Index of /ProdukHukum/kehutanan

(1)

Nomor 01, Maret 2006

ISSN: 1858-3261

2)

Oleh: Dr. Ir. Agus Justianto, Msc.

K

emiskinan merupakan kata yang menjadi lawan dari kesejahteraan, namun sekaligus menjadi tantangan yang memicu kreativitas setiap elemen Perencana untuk mengidentifikasi dan sekaligus menggali akar-akar penyebabnya yang selanjutnya menjadi modal dasar penyusunan rencana upaya-upaya solusinya.

Dimensi potret kemiskinan terkait dengan keberadaan kawasan hutan, sangatlah tergantung bagaimana kejelian dan kejujuran setiap kita dalam membaca dan memahami data informasi empiris yang ada.

Mudah-mudahan berbagai pemikiran dalam edisi ini dapat membantu pencerahan pemahaman kita semua.

R

G

G

P

PL

LA

AN

N

L

LO

O

BULETIN

BULETIN

Apakah Pembangunan Kehutanan Telah Meningkatkan Pendapatan

1)

Masyarakat Miskin Di Sekitar Hutan?

Apakah Pembangunan Kehutanan Telah Meningkatkan Pendapatan

Masyarakat Miskin Di Sekitar Hutan?

1)

Latar Belakang

Pemanfaatan sumber daya hutan selama ini, termasuk di Kalimantan Timur, ternyata tidak dinikmati secara proporsional oleh semua kelompok masyarakat. Kepentingan dan hak masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan sering terabaikan, termasuk aksesnya terhadap manfaat hutan, sehingga memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat tersebut. Hal ini menyebabkan kemiskinan tetap menjadi masalah di Kalimantan Timur walaupun pemanfaatan sumber daya alam termasuk hutan telah berlangsung lama.

Sebagai provinsi yang sedang membangun, Kalimantan Timur membutuhkan aliran pendapatan yang berkesinambungan agar proses pembangunan dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Selama tiga dekade belakangan ini, sumberdaya hutan telah memberikan kontribusi yang relatif signifikan dalam pembangunan di Kalimantan Timur, karena sumberdaya hutan merupakan salah satu kekayaan alam (natural capital) yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan aliran pendapatan baik untuk daerah maupun masyarakat. Kebijakan pemanfaatan hutan alam telah berhasil meningkatkan devisa, penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun dibalik keberhasilannya, dampak kebijakan yang diterapkan membawa persoalan baru yang belum pernah dialami sebelumnya. Akhir-akhir ini, banyak pihak mulai mengkhawatirkan terjadinya penurunan potensi produksi hutan tersebut dan menurunnya kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik kemiskinan pada masyarakat sekitar hutan di Kalimantan Timur, sektor-sektor kehutanan apa yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kondisi kemiskinan masyarakat sekitar hutan di Kalimantan Timur. Tulisan ini merupakan ringkasan hasil studi yang dilaksanakan tahun 2005 tentang dampak kebijakan pembangunan kehutanan terhadap pendapatan masyarakat miskin di Kalimantan Timur.

Potret Kemiskinan di Kawasan Hutan

Diantara sektor kehutanan yang memberikan kontribusi terbesar pada tahun 1995 adalah kegiatan kayu hasil hutan alam dan diikuti oleh industri kayu lapis dan sejenisnya, yaitu 5.15% dan 4.70%, namun pada tahun 2003 menurun menjadi 2.24% dan 1.63%. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kalimantan Timur semakin menurun setelah otonomi daerah. Rata-rata pendapatan disposabel rumah tangga kehutanan pada tahun 1995 dan 2003 baik untuk golongan rendah, menengah, dan atas ternyata paling rendah dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain.

Persentase penduduk miskin yang berada di daerah perkotaan Kalimantan Timur ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten yang penduduknya umumnya tinggal di perdesaan dan dekat sumberdaya alam yang cukup melimpah. Sebagian besar wilayah pada kawasan hutan lindung ternyata penduduknya adalah masyarakat miskin, sedangkan pada kawasan hutan produksi dan areal penggunaan lain hanya sebagian kecil saja yang penduduknya miskin. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian pada sektor kehutanan yang berkaitan dengan produksi kayu dan hasil hutan lainnya mampu mengurangi kemiskinan selama kegiatan produksi masih berlangsung, namun keberlanjutannya dalam jangka panjang masih dipertanyakan.


(2)

Halaman

2

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B U L ET IN B U L E T IN

Kegiatan sektor kehutanan yang mempunyai pengaruh paling signifikan dalam memberikan pendapatan pada masyarakat miskin di Kalimantan Timur adalah industri barang-barang lainnya dari hasil hutan (industri kecil) dengan besaran multipliernya 0.0372, diikuti oleh industri bubur kertas dan kegiatan memproduksi kayu hasil hutan alam. Sedangkan yang mempunyai pengaruh paling kecil terhadap pendapatan rumah tangga kehutanan miskin adalah industri kayu gergajian dan awetan, dan industri bahan bangunan dari kayu.

Lebih lanjut, rumah tangga kehutanan umumnya tidak banyak menikmati hasil dari kegiatan-kegiatan sektor kehutanan. Jika diambil rata-ratanya, besaran multiplier sektor kehutanan terhadap pendapatan rumah tangga kehutanan golongan rendah yang dapat disebut sebagai masyarakat miskin hanya sebesar 0.007. Dengan kata lain, setiap terjadi perubahan pendapatan pada sektor kehutanan sebesar 1 milyar rupiah, maka pendapatan dari masyarakat miskin kehutanan hanya meningkat 0.007 milyar rupiah atau 7 juta rupiah. Bila dibandingkan dengan rumah tangga lain seperti pertanian selain kehutanan dan bukan pertanian, maka rumah tangga kehutanan yang paling sedikit menikmati hasil kegiatan sektornya.

Skenario kebijakan pengurangan produksi tahunan hutan alam memberi dampak pada pengurangan pendapatan pekerja kehutanan sebesar 40.21%. Selanjutnya diikuti oleh skenario kebijakan larangan ekspor kayu bulat dengan perubahan sebesar 30.95%. Sedangkan terhadap pendapatan masyarakat miskin kehutanan (rumah tangga kehutanan golongan rendah) adalah sebesar 28.36% dan 21.88%. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat miskin di sekitar kawasan hutan masih sangat bergantung pada kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan alam yang dilakukan oleh pemegang HPH atau IUPHHK.

Lebih lanjut, skenario kebijakan transfer pengeluaran pemerintah (melalui Dana Reboisasi) untuk pembangunan hutan tanaman sebesar 20% mempunyai dampak pengganda pada peningkatan pendapatan masyarakat miskin kehutanan yang paling besar yaitu 1.37%. Kondisi ini dapat dipahami, karena pengeluaran pemerintah melalui Dana Reboisasi selama ini digunakan terutama untuk membiayai kegiatan kehutanan di lapangan yang melibatkan masyarakat setempat secara langsung seperti pembangunan hutan tanaman dan rehabilitasi hutan dan lahan, sehingga masyarakat miskin dapat memperoleh manfaat secara langsung melalui keterlibatannya dalam kegiatan penanaman di lapangan.

Skenario kebijakan kehutanan yang memberi dampak peningkatan jumlah rumah tangga miskin di sekitar kawasan hutan tertinggi yaitu sebesar 53.64% adalah kebijakan pengurangan produksi tahunan hutan alam. Lebih lanjut, skenario kebijakan yang mengurangi jumlah penduduk miskin di sekitar kawasan hutan sebesar 1.82% diantaranya adalah kebijakan peningkatan kapasitas industri barang-barang lainnya dari hasil hutan dan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk subsidi masyarakat. Sedangkan, skenario kebijakan pengurangan kapasitas industri gergajian, kebijakan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, dan kebijakan transfer pengeluaran pemerintah (melalui Dana Reboisasi) untuk pembangunan hutan tanaman, ternyata tidak memberi pengaruh terhadap perubahan jumlah penduduk miskin di sekitar kawasan hutan.

Pilihan Kebijakan Pembangunan Kehutanan dalam Penanggulangan Kemiskinan

Pilihan Kebijakan

Jangka Pendek Jangka Menengah/Panjang

Isu Kebijakan

Pusat Daerah Pusat Daerah

1 2 3 4 5

Pengelolaan Kawasan Hutan ⇓

Melaksanakan rehabilitasi hutan produksi alam

⇓ Meningkatkan perluasan hutan alam untuk Taman Nasional dan Kawasan Konservasi

⇓ Meningkatkan produktivitas lahan hutan produksi alam

⇓ Meningkatkan pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan

⇓ Melibatkan secara aktif masyarakat miskin dalam pengelolaan kawasan konservasi

⇓ Memberikan insentif untuk masyarakat miskin yang melakukan konservasi hutan dan ekosistem, dan mencegah degradasi hutan

⇓ Mengintensifkan kegiatan penanaman hutan yang melibatkan masyarakat miskin di sekitar kawasan hutan

⇓ Mengembangkan konsep hulu-hilir dalam pengelolaan hutan

⇓ Mengintegrasikan perencanaan kawasan konservasi dalam perencanaan wilayah dan tata ruang

⇓ Mengembangkan skema CDM yang dapat mendorong masyarakat miskin untuk mendapat insentif bila mengelola hutan secara lestari

⇓ Mengembangkan kawasan hutan untuk tujuan non -kehutanan yang

memperhatikan nilai konservasi tinggi

⇓ Meningkatkan produktivitas usaha kehutanan masyarakat miskin

⇓ Mengintegrasikan pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan pedesaan

⇓ Mengembangkan Kabupaten konservasi

Industri Kehutanan ⇓ Mengembangkan strategi implementasi program pengembangan industri kehutanan skala kecil

⇓ Melaksanakan diversifikasi produk yang benilai tambah tinggi

⇓ Mengembangkan jaringan perdagangan hasil hutan di lapangan

⇓ Meningkatan peran UMKM dan kemitraan masyarakat dengan sistem bagi hasil

⇓ Menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk pengembangan industri kehutanan skala kecil

⇓ Menyeimbangkan produksi kayu dari hutan alam dan kebutuhan kayu dari industri kehutanan

⇓ Memfasilitasi sertifikasi untuk produk hasil hutan yang berasal dari hutan rakyat

⇓ Meningkatkan pemasaran hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan

Pemberdayaan

Fiskal ⇓ Menggunakan Dana Reboisasi untuk konservasi sumber daya hutan

⇓ Menginvestasikan kembali pendapatan pemerintah dari kegiatan kehutanan ke sektor kehutanan

⇓ Memberikan pengurangan pajak (tax holiday) untuk masyarakat yang dapat mencegah degradasi hutan

