Index of /ProdukHukum/kehutanan DKP Makalah HPS

Pangan dari ikan: kondisi sekarang dan prediksi kedepana
Oleh: Agus Heri Purnomob
Abstrak
Peluang besar dimiliki oleh sektor perikanan untuk menopang program nasional
ketahanan pangan, terutama dalam hal pencukupan kebutuhan protein. Alasan utamanya
adalah bahwa ikan merupakan sumber pangan berkandungan protein tinggi, sedangkan di sisi
lain kapasitas produksi sumberdaya perikanan Indonesia cukup memadai. Pertanyaannya
adalah: ‘seberapa jauh optimalisasi potensi tersebut dapat diupayakan, apa determinannya,
faktor resiko apa yang dihadapi terkait dinamika global yang sedang berkembang dan apa
kebijakan yang relevan?’. Terkait itu, makalah ini mengungkapkan hasil-hasil kajian sebagai
berikut. Apabila projeksi penduduk pada Tahun 2014 sebesar 245 juta jiwa harus dicukupi
kebutukan konsumsi ikannya sebesar 34 kg/kapita/tahun, maka dibutuhkan pasokan ikan
konsumsi sebesar minimal 8,4 juta ton/tahun. Data-data menunjukkan bahwa terdapat
berbagai permasalahan dan faktor relevan yang harus ditangani untuk merealisasikan target
tersebut, termasuk di antaranya: ketidak-optimalan produksi, masalah susut hasil, disparitas
ketersediaan antar lokasi, daya beli masyarakat dan faktor-faktor resiko dinamika pasar dan
dinamika alam global. Luasnya cakupan permasalahan, tingginya dinamika dan relatif
terbatasnya waktu yang tersedia untuk merealisasikan target-target yang ada membawa
implikasi bahwa kebijakan-kebijakan relevan yang telah ada sejauh ini perlu diperkuat dan
diakselerasi dengan program-program yang langsung dikaitkan dengan faktor-faktor tersebut
di atas. Misalnya, terkait dengan disparitas pendapatan dan kurang mendukungnya sistem

distribusi / transportasi, maka perlu dipertimbangkan untuk memprioritaskan programprogram pemacuan peningkatan produksi selaras dengan konsentrasi penduduk
berpendapatan rendah, yang menurut kajian ini terdapat teutama di wilayah-wilayah
pedesaan. Kajian ini juga merekomendasikan bahwa sehubungan dengan luasnya cakupan
permasalahan yang harus diselesaikan melalui berbagai kebijakan dan program, pemerintah
perlu mempertimbangkan untuk meminimalkan target-target penerimaan langsung (misalnya
PNBP), demi terfasilitasinya implementasi kebijakan dan program dengan lebih baik.

a
b

Dipaparkan pada Seminar Hari Pangan Sedunia, Manggala Wanabhakti, Jakarta 1 Oktober 2009
Peneliti di Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

1. Pendahuluan

Peluang besar dimiliki oleh sektor perikanan untuk menopang program nasional
ketahanan pangan, terutama dalam hal pencukupan kebutuhan protein. Alasan utamanya
adalah bahwa ikan merupakan sumber pangan berkandungan protein tinggi, sedangkan di
sisi lain kapasitas produksi sumberdaya perikanan Indonesia cukup memadai.
Pertanyaannya adalah: ‘seberapa jauh optimalisasi potensi tersebut dapat diupayakan, apa

determinannya, faktor resiko apa yang dihadapi terkait dinamika global yang sedang
berkembang dan apa kebijakan yang relevan?’.
Terkait itu, makalah ini mengungkapkan berbagai data yang relevan dengan
pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Data-data, baik yang berasal dari sumber primer
maupun sekunder ditampilkan sebagai acuan awal bagi peserta focused group discussion
yang diselenggarakan dalam Seminar Hari Pangan Sedunia di Gedung Manggala
Wanabhakti, Jakarta 1 Oktober 2009.
2. Kebutuhan dan faktor penentu konsumsi ikan
2.1. Kebutuhan konsumsi ikan
Depertemen Kelautan dan Perikanan telah mentargetkan bahwa konsumsi ikan
perkapita pertahun pada Tahun 2014 adalah sebesar 33.9 kg (Gambar 1). Angka ini
kurang lebih setara dengan 13 gram protein/kapita/hari atau 25% dari angka
kecukupan gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi
VIII tahun 2004, yaitu asupan protein 57 gram/kapita/hari. Angka 25 % tersebut tentu

sangat signifikan mengingat bahwa sejauh ini ikan tidak tercantum dalam daftar
komoditas ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun regionalc.

