on Word
or the black background
on AutoCAD. Obtained a
MArch RIBA Pt. 2 from the
University of Greenwich,
London specializing in
design curation, exhibitions
and creative publishing.
Currently based in Kuala
Lumpur, Malaysia.
AA
ARVIANTI ARMAND
Arsitek, kurator dan penulis
yang telah melahirkan
berbagai karya. “Pada Suatu
Hari, Ada Ibu dan Radian”
miliknya memenangkan
Cerpen Terbaik Kompas
tahun 2009. Dua tahun
kemudian, “Perempuan
Yang Dihapus Namanya”
meraih penghargaan Kusala
Sastra Khatulistiwa. Di
bidang arsitektur, Rumah
Kampung karyanya bersama
sang suami, Terry Armand,
memenangkan penghargaan
IAI tahun 2008.
LARAS PRIMASARI
lulus dari Arsitektur ITB
tahun 2010, lalu memulai
karirnya sebagai penulis di
IAAW dan ELLE Decoration
Indonesia sambil berpraktik
sebagai arsitek. Setelah
itu Ia memutuskan untuk
memperdalam ilmu real
estate dan rancang kota di
UNSW Australia. Saat ini
Laras bekerja sebagai penulis
lepas dan asisten akademik
di almamaternya di Bandung.
Ia sedang tertarik untuk
mendalami topik hyperdensity
serta studi cross-genre antara
real estate dengan morfologi kota.
LP
TC
ANR
TANIA CHUMAIRA
adalah peneliti dengan afiliasi
Universitas Indonesia yang
menaruh minat terhadap
ruang, kebertubuhan,
serta bagaimana era digital
membuat keduanya berubah.
Ia juga tertarik akan fabrikasi,
analog maupun digital. Hal
tersebut memotivasinya
untuk melanjutkan studi
di The Bartlett School of
Architecture di jurusan
Design for Performance and
Interaction. Fabrikasi selalu
membantu Tania untuk
menguji hipotesanya terhadap
ruang dan manusia melalui
model studi 1:1.
Ia selalu percaya bahwa ruang
adalah proyeksi dari manusia,
sehingga segala perubahan
lingkung bangun yang ada
berasal dari perilaku kita
sendiri.
ANNISA NUR
RAMADHANI adalah
mahasiswi arsitektur
penggemar wacana dan
isu-isu tentang permukiman
dan perkotaan. Setelah
menyelesaikan studi sarjana
arsitekturnya di ITS pada
tahun 2016 lalu, saat ini
Annisa sedang mengenyam
pendidikan pasca-sarjana
di kampus yang sama ITS
Surabaya.
YA
YUSNI AZIZ Alumnus
dari double-degree bachelor
program kerjasama antara
ITS dan Saxion Hogeschool
of Applied Sciences.
Kemudian menyelesaikan
riset di Berlage Institute
pada tahun 2013. Saat ini
sedang sibuk dengan riset
independen dan mengasuh
blog pribadi di www.
yusniaziz.com
D.A.E. SAVITRI
SASTRAWAN is
a Balinese nomad,
DewaAyuEka Savitri
Sastrawan is an ar ts and
language freelancer. She is
an ar tist, a Bahasa Indonesia
- English translator, and
currently completing Master s
in Global Ar ts at Goldsmiths,
Univer sity of London. She
previously studied Fine Ar t
Painting at ISI Denpasar,
Bali and Chelsea College of
Ar t and Design, UAL, UK.
Her research interest is to
explore the interdisciplinar y
possibilities in the ar ts and
language within the global
society and culture .
DSS
NA
SK
NAZMI ANUAR runs
the collaborative research
and design office Normal
Architecture and teaches at
the School of Architecture,
Building & Design, Taylor’s
University, Kuala Lumpur. He
believes that architecture
should not be limited to the
job of designing buildings
but should be practiced as a
discipline of knowledge and a
process of cultural production.
He holds a Bachelor of
Architecture from UPM,
Kuala Lumpur and a Masters
in Architecture and Urban
Design from The Berlage,
Delft.
SHREYANK
KHEMALAPURE teaches
Humanities and History of
Architecture at L. S. Raheja
School of Architecture,
Mumbai since 2015. He also
develops projects ranging
from architectural research
to documentary film making
at Room for Architecture mostly in collaboration. He
graduated from The Berlage,
Center for Advanced Studies
in Architecture and Urban
Design in 2014.
RUANG
Editorial Board :
Ivan Kurniawan Nasution
Yusni Aziz
Roianisa Nurdin
Fath Nadizti
Laras Primasari
web : www.membacaruang.com
facebook : /ruangarsitektur
twitter : @ruangarsitektur
tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com
email : [email protected]
Segala isi materi di dalam majalah elektronik ini
adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing
penulis. penggunaan gambar untuk keperluan
tertentu harus atas izin penulis.
Desain sampul:
Ivan Nasution
Maria Sheherazade Giudici & Davide Sacconi
REALITA
ARSITEKTUR
FIKSI
Endy Yudho Prasetyo
Apakah itu iksi, realita dan arsitektur; dan apa hubungan yang terjadi di
antara ketiganya. Apa kita sebetulnya butuh arsitektur iksi? Apa gunanya untuk
keilmuan arsitektur? Kenapa eksistensinya masih saja relevan?
Dalam tulisan singkat ini, saya akan
membahas aspek realita yang ada
pada arsitektur iksi. Terbagi menjadi
tiga bagian, saya akan mulai dengan
mengajukan pertanyaan kritis mengenai realita, lalu berlanjut ke pembahasan mengenai arsitektur, dan
diakhiri dengan elaborasi tentang
arsitektur iksi.