⇓ Mengalihkan sebagian investasi dan tabungan pemerintah untuk program penaggulangan kemiskinan (redistribusi pertumbuhan)

⇓ Meningkatkan proporsi anggaran daerah untuk penanggulangan kemiskinan di sekitar kawasan hutan

⇓ Menerapkan mekanisme debt for nature swap (DNS) untuk kegiatan hutan kemasyarakatan Penguatan

Kelembagaan ⇓

Menyusun peraturan perundangan tentang tenurial dan konservasi hutan yang

⇓ Memperkuat kelembagaan ekonomi masyarakat sekitar hutan, seperti UMKM

⇓ Mengurangi terpusatnya kepemilikan aset pada kelompok tertentu (redistribusi

⇓ Membangun struktur kelembagaan permanen untuk kegiatan asistensi kehutanan

1) Disarikan dari Disertasi berjudul “Dampak Kebijakan Pembangunan Kehutanan terhadap Pendapatan Masyarakat Miskin Di Kalimantan Timur: Suatu Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi” oleh Agus Justianto, Pascasarjana IPB, 2005 2) Penulis bekerja sebagai PNS Dephut Diperbantukan pada Multistakeholder Forestry Programme-DFID


(3)

SISI KE MISKINAN

DALAM RE NCANA KE HUTANAN JANGKA PANJANG

O le h : A li Dja jo no *

)

PENDAHULUAN

P

enyusunan suatu perencanaan jangka panjang bagi pembangunan suatu negara nampaknya sudah menjadi kebutuhan. Bagi Indonesia pentingnya rencana jangka panjang lebih dikuatkan lagi melalui amanat Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Seperti tertuang dalam pasal 4 ayat 1, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD RI tahun 1945, dalam bentuk Visi, Misi dan arah Pembangunan Nasional.

Kehutanan sebagai bagian dari Pembangunan Nasional tentunya mempunyai peran sesuai dengan potensi, fungsi dan kekuatan yang ada didalamnya dalam ikut mewarnai substansi dari arah pembangunan nasional. Namun demikian kehutanan tidaklah berdiri sendiri, sebagai bagian ”unity” dari keseluruhan potensi setiap sektor yang ada di Indonesia, kehutanan akan selalu mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh sektor lainnya. Keterkaitan saling mempengaruhi tersebut bisa berimplikasi ”positif” maupun ”negatif”. Dalam upaya untuk mendudukkan peran kehutanan dalam pembangunan nasional, saat ini Kehutanan sedang mempersiapkan Rencana Kehutanan Jangka Panjang Nasional. Hal ini juga sekaligus untuk memenuhi amanat Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 44 tentang Perencanaan Kehutanan untuk menyusun suatu Rencana Kehutanan Jangka Panjang.

Isu kemiskinan merupakan salah satu isu penting terkait dengan pembangunan nasional. Kemiskinan menyangkut aspek SDM yang notabene adalah aset modal dasar dari bangsa Indonesia. Disamping itu kemiskinan mempunyai dimensi yang sangat luas, sehingga memerlukan kesungguhan dalam mendalami, memahami, mengkaji sekaligus merumuskan secara komprehensif aspek-aspek yang terkait dengan kemiskinan. Tampaknya inilah yang belum secara ”sepenuh hati” diterapkan dalam merumuskan kebijakan pembangunan Nasional untuk mengentaskan kemiskinan. Padahal kita semua tahu bahwa kemiskinan telah menjadi isu global, yaitu menjadi sasaran utama dari Millenium Development Goal’s (MDG’s 2015) yang telah disepakati oleh hampir seluruh negara di dunia, yaitu untuk mengurangi hingga setengah jumlah orang miskin dan mengurangi hingga setengah proporsi penduduk dunia yang menderita kelaparan pada tahun 2015.

Terdapat relasi/keterkaitan yang sangat erat antara hutan dengan kemiskinan sebagai dampak dari kemungkinan kekeliruan perumusan kebijakan kehutanan dalam mengelola hutan di masa lalu. Tulisan ini mencoba melihat sisi kemiskinan terhadap arah kebijakan kehutanan yang akan dituangkan Rencana Kehutanan Jangka Panjang ditinjau dari aspek kemiskinan.

MEMAHAMI KEMISKINAN

PBB yang menggunakan pendekatan pendapatan dengan menetapkan angka kurang dari $ 1/hari (sekitar Rp. 9.000) sebagai katagori miskin memprediksi bahwa masih terdapat 1,2 milyar orang miskin di seluruh dunia yang dua pertiganya tinggal di kawasan Asia.

Gambaran penduduk miskin di Indonesia sendiri, mengutip data BPS, digambarkan bahwa tahun 2000 jumlah penduduk miskin mencapai 37,3 juta sekitar 19 %, kemudian tahun 2001 mengalami penurunan menjadi 37,1 juta dan tahun 2004 menjadi 36,1 juta sekitar 16,6 % (Gunawan Sumodiningrat, 2005).

Angka-angka kemiskinan itu tidaklah akan bermakna apa-apa bila tidak diiringi dengan pemahaman fenomena, makna dan apa yang melatar belakangi dibalik angka-angka tersebut. Kemiskinan merupakan masalah yang multi dimensi yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Dalam buku ”Membangun Perekonomian Rakyat”, Gunawan Sumodiningrat membedakan 2 jenis kemiskinan berdasarkan tingkat pendapatannya masing-masing kemiskinan absolut dan relatif dan 3 jenis kemiskinan berdasarkan penyebabnya, masing-masing kesenjangan dan kemiskinan natural, kultural dan struktural.

Pertama, kemiskinan absolut digambarkan apabila tingkat pendapatannya di bawah garis kemiskinan, atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja.

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN


(4)

Kedua, Kemiskinan relatif digambarkan apabila tingkat pendapatannya telah berada di atas garis kemiskinan namun masih lebih miskin dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok miskin relatif ini sangat rentan terhadap perkembangan situasi perkembangan perekonomian. Apabila perkembangan perekonomian memburuk kelompok ini dapat terjerumus kedalam kelompok miskin absolut.

Ketiga, kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti perbedaan usia, perbedaan kesehatan, perbedaan geografis tempat tinggal. Mereka tidak memiliki sumberdaya yang memadai, baik sumberdaya manusia, sumberdaya alam maupun sumberdaya pembangunan lainnya.

Keempat, kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat, perbedaan etika kerja, dan lainnya. Kemiskinan ini mengacu pada sikap hidup seseorang yang disebabkakan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya.

Kelompok masyarakat ini sulit untuk diajak berpartisipasi dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, sulit untuk melakukan perubahan serta biasanya menolak mengikuti perkembangan.

Kelima, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijakan ekonomi yang diskriminatif, korupsi-kolusi, serta tatanan perekonomian yang menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Kemiskinan ini bisa dikatakan sebagai pemiskinan , karena kemiskinannya dibuat oleh faktor-faktor yang secara sengaja diterapkan pada kelompok ini.

Kemiskinan juga harus dibedakan antara kemiskinan di kawasan urban (perkotaan) dan kawasan rural (perdesaan), karena melihat karakteristik wilayahnya masing-masing kawasan mempunyai kriteria dan indikator tersendiri untuk mendefinisikan kemiskinan. Pada masing-masing kawasan juga akan ditemui baik itu kemiskinan absolut, relatif serta kemiskinan natural, kultural dan struktural.

Oleh karena itu dalam memandang data kemiskinan seyogyanyalah harus dipahami bahwa data tersebut mengandung makna komprehensif dari arti kemiskinan itu sendiri. Ini penting untuk mengeliminasi distorsi dalam pengambilan kebijakan untuk upaya pemberantasan dan penanggulangan kemiskinan. Selain itu pengalaman upaya pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan bisa juga dijadikan tambahan pelajaran untuk perbaikan upaya penanggulangan/pemberantasan kemiskinan di masa datang.

Multi dimensional permasalahan kemiskinan dapat juga dikaitkan antara lain dengan permasalahan potensi kenaikan jumlah penduduk miskin akibat ledakan penduduk, kesulitan akses masyarakat miskin terhadap pembangunan, akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya, akses masyarakat miskin terhadap kebutuhan dasar hidup (kesehatan, pangan, pendidikan, perumahan), permasalahan globalisasi perekonomian dunia.

Identifikasi kemiskinan dan permasalahannya kemudian menjadi hal yang sangat penting dan krusial. Ketidakakuratan dalam mengidentifikasi dan memotret kemiskinan berpotensi melencengkan arah kebijakan pembangunan yang akan diambil. Padahal ketidakakuratan inilah yang masih sering ditemui dalam proses-proses pengambilan kebijakan, sehingga sering terlihat kebijakan publik yang diambil kurang bahkan tidak tepat sasaran. Belajar dari pengalaman tersebut, pembangunan kehutanan sudah sewajarnya mencermati secara komprehensif aspek-aspek kemiskinan dalam arah kebijakannya.

Dalam konteks global penanggulangan dan pengentasan kemiskinan menghadapi kendala yang sangat besar. Pertama, tuntutan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk penciptaan lapangan kerja terkendala oleh adanya kesenjangan investasi antara negara maju dan negara berkembang. Kedua, tingginya permasalahan sosial dan kondisi alam (kesehatan, kerusakan lingkungan, bencana alam) di negara-negara berkembang dan miskin.

Ketiga, Minimnya komitmen negara maju untuk membantu pendanaan penanggulangan kemiskinan. Keempat, minimnya akses perdagangan bagi negara miskin dan berkembang. (Kompas, 4/8/05)

KEMISKINAN DALAM KONSEP RPJP NASIONAL

Konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional memuat Visi dan Misi pembangunan nasional tahun 2005 s/d 2025, serta arahan pembangunan yang dinarasikan secara normatif dan kualitatif.

Aspek kemiskinan tidak disinggung secara specifik, namun melihat bahwa kemiskinan bersifat multi dimensi tampaknya dia dijadikan sebagai cross cutting isu pada beberapa permasalahan kondisi yang menyangkut aspek antara lain: Sosial budaya, ekonomi, wilayah dan tata ruang, serta Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA dan LH).

Dalam kondisi yang menyangkut Sosial budaya, kemiskinan bisa dikaitkan dengan: kualitas SDM yang digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM); Status kesehatan masyarakat antara lain: usia harapan hidup, angka kematian ibu dan bayi, gizi pada balita; serta tingkat pendidikan. Sedangkan kondisi yang menyangkut ekonomi, kemiskinan akan dikaitkan dengan antara lain: penciptaan lapangan kerja dan peluang usaha bagi masyarakat, pemenuhan hak-hak dasar rakyat miskin. Untuk kondisi yang menyangkut wilayah dan tata ruang, kemiskinan akan dikaitkan dengan antara lain: proporsionalitas dalam penataan ruang, pengembangan wilayah-wilayah tertinggal. Bagi kondisi Sumberdaya alam dan Lingkungan Hidup, kemiskinan akan dikaitkan dengan antara lain: akses terhadap SDA dan LH, pengembangan jasa lingkungan.