Penduduk Indonesia berkembang dengan laju sekitar 6% per lima tahun.
Dengan demikian, pada Tahun 2014 dapat diprediksikan bahwa penduduk Indonesia

mencapai 245 juta jiwa, meningkat 15 juta dari jumlah penduduk Tahun 2009
(Gambar 1).

Dengan asumsi peningkatan jumlah penduduk seperti ditampilkan pada
Gambar 2 dan target konsumsi perkapita sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1,
maka kebutuhan pasokan ikan konsumsi domestik pada Tahun 2014 adalah sebesar
minimal 8,3 juta ton (Gambar 3). Jumlah tersebut adalah angka minimimal mengingat
bahwa, seperti akan kita lihat pada bahasan setelah ini, pada kenyataannya produksi
ikan tidak terdistribusikan secara merata dan keterjangkauannya tidak sama untuk
semua kondisi sosial masyarakat.
c

Berbagai forum, misal Seafdec, telah membahas perlunya memasukkan ikan kedalam daftar komoditas
ketahanan pangan, namun sejauh ini pemerintah di kawasan Asia Tenggara, dan juga di kawasan lain, belum
melihat relevansi ini.

2.2. Faktor pasokan
2.2.1. Trend produksi tangkap & budidaya
Produksi perikanan Indonesia sejauh ini masih menunjukkan
kecenderungan meningkat, namun kecenderungan tersebut tidak sama untuk

perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Seperti yang terjadi di tataran
global, tingkat produksi perikanan tangkap Indonesia kurang lebih sudah
berada pada batas maksimumnya. Gambar 4 menunjukkan indikasi mengenai
kecenderungan tersebut. Kenaikan total produksi yang terjadi secara signifikan
pada beberapa tahun terakhir terjadi terutama karena kontribusi perikanan
budidaya.

2.2.2. Proporsi ekspor

Tidak seluruh produksi, penangkapan maupun budidaya, tersedia untuk
konsumsi domestik. Setiap tahunnya, sekitar 12% dari produksi yang ada
diekspor (Gambar 5) ke berbagai negara tujuan. Ini berarti bahwa hanya 88 %
dari total produksi tersedia untuk memasok kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Untuk sementara, proporsi ekspor 12 % dapat diasumsikan tidak
berbah terlalu besar untuk 5 tahun kedepan, paling tidak untuk 2 alasan utama.
Yang pertama terkait dengan kebijakan pemerintah dalam hal ekspor, yang
menekankan pada peningkatan nilai tambah dibandingkan dengan volume.
Sementara itu, alasan kedua terkait dengan dinamika ekonomi dunia yang
dapat diperkirakan akan menekan volume perdagangan global secara

signifikan untuk beberapa waktu mendatang.
2.2.3. Kondisi pasokan
Susut hasil dengan prosentase yang masih cukup tinggi dari tahun
ketahun merupakan sebuah fakta yang mencirikan kondisi pasokan hasil
perikan Indonesia pada saat ini. Prosentase susut hasil ini telah berhasil
ditekan dari angka 28 % pada Tahun 2005 menjadi sekitar 12 % pada tahuntahun berikutnya; namun, tingkat susut hasil seperti itu dapat dikatakan masih
terlalu tinggi. Terlebih lagi, gambaran tentang masalah susut hasil ini lebih
menghawatirkan apabila kita menyadari bahwa angka tersebut adalah angka
rata-rata. Di berbagai lokasi,misalnya di TPI Pekalongan, angka susut hasil
terjadi jauh melebihi 12 %.

Prosentase susut hasil yang tinggi di berbagai lokasi tentu harus
mendapatkan perhatian yang cukup. Ini terkait dengan fakta lain bahwa lokasilokasi produksi dengan prosentase susut hasil yang tinggi tersebut merupakan
lokasi penduduk dengan kepadatan populasi manusia yang sangat tinggi.
2.3. Faktor konsumen
Pengeluaran rumah tangga untuk pembelanjaan konsumsi ikan terkait dengan
pangsa pengeluaran pangan. Data menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan
tersebut memiliki keterkaitan yang erat dengan tingkat pendapatan rumah tangga.
Data lain menunjukkan bahwa da kaitan antara pendapatan rumah tangga dengan
faktor domisili, yang dalam hal ini adalah kota dan daerah. Hal ini menyebabkan

adanya keterkaitan yang signifikan pula antara faktor desa-kota dengan pansa
pengeluaran. Berikut adalah beberapa diagram yang menunjukkan keterkaitanketerkaitan tersebut.
2.3.1. Hubungan antara faktor kota/desa dan pangsa pengeluaran

