Dari Tukang Sol Sepatu Tua Hingga Lelaki Pilihan Ayahku

  Rahadi W .

  

Dari

Tukang Sol Sepatu Tua

Hingga Lelaki Pilihan Ayahku

  

Kumpulan

Kisah Fiksi Kehidupan Volume 1 2013 Hidup adalah Pilihan. Kata siapa? Kalo begitu gue pilih jadi orang kaya dong! Hidup senang, kebutuhan selalu terjamin, Ya tho? Tapi nyata- nya... mana coba? Hampir tidak addunia ini yang sesuai dengan keinginan kita.

  Ah, sobat... kamu hanya belum mengerti. Terlahir sebagai siapapun dirimu, Tuhan tetap memberimu pilihan, mau TERSENYUM BAHAGIA atau MENG- GERUTU SELALU. Terserah kamu.

  Biarpun terlahir sebagai anak kuli bangunan, tapi kalau kamu mau tersenyum, tersenyumlah, Tuhan takkan menghalangi. Bila kamu tetap menggerutu walaupun ada rumah megah, mobil mewah, dan istri cantik menunggum

  Pembaca yang budiman, KEHIDUPAN bisa menjelma dalam berbagai wajah. Darinya bisa terangkai berbagai macam KISAH. FIKSI atau kenyataan, kadang susah dibedakan. Mari membaca tiga cerpen inspiratif berikut ini, semoga bisa menambah wawasan kita tentang kehidupan. Berikut adalah cerpen-cerpen yang ada dalam e-book ini:

  • Tukang Sol Sepatu Tua ................. hlm. 5
  • Kaca Pecah ................... hlm. 19
  • Lelaki Pilihan Ayahku ................ hlm. 33 Selain itu ada tiga puisi dari penulis yang sama, Rahadi W. Tiada gading yang tak retak. Mohon maaf bila ada kekurangan. Terimakasih banyak bagi siapa saja yang telah meluangkan waktu untuk mengapresiasi karya sederhana ini. Wassalam, Rahadi W.

  

  DI UJUNG JALAN Rahadi W.

  Embun telah menguap dan pagi pun tinggal puing Lembar demi lembar halaman bukuku telah aus dimakan ngengat

  Dan senja pun menghadang di ujung jalan melambaikan bendera hitam memimpin iringan pengusung keranda

  Malang, 09 April 2012

TUKANG SOL SEPATU TUA Rahadi W

  Tengah hari bolong, matahari bertengger di puncak langit. Panasnya serasa memanggang bumi. Udin menyeka peluh yang membasahi kening dan lehernya, peluh yang bercampur debu dan asap kendaraan. Ia menarik-narik kerah bajunya sambil berusaha menghirup nafas panjang. Dasi yang melilit lehernya itu membuatnya merasa sesak nafas.

  Memang Udin tak biasa berdasi. Rasanya gerah sekali memakai baju berdasi di bawah terik matahari. Ia berangan, seandainya memakai setelan ini di ruangan ber-AC, duduk menghadap meja, dan mengerjakan pekerjaan yang keren, menghitung uang misalnya.

  Tapi kenyataannya tidak begitu. Yang dilakukan- nya sekarang adalah menenteng tas seberat hampir lima kilo dan menyusuri jalanan mencari pembeli atau orang yang mau menjualkan barangnya.

  Udin tak ingat lagi apa yang dikatakan pria berdasi di kantornya beberapa hari yang lalu, tentang motivasi diri, membangun imej, entah apalagi. Yang jelas sesudah itu ia disuruh mulai bekerja dengan memakai dasi dan baju seperti ini. Huh, gerah!

  Hari ini nasib tak bersahabat dengannya. Barang yang dibawanya berkeliling seharian masih utuh sama sekali. Parahnya lagi, sol sepatunya sebelah kanan mulai lepas. Sepatu kulit imitasi itu tak tahan lagi dibawa berjalan menyusuri pematang-pematang metropolitan yang keras dan angkuh. Tiap kali ia mengangkat kaki, sol sepatu itu seperti lidah yang melelet-lelet menjilati aspal. Udin pun berjalan dengan setengah menyeret kaki, takut orang melihat keanehan sepatunya.

  Di perempatan jalan ia berhenti. Tempat tujuannya, kantor walikota, masih jauh. Itu harapan terakhirnya hari ini, menjual sebagian barangnya pada pegawai kantor walikota pada jam istirahat. Tapi ia tak yakin bisa sampai ke sana tanpa sol sepatunya betul- betul lepas. Ia menoleh kiri-kanan. Di sudut emperan toko, ada seorang laki-laki tua duduk di atas kotak kayu, menunggui beberapa pasang sepatu butut.

  “Nhaa... kebetulan nih, ada tukang sol sepatu,” pikirnya. Tapi hatinya menciut tatkala ia merogoh kantong, menemukan hanya selembar uang lima ribuan kumal berada di situ. Dengan ragu-ragu ia menghampiri tukang sol sepatu tua itu.

  “Mbah... bisa ngesol sepatu ya?” tanyanya. “Oh ya mas.. bisa bisa.. mana sepatunya?” Kakek tua itu mendadak kelihatan bersemangat, seperti baru saja menang togel setelah bertahun-tahun kalah melulu.

  “Emm tapi... ongkosnya berapa Mbah?” “Biasalah mas, lima ribu.” Udin menghela nafas panjang. Dilepaskannya sepatu yang sudah dua tahun dipakainya menjelajahi dunia itu. Tadi pagi ia menahan diri untuk menukarkan uang lima ribu itu dengan bubur ayam. Tak disangka siang ini pun ia belum bisa makan. Kalau uang lima ribu itu dibelikan makanan maka ia tak bisa menjahitkan sepatunya. Tapi dengan sepatu kewer-

  kewer begitu bagaimana ia bisa berjalan mencari uang? Duh, pilihan yang sulit.

  Begitu menerima sepatu itu dari tangan Udin, tukang sol sepatu tua itu langsung bekerja dengan jarum dan benangnya. Cekatan sekali, tampaknya ia sudah menekuni pekerjaan itu bertahun-tahun. Udin yakin, kalaupun orang tua itu disuruh mengerjakan dengan mata tertutup tak akan jadi masalah baginya.