Beberapa pembahasan yang termuat
merupakan sudut pandang yang saya
miliki, dalam hal ini saya lebih berperan sebagai pemerhati amatir akan
hubungan antara iksi dan realita.
Meski tidak dapat dipungkiri, sudut
pandang tersebut sudah tertanam
dan menjadi bagian dari diri saya ketika berperan sebagai seorang arsitek
praktisi dan pengajar arsitektur.
Kita mulai dengan pembahasan pertama, apakah sesungguhnya realita itu?.
Sebagian mungkin akan menghubungkan kata realita dengan kondisi sekarang dan masa lalu yang sedang atau
telah terjadi. Yang telah diterima oleh
reseptor panca indera untuk diteruskan ke otak dan diproses sebagai informasi dan pemahaman.
9
Gambar kiri: Plug-in
City karya Archigram.
Sumber: http://megaestructuras.tumblr.com/
page/10
edisi #11: Fiksi
Urutan proses itu melibatkan dua
elemen yang sama penting. Objek
atau kejadian yang berlangsung, dan
pemahaman oleh subjek pengamat.
Satu elemen tersebut tidak akan berarti tanpa bagian yang lain.
Ilustrasi akan perbedaan pemahaman.
sumber: pinterest.com,
2016
bingung banyak penonton, karena
tipisnya batasan (dan tidak jarang
dicampur-adukkan) antara kejadian
yang sesungguhnya dengan kejadian
yang iksional. Kontradiksi dan kekacauan tersebut semakin memperkuat
persepsi saya akan realita yang sebenarnya.
Dalam A Monster Call, Conor berimajinasi tentang monster pohon raksasa
yang membantunya menerima kenyataan bahwa ibunya sakit dan mungkin tidak lama lagi meninggal. Sangat
kontradiktif, dimana seorang anak
menciptakan sebuah tokoh imajiner
untuk membantunya menerima realita. Menariknya, tidak hanya Conor,
tetapi saya sebagai penonton juga
berhasil disadarkan monster itu bahLalu kemudian muncul pertanyaan, wa dunia ini tidak pernah sempurna.
dari kedua hal tersebut, manakah Bad things do happen sometimes.
realita itu? Kejadian yang sedang
berlangsung, atau pemahaman oleh Pertanyaan yang kemudian timbul,
subjek ?
apakah sosok monster rekaan tersebut hanyalah iksi yang bisa kita kesaSeperti ilustrasi di atas, pemaha- mpingkan, atau bagian dari realita?
man oleh subjek pengamat dapat
sama sekali berbeda antara subjek Hal tersebut dapat dikorelasikan
satu dengan yang lain. Kedua orang dengan istilah pseudo-emotion dan
itu memiliki pendapat berbeda akan pseudo-reailty. Sebuah emosi dan kenangka yang tergeletak di lantai ka- yataan semu. Seperti saat kita menrena perbedaan sudut pandang. Fak- dapat perasaan menegangkan ketika
tanya, angka yang tergeletak hanya menonton ilm horror atau bermain
satu. Oleh karena, itu salah satu dari video game yang penuh monster dan
mereka pasti salah. Tapi, apa betul re- darah. Meskipun kejadian tersebut
alita adalah sesuatu yang tunggal?
tidak secara langsung kita alami, namun ada informasi yang diterima oleh
Kata ‘realita’ mengingatkan saya akan otak. Dan kejadian yang dialami otak
beberapa judul ilm yang mencam- kita adalah sebuah kenyataan, meski
pur adukan iksi-imajinasi, dan re- kita mendapatkannya dari sesuatu
alita, seperti Big Fish, A Monster Call, yang semu.
dan Birdman. Jalan cerita membuat
10
RUANG | kreativitas tanpa batas
Pemahaman realita oleh sensor panca indera telah dibahas Socrates dan
diteruskan muridnya, Plato. Menurut
mereka, indera isik yang kita miliki
pada dasarnya menghalangi kita untuk memahami kebenaran realita
yang sesungguhnya1. Dan realita
akan lengkap ketika kita melibatkan
apa yang disebut knowledge2.
Sebagai contoh, jika terdapat dua
orang yang berdikusi akan kata “jeruk”, bagaimana kita yakin bahwa
mereka berdiskusi akan jeruk yang
sama?
Dengan demikian, kita perlu mempertanyakan akan realita jeruk yang
mereka diskusikan. The realm of form
yang diyakini oleh Socrates dan Plato
merupakan sebuah alam, dimana terdapat data akan pemahaman akan
“ke-jeruk-an” sebuah jeruk. Ia dapat
dilihat sebagai bank data imajiner yang
dimiliki semua orang akan pemahaman objek dan kejadian. Sehingga jika
kita melihat atau membayangkan sebuah jeruk, pada dasarnya kita hanya
melakukannya pada perwakilan dari
sebuah jeruk, bukan jeruk yang sebenarnya.
11
Atas: Monster pohon
dalam ilm a Monster
Call. Sumber: alisoneldred.com, 2016
Kiri bawah: Perwakllan sebuah jeruk
sumber: google image,
2016
1) Socrates dan
Plato berkeyakinan
bahwa kebenaran
sesungguhnya berada
pada alam Form,
(The realm of Form)
dimana alam tersebut
adalah alam abstraksi,
bukan alam isikal
yang kita lihat saat ini.
2) Saya yakin bahwa
Knowledge yang dimaksud oleh Socrates
dan Plato, lebih dekat
ke arah kata ‘pemahaman’ ketimbang
kata ‘pengetahuan’.
edisi #11: Fiksi
3) Sir Nikolaus Bernhard Leon Pevsner,
seorang ahli sejarah
arsitektur dan seni
menjelaskan pemahaman akan arsitektur
dalam buku yang
berjudul ‘An Outline of
European Architecture’, yang diterbitkan
pada tahun 1942.