Mempertimbangkan secara komprehensif seluruh aspek dan kondisi yang ada, ditetapkan visi pembangunan nasional adalah INDONESIA MAJU, MANDIRI DAN ADIL , dengan misi:

› Mewujudkan daya saing bangsa

› Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum

› Mewujudkan Indonesia aman, damai dan bersatu

› Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan

› Mewujudkan Indonesia asri dan lestari

› Mewujudkan masyarakat bermoral, beretika dan berbudaya

Halaman

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T


(5)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional

Visi tersebut mengarah pada pencapaian tujuan nasional seperti tertuang dalam pembuakaan UUD 1945. Visi tersebut harus dapat diukur untuk dapat mengetahui tingkat kemajuan, kemandirian dan keadilan yang ingin dicapai. Walaupun disebutkan ”dapat diukur” namun dalam konsep RPJP nasional tidak dinyatakan dengan jelas ukuran atau indikator kuantitatifnya, hanya disebutkan macam/jenis indikator-indikatornya. Misal: tingkat pendapatan, pemanfaatan sumberdaya alam yang reasional, penataan lembaga dan pranata ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat pendidikan, keadilan bagi seluruh rakyat, dan lain-lain.

Dalam penjabaran lebih lanjut kedalam arah pembangunan jangka panjang 2005-2025 dalam wujud sasaran pokok, angka kuantitatif mengenai indikator berkurangnya rakyat miskin yang muncul adalah Tercapainya jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5 persen. Tidak dijelaskan lebih lanjut yang mendasari mengapa muncul angka tersebut. Penetapan sasaran indikatif secara jelas untuk capaian jangka panjang tentu saja sangat bagus untuk memberikan koridor arah pembangunan khususnya untuk menanggulangi kemiskinan, namun alangkah lebih bagus lagi kalau penetapan sasaran kuantitatif sedikit banyak disertai dengan argumentasi yang representatif. Sebagai suatu permasalahan yang bersifat multi dimensional serta merupakan cross cutting issue, penetapan sasaran kuantitatif akan sangat mempengaruhi keberhasilan pecapaian sasaran lainnya. Kecuali sasaran-sasaran lain yang hanya bersifat normatif dan kualitatif.

Namun demikian mengamati materi RPJP Nasional, tersirat maupun tersurat bahwa niat, semangat dan tekad bangsa dan Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi dan memberantas kemiskinan tidaklah perlu diragukan lagi.

KEMISKINAN DALAM KONSEP RJP KEHUTANAN

Dalam setiap kebijakan, program, kegiatan pembangunan kehutanan, kemiskinan selalu disebutkan dan dipertimbangkan. Dalam kerangka jangka menengah kebijakan sektor kehutanan telah menempatkan penanggulangan dan pemberantasan kemiskinan sebagai salah satu prioritas utamanya yaitu: Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Cuma yang menjadi masalah sampai seberapa dalam dan akuratnya informasi mengenai kemiskinan yang terkait dengan sektor kehutanan dapat dijadikan rujukan untuk menjabarkan kebijakan pemberdayaan masyarakat tersebut.

Sedang dalam rancangan awal Rencana jangka Panjang (RJP) Kehutanan, kemiskinan dijadikan sebagai ”cross cutting issue”, disamping ”cross cutting issue” lainnya seperti penegakan hukum, peningkatan kesadaran masyarakat serta ”Good governance”. Angka kemiskinan penduduk di dalam dan sekitar kawasan hutan yang dipakai patokan adalah sekitar 10,2 juta (tahun 2004).

Dengan demikian aspek kemiskinan dalam RJP kehutanan seharusnya mewarnai kajian-kajian dalam perumusan skenario dan penetapan arah kebijakan kehutanan yang akan diambil. Namun tampaknya sisi kemiskinan ini tidak banyak disinggung, hanya disebutkan secara normatif saja, misalnya ekonomi masyarakat meningkat sampai dengan taraf sejahtera.

Hasil perbaikan rancangan awal RJP Kehutanan melalui serangkaian pembahasan dan diskusi diantara ”visioner” Departemen Kehutanan dan beberapa anggota LSM juga belum memunculkan secara konkret substansi dari arah kebijakan kehutanan jangka panjang. Bisa jadi dikarenakan pembahasan dan diskusinya terlalu berkutat lebih banyak pada substansi sektor kehutanan dan belum terlalu membuka cakrawala pandangan sektor lainnya. Lagi-lagi arah kebijakannya masih bersifat normatif.

SARAN

Peran kehutanan sangat penting dalam ikut memberi kontribusi bagi upaya penanggulangan dan pemberantasan kemiskinan secara nasional. Secara alamiah hutan telah menjadi salah satu sistem penyangga kehidupan. Artinya peran hutan tidaklah ”main-main” , terdegradasinya hutan akan mempengaruhi kualitas hidup manusia. Terganggunya sistem penyangga kehidupan akan memberi dampak yang sangat luas bagi pembangunan secara nasional, sekaligus akan sangat menentukan keberhasilan pencapaian Visi Pembangunan Nasional. Memang tidak akan mudah untuk merumuskan dan mengkaitkan secara nyata pemberantasan dan penanggulangan kemiskinan dengan arah kebijakan kehutanan jangka panjang, apalagi jika dituntut untuk menterjemahkan dalam wujud indikator-indikator yang konkret.

Ada beberapa saran yang mungkin dapat membantu perumusan sisi kemiskinan dalam arah kebijakan kehutanan jangka panjang:yaitu sebagai berikut :

Mencantumkan langkah identifikasi secara komprehensif terhadap permasalahan kemiskinan didalam dan sekitar hutan dalam salah satu arah kebijakan jangka panjang. Meskipun tidak perlu dicantumkan rinci dalam RJP kehutanan, identifikasi komprehensif dimaksud meliputi antara lain: batasan masyarakat miskin didalam dan sekitar hutan, data kuantitatif masyarakat miskin tersebut, memotret topologi kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan (bahkan kalau mungkin mengklasifikannya kedalam kemiskinan absolut, relatif, natural, struktural dan kultural). Infromasi ini sangat penting untuk merumuskan kebijakan kehutanan jangka menengah dan pendek yang terkait dengan menanggulangi kemiskinan.

Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat untuk mendapatkan hal-hal yang positif sehngga bisa dilanjutkan dan hal-hal negatif yang harus ditinggalkan.

Mempertimbangkan perkembangan sosial-ekonomi-budaya masyarakat secara keseluruhan termasuk sektor-sektor lainnya. Misal: pengaruh urbanisasi dan modernisasi, ketertarikan masyarakat terhadap jenis pekerjaan bidang kehutanan, iklim investasi, penegakan hukum dan keamanan, prediksi pertumbuhan ekonomi nasional.

1) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan


(6)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Halaman

Oleh : Iman Santosa Tj. *)

Pendahuluan

Sesuai Permenhut No. P.13/Menhut-II/2005 tanggal 6 Mei 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan, tugas pokok dan fungsi Badan Planologi Kehutanan ialah perencanaan makro di bidang kehutanan dan pemantapan kawasan hutan. Selanjutnya berdasarkan Kepmenhut No. SK.456/Menhut-VII/2004 tentang Lima Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu, pemantapan kawasan hutan telah ditetapkan sebagai salah satu program prioritas Departemen Kehutanan. Salah satu aspek penting untuk menunjang suksesnya program pemantapan kawasan hutan, ialah tersedianya data planologi kehutanan yang dapat diandalkan (lengkap, akurat/terkini dan konsisten) dan terintegrasi. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas proses ke arah terintegrasinya basis data planologi kehutanan.

Kondisi umum Data Planologi Kehutanan saat ini

Data planologi kehutanan, yaitu seluruh data mengenai sumberdaya hutan yang diperlukan untuk menunjang tupoksi Badan Planologi Kehutanan serta hasil-hasil pembangunan planologi kehutanan, saat ini sangat besar, baik volume maupun keragamannya. Namun demikian, walaupun selalu diupayakan untuk melengkapi dan menyempurnakannya, secara umum dapat dikatakan bahwa data planologi kehutanan tersebut masih kurang/belum seluruhnya dapat diandalkan (reliable), yang dicirikan antara lain oleh : data yang ada kurang lengkap karena tidak semua data yang diperlukan telah tersedia, data yang ada kurang akurat serta sering tidak konsisten, kurang terjamin keamanannya serta tidak semua data tersebut terdokumentasi dengan baik. sehingga sering sulit diakses. Selain itu data planologi kehutanan belum seluruhnya terintegrasi secara baik dan utuh.

Beberapa faktor penyebab

Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut di atas antara lain ialah : Data yang diperlukan memang tidak ada/sangat terbatas (mis : potensi dan penyebaran fauna di luar kawasan konservasi), data sering sulit diakses dari sumber data (mis : data deliniasi batas provinsi/kabupaten/kota hasil pemekaran), proses pemutakhiran memakan waktu lama (mis : peta penunjukan kawasan hutan provinsi/kabupaten lama maupun baru hasil pemekaran), kurangnya kordinasi antar instansi/unit kerja (mis : adanya perbedaan data antara Statistik Badan Planologi Kehutanan dan Neraca Sumber Daya Hutan/NSDH), keterbatasan anggaran dan sumberdaya manusia (mis : pengadaan dan penafsiran citra satelit dilakukan setiap 3 tahun), kurang seriusnya pengolah/penyaji data ( mis : tidak cermatnya data yang disajikan dalam statistik) dll.

Kondisi data planologi kehutanan yang diharapkan

Dalam rangka pemenuhan tugas pokok dan fungsi Badan Planologi Kehutanan dan pelaksanaan program prioritas Departemen Kehutanan, data planologi kehutanan perlu dikelola sedemikian rupa sehingga lebih dapat diandalkan dan dipertanggung-jawabkan. Beberapa ciri data/informasi yang dapat diandalkan antara lain : lengkap, akurat/terkini serta konsisten. Selain itu data dapat dengan mudah diakses dan dimutakhirkan, tersedia secara berkelanjutan dan terjamin keamanannya. Data yang dapat dipertanggungjawabkan antara lain dicirikan dengan adanya kejelasan mengenai sumber data, serta metoda pengambilan dan pengolahannya.