  Udin memperhatikan tukang sol sepatu itu. Badannya kurus. Tulang-tulang iganya tampak menonjol. Rambut dan jenggotnya yang putih itu tumbuh jarang-jarang, mungkin banyak yang telah rontok. Kalau ia membuka mulut, kelihatan gigi-giginya sudah tak utuh lagi. Sudah setua itu, pikir Udin, masih harus menantang dunia. Tidakkah seharusnya ia di rumah, dirawat anak dan cucunya. Tiba-tiba Udin merasa seperti bercermin dengan dirinya sendiri di masa depan.

  Udin duduk di bangku kecil yang disediakan tukang sol sepatu tua itu, menunggu sepatunya selesai dijahit. Ia memandangi jalanan yang ramai oleh kendaraan yang lalu-lalang. Sebuah mobil sedan mengkilap berhenti tak jauh dari tempatnya duduk. Tak lama kemudian pintu belakangnya terbuka, dan tampak sebentuk kaki putih bersepatu hak tinggi menjulur keluar, disusul wanita pemilik kaki itu.

  Udin memandang wanita itu berjalan melenggang ke arah pintu minimarket. Rambutnya yang tergerai berwarna kecoklatan, pasti karena dicat. Wajah eloknya tipikal artis sinetron. Blousenya tanpa lengan, menampakkan lengan mulusnya yang bergemerincing gelang, menenteng tas kulit yang sepertinya mahal. Sadar bahwa ia memandang wanita itu lebih dari yang sewajarnya, Udin pun membuang muka.

  Pandangannya terbuang ke arah tukang sol sepatu tua itu. Tak disangkanya ternyata orang tua itu sedang menatapnya dengan raut muka yang aneh. “Kenapa Pak?” tanyanya, merasa tak enak ditatap seperti itu.

  “Suka?” tanya orang tua itu sambil menyeringai. “Apanya?” “Itu... yang barusan lewat.” “Oh itu...” Udin tersipu. “Orang seperti saya... ya nggak mungkinlah Mbah!” “Kenapa nggak mungkin?” “Nggak mungkin dia mau sama saya. Mbah ini ada- ada saja!”

  “Hey anak muda! Jangan gampang-gampang bilang tak mungkin. Kelak kau akan menyesali hidupmu.”

  “Ah kok gitu sih Mbah? Memangnya kenapa?” “Mau dengar cerita?”

  “Boleh.” “Begini... waktu saya seumur kamu sekarang, ada seorang gadis cantik di kampung kami. Orang tuanya juga terpandang. Jujur, saat itu aku jatuh cinta padanya. Tapi tentu saja aku tidak sendiri, beberapa teman sebayaku juga punya isi hati yang sama. Tapi kami semua tak ada yang berani menyatakannya.”

  “Kenapa Mbah?” “Sama dengan alasanmu tadi, tak mungkin dia mau sama kami. Waktu itu kami adalah kuli bangunan yang untuk makan sendiri saja susah, mana mungkin bisa meminang gadis secantik dia, anak orang kaya pula.”

  “Ya benarlah itu Mbah... terus apa anehnya?” “Dengar dulu... tapi ada satu temanku yang tidak mau berkata tak mungkin. Waktu itu jamannya kita main musik keroncong. Temanku ini membawa ukulele dan menyanyi di depan rumah gadis itu. Semula ia diusir oleh pemilik rumah, tapi besoknya ia kembali lagi, dasar muka tembok! Ternyata gadis itu suka mengintipnya dari balik jendela dan jatuh cinta padanya. Orang tua gadis itu akhirnya memanggilnya. Ia diberi pekerjaan di toko kelontong mereka. Karena rajin bekerja, orang tua gadis itu pun suka padanya, dan setahun kemudian ia sudah menjadi menantu keluarga itu.”

  “Mmm... baguslah,” kata Udin. “Tapi kejadian begitu kan jarang, Mbah.” “Bukan begitu maksudku... Orang itu tidak lebih tampan dariku, bahkan akulah yang pertama mengajarinya main ukulele. Bedanya hanya sejak awal aku bilang tidak mungkin, jadi aku tidak pernah mencoba. Padahal resikonya cuma sebatas diusir atau dimaki. Kalau saja dulu aku yang mencobanya duluan, tentu aku yang sekarang tidur dengan istri cantik dan jadi menantu orang kaya. Sial! Nasib... nasib...”

  “Ya nggak seperti itu juga Mbah. Tiap orang kan sudah ada garis tangannya masing- masing.” tandas

  Udin. “Walaupun Mbah melakukan hal yang sama, belum tentu hasilnya akan sama juga.”

  Tukang sol sepatu tua itu tercenung. “Mungkin kau benar,” katanya seraya melanjutkan pekerjaannya menjahit sol sepatu.

  Mobil sedan mengkilap itu, setelah mondar- mandir akhirnya mendapat tempat juga di halaman parkir yang padat itu. Seorang laki-laki keluar dari mobil melalui pintu sopir. Perawakannya pendek gemuk, berkulit gelap, dan agak botak. Udin terkejut, ia mengenali laki-laki itu.

  “Tuh, sopirnya...” tukas tukang sol sepatu tua itu. “Heh, sstt... bukan Mbah! Itu bos saya, semoga dia nggak lihat aku lagi duduk- duduk di sini.”

  “Emang kenapa kalau ketahuan duduk di sini, kena marah? Kok kamu takut sama orang kayak gitu. Perempuan tadi itu bininya ye? Emh, jujur aja... menurutku kamu lebih pantas naik mobil dan punya istri cantik macam itu.”

  “Iih, Mbah ini... jangan cuma lihat item dan botaknya aja dong! Mbah kan nggak tahu siapa dia. Dia itu turunan orang kaya, babenya konglomerat. Sekolahnya aja di luar negeri. Soal cari duit, dia ahlinya. Kalau aku kebalikannya, ijazah SMA saja aku tak punya. Warisan juga tak bisa diharap. Tampang pas-pasan. Jadi, tak mungkin jugalah Mbah... “

  “Eh, anak muda. Sudah kubilang jangan gampang- gampang b ilang tak mungkin, kelak menyesal kau!”

  “Yah, memang kenyataannya begitu mau apa lagi Mbah?”