Dengan pendapatan yang lebih tinggi, masyarakat urban
mengalokasikan pendapatannya untuk keperluan pangan dengan porsi yang
lebih kecil dibanding masyarakat desa (Gambar 7). Dengan pendapatan
sebesar kurang dari Rp 900.000/bulan, masyarakat pedesaan rata-rata
membelanjakan tidak kurang dari Rp 500.000/bulan (62% dari total
pengeluaran). Sementara itu, dengan pendapatan dua kali lebih besar,
masyarakat perkotaan membelanjakan penghasilannya untuk barang-barang
pangan sebesar Rp 750.000/bulan (51% dari total pengeluaran).
2.3.2. Hubungan antara faktor tingkat pendapatan dan pangsa pengeluaran
Pada kenyataannya, sebagian masyarakat memiliki pendapatan yang
sangat tinggi dan sebagian lain memiliki pendapatan yang sangat rendah. Pada
kategori pendapatan tinggi, masyarakat mendapatkan penghasilan di atas Rp
2.500.000/bulan, sementara itu pada kategori pendapatan rendah, masyarakat
mendapatkan penghasilan sekitar Rp 500.000/bulan (Gambar 8). Hal ini tentu
saja akan berdampak pada keragaman pangsa pengeluaran, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi keragaman daya beli untuk ikan dan produkproduknya.


2.3.3. Pendapatan masyarakat di berbagai propinsi (rupiah/bulan/per kapita)
Keragaman pangsa pengeluaran (dan kemampuan masyarakat untuk
membeli ikan) bisa diprediksikan bervariasi antar propinsi karena adanya
variasi pendapatan masyarakat antar propinsi. Gambar 9 menunjukkan
keragaman pendapatan antar propinsi untuk masyarakat kota sedangkan

Gambar 10 menampilkan keragaman pendapatan antar propinsi untuk
masyarakat pedesaan. Messkipun terdapat kenaikan pendapatan untuk semua
propinsi dari Tahun 2002 ke Tahun 2005, data pada kedua gambar tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat di propinsi-propinsi dengan pendapatan
relatif lebih tinggi tetap memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari tahunketahun dibanding masyarakat di propinsi-propinsi lain.

2.3.4. Hubungan antara kondisi ekonomi masyarakat dengan tingkat partisipasi dan
tingkat konsumsi
Latar belakang perbedaan pendapatan dan pangsa pengeluaran tersebut
di atas kemudian tercermin dalam tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi.
Gambar 11 menunjukkan hubungan antara kondisi ekonomi (yang
direpresentasikan dengan faktor kota-desa) dengan tingkat partisipasi.
Sementara itu, Gambar 12 menunjukkan hubungan antara kondisi ekonomi

tersebut dengan tingkat konsumsi.

3.

Realisasi konsumsi:
Faktor-faktor di atas terefleksikan dalam realisasi konsumsi masyarakat, baik dalam
hal tingkat partisipasinya, tingkat konsumsinya maupun pilihan jenis ikannya. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 13 s/d 15 dan Tabel 1.
3.1. Trend konsumsi berdasar pendapatan
Untuk kedua kategori pendapatan, rendah dan tinggi, terjadi kecenderungan
penurunan tingkat konsumsi ikan pada tahun 1999, namun berangsur meningkat
kembali padaperiode-periode berikutnya Gambar 13 dan 14). Untuk kalangan
masyarakat berpendapatan rendah, peningkatan kembali tersebut terjadi lebih cepat;
salah satu penjelasan yang logis untuk gejala tersebut adalah bahwa masyarakat

pedesaan menemukan ikan sebagai pilihan konsumsi yang lebih murah, sehingga pada
saat pendapatan rendah, ikan menjadi pilihan yang lebih baik. Penjelasan ini
didukung oleh data yang menunjukkan bahwa

Gejala lain yang menarik dari tampilan Gambar 13 daan 14 adalah bahwa

tingkat konsumsi ikan lebih tinggi dibanding tingkat konsumsi sumber protein lain.
Gejala tersebut terjadi baik untuk kelompok masyarakat kota maupun desa. Gejala ini
jelas merupakan justifikasi kuat lain yang mendukung gagasan untuk memasukkan
ikan kedalam daftar komoditas ketahanan pangan.