Basis data dan integrasinya

Berdasarkan kondisi data saat ini dan beberapa faktor penyebabnya serta dengan memperhatikan kondisi data yang diharapkan, maka seluruh data planologi kehutanan perlu distruktur sebagai basis data dan kemudian diintegrasikan. Pada pelaksanaan strukturisasi dan integrasi ini, data unit kerja pada tingkat bidang yang menjadi dasar dalam pemrosesan. Hal yang mendasarinya ialah karena unit kerja tingkat bidang merupakan tingkat yang optimal dalam hal cakupan dan kedetailan data.

Beberapa tahapan dalam proses integrasi basis data palanologi kehutanan adalah sebagai berikut :

1. Inventarisasi Data

Inventarisasi data adalah kegiatan untuk mendaftar/mengidentifikasi seluruh data yang diperlukan untuk pelaksanaan tupoksi maupun data/informasi yang dihasilkan sebagai pelaksanaan tupoksi oleh tiap bidang. Kebutuhan data yang diidentifikasi untuk pelaksanaan tupoksi antara lain mencakup : Nama data, jenis data, frekuensi kebutuhan, ketersediaan, unit kerja/instansi sumber data serta kendala dalam perolehan data. Demikian pula identifikasi data yang dihasilkan sebagai hasil pelaksanaan tupoksi antara lain meliputi : Nama data, jenis data, frekuensi data yang dihasilkan, unit kerja/instansi pengguna data serta kendala dalam menghasilkan data.

M EN U J U BASI S DATA PLAN OLOGI K EH U TAN AN

YAN G T ERI N T EGRASI


(7)

Keluaran/Output antara dari kegiatan ini ialah Metadata, yaitu data tentang data apa saja yang dibutuhkan dan diihasilkan dalam pelaksanaan tupoksi pada tiap bidang. Untuk kegiatan ini dapat digunakan tabel 1 dan tabel 2. Kedua tabel tersebut tentunya dapat dikembangkan cakupan maupun tingkat kedetilannya sesuai kebutuhan.

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

2. Sinkronisasi/Rekonsiliasi Data

Setelah seluruh data terinventarisir, dilakukan sinkronisasi data, yaitu proses penyelarasan data, sehingga tidak terjadi redundansi, duplikasi, gap/ kesenjangan dan inkonsistensi. Pada tahap ini sekaligus dilakukan : (1) Rekonsiliasi data, yaitu menyepakati suatu nilai data yang akan digunakan bersama secara konsekuen dan konsisten, (2) Pemutakhiran data, sehingga akurasi data dapat ditingkatkan.

Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam sinkronisasi/ rekonsiliasi :

a. data ialah Istilah Berbagai istilah yang digunakan dalam berbagai dokumen data harus disamakan sehingga ada konsistensi, misalnya istilah HPH/HPHTI telah diganti menjadi IUPHHK Hutan Alam/Hutan Tanaman.

b. Dasar dan Tema

Perlu adanya kesesuaian antara berbagai data dasar dan tema yang dibuat, misalnya peta tematik kehutanan harus sinkron dengan peta dasar yang ada (RBI/Topographic/JOG). Demikian pula sesama peta tematik, misalnya peta Penunjukan Kawasan hutan dengan peta Daerah Aliran Sungai atau dengan peta Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH dst. c. Format Data

Data dalam format digital dan manual harus disinkronkan sehingga nantinya hanya format digital yang akan digunakan d. Jenis Data

Jenis data spasial dan numerik/atribut, sesama data spasial dan sesama data numerik perlu disinkronkan.. e. Cakupan data


(8)

Halaman

Cakupan data yang berbeda perlu disinkronkan, misalnya peta penunjukan kawasan hutan provinsi dan penunjukan kawasan hutan parsial, peta KPH provinsi dengan peta unit KPH dst.

f. Waktu :

Berbagai data pada waktu atau kurun waktu yang sama perlu disinkronkan. Aspek ini penting untuk keperluan monitoring yang terkait dengan konsistensi data serta pemutakhirannya untuk meningkatkan akurasi data.

g. Dokumen Data

Berbagai dokumen data yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kehutanan, khususnya Statistik Badan Planologi Kehutanan dan Neraca Sumber Daya Hutan harus betul-betul sinkron, konsisten dan saling melengkapi. Hal ini sangat penting karena kedua dokumen tersebut diterbitkan setiap tahun, sehingga sinkronisasi antar kedua dokumen serta konsistensinya secara time series perlu diperhatikan.

h. Program aplikasi

Berbagai program aplikasi yang saat ini telah ada maupun yang sedang/akan dibuat perlu disinkronkan struktur dan isinya, sehingga saling menunjang dan mudah diintegrasikan nantinya.

Data pusat – daerah

Data yang ada di pusat dan yang ada di daerah (Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten dan UPT Dephut) perlu selaluidisinkronkan, secara periodik maupun insidentil.

Keluaran/Output antara dari proses ini ialah tersedianya data planologi kehutanan yang lebih dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan.

3. Strukturisasi Data

Seluruh data yang telah sinkron kemudian distruktur ulang menjadi suatu basis data, yaitu koleksi dari sekumpulan data yang berhubungan/terkait satu sama lain, disimpan dan dikontrol secara bersama dengan suatu skema atau aturan yang spesifik sesuai dengan struktur yang dibuat. Penyusunan basis data perlu dilaksanakan sesuai kaidah-kaidah atau prosedur yang benar, yaitu : Pembuatan Entity-Relationship Diagram, Penetapan model, Penyusunan disain konseptual, logikal dan fisikal, Normalisasi dan Pembuatan data dictionary.

Keluaran/Output antara dari kegiatan ini ialah data planologi kehutanan yang terstruktur dalam format basis data. 4. Integrasi Basis Data

Proses integrasi merupakan kegiatan untuk memadukan seluruh basis data yang masih berada pada masing-masing bidang. Integrasi ini dilakukan secara berjenjang, yaitu dimulai dengan mengintegrasikan basis data tiap bidang dalam satu pusat yang dilanjutkan dengan mengintegrasikan basis data tiap pusat menjadi satu kesatuan basis data planologi kehutanan yang terintegrasi.

Keluaran/Output dari kegiatan ini yang merupakan keluaran/output akhir ialah tersedianya basis data planologi kehutanan yang terintegrasi, lebih dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan.

Secara skematis keseluruhan proses tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 1.

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T


(9)

Manfaat Basis Data yang terintegrasi

Data planologi kehutanan yang terstruktur dalam format basis data dan terintegrasi mempunyai beberapa manfaat, yaitu antara lain :

1. Redundansi, kesenjangan dan inkonsistensi data dapat dicegah atau ditekan sekecil mungkin sehingga data yang ada lebih valid/reliable.

2. Mempermudah pengaksesan data walaupun dalam volume yang sangat besar, sehingga penggunaan waktu bisa lebih efisien.

3. Keamanan data lebih terjamin dibandingkan cara konvensional.

4. Data dapat digunakan oleh banyak pemakai secara lebih efektif dan efisien.

5. Transparansi dan pelayanan publik terhadap kebutuhan data dapat lebih ditingkatkan. 6. Data/informasi yang diperoleh dapat lebih komprehensif dan utuh.

Permasalahan/Kendala

Peta penunjukan kawasan hutan provinsi perlu diupdate, karena :

Datanya sudah usang.sudah sangat tertinggal, khsusnya kawasan konservasi, ada selisih sekitar 8 juta hektar, karena pesatnya penunjukan kawasan hutan konservasi secara parsial

Isitlah penunjukan sebenarnya kurang tepat, karena di dalamnya juga terdapat kawasan hutan yang sudah ditetapkan.

Teknologi pemetaan sudah jauh berkembang, yaitu dengan adanya pemetaan secara digital Upaya yang dapat dilakukan :

Melengkapai data : Data batas administrasi pemerintahan : ke BPS atau Bakosurtanal

Akurasi data : Mengikuti perkembnagan teknologi, peningkatan kemampuan/etos kerja SDM, pemutkahiran an validasi data secara insidentil dan periodik

Penutup

Basis Data planologi kehutanan yang terintegrasi sangat penting dalam rangka revitalisasi fungsi dan peran Badan Planologi Kehutanan, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Untuk itu beberapa upaya yang perlu dilakukan antara lain : Peningkatan kordinasi pusat dan daerah, mengatasi kendala dalam pengelolaan data secara optimal dan sinergis, menyusun protokol pengelolaan data termasuk untuk pelayanan publik, optimalisasi dukungan infrastruktur jaringan perangkat keras (Local/Wide Area Network), pengembangan berbagai program aplikasi yang telah ada (SIAPHUT dll), peningkatan kualitas SDM dan pembinaan etos kerjanya.

Apabila basis data planologi kehutanan yang terintegrasi dapat terwujud dengan baik, rasanya kita semua bisa cukup optimis bahwa di masa yang akan datang kita tidak saja bisa menyanyikan lagu ’Satu Nusa Satu Bangsa’, tetapi juga lagu ’Satu Nusa Satu Data’. VIVA INTEGRACAO.

*) Penulis saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Statistik Kehutananm pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan,Badan Planologi

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN


(10)

Halaman

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Oleh : Syaiful Ramadhan. *)

Filosofi pemberdayaan mengajark an pada k ita, bahwa semua sumberdaya terutama manusia yang secara fitrah telah dilengk api potensi positif secara “built in”. Terberdayak annya potensi tersebut sangatlah tergantung dari seberapa k ondusif suasana diri dan lingk ungan yang mendorong termanfaatk annya potensi tersebut, serta seberapa besar hambatan psikologis, sosial dan tek nis yang ada menutup ak ses pengembangan potensi tersebut. Pemberdayaan yang berbasis fitrah k emanusiaan tersebut inilah yang disebut pemberdayaan yang bermartabat “

Potret Umum Upaya Pemberdayaan ?

Akhir-akhir ini upaya pembangunan yang langsung menyentuh peningkatan kesejahteraan masyarakat semakin menjadi tuntutan, hal tersebut sangatlah wajar, karena melalui cara tersebut dipercaya dapat mengeliminasi masalah ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan selama ini. Istilah popular terkait upaya tersebut adalah “pemberdayaan”, apakah itu pemberdayaan sosial, pemberdayaan ekonomi dlsb.

Dengan tidak menafikan adanya upaya pemberdayaan yang berhasil secara parsial, upaya pemberdayaan yang diselenggarakan selama ini, umumnya bersifat “top down” melalui jalur judul-judul proyek yang terkadang sulit dihafal karena saking banyaknya dan tidak tertutup kemungkinan saling tumpang tindih pula, sehingga tidaklah aneh bila tingkat keberhasilannya menjadi tidak jelas kalau tidak bisa dibilang bias/gagal.