  “Mau dengar cerita lagi?” “Ah, Mbah ini cerita melulu, selesaikan dong sepatunya!” “Ya, kan bisa sambil cerita?” “Terserahlah.” “Pada suatu hari, kami—para kuli bangunan— sedang istirahat. Hari itu sangat panas, sehingga kami agak malas kembali bekerja. Lalu datanglah seorang mandor memaki-maki kami. Tidak ada yang sakit hati dengan makian itu kecuali seorang teman. Ia bersumpah akan mengubah nasibnya menjadi lebih kaya dari mandor itu sehingga takkan dimaki orang lagi. Kami semua menertawakannya, bagaimana mungkin seorang kuli menjadi orang kaya?”

  “Benarlah itu Mbah, mimpi aja dia tuh...” “Tahukah kau? Dia mendatangi pemborong proyek tempat kami bekerja. Tiap sore seusai bekerja sebagai kuli, dia bekerja di rumah pemborong itu, tanpa digaji, dengan imbalan dia minta diajari cara menjadi orang kaya, lucu nggak?”

  “Aih, saya baru dengar ini Mbah, memang ada pelajarannya menjadi orang kaya?”

  “Kami semua terbahak-bahak melihat tingkah- lakunya. Kami kira dia sudah jadi gila karena saking inginnya jadi orang kaya. Tapi beberapa tahun kemudian kami tidak bisa menertawakannya lagi.”

  “Kenapa Mbah?” “Karena dia benar-benar menjadi orang kaya.” Udin t ercekat. “Kok bisa Mbah?” Tukang sol sepatu tua itu mengangkat bahu. “Tanyakan sendiri sama orangnya.”

  “Orangnya mana Mbah?” “Berdirilah, tengoklah ke dalam toko. Orang tua yang duduk di pojok sambil menghitung uang, dialah pemilik toko ini.”

  Udin berdiri, melayangkan pandang ke dalam toko bahan bangunan yang sudut empernya ditempati tukang sol sepatu tua itu untuk mencari nafkah. Benar, ada seseorang yang kira-kira sama tuanya dengan tukang sol sepatu itu, duduk menghadap meja kasir sambil menghitung uang.

  “Lho, jadi pemilik toko ini dulu sama-sama jadi kuli seperti Mbah?” Tukang sol sepatu tua itu mengangguk. “Mengapa Mbah tidak minta padanya untuk diajari cara menjadi orang kaya?” “Aku pernah menertawakannya, mana mungkin dia mau membantu. Ya kalaupun sekarang dia mau, aku sudah terlalu tua untuk belajar. Tak mungkinlah...”

  “Mengapa Mbah bilang tak mungkin?” Tukang sol sepatu tua itu tidak menjawab, seolah-olah tidak mendengar, menyibukkan diri dengan jahitan sol sepatunya. Udin mengangguk- angguk, mulai memahami mengapa tukang sol sepatu itu mengakhiri masa tuanya di emperan toko. Kalau ia mengikuti jejak orang tua itu, mungkin kelak nasibnya tidak akan jauh berbeda.

  Malang, Maret 2012

Sajak Sang Pendosa Rahadi W

  Terkapar aku di serambi-MU membawa hati yang terkoyak oleh sembilu nafsu yang kubiarkan liar menjelajah padang di batas jurang gelap dan licin Dan terperosoklah aku terluka, berdarah-darah beringsut di pintu-MU menghela beban berkarung-karung dosa, berpeti-peti durhaka Dengan apa kubuka pintu-MU sedang kuncinya telah kubiarkan hilang di kegelapan jurang Kerinduanku pada-MU melipat langit, dan menenggelamkan bintang-bintang

  Malang, 30 Juni 2012

KACA PECAH Rahadi W

  Jam satu malam lewat lima menit. Kelopak mataku terasa berat. Rasa penat menggelayuti seluruh tubuh. Muka dan sekujur tubuh terasa lengket oleh peluh yang mengering. Sejak enam bulan lalu bertugas sebagai dokter Puskesmas di wilayah agak terpencil ini, hari ini adalah hari paling melelahkan bagiku.

  Bagaimana tidak? Setelah kemarin semalaman lembur mengerjakan laporan, paginya menyetir sendiri mobil Puskesmas Keliling yang reyot itu ke ibukota kabupaten sejauh 100 km, dilanjutkan rapat sampai siang di kantor dinas kesehatan. Dalam perjalanan pulang, roda belakang mobil terperosok ke jalan berlumpur, terpaksa jalan kaki ke desa terdekat mencari bantuan. Petang hari sampai di rumah, belasan pasien sudah menunggu untuk dilayani.

  Baru saja selesai, jam sembilan malam, bidan desa melaporkan ada ibu melahirkan yang kejang- kejang. Terpaksa harus dibawa ke rumah sakit kabupaten, dengan mobil yang sama, yang lagi-lagi mogok dalam perjalanan pulang. Ternyata tangki BBMnya bocor. Hadeww... capeknya! Sesampainya di rumah aku langsung menghempaskan diri ke atas ranjang.

  Seperti disedot ke dalam pusaran sumur ketiadaan yang dalam... aku sempat tidak ingat apa-apa lagi. Tiada mimpi. Tiada igauan. Hanya kehampaan yang melayang semakin dalam. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menahanku. Seperti kait terhujam ke belakang otakku, kemudian dihelakan hingga terkerek naik ke permukaan. Kesadaran yang semula kucampakkan, tiba-tiba kembali merengkuh dan memagutku.

  “Ayah.. ayah.. aduuh susah sekali dibangunkan!” Lamat- lamat kudengar suara istriku. “Bangunlah... orang itu menggedor- gedor pintu terus.”

  Kemudian telingaku juga menangkap suara lain... brok! brok! brok! Suara pintu depan digedor-gedor, disertai teriak orang memanggil. Sambil mengedip- ngedipkan mata aku menggeliatkan badan. Berat sekali rasanya untuk bangun. Aku beranjak duduk di tepi ranjang, berusaha mengumpulkan kesadaranku kembali. Suara gedoran di pintu semakin keras.