Tabel 1. Tingkat konsumsi masyarakat kota dan desa di berbagai propinsi
Propinsi
NAD
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
B.Belitung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta

Jawa Timur
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Gorontalo
Maluku
Papua

Kota
14.9
9.6

12.8
13.6
10.1
11.9
7.8
16.3
7.4
7.4
4.8
3.2
6.5
8.8
5.7
7.7
10.9
13.4
13.5
14.4
11.8
17.8
15.6
17.9
19.0
19.4
-

Desa
14.1
10.1
14.0
10.6
10.0
8.4
7.3
16.1
7.1
3.9
2.1
6.6
11.4
6.1
9.1
7.2
13.3
15.8
15.9
13.1
14.3
12.6
17.8
18.3
16.9
-

4.

Kebijakan
4.1. Lingkungan kebijakan internal
Berbagai variabel dapat diidentifikasi sebagai faktor-faktor internal bagi
kebijakan-kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan. Faktor-faktor internal
tersebut adalah di antaranya: (i) dominasi armada skala kecil dalam struktur
perikanan, (ii) IUU fishing, (iii) prasarana dan sarana perikanan, (iv) kerusakan
ekosistem pesisir & laut, (v) keterbatasan data dan sistem informasi.
Di antara berbagai variabel internal yang ada, sebagian di antaranya sangat erat
terkait dengan pemasokan ikan untuk keperluan konsumsi. Gambar 16 s/d 20
mengilustrasikan faktor-faktor internal tersebut.

4.2. Lingkungan kebijakan eksternal
Disamping variabel-variabel intenal, kebijakan kelautan dan perikanan juga
dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal, di antaranya: (i) Kebijakan moneter, fiskal
dan investasi belum kondusif, (ii) tata ruang dan pengendalian pencemaran belum
kondusif, (iii) keamanan dan kepastian hukum berusaha belum memadai, (iv)
penegakan hukum yang masih lemah, (v) kesadaran publik tentang nilai SDKP masih
rendah, (vi) paradigma baru: pengelolaan bertanggungjawab

mengikuti kaidah

internasional.
Kebijakan kelautan dan perikanan juga tidak dapat terlepas dari faktor dalam
bentuk dinamika ekonomi global dan trend pasar, yang kecenderungannya adalah
menekankan kualitas dan nilai tambah. Dinamika global tersebut misalnya seperti
yang kemudian termanifestasikan pada kebijakan Departemen Kelautan dan
Perikanan untuk memutuskan berbagai kesepakatan bilateral internasional, dengan
tujuan untuk memenuhi perkembangan pasar (Gambar 21).

Dinamika iklim global merupakan variabel internal lain yang perlu diperhatikan.
Perubahan cuaca yang terkait dengan dinamika iklim global akhir-akhir ini harus
diperhitungkan sebagai faktor resiko lain yang dapat diasumsikan akan
mempengaruhi pasok perikanan. Gambar 22 dan 23 menggambarkan gejala yang

merepresentasikan adanya keterkaitan antara dinamika iklim dengan produktivitas
perikanan. (Catatan: Gambar 22 dan 23 didasarkan atas sampel data yang diambil dari
kegiatan perikanan tangkap dan budidaya (tambak) di wilayah Karawang, Jawa Barat
pada pertengahan tahun ini).

4.3. Tujuan dan rumusan kebijakan
Dengan latar belakang faktor-faktor internal dan eksternal seperti tersebut di
atas, tujuan-tujuan kebijakan yang kemudian ditetapkan oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan mencakup hal-hal sebagai berikut: (i) mewujudkan kesejahteraan
semua pelaku usaha KP, (ii) meningkatkan peran Kelautan dan Perikanan dalam
ekonomi nasional, (iii) meningkatkan kualitas dan sustainabilitas sumberdaya

kelautan dan perikanan, (iv) meningkatkan peran laut sebagai pemersatu & budaya
bahari bangsa, dan (v) mengupayakan pemenuhan konsumsi ikan masyarakat.
Untuk tujuan-tujuan tersebut, kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan
kemudian dirumuskan: (i) Pengembangan kapasitas usaha pelaku usaha KP, (ii)
pengembangan budidaya berdayasaing & berwawasan lingkungan, (iii)
pengembangan perikanan tangkap yang efisien, lestari, berbasis kerakyatan, Industri
pengolahan dan pemasaran hasil harus kokoh, (iv) pembangunan pulau2 kecil
berbasis masy. dan berkelanjutan, (v) rehabilitasi dan konservasi SDKP dan
ekosistemnya, (vi) pengawasan dan pengendalian pemanfaatan SDKP harus
diperkuat, (vii) penanggulangan illegal fishing, (viii) pengembangan pendidikan,
pelatihan dan penyuluhan, dan (ix) memperkokoh riset dan iptek kelautan dan
perikanan.
Contoh dari bentuk interpretasi kebijakan di atas adalah adanya langkahlangkah yang ditujukan untuk mengoptimalkan potensi produksi dan memaksimalkan
nilai hasil produksi. Contoh tersebut adalah berupa dikeluarkannya beberapa
keputusan yang dimaksudkan untuk mengelola perikanan tangkap dan
mengembangkan industri pengolahan, melalui:
UU No 22/2002 & UU No 31/2004