Ketidak sinkronan antara kebutuhan nyata “pemberdayaan” dengan “proyek yang bersifat given”, secara perlahan memicu keapatisan berbagai fihak terhadap upaya pemberdayaan yang sebenarnya bertujuan baik tersebut. Pada akhirnya upaya pemberdayaan melalui jalur keproyekan, lebih diterima sebagai penyejahteraan sesaat, berupa upah dan bantuan “modal” selama proyek berjalan, sehingga terkesan upaya “pemberdayaan” berhenti ketika proyek usai. Dalam hal ini boleh dikatakan, bahwa sebagian besar upaya pemberdayaan lebih bersifat “charity” dan hal ini alih-alih mendorong keluar potensi sumberdaya yang ada, malah sebaliknya memupuk sikap apatis yang menutup pengenalan potensi diri dari sumberdaya yang pada akhirnya bemuara pada semakin terpuruknya kesejahteraan dan martabat subyek pemberdayaan di satu fihak dan mubasirnya upaya pemberdayaan selama ini baik secara moril maupun materil.

Bagaimana Implikasinya di “Sektor” Kehutanan ?

Sektor kehutanan mulai dari awal perencanaan sering lebih memfokuskan program kegiatannya pada pemberdayaan sumberdaya hutan, sehingga sering terjebak pada indikator-indikator keberhasilan yang terkait dengan ; keberadan hutan, luas dan hijaunya kawasan hutan dan terjaganya populasi flora fauna dibandingkan dengan keterkaitan fungsi dan manfaatnya bagi hidup dan kehidupan manusia. Meningkatnya populasi manusia yang menempati bentangan yang sama dengan sumberdaya hutan, tidak pelak lagi menimbulkan trade off antar prioritas upaya pemberdayaan, apakah keberadaan flora fauna atau kesejahteraan manusia.

Upaya pemberdayaan di sektor kehutanan bersifat unik, karena sasaran yang mutlak bersifat ”simultan” dalam arti ; Memberdayakan fungsi manfaat sumberdaya hutan yang berjalan setara dan sekaligus dengan pemberdayaan manusia pada umumnya dan khususnya manusia di dalam dan sekitar sumberdaya hutan.

Sasaran ganda pemberdayaan yang unik tersebut, berimplikasi pada kerumitan mulai dari tingkat definisi, konsepsi, perencanaan dan berujung pada implementasi yang ”lagi-lagi belum mencerminkan kebutuhan riel pemberdayaan masyarakat ”. Hal ini bisa diukur dengan besaran rasio dana ”pemberdayaan” dengan total anggaran keseluruhan dan besaran rasio anggaran kegiatan yang menyentuh dan atau berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Seharusnya sesuai dengan filosofi pemberdayaan, maka dari perspektif pembangunan kehutanan, upaya pemberdayaan seharusnya berupa upaya pengkondisian tumbuhnya interaksi yang bersifat symbiose mutualistis antara manusia dengan hutan secara utuh. Apabila hal ini dapat terselenggara barulah bisa dapat dikatakan upaya pemberdayaan yang ada berbasis pada dan meningkatkan martabat kemanusiaan sebagai subyek yang diberdayakan.

Hutan Rakyat : SDM dan SDH sebagai Inisiator, Partisipator dan Exekutor Pemberdayaan yang Bermartabat !

Pertama yang harus disepakati bersama, bahwa amanah pembangunan kehutanan mempunyai syarat khusus berupa keberlanjutan keberadaan dan fungsi sumberdaya hutan yang mampu memberikan manfaat langsung dan tak langsungnya secara berkelanjutan pula. Kenyataan, bahwa keberadaan hutan sebagai penunjang penyedia berbagai keperluan kehidupan manusia, sudah selayaknya menumbuhkan nilai (value) keharusan keberadaannya secara lestari.

Nilai tersebut di atas melahirkan 2 (dua) perilaku pemberdayaan :

Kebutuhan akan kelestarian keberadaan sumberdaya hutan mewajibkan diterapkannya secara ilmiah teknik-teknik silvikultur yang berbasis pada ragam perilaku vegetasi, klimatis dan edafis yang tidak ’memperkosa” kondisi alamiahnya, sehingga didapatkan hasil yang optimal dalam pengelolaan hutan. Upaya ini merupakan upaya pemberdayaan potensi sumberdaya hutan

Kebutuhan dukungan pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan manusia yang berbasis sumberdaya hutan, mewajibkan adanya penggalian potensi diri atau kreatifitas dalam memahami berbagai potensi hutan secara utuh dalam arti bagaimana cara memanen yang efisien dan efektif dan bagaimana cara menanam kembali dan memeliharanya agar panenan dapat dilakukan secara berkelanjutan, adanya pengaturan akses pengelolaan yang menjamin pemanfaatan dan distribusi manfaat sumberdaya hutan yang secara pasti pula mengkreasikan nilai tambah dar waktu ke waktu dan yang terakhir dan tak kalah penting mengelola hasil dari pemanfaatan bagi peningkatan martabat manusia dalam arti melepaskannya dari berbagai bentuk kemiskinan. Upaya ini merupakan upaya pemberdayaan potensi sumberdaya manusia.

Penerapan kedua upaya di atas secara simultan ditambah dengan pendefinisian secara pasti batasan fokus dan lokus baik komunitas sumberdaya hutan maupun manusia serta adanya dukungan kebijakan yang berfihak pada pembangunan (baca: peningkatan kesejahteraan rakyat miskin) yang berkelanjutan, merupakan modal dasar pemberdayaan manusia secara

H U TAN RAK YAT :

PEM BERDAYAAN H U TAN DAN RAK YAT YAN G

BERM ARTABAT


(11)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

bermartabat di sektor kehutanan yang siap diintegrasikan kedalam upaya penyusunan Rencana Pemberdayaan lintas sektor, lintas wilayah dalam berbagai skala pembangunan (kabupaten/kota, regional dan Nasional).

Hutan Rakyat yang berangkat dari inisiasi masyarakat mandiri ditopang oleh kebijakan peraturan yang kondusif bagi backward linkaged (dukungan kemudahan ijin, dukungan supply lahan dan sarana prasarana, modal dan teknologi) dan forward linkaged (dukungan pemasaran) serta program pemberdayaan yang hanya bersifat fasilitasi bukan eksekusi, merupakan contoh nyata dari pemberdayaan yang bermartabat, bukan sekedar proyek show window yang akan menyulitkan perencanaan maupun evaluasinya.

*) Perencana Madya Pada Badan Planologi Kehutanan

Pemantapan Kawasan Hutan

(salah satu Program Prioritas Departemen Kehutanan)

Indikator kawasan hutan mantap : 1. Adanya kepastian kawasan hutan

2. Status kawasan yang bebas konflik jangka panjang 3. Diketahui letak, lkasi, luas dan kondisi penutupan lahannya. 4. Permanen dan dibatasi oleh batas alam/buatan yang permanent

5. Diakui secara de-jure dan de facto (legal dan legitimate) oleh seluruh pemangku kepentingan 6. Adanya rencana pengelolaan serta pengelolaan kawasan.

Sasaran Kegiatan :

Kegiatan pemantapan kawasan hutan diarahkan untuk memperoleh status yuridis formal kawasan hutan maupun fisik di lapangan dan desain kawasannya sebagai pengelolaan hutan secara efisien, lestari dan berkeadilan.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam program pemantapan kawasan hutan adalah : a). memberikan kepastian status, letak, luas dan batas-batas hutan sesuai fungsinya untuk mewuhudkan pengelolaan hutan yang optimal dan lestari; b). terbentuknya Unit Pengelolaan Hutan dan c). meningkatnya legalitasd dan legitimasi status wilayah pengelolaan hutan.

Ruang Lingkup Kegiatan Pemantapan Kawasan Hutan :

• Pengelolaan kawasan hutan dilakukan untuk seluruh kawasan hutan dengan prioritas pada lokasi-lokasi yang akan diselesaikan dalam kurun waktu 2005-2009

• Pencapaiannya melalui penetapan criteria : a). Kepastian kawasan hutan; b). Kondisi kawasan hutan dan sumberdaya hutan dan c). Unit pengelolaan hutan

• Dijabarkan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan

Kondisi saat ini :


(12)

Halaman

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

A

rtikel ini memberikan uraian ringkas mengenai upaya yang perlu dilakukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Sebelum menelaah dan mengkaji lebih lanjut mengenai pariwisata alam berbasis masyarakat, sebaiknya terlebih dahulu menyimak dua pertanyaan paling mendasar sebagai berikut:

Bagaimana caranya masyarakat dapat memperoleh nilai tambah dari kegiatan pariwisata alam? ATAU Bagaimana caranya pariwisata alam memberikan kontribusi terhadap proses pembangunan masyarakat?

Proses pengembangan pariwisata secara massal (mass tourism) pada umumnya terfokus pada pertanyaan nomor 1, sehingga diasumsikan bahwa kegiatan pariwisata alam merupakan kegiatan yang paling utama dan masyarakat sekitar akan memperoleh nilai tambah dengan melakukan kegiatan di dalam kegiatan pariwisata tersebut. Konsep pengembangan pariwisata yang demikian hampir dapat dipastikan merupakan konsep pariwisata yang tidak lestari, dimana masyarakat lokal (dalam hal ini masyarakat di dalam dan sekitar hutan) akan bergantung kepada kegiatan pariwisata, dan dalam jangka waktu tertentu dikhawatirkan akan terjadi perubahan/pergeseran budaya masyarakat lokal setempat. Perubahan budaya tersebut diakibatkan oleh ketergantungan masyarakat lokal sehingga merekalah yang mengikuti budaya wisatawan dan bukan sebaliknya wisatawan yang seharusnya mengapresiasi serta memahami budaya masyarakat lokal.

Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) tidak semata-mata hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, melainkan mempertimbangkan secara serius terhadap dampak yang ditimbulkannya, khususnya terhadap budaya masyarakat lokal dan lingkungan. Kegiatan pariwisata berbasis masyarakat diharapkan mampu dijadikan sebagai salah satu perangkat dalam rangka pembangunan masyarakat madani. Jadi dalam konteks tersebut, pariwisata berbasis masyarakat merupakan sebuah konsep di dalam memperkuat kemampuan dan kapasitas masyarakat lokal untuk mengelola pariwisata secara lestari dan berkelanjutan melalui partisipasi aktif masyarakat di dalamnya. Bagaimana cara mengadposi konsep pariwisata berbasis masyarakat dalam rangka mendukung proses pembangunan masyarakat madani? Berikut adalah beberapa prinsip pengembangan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan:Mengakui, mendukung dan mempromosikan konsep kepemilikan usaha pariwisata oleh masyarakat lokal.Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk secara aktif terlibat di dalam segala aspek pengembangan pariwisata.Pariwisata yang dikembangkan mampu memberikan kebanggaan bagi masyarakat.Meningkatkan kualitas hidup masyarakat.Selalu mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan lokal dan global.Melestarikan budaya masyarakat lokal.Mengembangkan konsep pemahaman budaya masyarakat lokal kepada wisatawan.Menghargai adanya perbedaan budaya.Memberikan keuntungan dan manfaat pariwisata secara proporsional kepada masyarakat setempat.Memberikan kontribusi yang ideal dalam rangka pembangunan lingkungan masyarakat.