  Ketika kesadaranku baru mulai terasa penuh, suara gedoran pintu itu malah berhenti. Hening sejurus... tiba-tiba dhuarr!! krompyanggg!! Aku tersentak kaget. Istriku pun demikian. Kesadaranku langsung kembali 100%. Aku bergegas ke ke arah suara itu berasal. Di ruang depan, ruang tamu yang sekaligus dijadikan ruang praktek, kudapati kaca jendela telah hancur, pecahannya berserakan di lantai. Sebuah batu sebesar bola tenis tergeletak di meja. Ada bekas benturan di dinding, menandakan batu itu memantul di dinding sebelum jatuh ke atas meja. Terlihat melalui kaca jendela yang pecah, tiga orang laki-laki berdiri di depan rumah. Kubuka pintu dan keluar. “Ada apa ini?” sergahku.

  Satu diantara tiga orang itu, yang termuda dan badannya paling besar, berjalan mendekat dengan telunjuk terangkat menudingku. “Bangsat kau! Orang sudah mampus baru kau buka pintu!”

  “Apa maksudmu?” suaraku gemetar karena menahan geram. “Masih nanya lagi... Lihat nih, bapakku dari pagi mencret belum juga diobati. Pagi tadi ke sini kau tidak ada. Sore ke sini masih belum ada. Sampai sekarang dipanggil nggak keluar- keluar.” sahut orang itu. “Ya Allah, Pak. Pagi tadi kan saya rapat dinas di kabupaten. Sorenya mana ada bapak ke sini?! Kalau sakit dari pagi kenapa tidak ke Puskesmas saja, kan ada petugas lain walaupun saya tidak ada?!” “Heh, banyak alasan pula!” orang itu membentak. “Apa gunanya dokter di sini? Tiap kali orang sakit kau tak pernah ada. Tahu ndak kamu.. aku ini ketua (menyebut sebuah nama LSM) di sini.”

  “Aku tidak ada urusan dengan (kusebut nama LSM itu). Aku kerja bukan kamu yang menggaji. Lagipula tugasku bukan hanya mengobati orang, banyak pekerjaan lain dibebankan pemerintah padaku.”

  “Enak aja kau ngomong... Kau ini digaji dengan uang rakyat. Kamilah rakyat! Kamilah tuanmu di sini! Bupati saja takut dengan kami. Lihat besok, kudatangkan seribu orang, kululuhlantakkan tempat ini!”

  Pertengkaran pun memanas dan sepertinya bisa berujung kekerasan. Orang itu sudah siap melayangkan tinjunya. Tiba-tiba ada yang menarik bajuku dari belakang. Aku menoleh, ternyata istriku.

  “Sudahlah,” katanya setengah berbisik. “Tengah malam begini, tak ada gunanya bertengkar, membahayakan dirimu sendiri.”

  “Hai Pak...” tiba-tiba istriku menyela dari balik punggungku. Ia menyapa kedua orang lain yang dari tadi hanya termangu. “Apakah kalian datang ke sini hanya untuk bertengkar? Siapa sebenarnya yang sakit?”

  “Eh ya.. anu Bu, ini paman saya... sakit perut.” kata yang seorang menunjuk orang tua di sebelahnya. “Yang sakit masuklah!” istriku melambaikan tangan. Semula bapak tua itu ragu-ragu, tapi kemudian masuk juga ke dalam rumah. Pemuda yang beringas itu terdiam saja melihatnya. “Periksalah dulu!” bisik istriku lagi sambil menarik tanganku. “Urusan lain bisa ditunda besok pagi.”

  Walaupun hatiku masih panas, tapi akhirnya kuturuti juga perkataan istriku untuk memeriksa bapak tua itu. Nada bicaraku agak lain saat menanyainya tentang sakit yang dideritanya, pendek- pendek dan tidak ramah seperti biasanya. Juga saat memegang jarum suntik dan menghisap obat dari ampulnya, kelihatan tanganku masih gemetar karena hati yang menahan amarah. Saat kuberikan obat-obat yang harus diminumnya di rumah, wajahnya menatapku (dengan air muka yang aku tahu artinya: berapa?). Tapi aku enggan menanggapi dan dengan gerakan kepala menyuruhnya keluar.

  Di dekat pintu orang itu memegang tanganku, seraya mengatakan sesuatu dengan suara pelan hampir tak terdengar, “Maafkan kami. Kami tak bermaksud begini...” Aku tak begitu memperhatikan.

  Kubukakan pintu untuk secara halus menyuruhnya pergi.

  Orang tua itu berbicara kepada pemuda beringas itu, sepertinya menyuruh memberikan uang atau apa kepadaku, tapi pemuda itu hanya mengangkat bahu dan pergi begitu saja. Kedua orang itu memandangku sejenak, seperti mengucap terimakasih dengan wajah tak enak, kemudian berjalan pergi mengikuti pemuda itu.

  “Kali ini takkan kubiarkan dia lolos begitu saja,”

  “Terserah, apapun yang akan kaulakukan lakukanlah besok pagi, sekarang tidurlah!” ujar istriku. Tentang pemuda beringas itu, masih lekat dalam ingatanku kejadian sebulan yang lalu. Waktu itu dia membawa seorang anak yang terluka lengannya karena bermain pisau. Lukanya mengalirkan darah, walau tidak seberapa parah, tapi anak itu meraung- raung terus. Ketika akan menjahit luka itu, baru kuingat bahwa alat-alatnya belum disterilkan. Kututup luka itu dengan kasa steril dan kutinggalkan ke dapur untuk merebus dahulu alat-alat bedah minorku. Tiba- tiba pemuda itu menerobos masuk ke dapur, membentak dan menarik kerah bajuku. Ia bilang aku lambat melayani anaknya sampai hampir mati kehabisan darah.

  Terlalu. Kali ini tak akan kubiarkan, aku mengutuk dalam hati.

  • Pagi hari, aku bergegas hendak melapor ke

  Mapolsek, tapi kemudian kuputuskan untuk lebih dulu menemui kepala desa setempat. Mendengar kejadian itu, seperti yang kuduga, kepala desa mencegahku untuk lapor polisi. Ia berjanji akan menyelesaikannya secara adat. Aku pun melunak, tapi memberinya batas waktu 1 x 24 jam untuk segera bertindak.