Plato menyampaikan bahwa kita
hendaknya melihat tidak dengan
panca indera, namun dengan knowledge. Hal tersebut membawa kita
pada pemahaman bahwa realita,
sesungguhnya adalah apa yang kita
yakini, dengan objek, dan kejadian,
yang secara isik terjadi, berperan sebagai pemicunya.
Lalu bagaimanakah dengan realita
dalam arsitektur? Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebaiknya kita
bertanya lebih dahulu tentang apa
itu arsitektur.
Banyak sekali pendapat berbeda
akan kata arsitektur, di samping fakta
bahwa kata arsitektur tercipta dari
penggabungan dari dua kata dari
bahasa Yunani, “chief ” dan “builder”.
Secara literal, keduanya dapat diterjemahkan sebagai “kepala tukang”.
Pembahasan arsitektur juga tidak
bisa lepas dari konsep klasik ‘triad’
arsitektur yang dipaparkan oleh Marcus Vitruvius Pollio (81SM-15). Bahwa arsitektur terdiri dari venustas
(keindahan), utilitas (kegunaan), dan
irmitas (kekokohan). Tidak mengherankan jika kemudian Pevsner
(1942)3 menyatakan bahwa segala
jenis naungan atau perlindungan
yang memungkinkan manusia untuk beraktivitas di dalamnya adalah
bangunan. Dan kata arsitektur ditasbihkan pada bangunan yang dibuat
dengan intensi keindahan.
Jika kita mengambil kesimpulan sementara bahwa arsitektur adalah
sebuah objek isik berupa bangu12
nan yang memiliki intensi keindahan,
maka sesungguhnya hampir mustahil
membuang objek terbangun dalam
pembahasan arsitektur. Tapi benarkah
demikian?
Ide bahwa arsitektur sebagai sebuah
objek isik tampaknya sangat bertolak
belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Peter Eisenman. Ia beranggapan bahwa perwujudan arsitektur
sesungguhnya adalah ide. Ide dibalik
rancangan suatu objek, sebuah abstraksi, tanpa wujud isik. Sehingga objek isik yang dapat kita amati sesungguhnya adalah sebuah media, sebuah
wadah dimana ide tersebut tertuang.
Eisenman bahkan menyebut bahwa
RUANG | kreativitas tanpa batas
bangunan yang ia rancang sesungguhnya hanyalah model isik dengan
skala 1:14 tidak lebih ‘penting’ dari
maket model dengan skala berapapun dalam perannya sebagai media
ide. Bahwa arsitektur sesungguhnya
adalah hal (ide) yang tertuang di kertas gambar (bukan gambar dan kertasnya) dan bukan pula benda yang
terbangun di atas tanah5. Sehingga
pertanyaannya bukanlah ‘apakah
benda itu adalah sebuah arsitektur?,
namun ‘bagaimanakah arsitektur
benda itu?.
menuliskan “Model of House II” untuk
foto bangunan House II miliknya. Hal
itu tampaknya sangat menghibur Eisenman karena foto tersebut secara
tidak langsung memaparkan ide Eisenman bahwa objek terbangun tidak
lebih adalah sebuah maket model
skala 1:1.
Arsitektur sebagai sebuah ide mungkin sebuah gagasan yang tidak mudah untuk diterima. Materialitas, dan
proses membangun ide itu juga tidak
dapat dipisahkan dari diskursus arsitektur. Namun kemudian sebuah
Dalam wawancara bersama Iman pertanyaan muncul di benak saya,
Ansari, Eisenman mengatakan salah Apakah seorang arsitek akan hilang
satu majalah Prancis tanpa sengaja ke-arsitek-an-nya jika rancangannya
tidak pernah dibangun?
Hal tersebut mengingatkan saya pada
seorang seniman yang juga seorang
arsitek bernama Giovanni Battista
Piranesi, yang selama hidupnya hanya
sempat memiliki satu bangunan yang
terbangun. Begitu juga dengan salah
satu arsitek eksperimental Lebbeus
Woods, yang juga hanya memiliki satu
karya terbangun, berupa karya instalasi yang menempel pada bangunan
yang dirancang oleh Steven Holl.
Apakah Zaha Hadid bukan seorang
arsitek sebelum Vitra Fire House
terbangun? Apakah Archigram juga
hanya sekelompok anak muda yang
banyak memiliki waktu luang?
Pemahaman Eisenman akan arsitektur nampaknya cukup sejalan dengan
Bernard Tschumi. Menurutnya, arsitektur pada dasarnya adalah sebuah
bentuk ilmu pengetahuan, dan bukan
13
4) Skala 1:1, saya
sengaja menggunakan kata ‘skala 1:1’
dan bukan kata ‘skala
sebenarnya’ dikarenakan skala berapapun
menurut pemahaman
Eisenman adalah
‘sebenarnya’.
5) Wawancara
Peter Eisenman
dengan Iman Ansari
yang dipublikasikan
pertama kali pada
Hamshahri Architecture di Iran pada
tahun 2013.
Keterangan foto:
Foto House II, Peter
Eisenman.
sumber: www.
architectural-review.
com
edisi #11: Fiksi
6) Bernard Tschumi,
Red is Not a Color,
2012
7) Pembahasan
mengenai abstraksi
arsitektur merupakan
pembahasan lanjutan
yang pernah saya
paparkan dalam topik
Dematerialization of
Architecture, sebuah
paparan singkat pada
komunitas deMaya,
Surabaya, pada tahun
2012 yang lalu.
bentuk ilmu pengetahuan, dan bukan
ilmu pengetahuan akan bentuk6. Pendapat Tschumi memperkuat pendapat Eisenman, bahwa arsitektur adalah hal yang abstrak, dan bukanlah hal
yang isikal, dan materialistik.