Perlu diperhatikan bahwa sebelum melaksanakan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, adalah penting untuk menyiapkan kapasitas masyarakat yang berkualitas dalam melaksanakan pengelolaan pariwisata. Hal tersebut tentunya perlu didukung oleh kegiatan pemasaran yang mampu memberikan pemahaman kepada calon wisatawan bahwa pariwisata berbasis masyarakat adalah berbeda dengan pariwisata masal. Dengan demikian konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat sebagai perangkat konservasi alam dan pelestarian budaya masyarakat lokal dapat tercapai.

Dengan asumsi bahwa masyarakat lokal sebagai penyelenggara pariwisata sudah memiliki kapasitas yang ideal dan calon wisatawan sudah memahami konsep pariwisata berbasis masyarakat, maka berikut merupakan beberapa saran mengenai elemen yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pariwisata berbasis masyarakat:

A. KEBUDAYAAN DAN SUMBERDAYA ALAM

– Sumberdaya alam dapat terpelihara secara lestari.

– Ekonomi masyarakat diperoleh melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari.

– Daerah tujuan wisata memliki kekhasan budaya dan tradisi.

B. KELOMPOK MASYARAKAT

  Memiliki seseorang yang dituakan, yang memahami kearifan budaya masyarakat setempat.

  Menunjukkan perilaku yang sesuai dengan adat istiadat setempat.

  Terciptanya rasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap pembangunan yang dilaksanakan.

C. MANAJEMEN PENGELOLAAN

n Terdapat peraturan dan kebijakan di dalam upaya pengelolaan pariwisata dan alam secara lestari dan berkelanjutan. n Memiliki kemampuan untuk mengkolaborasikan antara pengembangan pariwisata dengan pengembangan masyarakat. n Manfaat dan keuntungan dibagi secara adil dan proporsional.

n Terdapat kontribusi pembagian hasil pendapatan pariwisata untuk dipergunakan dalam pembangunan ekonomi dan sosial n Masyarakat.

n n n

l

n

D. PROSES PEMBELAJARAN

  Terbangunnya proses pembelajaran dua arah secara positif antara masyarakat dengan wisatawan.

  Terbangunnya pemahaman dan penghargaan tentang adanya perbedaan kebudayaan dan perbedaan cara hidup.

  Terbangunnya kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya dan lingkungan diantara masyarakat dan wisatawan.

Oleh: Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism

*)

PARI WI SATA BERBASI S M ASYARAK AT

:


(13)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Pada sektor kehutanan, konsep pariwisata berbasis masyarakat sebagai perangkat pembangunan masyarakat madani diharapkan dapat menjadi salah satu langkah yang efektif dalam rangka upaya “mensejahterakan rakyat melalui kelestarian sumberdaya hutan”. Konsep ini membutuhkan dukungan yang luas dari para pihak, dimulai dari pemerintah, sektor swasta, dan unsur masyarakat sebagai penyelenggara.

Idealnya pemerintah memberikan dukungannya melalui penyediaan akses, peraturan dan kebijakan, serta kemampuan dalam melakukan pembimbingan dan pembinaan yang memadai, yang mampu menarik para pihak lainnya untuk mau terlibat secara aktif. Kemudian sektor swasta diharapkan bersedia untuk membantu masyarakat di dalam penyelenggaraan pariwisata, khususnya melalui dukungan pendanaan dan promosi. Pada akhirnya unsur masyarakat yang memiliki kemauan dan kemampuan yang tinggilah yang akan menentukan keberhasilan pembangunan masyarakat madani melalui kegiatan pariwisata. Seluruh upaya perlu dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan. Komitmen yang kuat dari para pihak menjadi kunci penting menuju kesuksesan. Pertanyaannya adalah “Sanggupkah kita untuk berkomitmen?...” Selamat berkarya.

*) Staf Pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan

" Scenario planning is a discipline for

rediscovering t he original

ent repreneurial power of creat ive

foresight in cont ext s of accelerat ed

change, great er com plexit y, and

genuine uncert aint y"

Pierre Wack, Royal Dut ch/ Shell, 1984


(14)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Halaman

HASIL REVIEW

Banjir bandang yang terjadi pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2003 di kawasan wisata alam Bukit Lawang, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menelan korban jiwa yang cukup banyak ± 143 orang, 100 orang lebih hilang dan puluhan lainnya luka-luka serta kerugian materiil yang besar (Sumber : berita Media Indonesia dan Kompas tanggal 3 s/d 18 Nopember 2003). Banyak pihak mempertanyakan salah siapa ini ? Apakah pemerintah dengan kebijakan-kebijakan politisnya, pengusaha yang punya kepentingan terhadap eksploitasi hutan atau masyarakat yang notabene diarahkan untuk melakukan tindakan penebangan liar, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan paru-paru dunia yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia sehingga wajib dijaga kelestariannya. Di KEL terdapat hulu beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk DAS Bahorok, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan menahan banjir di daerah hilir. Kawasan DAS Bahorok menjadi sumber kehidupan masyarakat Bukit Lawang. Daerah hulunya merupakan areal hutan yang sangat lebat dengan topografi bergunung. Namun kini telah berkurang mutu dan luasnya karena ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga ketika terjadi fenomena alam seperti curah hujan yang tinggi, hutan tidak sanggup lagi untuk menahan beban.

Kawasan hutan Leuser merupakan hutan tropis yang memiliki areal seluas 1,79 juta hektare yang terdiri dari kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi, kawasan konservasi dan kawasan hutan produksi terbatas. Hutan Leuser kaya akan flora, fauna, dan bahan tambang. Hal ini mengakibatkan banyak pihak ingin turut campur di dalam upaya pengelolaannya (karena ada kepentingan lain didalamnya) dengan dalih untuk menyelamatkan lingkungan karena KEL merupakan paru-paru dunia.

Kawasan wisata alam Bukit Lawang terletak di kaki Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Langkat direncanakan untuk dijadikan sebagai kawasan ekowisata dengan tetap memperhatikan upaya pelestarian lingkungan (konservasi lahan dan ekosistem sungai). Namun karena ulah dari oknum-oknum/stakeholder yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan perencanaan yang semula baik menjadi buruk, yaitu dengan dibangunnya kawasan permukiman penduduk di bantaran sungai Bahorok (DAS Bahorok) yang tidak sesuai dengan kaidah tata ruang. Oleh karena itu setiap pengunjung tidak lagi mendapatkan keindahan alam secara langsung, tetapi hanya menikmati pemandangan sungai sebagai tempat pemandian alam yang mulai kotor oleh sampah yang sengaja dibuang sembarangan.

42 ribu hektar hutan Leuser telah rusak dan upaya untuk memulihkan kembali kerusakan hutan tersebut akan memakan waktu lama dan biaya yang besar. Apalagi sekarang telah memakan korban jiwa dan harta benda. Kerusakan hutan Leuser ini diakibatkan oleh penebangan liar (legal/illegal), kegiatan konversi hutan untuk areal penggunaan lain (contoh untuk perkebunan kelapa sawit), perambahan hutan (masyarakat pengungsi) dan aksi pencurian kayu dalam skala besar yang dibekingi oleh aparat penegak hukum (tentara, polisi, dan pejabat daerah (kehutanan /pemda)) yang dibantu oleh preman-preman setempat.

Pembangunan jalan Ladia Galaska yang melewati kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Leuser semakin membuat tekanan terhadap kondisi hutan yang sudah rusak tersebut. Kerusakan sumber daya hutan dan lahan telah mengakibatkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat seperti turunnya mutu lingkungan hidup, terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversitas dan pendapatan negara.

Pengelolaan hutan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia masih dilakukan secara sektoral dan parsial, dan ternyata sistem seperti ini tidak dapat mencegah kerusakan hutan. Kawasan hutan dikelola oleh Departemen Kehutanan sedangkan produk kehutanan dikelola menurut hitungan industri oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Untuk meningkatkan kapasitas industri terpasang Depperindag terus mengeluarkan surat izin pengembangan industri perkayuan, sedangkan kemampuan produksi hutan (kayu) untuk memenuhi kapasitas industri terpasang ini lebih rendah dibandingkan dengan permintaan pasar. Ketidakseimbangan antara supply dan demand kayu inilah yang mengakibatkan kasus penebangan liar makin marak.

Kebijakan ekonomi makro di Indonesia yang memandang kayu sebagai komoditi yang masih dapat dieksploitasi makin memperparah kondisi kerusakan hutan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang punya akses terhadap hutan tidak sinkron. Kawasan hutan lindung yang mestinya hanya diperuntukan sebagai kawasan resapan air yang berfungsi untuk menjaga erosi lahan, bahaya banjir dan melindungi keanekaragaman hayati yang ada didalamnya, ternyata diperuntukkan juga sebagai areal pertambangan. Ini hanya salah satu contoh adanya tumpang tindih didalam pemanfaatan hutan.

Ekploitasi hutan tanpa memperhitungkan upaya pelestariannya akan sangat merugikan. Nilai ekonomis yang diperoleh tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Kegiatan eksploitasi hutan yang terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser benar-benar sangat memprihatinkan karena kegiatan ini dibarengi dengan hancurnya ekosistem lain, yaitu ketersediaan air, keanekaragaman hayati dan potensi ekowisata. Sedangkan nilai ekonomi yang diperoleh diperkirakan hanya 20 persen saja dan yang 80 persen adalah nilai kerugiannya.

Akar dari semua permasalahan tersebut di atas adalah adanya konflik kepentingan terhadap hutan Leuser antara instansi pemerintah, pengusaha maupun masyarakat sekitar hutan yang menimbulkan tumpang tindih terhadap fungsi hutan. Hutan tidak difungsikan sesuai dengan peruntukannya.

Tekanan-tekanan terhadap hutan Leuser yang semakin meningkat dan terakumulasi dengan sempurna tersebut yang akhirnya mengakibatkan banjir bandang di kawasan wisata Bukit Lawang (kasus DAS bahorok), karena hutan sudah tidak kuat lagi menahan beban tersebut.

Dapat dikatakan bahwa bencana banjir di kawasan wisata Bukit Lawang merupakan bencana alam yang dipicu oleh faktor-faktor lain yang semakin mendukung terjadinya bencana alam tersebut (kerusakan hutan). Selain itu juga pola penataan ruang yang tidak sesuai dengan kaidah tata ruang (kawasan permukiman di bantaran DAS Bahorok). Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

MENENGOK KEMBALI PERISTIWA BANJIR BANDANG BAHOROK

APA YANG PERLU DIBENAHI ?