  Hingga siang hari belum ada kabar dari kepala desa. Rasa kesal, marah, dan dendam kembali mengusikku. Hampir aku memutuskan untuk langsung ke kantor polisi saja, tapi istriku mengingatkan bahwa aku sudah berjanji untuk memberi waktu 24 jam. Ketika hampir jam sembilan malam tak juga ada kabar apapun, aku kehilangan kepercayaan pada kepala desa itu. Melihat beringasnya pemuda itu, kuragukan bahwa cara “kekeluargaan” akan bisa menjinakkannya.

  Ketika aku baru saja mengunci pintu setelah pasien terakhir yang kulayani pulang, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Kuintip dari jendela (yang masih bolong) ternyata kepala desa bersama bapak tua yang kemarin sakit itu.

  “Jadi bagaimana kelanjutannya Pak?” tanyaku begitu mereka kupersilahkan masuk dan kami duduk bersama di ruang tamu.

  Kepala desa itu menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. “Saya sedang berusaha menyelesaikan masalah ini, Pak Dokter. Tapi masalahnya pelaku pengrusakan yang Anda laporkan ini sedang sakit...”

  “Sakit? Sakit apa? Kemarin dia sehat-sehat saja waktu melempari rumahku. Bapak lihat sendiri akibatnya...” kataku sambil menunjuk jendela yang tak berkaca lagi.

  “Ya saya tahu... tapi sejak tadi pagi katanya dia sakit perut. Sekarang makin parah hingga tak bisa berdiri lagi.”

  “Sakit atau pura-pura sakit? Apa dia takut akan diperkarakan ke polisi?” “Saya tidak tahu Pak Dokter, tapi saya pegang badannya memang panas sekali, dan sekarang tak bisa diajak bicara lagi, malah meracau seperti orang kesurupan.”

  “Lalu?” “Ya.. justru saya datang sekarang ini mewakili keluarganya untuk minta maaf sekaligus minta tolong

  Pak Dokter untuk mengobatinya.”

  “Apa? Orang ini sudah bersikap kasar ketika pertama kali aku menolong anaknya. Dan kemarin.. lebih buruk lagi, ia merusak rumahku ketika akan minta tolong untuk mengobati bapaknya. Apakah saya bukan manusia yang tak bisa merasa sakit hati? Berani-beraninya sekarang minta tolong lagi sedangkan kemarahan dalam hati saya belum hilang. Saya tidak yakin bisa bertindak profesional dengan beban perasaan seperti ini!”

  Kepala desa hanya mengangguk-angguk sambil sesekali menarik nafas panjang. Bapak tua disampingnya hanya menunduk, meneteskan air mata, tidak berkata sepatahpun. Akhirnya mereka pun mohon diri setelah jelas tak ada lagi yang bisa dibicarakan denganku.

  “Mengapa dibuang kesempatan yang begitu bagus?” Aku kaget mendengar suara istriku yang tiba- tiba menyela dari balik tirai, ketika aku masih termangu memandang kepergian kedua orang itu.

  “Kesempatan? Apa maksudmu?”

  “Kesempatan untuk membuktikan keikhlasan. Selama ini Ayah banyak menolong orang... tapi bisakah membuktikan bahwa semua atas dasar keikhlasan? Banyak alasan untuk menolong: karena uang, karena kasihan, karena tugas, karena menyukai seseorang, karena ingin dapat pujian... banyak lagi alasan lain.”

  “Terus?” “Saat kita harus menolong orang yang kita benci, saat itu kita tidak punya alasan lain untuk menolong selain keikhlasan. Kelak saat Ayah berdoa, maka Ayah bisa dengan bangga menyebut di hadapan Allah bahwa

  Ayah pernah menolong seseorang dengan tanpa alasan

  lain selain ikhlas semata.” Aku tercenung. Tak ada kata-kata lain lagi terdengar dari balik tirai. Apa yang baru saja kudengar sudah jelas maknanya, tidak perlu penjelasan lain lagi. Kumasukkan alat-alat medisku ke dalam tas kecil yang biasa kubawa kala mengunjungi pasien di rumahnya.

  Saat keluar rumah, kusempatkan memandang ke langit sebentar, menasehati diriku sendiri bahwa Dia sedang menyaksikan apa yang kulakukan. Dengan langkah-langkah ringan aku berjalan, ke rumah pemecah kaca itu.

  Keikhlasan—walau setitik—akan menghapus dendam segunung. #RahadiW .

  Malang, Februari 2012

GERIMIS MALAM Rahadi W

  Malam berselimut gerimis menelan senja yang basah oleh air mata Duhai hati yang selalu menangis mengapa tidak berdamai saja dengan dunia

  Tidakkah kau tahu sifat dunia? semakin kau memakinya semakin ia kan menindasmu semakin kau menghiba padanya semakin ia kan menjauhimu

  Malang. 13 April 2012

Lelaki Pilihan Ayahku Rahadi W

  "Nis, kamu besok datang, kan?" suara Novi di hapeku terdengar mendesak. "Aduh, gimana ya, aku...." jawabku ragu.

  "Sibuk?" sahut Novi. "Sibuk apa pula? Ajak aja si Dafa, nggak apa-apa. Kalau Bang Mahmud nggak ngijinkan, biar aku bicara sama dia."

  "Bukan soal Bang Mahmud, tapi Dafa suka rewel kalau diajak pergi," ujarku. Sejak menikah tiga tahun yang lalu, anakku memang baru satu, si Dafa itu.

  "Makanya, Dafa harus sering diajak keluar, biar terbiasa. Jangan ngumpet terus di rumah, ntar jamuran deh kamu!" sergah Novi. "Geng kita sudah konfirm semua, tinggal kamu aja. Besok kujemput ya, jam delapan pagi theng!"

  Aku terdiam. Alasan apa lagi yang bisa kuberikan agar aku tidak harus datang di acara reuni hari Minggu besok? Sebenarnya aku minder bertemu teman-teman SMA-ku. Mereka umumnya kuliah atau bekerja, sedang aku... membusuk di rumah jadi istri penjual cilok. Tapi bukan itu alasan utamaku. Aku takut berjumpa "dia". Dia yang pernah kuharap akan berperan penting dalam hidupku.