“arsitektur iksi pada
dasarnya memiliki
esensi yang sama
dengan arsitektur
yang non-iksi.”
Andrea Palladio (1508-1580) menghabiskan sisa waktu hidupnya untuk
menggambar ulang semua bangunan
yang ia rancang selama hidupnya
dan menuangkan pemahamannya
tentang arsitektur dalam buku berjudul “I quattro libri dell’architettura”,
atau The Four Books of Architecture.
Palladio menyatakan bahwa ia ingin
dikenang sebagai arsitek yang merancang bangunan-bangunan yang
ada di dalam buku yang ia tulis, bukan sebagai arsitek yang merancang
bangunan yang telah terbangun. Ia
merasa bahwa gagasan yang ada di
buku, jauh lebih murni dibandingkan bangunan yang terbangun. Hal
tersebut menurut saya menunjukkan keyakinannya bahwa semakin
abstrak media yang digunakan untuk
menunjukkan ide arsitektur, semakin
murni arsitektur tersebut7.
Dari pembahasan yang saya kemukakan, saya ingin memperkenalkan sudut
pandang yang menunjukkan bahwa
arsitektur adalah suatu hal yang abstrak, bukan isikal dan materialistik.
Hal tersebut penting untuk disadari
sebelum kita membahas topik ketiga,
arsitektur iksi.
Arsitektur iksi mungkin akan mudah
dikorelasikan dengan rancangan arsitektur yang sifatnya eksperimental,
spekulatif, dengan konteks sebagai
sesuatu yang imajinatif, dengan seting
waktu yang tidak mengekang. Kekuatan dari arsitektur tersebut kemudian
Kita kembali ke pertanyaan semula, terletak pada pemikiran dan proses
apakah arsitektur itu?
eksperimen dari sang perancang, dan
bisa saja tidak berorientasi kuat pada
14
RUANG | kreativitas tanpa batas
objek yang dihasilkan.
Sebuah arsitektur yang bermula
dengan pertanyaan “Bagaimana
jika?”. Pertanyaan tersebut jelas menandakan bahwa setting dan konteks
yang menjadi dasar berpijak adalah
sebuah proses imajinasi.
Jika kita amati lebih jauh, arsitektur
Archigram, Super Studio, dan Lebbeus Woods adalah sekian dari banyak pionir yang memulai pergerakan
akan arsitektur eksperimental. Meski
dalam sudut pandang saya, arsitektur eksperimental bukanlah pergerakan arsitektur yang mungkin bisa
kita bandingkan dengan arsitektur
klasik, modern, dan postmodern. Namun lebih kepada pergerakan untuk
mengembalikan peran arsitektur sebagai wadah dari ide dan inovasi.
Hal tersebut didukung dengan pernyataan oleh Archigram. Mereka berkiprah di era pesatnya perkembangan
teknologi dan peradaban manusia8,
yang sayangnya menurut mereka
tidak diikuti oleh perkembangan keilmuan arsitektur. Archigram lalu memulai ‘kampanye’ dengan menuangkan
ide-ide yang pada masa itu, dan mungkin sampai dengan sekarang, dianggap
nyeleneh dalam dunia arsitektur.
Salah satu karya Archigram yang
fenomenal adalah Moving Cities yang
pada dasarnya tidak pernah lepas
dari hal yang bersifat spekulatif, secermat apapun prediksi dan kalkulasi
sang perancang. Dengan demikian,
arsitektur iksi pada dasarnya memiliki esensi yang sama dengan arsitektur yang non-iksi.
Firma dan studio arsitek semacam
15
8) Archigram
didirikan pada tahun
1960an, sebuah era
dimana teknologi
pada masa tersebut
mengalami perkembangan yang sangat
pesat, pendaratan
manusia ke Bulan
yang pertama kali
adalah salah satunya.
Foto tengah: Karya
Instalasi Lebbeus
Woods “The Lights
Pavillion”.
sumber: dezeen.com
Foto bawah: Media
kampanye Archigram
yang berbentuk
majalah.
sumber: arcspace.com
edisi #11: Fiksi
Atas: Moving Cities,
karya Ron Herron,
Archigram, 1964
sumber: archigram.net
fenomenal yang dirancang Ron Herron di tahun 1964. Ron memaparkan ide tentang sebuah (mungkin
lebih tepatnya, beberapa) kota yang
dapat berpindah layaknya sebuah
kendaraan yang sangat besar.
Dalam karya tersebut Ron mempertanyakan kondisi statis dari sebuah kota. Fleksibilitas lokasi dari
sebuah kota yang dapat berpindah
diyakini memiliki keunggulan dibanding sebuah kota yang statis. Sebagian
mungkin akan berpendapat bahwa
apa yang dilakukan oleh Ron adalah suatu hal yang sia-sia, karena toh
sampai dengan saat ini karya tersebut belum terbangun, dan kemungkinan besar tidak akan terbangun. Pertanyaannya, apakah betul itu adalah
sesuatu yang sia-sia? Mungkin itu sebuah pertanyaan yang tidak mudah
untuk dijawab, satu hal yang pasti
bahwa karya tersebut mampu men16
ciptakan sebuah diskusi baru dalam
dunia arsitektur.
Sebuah irma arsitektur Meksiko yang
berbasis di Guadalajara, Estudio 3.14
merancang sebuah dinding raksasa
berwarna merah muda keunguan
yang memisahkan Amerika dengan
Meksiko. Karya tersebut baru-baru
ini hangat dibicarakan, karena diilhami
dari pernyataan presiden Amerika
terpilih, Donald Trump, yang ingin
mendirikan dinding pemisah dua negara tersebut.