utk mengefektifkan pengelolaan &

pengemb. perikanan melalui share tanggungjawab pusat-daerah (mis. dlm hal
perijinan)
Penghentian Bilateral Arrangement: Philipina (2005), Thailand (2006) dan
China (2007)

untuk mempertahankan benefit di dalam negeri

Pemberlakuan Permen 05/2008 (menggantikan Permen 17/2006 tentang
usaha perikanan terpadu)

untuk mendorong industri pengolahan dalam

negeri
4.4. Program dan sasaran2nya
4.4.1. Pengembangan perikanan tangkap
Program pengembangan perikanan tangkap telah ditetapkan untuk
mencakup: (i) Progam pengembangan pelabuhan perikanan, (ii) progam
pengembangan usaha perikanan tangkap dan pemberdayaan nelayan skala

kecil, (iii) progam pengembangan kapal perikanan dan alat tangkap, (iv)
progam peningkatan pelayanan usaha, (v) progam pengelolaan sumber daya
ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, dan (vi) progam
pengembangan statistik perikanan
Sasaran: optimalisasi potensi dan pencegahan penurunan produksi
4.4.2. Program perikanan budidaya
Program pengembangan perikanan budidaya telah ditetapkan untuk
mencakup (i) program Percepatan Peningkatan produksi perikanan budidaya
untuk ekspor, (ii) program Percepatan Peningkatan produksi perikanan
budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat, (iii) program perlindungan dan
rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya.
Sasaran:

peningkatan produksi budidaya (total, non rumput laut, rumput laut)

untuk mengimbangi stagnasi perikanan tangkap

4.4.3. Peningkatan kualitas ikan
Program peningkatan kualitas ikan telah ditetapkan untuk mencakup: (i)
pengembangan usaha industri pengolahan hasil perikanan, (ii) pengembangan
jaminan mutu dan kemanan hasil perikanan, (iii) pembinaan dan
pengembangan sistem usaha perikanan, dan (iv) peningkatan dukungan
manajemen dan pengarahan bidang pengolahan dan pemasaran hasil
perikanan.
Sasaran: susut hasil ditekan & diversifikasi produk pangan, konsumsi Thn
2014 = 34 kg/kapita/tahun
Kebijakan dan program-program tersebut di atas pada umumnya telah sejalan
dengan kondisi dan berbagai faktor yang melingkunginya. Hanya saja, dalam banyak
hal kebijakan tersebut tidak terimplementasikan dengan baik karena adanya fakktor
lain yang belum teridentifikasi sebelumnya. Salah satu faktor tersebut adalah misalnya
pandangan sebagian kalangan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan diukur
keberhasilannya berdasarnya penerimaan negara yang dapat dihasilkannya.

Pandangan seperti itu harus diluruskan karena penerimaan negara hanya merupakan
satu dari 14 indikator keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan sebagaimana
disebutkan di dalam literatur. Apabila pandangan salah mengenai indikator
pembangunan kelautan dan perikanan dapat diluruskan, diharapkan investasi di
bidang perikanan dengan tujuan-tujuan dan target yang lebih luas, termasuk tujuan
dan target yang terkait dengan ketahanan pangan dapat diupayakan dengan lebih baik.
5.

Kesimpulan dan implikasi
5.1. Kesimpulan:
• Beberapa faktor terindikasi mempengaruhi konsumsi dan pasok ikan: aspek
pendapatan, kewilayahan, demografi dan trend produksi
• Seiring pertambahan penduduk, konsumsi ikan diprediksikan naik
• Potensi perikanan masih memungkinkan menambah pasok sepanjang budidaya dan
penanganan susut hasil diprioritaskan
• Dinamika pasar & iklim menaikkan faktor resiko pasok & konsumsi ikan
5.2. Implikasi:
• Perlu akselerasi program2 penanganan hasil & optimalisasi lahan
• Open question: masih layakkah kebijakan2 yang beorientasi pada PNBP?