  "Sayang cowok-cowok cakep banyak yang nggak bisa datang. Termasuk Mas Tomi, lagi di luar negeri kabarnya. Jadi kurang seru." Novi terus mengoceh. Hatiku berdesir mendengar nama Tomi disebut. Entah Novi sengaja atau tidak. Ia memang sedikit tahu tentang kisah antara aku dan Tomi, tapi mungkin sudah lupa.

  "Oh, jadi mereka tidak bisa datang, ya?" selaku dengan perasaan berdebar. "Iya, makanya kamu jangan nggak datang juga, bisa mati bosan aku!" "Mm... Iya deh, terserah," kataku akhirnya. "Nah, gitu dong! Besok kujemput, ya. He he he...." Novi tertawa riang. Ah, Tomi... lagi-lagi aku jadi teringat nama itu. Padahal sudah mati-matian aku berusaha melupakan- nya. Aku sudah menikah, tak layak bagiku membagi pikiran untuk laki-laki lain. Tapi bagaimana lagi... orang bilang, cinta pertama takkan pernah terlupakan. Mungkin itulah yang terjadi padaku.

  Aku tak bisa melupakan puisi yang ditulis Tomi ketika menyatakan cinta padaku. Kata demi kata, bahkan tiap-tiap hurufnya, masih melekat di benakku.

  Bahkan malam pun tertegun dalam senyap tatkala bulan menyingkap kabut yang menyaput wajahnya Duhai, Purnama

  Demikianlah daku tertegun memandang wajahmu yang bersinar bak bola kristal dalam naungan kerlip bintang

  ... dan selanjutnya masih panjang lagi. Waktu itu, benar kata orang, dunia serasa milik berdua. Masa depan terbuka lebar, hanya keindahan yang tampak. Siapa yang meragukan masa depan seorang pemuda seperti Tomi? Dia cakep, romantis, pintar (bahkan mendekati jenius, kata teman-teman), dan anak orang kaya pula. Walau tak lama, aku sempat merasakan duduk di jok mobil BMW milik papinya, rasanya adem, wangi, keren.

  Tapi sayang, kami hanya sempat tiga bulan berpacaran. Bahkan Novi dan teman-teman yang lain baru saja tahu kalau kami pacaran, ketika hal itu keburu tercium oleh ayahku. Hadehhh... ayahku memang kolot. Dari awal sebenarnya beliau melarangku pacaran. Mengetahui aku pacaran sembunyi-sembunyi, kontan saja kemarahannya meledak. Aku sempat dipukul dengan rotan, dan hapeku disita. Alhasil, pacaran seumur jagung itu pun putus... tus.

  Karena tekanan ayahku, Tomi dipindahkan orang tuanya ke sekolah lain. Padahal saat itu kurang empat bulan menjelang UNAS. Konsentrasi belajarku buyar. Masih untung bisa lulus SMA, walau nilai pas- pasan. Tapi usahaku lolos seleksi PTN gagal total. Celakanya

  —ini lagi yang tak kusuka—ayah melarang- ku ikut tes di perguruan tinggi swasta. Buang-buang duit saja, katanya. Ih, sebel.

  "Kalau memang otak nggak mampu dipakai kuliah, ya sudah, nggak usah dipaksakan," ujar ayahku waktu itu. "Lebih baik kamu menikah saja."

  Hah, menikah? Sama sekali tak terbayangkan olehku. Lulus SMA langsung menikah... aduh, apa kata dunia? Di saat teman-temanku bertukar kabar gembira karena menjadi mahasiswa-mahasiswi, aku hanya duduk termenung di rumah. Untung Novi sesekali datang menghiburku. Dia juga tidak kuliah, lebih asyik mengurus toko souvenir warisan mamanya daripada belajar.

  Saat itu aku berangan-angan seandainya Tomi tiba-tiba datang melamarku. Tapi itu hanya angan- angan kosong, aku tak pernah mendengar kabar- beritanya lagi. Lagipula, kecil kemungkinan ayahku mau menerimanya, sudah nggak respek.

  Yang muncul kemudian malah... Bang Mahmud! Aku belum pernah mengenalnya sama sekali. Kabarnya dia lulusan pesantren, nun di Ponorogo sana. Bang Mahmud juga tak mengenalku, bahkan tidak tahu seperti apa diriku, cantik atau jelek. Ia hanya tahu dari gurunya bahwa ayahku sedang mencari menantu. Aku mengintip dari dalam kamar waktu dia datang melamar diantar pamannya. Ehm... refleks otakku langsung membandingkannya dengan Tomi.

  Rambutnya ikal, berjenggot, dan selalu pakai celana cingkrang. Aih, sorry men, bukan tipeku banget! Bandingkan dengan Tomi yang rambutnya selalu berminyak gaya Superman The Movie. Parfum Tomi juga selalu cool, membuat cewek-cewek terkiwir-kiwir dibuatnya. Sedangkan yang ini... emh, dari dalam kamar saja aku sudah bisa meraba aroma parfumnya. Bau bunga melati, khas parfum yang biasa dijual di pasar malam (kemudian hari aku tahu, ternyata doi memang jualan parfum semacam itu, hiks!).

  Aku sempat berharap ayahku menolak lamarannya. Tapi ternyata tidak, ayahku justru

  kesengsem dengan gaya santrinya itu. Mungkin beliau pikir cocok untuk menjinakkanku yang nyaris liar ini.

  Aku pun gelagapan waktu ditanya, mau apa nggak menikah sama dia. Aduh, pikirku, kalau aku menolak sampai kapan aku membusuk di kamar seperti ini. Tapi... entahlah. Akhirnya, karena aku diam saja, maka lamaran itu pun diterima. Aku pun menikah, dan jadilah si Dafa ini.

  Sempat syok juga waktu diajak Bang Mahmud ke rumah kontrakan yang mungil, dalam gang sempit pula. Lebih terkejut lagi waktu mengetahui pekerjaannya sehari-hari, jualan cilok keliling naik motor. Aduh, terbayang masa depanku bakalan suram. Tapi paling tidak dia masih mampu membelikanku pulsa, hingga aku masih bisa ber-chatting ria dengan teman-temanku.