Kasus di Kawasan Ekosistem Gunung Leuser (KEL)

(

Re vie w te rha d a p Ko m p a s d a n Me d ia Ind o ne sia ta ng g a l 3 s/ d 18 No p e m b e r 2003 d a n

The Esse ntia l C ivil So c ie ty Re a d e r ka ra ng a n Do n E. Enb e rly)


(1)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Pendahuluan

Biro Perencanaan Departemen Kehutanan telah berusaha keras untuk menyusun rencana kerja kementrian. Perubahan yang nyata mudah dikenali dengan membandingkan struktur dan proses perencanaan tahun-tahun sebelumnya. Namun seperti yang dikemukakan oleh Kepala Biro dan jajarannya, dirasakan masih ada kendala untuk dapat menyusun rencana secara sempurnanya seperti yang diharapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa ada harapan yang besar untuk mempercepat progress perencanaan kehutanan.

Dalam pengalaman pribadi maupun pengamatan terhadap kerja rekan-rekan lainnya, langkah-langkah mengkombinasikan antara kebijakan prioritas dengan restra Departemen Kehutanan, menjadi masalah dalam mengintegrasikan fokus-fokus kegiatan. Hal ini terjadi karena kebijakan prioritas sudah memasuki wilayah yang cenderung detail (mikro), sedangkan restra cenderung makro. Sementara dalam struktur kombinasinya kebijakan prioritas memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, hasil kombinasi tersebut menempatkan fokus kegiatan pengamanan kawasan hutan berada di bawah kebijakan prioritas pemberantasan illegal logging. Hal ini menimbulkan intepretasi bahwa pengamanan kawasan hutan dilakukan dalam konteks pemberantasan illegal logging, sehingga terjadi penyempitan makna. Disamping itu, sumber pengikat yang digunakan yaitu kebijakan prioritas dan fokus kegiatan, yang kedua-duanya merujuk pada aktivitas. Hal ini cukup sulit untuk mencari hubungan keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, karena aktivitas-aktivitas tersebut dapat berjalan sendiri dan mempunyai prioritas sendiri pula.

Sering ditekankan tentang perlunya masing-masing fokus menegaskan lokasi yang diprioritaskan, namun harapan ini belum dapat diwujudkan dengan baik. Langkah untuk menentukan lokasi sebaiknya dijadikan prioritas, karena kesepakatan tentang lokasi akan menjadi titik ikat yang lebih baik daripada kebijakan prioritas atau fokus kegiatan.

Berikut ini disampaikan pemikiran tentang langkah-langkah untuk mendapatkan lokasi sebagai titik ikat, mengintegrasikan fokus-fokus kegiatan dalam kebijakan prioritas.

Penentuan Lokasi

Dalam rangka menyukseskan setiap kebijakan prioritas, maka ditentukan terlebih dahulu lokasi prioritas yang paling relevan dengan kebijakan tersebut. Pada lokasi-lokasi prioritas tersebut direncanakan fokus-fokus kegiatan yang paling tepat untuk menjawab persoalan setempat. Untuk menghasilkan lokasi prioritas diperlukan kesepakatan tentang metoda untuk menyusun prioritas.

1. Kesepakatan tentang metoda penentuan lokasi

Sejauh ini belum ada instrument yang disepakati untuk menyusun prioritas lokasi sebagai pusat keberhasilan masing-masing kebijakan prioritas. Masing-masing kebijakan prioritas mempunyai karakter yang berbeda sehingga diperlukan kriteria dan indikator yang berbeda.

Secara umum penentuan lokasi prioritas dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut :

a. Urgensi : yaitu berupa urutan tingkat kepentingan untuk mengambil tindakan berdasarkan tingkat kebutuhan yang mendesak. Lokasi-lokasi yang menunjukkan laju kerusakan yang tercepat ditempatkan sebagai yang paling urgent atau mendesak untuk ditangani. Untuk dapat menghasilkan informasi ini diperlukan data perkembangan perubahan hutan atau hasil hutan yang terjadi di setiap lokasi.

b. Keseriusan masalah : yaitu berupa urutan skala besar kecilnya masalah yang dihadapi. Besaran skala ini dapat berupa nilai mutlak (misalnya luas) maupun persentase terhadap total. Makin besar skalanya makin serius persoalannya.

c. Dampak : yaitu berupa pengaruh langsung yang ditimbulkan apabila kegiatan dilakukan di lokasi ini. Hal ini menunjukkan posisi strategis lokasi tersebut terhadap lokasi lain, artinya bahwa apabila suatu kegiatan dilakukan di lokasi ini, maka persoalan-persoalan lain di lokasi yang sama maupun di lokasi lain yang berhubungan, dapat dibantu penyelesaiannya. d. Dapat diselesaikan : yaitu berupa perkiraan tentang peluang untuk menyelesaikan dalam periode tertentu. Makin besar

peluang untuk diselesaikan makin tinggi prioritasnya. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang kompleksitas permasalahan dan ketersediaan sumberdaya.

AKSELERASI PENYELERASAN FOKUS KEGIATAN

KEHUTANAN


(2)

Daftar keterkaitan untuk kebijakan prioritas yang lain dapat disusun dengan cara yang sama.

Prioritas Nasional

Berdasarkan informasi-informasi tersebut di atas dapat disusun urutan prioritas secara nasional. Terhadap lokasi-lokasi yang terpilih sebagai prioritas nasional, Departemen Kehutanan dapat mengalokasikan sumberdaya dalam jumlah yang lebih besar. Alokasi dimaksud dapat dilakukan di tingkat pusat, UPT maupun kepada dinas-dinas yang menangani kehutanan, serta kepada pihak lain yang relevan.

Penyusunan prioritas nasional tersebut dilakukan dengan cara menggabungkan daftar lokasi seluruh kebijakan prioritas, sehingga dapat diperoleh kelompok-kelompok yang menjadi prioritas dari beberapa kebijakan. Lokasi yang dijadikan prioritas seluruh kebijakan menempati peringkat tertinggi untuk ditunjuk sebagai prioritas nasional.

Sebagai ilustrasi dapat dilihat diagram berikut ini :

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Diagram Prioritas

Diagram Prioritas

Urutan Prioritas Urutan Prioritas Kabupaten Urutan Prioritas UPH

UPH 1 UPH 2 Kabupaten 1

UPH 3 UPH 1 UPH 2 Provinsi

Kabupaten 2

UPH 2

Table 1. Daftar Prioritas Penyuksesan Kebijakan Pertama

*

) Kepala Sub Direktorat Program, Evaluasi dan Laporan Penyidikan dan Perlindungan, Direktorat Penyideikan dan Perlindungan Hutan, Ditjen PHKA


(3)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Oleh : Ali Djajono*)

MENDORONG INISIATIF MASYARAKAT UNTUK

MEMBANGUN

PENDAHULUAN

D

epartemen Kehutanan mencatat bahwa terdapat potensi hutan rakyat yang cukup besar di berbagai wilayah di Indonesia. Potensi yang cukup besar ini dapat menjadi salah satu penyeimbang penyediaan bahan baku kayu untuk keperluan industri. Berdasarkan hasil survei statistik kerjasama antara Departemen Kehutanan dan BPS terhadap hutan rakyat di Indonesia, memperlihatkan bahwa terdapat rata-rata sekitar 3,43 juta penduduk yang mengusahakan hutan rakyat dengan jumlah pohon dari 10 jenis tanaman yang didata (akasia, bambu, cendana, jati, mahoni, pinus, sengon, rotan, sonokeling dan sungkai) mencapai sekitar 238,76 juta pohon/rumpun atau sekitar 39,56 juta m3 (Departemen kehutanan, 2004).

Memperhatikan potensi yang cukup besar, hutan rakyat sangat layak dikedepankan dan didorong untuk terus dikembangkan sebagai bagian penting dari pembangunan kehutanan secara Nasional.

Alasan yang sangat relevan adalah adanya keunggulan-keunggulan yang terkait dengan hutan rakyat, antara lain:

a. Eksisnya hutan rakyat sebagian besar merupakan bangunan concern dan inisiatif dari masyarakat untuk memperoleh nilai tambah dari lahan yang dimilikinya. Wilayah-wilayah hutan rakyat yang telah berkembang umumnya memiliki sejarah panjang mengapa hutan rakyat eksis. Wilayah tersebut biasanya keterlibatan peranan pemerintah tidak terlalu menonjol. b. Bentuk alternatif sumber ekonomi/pendapatan masyarakat disamping pendapatan pokoknya. Bahkan dibeberapa tempat

bisa menjadi tumpuan ekonomi masyarakat,

c. Keberadaan hutan rakyat dapat memperluas tutupan lahan oleh vegetasi tanaman tahunan yang sekaligus dapat menambah besarnya daya dukung lingkungan melalui fungsi rehabilitasi dan konservasi tanahnya.

d. Potensi hutan rakyat dapat menjadi subtitusi bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam sehingga keberadaan hutan rakyat dapat berperan dalam menahan laju kerusakan hutan alam sebagai akibat dari eksploitasi berlebihan untuk memenuhi bahan baku.

Namun demikian dalam kenyataan di lapangan masih terdapat kendala-kendala yang menghambat pengembangan hutan rakyat. Kendala tersebut bisa berasal dari tataran kebijakan sampai tingkat pengelolaannya di lapangan, bisa dicontohkan antara lain:

a. Masih disamakannya aturan tata usaha kayu dari pemanfaatan hutan dari hutan alam dan hutan tanaman dengan hutan rakyat, hal ini menyulitkan proses pemasaran pasca panen.

b. Tanaman tahunan yang mendominasi hutan rakyat tidak memungkinkan masyarakat mendapatkan nilai tambah ekonomi secara rutin setiap tahunnya, tidak seperti tanaman pangan atau tanaman semusim.

c. Dalam kenyataannya hutan rakyat hanya berkembang pada wilayah lahan yang secara ekonomi sudah tidak dapat dikembangkan secara intensif untuk tanaman semusim atau tanaman pangan.


(4)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Dalam tulisan ini hutan rakyat yang akan dibahas memakai pengertian seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 101/KPR-V/1996, bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0.25 Ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 % dan atau tanaman tahun pertama sebanyak 500 pohon tiap hektarnya. Pada umumnya hutan rakyat merupakan hutan buatan, melalui penanaman tanaman tahunan (tanaman keras) di lahan hak milik, baik secara perorangan, marga maupun kelompok.