Meski sesungguhnya tidak terlalu
spekulatif (dikarenakan sampai saat ini
Donald Trump masih bersikukuh untuk mendirikan dinding tersebut, sehingga konteks dan setting-nya jelas),
namun bersifat sangat eksperimental.
Rancangan dan visualisasi Estudio 3.14
menjadi viral dan banyak didiskusikan.
Apalagi mereka juga memperkirakan
RUANG | kreativitas tanpa batas
program apa saja yang ada di dalam
struktur tersebut. Menariknya, juga
muncul diskusi yang memperkirakan
biaya yang mungkin akan dihabiskan
apabila dinding tersbut terbangun,
dan hal tersebut menjadi pertanyaan
kritis para pembayar pajak di Amerika Serikat. Banyak pengamat dan
diskusi yang menyebutkan bahwa
mendirikan dinding tersebut adalah
tindakan yang hampir mustahil, dengan segala pertimbangan, terutama
pembiayaan, dan kemanfaatannya.
Dengan demikian, apakah yang dilakukan oleh Estudio 3.14 adalah
sia-sia?
Setidaknya, karya tersebut menciptakan diskusi baru yang telah saya
sebutkan sebelumnya. Berbicara
mengenai ke-‘sia-sia’-an arsitektur
eksperimental, Lebbeus Woods
dalam sebuah diskusi menyatakan
bahwa, “dari segi ekonomi, waktu
dan sumber daya, arsitektur eksperimental adalah hal yang mungkin terlihat tidak memiliki arah yang jelas
dan mungkin sia-sia9, namun dampak
yang dihasilkan, dalam hal ini diskusi,
dan timbulnya pemikiran-pemikiran
dan kemungkinan-kemungkinan baru
dalam bidang arsitektur maupun bidang lain adalah sesuatu hal yang
sangat esensial dalam perkembangan
keilmuan arsitektur.
Arsitektur iksi pada dasarnya menuntut dan melatih sang perancang untuk
berpikir kritis dalam segala hal, baik
dalam hal menentukan konteks dan
setting yang imajinatif maupun menyusun hipotesa dari kemungkinankemungkinan yang terjadi. Selain itu,
sang perancang juga dituntut untuk
secara konsisten mempertahankan
apa yang telah ditentukan menjadi
parameter pada langkah sebelumnya.
Pada dasarnya, arsitektur iksi bukan-
17
9)Pernyataan Lebbeus
Woods dalam sebuah
wawancara yang
dipublikasikan secara
online.
Foto bawah: Dinding
pemisah antara
Amerika dan Meksiko,
karya Estudio 3.14,
2016
edisi #11: Fiksi
bukanlah pekerjaan mudah yang
dengan mudah dimanipulasi, semua
imajinasi dan spekulasi yang terjadi
memiliki dasar yang kuat, sehingga
rancangan tersebut menjadi runtut
dan konsisten.
Untuk menutup tulisan ini, saya
mengangkat kembali pembahasanpembahasan sebelumnya dan mencoba untuk menarik benang merah
hubungan antara ketiganya, pembahasan mengenai realita, serta
hubungannya dengan arsitektur dan
arsitektur iksi.
“karya tersebut
mampu menciptakan
diskusi baru dalam
dunia arsitektur”
Dari pembahasan pertama dapat
kita simpulkan bahwa realita, pada
dasarnya sangat bergantung dengan
persepsi pengamat, dan objek isik,
‘hanyalah’ pemicu yang menghasilkan
informasi dan pemahaman. Dalam
hal ini arsitektur iksi memiliki peran yang penting, dimana kita perlu
mempertanyakan, apakah media
18
arsitektur iksi yang kemungkinan besar adalah gambar bukanlah suatu arsitektur, jika pada kenyataannya gambar tersebut mampu menghasilkan
informasi dan pemahaman terhadap
pengamat. Jika kita kaitkan dengan arsitektur pada pembahasan kedua, dimana keterbangunan dalam arsitektur,
adalah hal yang tidak esensial, maka
peran arsitektur iksi sudah seharusnya berada di garda depan dalam
perkembangan keilmuan arsitektur.
Sifat arsitektur iksi yang mampu
memancing kemungkinan timbulnya
diskusi dan pengetahuan baru dapat
kita gali, serta sifat arsitektur iksi yang
mengedepankan ide tanpa membutuhkan media isik berupa obyek terbangun merupakan instrumen yang
eisien dalam mendorong keilmuan
arsitektur, terutama di masa sekarang
untuk menghindari kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dikarenakan
posisi arsitektur yang cenderung hadir
untuk melayani pasar.
Akhir kata, arsitektur iksi memang
memiliki konteks dan setting yang imajinatif, iksional, dan mungkin dalam
sudut pandang tertentu sia-sia, namun
dampak yang di terima oleh pengamat adalah sebuah realita. Sebuah realita arsitektur iksi.
RUANG | kreativitas tanpa batas
“Sebuah arsitektur
bermula dengan
pertanyaan
“Bagaimana jika?”.
Pertanyaan tersebut
jelas menandakan
bahwa setting dan
konteks yang menjadi
dasar berpijak adalah
sebuah proses
imajinasi.”
Endy Yudho Prasetyo
19
edisi #11: Fiksi
20
RUANG | kreativitas tanpa batas
FICTION AS
TRUTH IN
ARCHITECTURE
Christian Parreno
When my love swears that she is made of truth,
I do believe her though I know she lies,
That she might think me some untutored youth,
Unlearn’d in the world’s false subtleties.