  Sebenarnya Bang Mahmud bisa kaya, lho. Doi sering diundang ceramah, maklum lulusan pesantren. Gayanya tidak kalah keren dengan ustadz Uje, ustadz Solmed, dll yang ngetop itu. Pengetahuannya luas, buku-buku bacaannya menggunung di kamar, sebagian besar berbahasa Arab. Bahkan beberapa buku kulihat nama penulisnya adalah ia sendiri, Mahmud Arifin. Sebagai istrinya, aku ikut bangga juga. Tapi sayang, dia selalu menolak amplop yang disodorkan orang padanya selepas ceramah.

  Pernah kutanyakan hal itu, tapi dia langsung marah. Katanya, "Rasulullah saja tidak pernah meminta upah atas ilmu yang diajarkannya. Apa hakku, dengan ilmu yang sedikit ini, meminta bayaran?"

  "Tapi...." Aku menyanggah. "Kebanyakan ustadz begitu, apa salahnya?"

  "Tidak ada salahnya," jawab Bang Mahmud. "Aku hanya malu kepada Rasulullah. Wahai, Annisa istriku, bersabarlah. Ummul mukminin Aisyah r.a. pernah berkata, 'Tidak pernah kenyang keluarga Muhammad dari roti gandum selama dua hari terus menerus'. Apa yang kita jalani sekarang ini sudah terlalu mewah dibanding keluarga Rasulullah!"

  Aku terdiam, dan tak pernah menyinggung- nyinggung hal itu lagi.

  • Dafa melonjak-lonjak gembira ketika Novi datang menjemput kami. Anak itu memang suka diajak Novi jalan-jalan dengan mobil Honda Jazz-nya. Tiba di rumah Mitha, tempat reuni itu digelar, suasana sudah ramai. Walau memang tidak semua datang, hanya 26 dari keseluruhan 40 orang teman sekelasku.

  Benar juga kata Novi, rugi kalau aku tidak datang. Acaranya cukup menyenangkan. Apalagi ternyata Meiske, otak geng rival kami yang mulutnya suka kurang ajar itu tidak datang. Aku aman, tidak ada yang mengungkit-ungkit statusku. Bahkan Dafa menjadi bintang acara karena dialah satu-satunya anak kecil yang lucu di acara itu. Novi sibuk pe-de-ka-te sama Rio, cowok baby face berkacamata yang sekarang kuliah di fakultas kedokteran itu.

  Seharusnya hari itu berakhir menyenangkan, kalau saja tidak ada mobil Toyota Alphard yang tiba- tiba memasuki halaman rumah Mitha. Semua memandang penasaran, siapa gerangan yang datang dengan mobil itu. Seseorang berbadan tinggi-besar dengan setelan jas warna hitam dan kacamata hitam keluar dari pintu depan mobil, tapi dia bukan teman kami. Ternyata dia membukakan pintu untuk tamu terhormat sebenarnya... Tomi!

  Serrr... jantungku langsung menggelepar. Kok dia datang, bukankah kata Novi dia masih di luar negeri? Aku menarik Dio dan memangkunya sambil mengambil tempat di sudut yang tak menyolok. Semoga dia tidak melihatku.

  "Maaf terlambat, teman-teman. Saya langsung ke sini dari bandara. Kemarin masih ada meeting di Melbourne," ujarnya lantang sekali, hampir seperti berteriak. Ia mengenakan jas dan dasi yang langsung dilepasnya, gerah pasti karena tidak ada AC di rumah Mitha, hanya kipas angin.

  Tomi menyapa semuanya, kemudian asyik mengobrol, terutama dengan teman-teman laki-laki. Semua diam mendengarnya bicara. Ia bercerita tentang bisnisnya di Australia, Singapore, dan Taiwan. Ia bicara tentang pasar modal, harga minyak, dan investasi apa yang terbaik tahun ini. Aku tidak paham sama sekali.

  "Hai, hampir aku lupa. Apakah Nisa datang juga?" sergah Tomi tiba-tiba. Hampir jantungku berhenti karena aku tersedak oleh ludahku sendiri. "Ya ampun, Nisa. Kau duduk di situ, pantas aku tidak melihatmu dari tadi!" teriak Tomi. Ia menghampiriku dan mengulurkan tangan untuk berjabatan. "Biarpun kamu berjilbab aku nggak akan lupa, kamu tetap cantik dan makin cantik saja."

  Mukaku terasa panas, pasti sudah memerah seperti kepiting rebus.

  "Mas Tomi, jangan ganggu dia," tukas Novi. "Nisa sudah kawin, lihat tuh jagoannya ikut mengawal."

  Hhh, begitu sempat nanti akan kulempar sendal si Novi itu.

  "Iya, iya, sudah tahu. Aku cuma mau mengucapkan selamat, nggak apa-apa kan biarpun terlambat?" Tomi menatapku tajam. Sesaat pandangan kami bertemu, desir ombak yang dulu biasa berdebur di dadaku tiba-tiba muncul lagi. Ah, potongan rambutnya masih bergaya Superman The Movie seperti dulu.

  "Iya, terimakasih," kataku sambil menundukkan wajah. "Suamimu mana, tidak ikut ke sini?" tanyanya. "Tidak," aku menggeleng. "Ia sedang bekerja." "Oh, hari Minggu masih bekerja, bisnisman yang sibuk rupanya. Bisnis apa dia?" Tomi masih menatapku dengan pandang mata menyelidik.

  "Mm... tidak, tidak ada bisnis. Kami jualan makanan saja, dagang kecil-kecilan," kataku. Entah mengapa, aku jadi ingin menangis. Kutahan kuat-kuat agar air mataku tidak menggelinding keluar. Tak mungkin aku berkata bohong, pasti akan disangkal oleh temanku yang tahu. Aku juga tidak tahu mengapa jadi begitu malu dengan keadaanku sendiri. Seharusnya tidak perlu begini. Seharusnya Novi menyelamatkanku dari suasana seperti ini.

  Gedubrak! Krompyang! Gedebruk! Aku terkejut. Semua mata menengok ke beranda depan. Astaga! Tukang sate yang di-booking Mitha untuk acara ini tiba-tiba meringkus pengawal Tomi dan mengamankan sebuah pistol yang terselip di balik jasnya.

  "Maaf, aku harus pergi," kata Tomi seraya berlari menuju pintu belakang. Brak! Pintu belakang tiba-tiba didobrak. Dua orang berbadan tegap menerobos masuk. Tomi mencabut pistol kecil dari saku celananya. Tapi orang- orang itu lebih sigap, mereka menjatuhkan Tomi dan merebut pistolnya.