Kalau kawasan hutan merupakan wilayah yang secara mandat dikuasai oleh Negara serta tanggung jawab pengelolaannya ada di tangan pemerintah, maka hutan rakyat ini merupakan hutan ynag berada di luar kawasan hutan yang akan berhasil dikembangkan atau tidak sangat tergantung pada kesediaan masyarakat untuk menjadikan lahannya sebagai hutan rakyat.

Harus diakui bahwa hutan-hutan rakyat yang telah berkembang secara tradisionil biasanya murni dikembangkan sebagian besar oleh masyarakat, sangat minim intervensi Pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi menurut masyarakat yang mengembangkannya, hutan rakyat cukup layak untuk diusahakan. Bahkan di beberapa tempat (khususnya di Jawa), kayu-kayu dari hutan rakyat merupakan tabungan yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan ekonomi yang mendesak (misal: biaya anak sekolah, biaya pernikahan, dll).

Melihat apa yang akan dan telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah, secara umum hutan rakyat mempunyai manfaat, antara lain:

a. Untuk Meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.

b. Memanfaatkan lahan tidak produktif secara maksimal dan lestari agar menjadi lahan yang subur sehingga akan lebih baik untuk usaha tani tanaman pangan

C. Meningkatkan produksi kayu dalam mengatasi kekurangan kayu bakar, kayu perkakas, bahan bangunan dan alat rumah tangga, termasuk untuk bahan baku industri perkayuan.

d. Menambah lapangan kerja bagi penduduk sekitar.

e. Membantu mempercepat usaha rehabilitasi lahan mewujudkan terbinanya lingkungan hidup sehat dan kelestarian SDA. Sedangkan pola yang secara umum dikembangkan, antara lain:

a. Pola hutan rakyat yang didominasi oleh satu jenis tanaman (al: Jati, akasia, mahoni, sengon) b. Pola hutan rakyat campuran didominasi 2 atau lebih jenis tanaman kehutanan.

c. Pola hutan rakyat Agroforestry merupakan hutan rakyat antara tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman hijauan makanan ternak, tanaman pangan semusim (al: jagung, ubi kayu), serta tanaman obat-obatan.

Tanaman kehutanan yang umum dapat dikembangkan untuk hutan rakyat, antara lain: untuk kayu bakar, untuk kayu pertukangan, untuk bahan baku industri, untuk diambil buahnya, untuk tujuan perbaikan hidroorologi.

Secara Nasional, hutan rakyat banyak diusahakan oleh rumah tangga pertanian di Pulau Jawa dibandingkan dengan luar jawa, serta potensinya lebih banyak terdapat di Jawa. Potensi hutan rakyat di Jawa mencapai sekitar 70 % dari seluruh potensi hutan rakyat di Indonesia.

YANG PERLU DILAKUKAN PEMERINTAH

Langkah awal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah terutama adalah pertama melakukan identifikasi lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai hutan rakyat, serta kedua melakukan pemilihan prioritas lokasi untuk fokus pengembangan hutan rakyat. Langkah awal ini penting dalam rangka untuk menghindari kesalahan pemilihan lahan dan lokasi pengembangan hutan rakyat yang dapat berakibat pada tidak terpenuhinya keinginan Pemerintah untuk membangun inisiatif masyarakat.


(5)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

b. Lahan pekarangan

c. Lahan di wilayah yang berpotensi sebagai kawasan lindung (al: daerah perbukitan, daerah berlereng terjal, wilayah sekitar sungai atau waduk)

d. Lahan yang secara tradisional telah lama dikembangkan usaha hutan rakyat.

Pemerintah perlu memetakan wilayah berpotensi tersebut, serta menyajikannya dalam informasi yang cukup memadai (al: disertai dengan deskripsi luas dan kondisinya, potensi tanaman kehutanan yang dapat dikembangkan, wilayah penyedia bibit terdekat dengan lokasi, potensi penyerap bahan baku dari kayu hutan rakyat dsb). Hasil pemetaan ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat sampai ke tingkat pelaksana. Sekaligus juga mempersiapkan dan menyediakan insentif dan kemudahan pengembangan hutan rakyat yang diperlukan.

Selanjutnya Pemerintah perlu menetapkan prioritas wilayah-wilayah yang akan dikembangkan. Penetapan prioritas ini untuk lebih menfokuskan perhatian Pemerintah pada keberhasilan pengembangan hutan rakyat bukan pada upaya untuk mengintervensi masyarakat dengan pemberian proyek-proyek yang berpotensi mematikan inisiatif masyarakat. Keberhasilan pada wilayah-wilayah prioritas akan dapat dijadikan “show window” sekaligus dapat dijadikan sebagai stimulus pengembangan hutan rakyat oleh masyarakat di tempat lain.

Pada tahap proses alamiah perputaran dan distribusi produksi dari hutan rakyat, Pemerintah berkewajiban untuk tetap menjaga prosesnya berlangsung secara berkeadilan, serta menjamin bahwa berkembangnya hutan rakyat atas inisiatif masyarakat tidak diintervensi oleh kekuatan modal dari luar yang akan menguasai proses perputaran dan distribusi produksi.

BENTUK INSENTIF UNTUK MENDORONG INISIATIF MASYARAKAT

Hal paling mendasar yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan insentif untuk pengembangan hutan rakyat adalah jangan sekali-kali dalam bentuk orientasi keproyekan atau “project oriented”. Sudah menjadi hal yang biasa bahwa birokrasi di pemerintahan cenderung selalu memanfaatkan peluang dan kesempatan suatu kegiatan untuk dijadikan proyek, dan sudah kasat mata terjadi bahwa apa-apa yang berorientasi keproyekan sebagian besar menemui kegagalan.

Bentuk inisiatif yang dapat dikembangkan untuk mendorong inisiatif masyarakat mengembangkan hutan rakyat, antara lain: a. Memberikan keringanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan kalau memungkinkan membebaskan PBB bagi

masyarakat yang mengusahakan hutan rakyat di lahan miliknya.

b. Membuat prosedur kemudahan dalam tata usaha peredaran kayunya. Kalau perlu dan memungkinkan peredaran kayu dari hutan rakyat bebas dari tata usaha kayu.

c. Menyediakan bibit-bibit gratis untuk masyarakat yang akan mengembangkan hutan rakyat.

d. Memberikan insentif perpajakan kepada industri-industri perkayuan yang terbukti nyata memanfaatkan hutan rakyat sebagai bahan bakunya.

e. Memberi ruang kebebasan kepada masyarakat yang mempunyai ide-ide untuk mengembangkan hutan rakyat

Apabila ingin ada insentif yang radikal untuk mengambangkan hutan rakyat, penulis mempunyai ide yang mungkin harus merubah paradigma yang selama ada dan berlaku di lingkungan Departemen Kehutanan. Ide tersebut adalah memanfaatkan dana Gerhan untuk “membeli” hutan rakyat.


(6)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B U L ET IN B U L E T IN Pelindung:

Kepala Badan Planologi Kehutanan

Pengarah :

Kepala Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan Sekretaris Badan Planologi Kehutanan Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan

Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Kepala Pusat Inventarisasi Dan Perpetaan Hutan Kepala Bidang Rencana Umum Kehutanan Kepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kehutanan Kepala Bidang StatistikKehutanan

Pemimpin Redaksi : Ketua :

Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr.

Sekretaris :

Tedi Setiadi, S.Hut.

Redaksi Pelaksana :

Ir. Ali Djajono, M.Sc. Ir. Watty Karyati Ir. Euis Fatimah Ir. Joko Kuncoro Ir. Lilit Siswanty Yuliarsyah, SP.,BSc.F.

Editor : Ketua :

Ir. Drs. Sudjoko Prayitno, MM.

Anggota :

Ir. Herman Kustaryo,MM. Ir. Endang Mahfud Drs. Sunuprapto,MSc.

Desain Grafis :

Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism Ade Wahyu, S.Hut. Efsa Caesariantika, A.Md. John Piter G. Lubis, S.Hut Popi Susan ,S.Hut

Kontributor :

Seluruh Staf Badan Planologi Kehutanan dan Mitra Badan Planologi Kehutanan

M EN U BU LET I N

M EN U BU LET I N

Apakah Pembangunan Kehutanan Telah Meningkatan Pendapatan Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan ?

Sisi Kemiskinan Dalam Rencana Kehutanan Jangka Panjang Menuju Basis Data Planologi Kehutanan yang Terintegrasi Hutan Rakyat : Pemberdayaan Hutan dan Rakyat yang

Bermartabat

Pariwisata Berbasis Masyarakat Perangkat Pembangunan Masyarakat Madani

Menengok Kembali Peristiwa Banjir Bandang.Bahorok. Apa Yang Perlu Dibenahi ?

Penyusunan Peta Digital Identifikasi Daerah Kebakaran Berdasarkan Bahan Kebakaran Hutan Sebagai Langkah Awal Penyusunan Basis Data Spasial

Intisari Hasil Kajian Pakar : Prospek Pengembangan Hasil Hutan Non-Kayu

Akselerasi Penyelarasan Fokus Kegiatan Kehutanan

Mendorong Inisiatif Masyarakat Untuk Membangun Hutan Rakyat

tercapai tapi keberhasilan tanamannya masih diragukan.

c. Proyek Gerhan ditengarai telah menjadi komoditas ekonomi dan politik (karena besarnya uang yang beredar) sehingga banyak kejadian lapangan yang menyimpang dari tujuan semula. Disamping itu peredaran uang yang terjadi tidak berdampak terlalu nyata untuk pengembangan ekonomi wilayah serta manfaatnya belum menyentuh masyarakat. d. Hutan rakyat merupakan tutupan (coverage) yang dapat menambah

tutupan lahan bervegetasi yang sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan di sekitarnya. Dan tutupan ini merupakan tujuan awal mengapa proyek Gerhan diluncurkan.

e. Atas dasar pertimbangan sederhana itu mengapa tidak kita manfaatkan dana yang begitu besar untuk langsung diberikan pada pihak-pihak (masyarakat) yang telah benar-benar melakukan proses penanaman tanaman kehutanan. Tentunya apabila ide ini bisa diterima perlu ditindak-lanjuti dengan prosedur detail dan perubahan peraturan perundangan, agar benar-benar manfaatnya langsung diterima masyarakat.

Inisiatif mandiri yang muncul dari masyarakat akan sangat besar membantu kinerja Pemerintah (khususnya Departemen Kehutanan) untuk mencapai kriteria-kriteria atau indikator keberhasilan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional maupun kebijakan Departemen Kehutanan yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Departemen Kehutanan.

*) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan

Ketidakpastian

Pre

-

determined

(

bisa

diduga

)

Interpretasi

1

Interpretasi

2

Interpretasi

3

Scenario 1

Scenario 2

Scenario 3

Implikasi

1

Implikasi

2

Implikasi

3

Kompetensi

&

strategi

/

kebijakan