Thus vainly thinking that she thinks me young,
Although she knows my days are past the best,
Simply I credit her false-speaking tongue:
On both sides thus is simple truth suppressed.
But wherefore says she not she is unjust?
And wherefore say not I that I am old?
O, love’s best habit is in seeming trust,
And age in love loves not to have years told.
Therefore I lie with her and she with me,
And in our faults by lies we lattered be.
Left Images: “Ring”
Instalation at Place
Vendome, Paris,
France, by Arnaud
Lapierre. Copyright:
Arnaud Lapierre.
(William Shakespeare, Sonnet 138)
21
edisi #11: Fiksi
[1] Harry O. Frankfurt.
On Truth. London:
Phaidon, 2007. 87-89
[2] Antonio Negri. Negri on Negri. In http://
www.christianhubert.
com/writings/index.
htm
Harry O. Frankfurt refers to the Sonnet 138 by William Shakespeare to
describe truth as a construction of iction. 1 In the story, the intimacy of
two lovers is mediated by a tacitly agreed artiice that bases their relationship. While the woman feigns to believe that her companion is younger
than she knows he is, the man realises that she is aware of his deceit but
— exchanging sympathies — he assents to the portrayal of her as truthful. Their arrangement turns away from the factual to aspire to the ideal,
as a lexible tale of desire, without the need of exterior approval. The
possibilities of their future are thus delineated by the unveriiable limits
that they have established. The illusion is operational — a condition to be
assembled — as Antonio Negri declares, ‘the sole criterion of truth… is
action. Truth is itself an action… a confrontation. When one acts, one goes
beyond solitude because to act is to search for the truth, and truth always
appears in common’. 2
If truth is action, then iction as truth has the capacity of structuring any
system of interiority — the space of sentiments and reason — and exte-
“Ring” Instalation at
Place Vendome, Paris,
France, by Arnaud
Lapierre. Copyright:
Arnaud Lapierre.
22
RUANG | kreativitas tanpa batas
riority — the space of the world and society. Simultaneously, it tests and
challenges the boundaries of its ield of action through the creation of the
new or the obliteration of the old. These attempts of positive or negative
transcendence not only expose the strengths and the vulnerabilities possessed by the performing agent but also contributes to the formation of
identity and the environment, as when mythical stories inspire actions and
reactions. In this manner, the truth of iction turns into a methodology of
design that supports and organises expression, with the aim to avoid capricious detours by establishing intrinsic regulations that delineate potential
engagement, saving the designer from the sabotage of arbitrariness.3
In architecture, these operations manifest in the sequence of its ideation
and encounter. In the irst instance, what emerges is the philosophical and
ethical question of how form is ought to be conceived. Fiction serves as an
instrumental and valuable truth that mobilises the parameters and intentions of patterns and motifs, which can serve to trace back the premises
of design once it has been represented or materialised. The resulting construct can elude the rational and appeal
to the emotional, uncovering the truth of
iction as a mood rather than as a function
— even if function is the chosen style or
attitude. In the second stage, the presence
of the individual establishes a rapport with
the surroundings in which new narratives
about dwelling emerge. Although these
revelations are informed by accumulated
knowledge and dormant expectations,
they are modiied by the mutual inluence
between the involved forces, generating
other truths or destabilising existing ones,
in a moment of collision of ictions. As
such, the intentions of architecture change
with inhabitation and inhabitation is coloured by the gestures of architecture.
23
[3] For Adam Phillips,
this truth is scientiic
since it avoids unnecessary desire. On
Kissing, Tickling and
Being Bored. London:
Faber and Faber,
1993. xvii-xviii.
edisi #11: Fiksi
[4] Anthony Vidler.
‘The Third Typology’.
In Kate Nesbitt
(ed.), Theorizing a
New Agenda for
Architecture. London:
Princeton Architectural
Press, 2000. 261-263
The architectural search for the ultimate iction not only problematizes
the autonomy of form and its experience but also its relation to history.
For instance, creating a chronological account based on the understanding
of the past as truth, Anthony Vidler identiies three main typologies in the
development of modern architecture. The irst goes back to the rationalist
philosophy of the Enlightenment, with a natural unit of design based on the
‘primitive hut’ (1755) by Marc-Antoine Laugier. Subsequently, the second
arises at the end of the nineteenth century in response to conditions of
mass production and technological development, epitomized in the work
of Le Corbusier. Finally, the third stands free of determined roles, enabling
architectural design and urban planning to become ontological entities, as
in the ‘stararchitecture’ of Zaha Hadid, OMA, and Peter Eisenman, among
others.4 This classiication appears as a historical ictionalization of architectural ictions, connecting nodes of the past as episodes of the discourse of
the discipline — indicative rather than undisputable.
“Fiction as truth projects
architecture as iction”
Under this light, iction in architecture turns into a dynamic truth, as a topological enabler that combines function and expression through various
techniques of design, in intertextual coexistence with other phenomena.
Analogous to the literary — like in the lovers of the Sonnet 138 — it provides systematization and order, with a beginning and an end yet articulating multiple and concurrent spaces and temporalities.
24
RUANG | kreativitas tanpa batas
“If truth is action,
then iction as truth
has the capacity of
structuring any system
of interiority — the
space of sentiments
and reason — and
exteriority — the
space of the world and
society.”
Christian Parreno
25
FICTIONAL
CITY
Hiroki Muto
In our contemporary urban narratives, ictional city has been existed in many
types. The next question is : how can we take into account their potential to
reconnect the society back with their genuine culture?