  Suasana berubah gaduh. Ada yang menjerit-jerit histeris. Dafa menangis ketakutan. Aku memeluk anakku erat-erat. Takut. Ngeri. Cemas. Bingung.

  "Polisi!" teriak seseorang dengan lantang. "Semua tetap di tempat masing-masing. Tiarap. Tangan di atas kepala!"

  Aku menjatuhkan badan ke lantai sambil memeluk Dafa. Kupejamkan mata karena ketakutan. Tangis Dafa terus melengking. Entah apa yang terjadi dalam suasana hiruk-pikuk itu.

  Beberapa saat kemudian seseorang menepuk bahuku. Ada tulisan BNN di jaketnya. Ia menyuruhku naik ke atas mobil tahanan bersama teman-teman yang lain. Entah dari mana mereka datang, rumah Mitha sudah dipenuhi polisi.

  • Tak seorang pun diantara kami yang paham apa yang sebenarnya terjadi, termasuk Mitha si pemilik rumah. Tapi semua menduga ini ada hubungannya dengan Tomi dan pengawalnya itu. Hanya mereka
berdua yang bersenjata. Polisi memeriksa kami satu per satu, bahkan tes urin juga. Karena Dafa terus menangis, akhirnya kami dipisahkan dari yang lain dan dibawa ke ruang Kapoltabes.

  Dafa baru berhenti menangis ketika seorang polwan cantik mengajaknya bermain dengan mainan balok kayu. Itu memberi kesempatan polisi yang lain melakukan pemeriksaan terhadapku. Aku dicecar pertanyaan seputar hubunganku dengan Tomi. Kemudian tentang diriku sendiri, lalu tentang suamiku.

  Polisi tidak percaya begitu saja waktu kubilang suamiku penjual cilok. Ia terus mendesak. Dengan takut-takut, kubilang Bang Mahmud terkadang diundang ceramah, juga menulis beberapa buku agama. Kusebutkan beberapa judul bukunya yang kutahu. Polisi itu membelalakkan mata. Aku makin ketakutan. Apakah suamiku ternyata seorang teroris? pikirku cemas.

  "Jadi Ibu ini istrinya ustadz Mahmud Arifin?" sergahnya. "Duh, kenapa nggak bilang dari tadi, Bu. Maaf, maaf."

  Aku melongong heran. Polisi itu sibuk menelepon. Tak lama kemudian datang beberapa orang. Ada kapoltabes, ada pula anggota DPRD. Mereka semua mengenal Bang Mahmud. Aku mendapat penjelasan bahwa polisi menangkap Tomi Saputra yang sudah lama menjadi target operasi sebagai bandar narkoba. Intel BNN mulai mengendus kemungkinan bisa menangkapnya sejak Mitha punya ide mengadakan reuni dan mengumumkannya di internet. Seorang reserse ditugaskan menyamar jadi tukang sate. Kepada polisi Tomi akhirnya mengaku, ia keluar dari persembunyian karena ingin bertemu denganku di acara reuni itu.

  "Maaf atas ketidaknyamanan ini, Bu. Kami berterimakasih karena Ibu sudah membantu tertangkapnya gembong narkoba yang sudah lama kami cari," ujar Pak Kapoltabes dengan ramah. "Kami sudah menghubungi ustadz Mahmud, sebentar lagi beliau menuju ke sini."

  Aku hanya mengangguk-angguk, bingung mau berkata apa. Semua ini terjadi begitu cepat, membuatku jadi bingung. Ah, bagaimana mungkin terjadi? Tomi yang begitu kukagumi, kok bisa jadi bandar narkoba. Tak percaya aku rasanya, walau seorang polwan kemudian menceritakan padaku bahwa Tomi mulai berubah sejak orangtuanya mengalami kebangkrutan, sedang dia tidak bisa melepaskan diri dari kebiasaan hidup mewahnya.

  Dan Bang Mahmud, siapa suamiku itu sebenarnya? Mengapa orang-orang berpangkat itu menyebut namanya dengan begitu hormat? Padahal di mataku, istrinya sendiri, dia tak lebih dari seorang penjual cilok keliling. Orang-orang itu yang tertipu, atau aku yang selama ini buta?

  "Assalamualaikum," kudengar suara yang sangat kukenal. Laki-laki berambut ikal, berjenggot, dan bercelana cingkrang itu.

  "Waalaikumsalaam, Bang Mahmuuud..." Aku menghambur memeluk suamiku. Tak peduli beberapa orang melotot memandang kami. Aku menangis sesenggukan, melepas beban ketegangan yang sudah beberapa jam mencekam.

  Menjelang petang, kami bertiga berboncengan pulang naik motor Honda Astrea Star Tahun 1993 yang mesinnya kadang terbatuk-batuk itu. Pak Kapoltabes menawari kami untuk diantar dengan mobil, tapi Bang Mahmud menolak dengan halus. Bahkan ia menitipkan gerobak ciloknya di Mapoltabes, yang nanti akan diambilnya setelah mengantar kami pulang.

  Aku tak memikirkan lagi tentang Tomi, mobil BMW-nya, atau Toyota Alphard-nya. Entahlah, baru kali ini aku merasakan bahagia dibonceng motor butut.

  I love you, Bang Mahmud, mmuuach....

  Terimakasih, Ayah. Alhamdulillah, Ya Robbii. Btw, aku takkan lupa untuk melempar sendal pada si Novi itu.

  Malang, Mei 2013 Penulis lahir tahun 1971 di Jombang, Jawa Timur.

  Lulusan Fakultas Kedokteran

  Universitas Brawijaya Malang tahun 1997. Pernah aktif di majalah kampus dengan

  Rahadi W.

  menjadi Pimred adi W. Majalah DIAGNOSTIKA tahun 1992-1993. Saat ini menjadi PNS di Dinas Kesehatan Kabupaten Muara

  Enim, Sumsel, dan sedang menjalani tugas belajar di RSUD Saiful Anwar Malang.

  Suka membaca dan menulis sejak SD, baik artikel, puisi, cerpen, ataupun novel. Karya-karyanya juga bisa dibaca di blognya

  

  Bisa dihubungi melalui e-mail: at