Story
From the word “ictional city”, you might imagine some books written by
Italo Calvino and Jonathan Swift, or sometimes Franz Kafka and Jorge Luis
Borges. In the stage of their works, generally categorized as “Fantasy Literature”, practical causal relationships and dynamics are distorted, even making
readers dizzied. However, any cities as the stage of stories are originally
ictional, even if those cities are named and function the same as they are in
the real world, in the sense that events and human lives occurred there are
ictional. And in the most of cases, readers enjoy those ictions as something
independent, detached from the real urban lives.
Project
Not only cities, which are created by individual imagination and presented
as the form of stories, are the ictional cities. From Le Corbusier or Russian
27
Left: Illustration by
J.J. Grandville for the
1856 edition of
“Gulliver’s Travels” by
Jonathan Swift.
source: hubpages.com
edisi #11: Fiksi
Avant-garde to radical urbanisms in 60’s (mainly characterized by Archigram
and Metabolism) and even early OMA in 70’s, there have been many urban
projects regarded as ictional, because of their unfeasibility and absurdity (at
least for general public).
However, any projects on a city by architects, urbanists, and artists with urban vision, regardless of whether they are imaginary or realistic, are started
as ictional, in order to represent the collective imagination of a society. They
“project” on a city as ictions social requests and desirable futures, which are
not yet clearly formed, and ask its actuality to the citizens. The represented
collective imagination is given back to citizens, becoming a devise to arouse
more imagination.
If a story is a iction disconnected from the reality, a project is a iction connected with the reality. When it is actually connected with the reality, or realized as urban development, the ictional aspect of the project inishes its role.
Rem Koolhaas, OMA,
“Exodus, or the
Voluntary Prisoners of
Architecture”, 1972.
source: not-for-them.
blogspot.com
Database
It is not easy to differentiate reality from iction in the contemporary cities,
driven by information technology and global capitalism. In a sense, a contemporary city itself is already ictional. This ictionality is characterized especially
by the lack of the immediacy and originality of the place and human body in
the cities, which are illed with numerous amount of stories.
Although those stories are sometimes related with certain places, they are
limitlessly rewritable on the places. And although they are sometimes connected with physicality, our perception stays supericial because of the sev28
RUANG | kreativitas tanpa batas
eral layers of virtual body. Therefore the
stimulating experience of immediacy
and originality doesn’t exist anymore,
which was the essence of the reality.
The main cause of this ictionality lies
on the process of how the contemporary city generates stories. The contemporary city is a database which stores
every information, and users gets any
desirable stories by picking and combining any information out of it. Regardless of whether those stories serve
purely entertainment purpose (games
or communication through information
technology), or help us to easily establish our identity by holding differences
from others in a symbolic way (any branding strategy form fashion to urban
development), the consumption of these stories is already necessary for
contemporary urban lifestyle.
The stories generated from the database allow ininite simulation, resulting
into the distortion of time and space in our perception. Furthermore the
absence of imagination or subjectivity promotes the disappearance of immediacy and originality. This contemporary city with full of stories is the 3rd
type of ictional city. It should not necessarily be denied to enjoy the small
narratives generated by the database, in the age where the “Grand Narratives” (Jean-François Lyotard) doesn’t exist anymore. However, if those
stories are disconnected from our places and bodies, and exclude the possibility of our subjectivity and imagination, the urbanity or urban culture that
consists of those stories will end up just as a temporal commodity, which is
copied and consumed all over the world.
Food Culture and 4th Fictional City
In order to create genuine culture based on place and body, it will be a good
way to start from basic fundamentals for human life: food, shelter, and clothing. Especially among these three, food has been deeply related with place
and body, through the process of production, distribution, and consumption,
and played an important role as one major aspect of urban culture. (These
days, clothing has too much of symbolic feature as fashion, and shelter is also
being absorbed in real estate image strategy, both losing its purity.)
29
Location-based online
game “Ingress” by
Niantic, Inc. (2013- ).
source: i.imgur.com
edisi #11: Fiksi
However, the more food is regarded as fundamental for human life, it tends
to be operated in a more systematic way: the rule that it should be produced, processed, and distributed with the maximum suficiency based on
the latest science and technology, and also should be circulated and consumed through the best market principle. As a result, food issue including
food culture is absorbed in the contemporary ictionality: simulation of stories by the database, or the condition that the whole process is compressed
in a story and presented to customers without the real value of food.Then it
loses the suficient power to intervene the reality as a fundamental element
for human life.
What we propose now is the 4th ictional city as the miniature of the contemporary city. This sanctuary generates stories of a city through every type
of ictionality: the strong subjectivity of the irst type, the representation of
collective imagination of the 2nd, and the utilization of the database of the
3rd. The story (=iction) gains the immediacy and originality by the connection with place and body through the mediation of food. The paradox, or
iction as the platform of reality bridges to the new urban culture.
Conceptual diagram
of 4th ictional city =
“Crack of Urbanity”.
©The Workshop
What was described above is the conceptual sketch of the project “Crack
of Urbanity”, which we, theWorkshop is planning now. This theoretical project takes the form of food festival and is temporary inserted in the urban
space. A collective story is generated there by the interactive communication based on information technology, while holding the physical and cultural
experience of food as the main axis.The site is planned to be in Bangkok, the
global city with full of vitality and desirable nodes of several powers.
30
RUANG | kreativitas tanpa batas
“However, any
projects on a city by
architects, urbanists,
and artists with
urban vision,
regardless of whether
they are imaginary or
realistic, are started
as ictional, in order
to represent the
collective imagination
of a society.”
Hiroki Muto
31
MEDIA FICTION /
MEDIA FUTURES
Muhammad Shamin bin Sahrum
Media Fiction discusses how the new forms of media that empower users to
embrace ictional roles of the architect. However, paradoxically, will the advancement of media that evolved from mere representation towards collaborative, interactive, network and user-oriented slowly dismantled the autonomy of
Cedric Price famously scolded to a bickering husband and wife when designing their new house, saying ”You don't need a new house, you need a divorce!”
Which goes to show that a new building isn't always the answer. It also
serves as a point of departure for architects to consider non-building solutions as a medium, as an agent of change. Before we delve in further, this essay wishes to bring the reader into seeing to what extent does architectural
media play a role within the contemporary society. What its future possibilities are. Also touching on what we previously imagined to be ictional and
what may well be the future of architectural media.
Architectural media varies in medium and form and includes, but is not
limited to, drawings, models, diagrams, ilms, text/writings, websites and installations to name a few. With some mediums lending itself more towards the
cultural production of architecture such as drawings, imagery and models.
Now, let us dissect the deinition of 'architectural media'. The word 'Media',
which is Latin, is the plural of 'Medium', with its nouns meaning 'vehicle',
33
Left : ‘Cedric Price –
Wish We Were Here’,
Portrait of Cedric
Price. (Source: Cedric
Price Estate)
edisi #11: Fiksi
[1] Papamichael, K.,
1999. Digital Media
in Architecture: Opportunities and Challenges. Berkeley, University of California.
Avaliable at: https://
buildings.lbl.gov/sites/
all/iles/43080.pdf
'method', and 'avenue'. From that, Kostantinos Papamichael1 deines architectural media as ”anything used in architectural practice, not only with respect to documents, but the equipment used for their production as well.”
Here, she further states that if we were to distill it down, it can be abstracted
as ”essential media”, which are images and messages. ”Images come in the
form of pictures, drawings, paintings, scale models, plots, etc. While messages
can contain three information elements: text, sound and gestures.” In effect,
these 'mediums' function as transmitting elements for the dissemination of
architecture to a wider audience. The digital sphere has further added and
expanded upon the already existing forms of architectural media. Changing
how we interact, organize and respond to the environment, as individuals
and as communities.cted with the reality. When it is actually connected with
the reality, or realized as urban development, the ictional aspect of the project inishes its role.
An example worth discussing is the growing role of open source software
and now, hardware, in dissolving the traditional roles of the architect. Globally we are witnessing a resurgence of maker 'communities' emerging from
fabrication labs, do-it-yourself drone building groups to DIWO, do-it-with-eachother movements like Wikihouse. What the 'networked society' managed to
do, is use existing architectural media and democratize it to everyone and
anyone with internet access. Take the Wikihouse movement for example
by London architecture irm 00:/ (pronounced, zero-zero). They took the
Detail joint of a
‘Wikihouse’. (Source:
WikiHouse.cc)
34
RUANG | kreativitas tanpa batas
same underlying principal from open source software, i.e. Wikipedia; an open
source platform, and applied this to built structures. Alastair Parvin2 of 00:/
who spearheaded the project, asks the audience during a TED talk what
would happen if everyone could print their own house? 30 years ago this
idea of everyone 'printing' their own house would seem highly ictional.
Wikihouse enables anyone to download the house plans, have it CNC manufactured and self-assembled. A full scale prototype was built in 2012, with improvements subsequently made by the community. Questions of authorship
arise and blur the boundaries between production and designer, professional
and amateur. How will this affect the role of the professional 'architect' if
everyone can build? Questions similar to this and more will force the profession to think its roles differently and adapt.
[2] Parvin, A., 2013.
Architecture by the
People for the People.
[TED] February 2013.
Available at: https://
www.ted.com/talks/
alastair_parvin_architecture_for_the_people_by_the_people
Indy Johar, author and founding architect of 00:/, in their report Compendium
for the Civic Economy3, underlies that an overall emerging recurrent theme in
all of the self-building communities is ”self-organization & collaborative management built on user-centric and open scale-free platforms.” An opening
passage of the report summarizes the current movement, ”A civic economy
is emerging, one which is fundamentally both open and social. It is an economy which is fusing the culture of Web 2.0 with civic purpose”. Here, the
expanded role of architectural media has been pushed further, not merely
as a representation, but as a platform of creating agency.The real change is in
letting people from beyond the architecture/design ield to utilize mediums
often associated with architectural production. It transcends its former role
and becomes a tool for social construct.information, and users gets any desirable stories by picking and combining any information out of it. Regardless
of whether those stories serve purely entertainment purpose (games or
communication through information technology), or help us to easily establish our identity by holding differences from others in a symbolic way (any
branding strategy form fashion to urban development), the consumption of
these stories is already necessary for contemporary urban lifestyle.
[3] Ahrensbach,
T., Beunderman, J.,
and Johar, I., 2011.
Compendium for the
Civic Economy. 00:/
Publishers: London.
Through the increasingly important role of the internet and the mobile device, the separation between information and ourselves becomes thinner.
Jeremy Hight4 in his article, A New Area for Collective Activism, explained it
brilliantly by saying ”The breadth and coverage of our realities keep expanding, but they are converging in our awareness of space and time”. If we
talked about 'information and reality converging in our awareness of space
and time' 20 years back, people would have surely thought of the ictional
future that Ridley Scott envisioned through his 1982 ilm Blade Runner. ”This
is augmented reality, a new and emerging level of interaction. Augmented
[4] Hight, J., 2008. A
New Arena for Collective Activism, Volume
Magazine #16:
Engineering Society,
July 2008.
35
edisi #11: Fiksi
Above: Opening title
scene from ‘Blade
Runner’ (1982)
reality is a system of technology and visualization that allows information
to be placed in the ield of vision as one moves,” explains Hight. A recent
cultural phenomenon would be the Pokemon GO! craze to best describe the
immense potential of augmented reality.