Analisis hukum Islam terhadap pandangan ulama NU mengenai wali muhakkam atas dasar wali 'adal.
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP
PANDANGAN ULAMA NU MENGENAI WALI MUH{AKKAM
ATAS DASAR WALI ‘AD{AL
SKRIPSI
Oleh:
Muhammad Nur Hakim
NIM. C01211098
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM
PRODI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
SURABYA
2017
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan tentang ”Analisis
Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama NU Mengenai Wali
Muh}akkam Atas Dasar Wali ‘Ad}al.” Penelitian ini bertujuan untuk
menjawab dua pertanyaan penelitian., yaitu bagaimanakah pandangan
ulama NU mengenai wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al ? Dan
bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pandangan ulama NU
mengenai wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al ?
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang juga merupakan
penelitian kepustakaan sehingga sumber utamanya adalah literaturliteratur yang terkait dengan wali muh}akkam atas dasar wali ‘ad}al dalam
perkawinan baik dalam perspektif hukum Islam dan pandangan ulama NU
maupun literatur yang relefan terkait kasus-kasus perwalian dalam nikah.
Teknik analisa data penelitian ini menggunakan telnik deskriptif analisis
dengan pola pikir deduktif, yaitu teknik analisa dengan cara memaparkan
data apa adanya yang dalam hal ini data tentang pandangan ulama NU
terhadap wali muh{akkam, kemudian dianalisa dengan menggunakan teori
hukum fikih khususnya tentang wali dalam nikah. Sedangkan pola pikir
deduktif adalah pola pikir yang berangkat dari variabel data yang bersifat
umum, dalam hal ini teori hukum Islam tentang wali nikah kemudian
diaplikasikan kepada variabel yang bersifat khusus, dalam hal ini adalah
pandangan ulama NU.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dengan wali
muh}akkam terjadi karena calon suami istri terhalang menikah dengan
landasan wali nasab enggan (‘ad}al), tetapi tidak mau berurusan dengan
wali hakim dan ingin mengambil jalan mudah dalam melangsungkan
pernikahan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat pandangan ulama
terkait pernikahan dengan wali muh}akkam, ada yang menghukumi
pernikahan ini tidak sah karena masih ada wali hakim yang berwenang,
dan pernikahan demikian menimbulkan banyak kerugian terutama bagi
istri karena ketiadaan kekuatan hukum (buku nikah), kesulitan dalam
menuntut hak istri dan anak serta bagi anak karena akan kesulitan dalam
mengurus akta kelahiran. Dan ada juga yang menghukumi pernikahannya
sah dengan alasan keadaan darurat.
Mengacu pada hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang
dapat dikemukakan oleh peneliti adalah seharusnya pasangan calon
mempelai yang ingin menikah harus patuh dan taat dengan hukum Negara
yang belaku, jangan melakukan pernikahan dengan menggunakan wali
muh}akkam yang mana status hukum keabsahan nikahnya masih belum
jelas. Selain itu para pemuka agama harus berusaha untuk keluar dari
melakukan hal-hal yang bersifat ikhtilaf (muh}akkam) supaya
perbuatannya tidak menjadi kontroversial dan sorotan, karena sudah ada
ketentuan hukum yang mengatur masalah ini dalam perundangan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .....................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................
iii
PENGESAHAN ..........................................................................................
iv
MOTTO .......................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ........................................................................................
vi
ABSRAK .....................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
x
DAFTAR TRANSLITERASI ....................................................................... xiii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...........................................
12
C. Rumusan Masalah ..................................................................
13
D. Kajian Pustaka ........................................................................
13
E. Tujuan Penelitian ...................................................................
15
F. Kegunaan Hasil Penelitian ......................................................
15
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
G. Definisi Operasional ...............................................................
16
H. Metode Penelitian ..................................................................
18
I. Sistematika Pembahasan ........................................................
22
BAB II : Tinjauan Umum Tentang Wali Nikah Menurut Hukum Islam
(Fikih) ......................................................................................
23
A. Keberadaan Wali dalam Nikah ...............................................
23
B. Dasar Hukum Perwalian .........................................................
28
C. Syarat Wali Nikah ..................................................................
31
D. Urutan Wali Nikah .................................................................
33
BAB III : Pandangan Hukum Islam dan Ulama Nahdlatul Ulama (NU)
Mengenai Wali Muh{akkam Atas Dasar Wali Ad}al .....................
37
A. Biografi Ringkas Imam Syafii .................................................
37
B. Kedudukan Wali Muh}akkam Menurut Mazhab Syafii ............
40
C. Wali ‘Ad}al dalam Pernikahan Menurut Mazhab Syafii ...........
44
D. Sejarah Ringkas Organisasi Masyarakat Nahdlatul Ulama .....
45
1. Sejarah pembentukan NU .................................................
45
2. Struktur organisasi NU .....................................................
47
3. Lembaga-lembaga dalam NU ............................................
48
E. Tradisi Bahtsul Masail dalam NU ...........................................
50
F. Hasil Bahtsul Masail Syuriah PWNU Jatim Tentang Wali
Muh}akkam ..............................................................................
53
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1. Kronologis Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tentang
Wali Muh{akkam Yang Berlangsung Pada Tanggal 08-09
Februari 2013 di Pondok Pesantren Ma’had Ilmi Wal
‘Amal Tulungagung ..........................................................
53
2. Penjelasan Teks Bahtsul Masail Wali Muh{akkam .............
55
G. Hasil Bahtsul Masail Syuriah PWNU Jatim Tentang Wali
‘Ad}al ......................................................................................
61
1. Kronologis Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tentang
Wali Muh{akkam Yang Berlangsung Pada Tanggal 08-09
Februari 2013 di Pondok Pesantren Ma’had Ilmi Wal
‘Amal Tulungagung ..........................................................
61
2. Penjelasan Teks Bahtsul Masail Wali ‘Ad}al .....................
62
BAB IV : Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama NU
Mengenai Wali Muha{ kkam Atas Dasar Wali ‘Ad{al ....................
64
A. Wali Muha{ kkam Atas Dasar Wali ‘Ad{al Menurut Pandangan
Ulama NU ..............................................................................
64
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama NU
Tentang Wali Muha{ kkam Atas Dasar Wali ‘Ad{al ...................
70
BAB V: PENUTUP ..................................................................................
80
A. Kesimpulan ............................................................................
80
B. Saran ......................................................................................
81
DAFTAR PUSTAKA
BIODATA PENULIS
LAMPIRAN-LAMPIRAN
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam berkembang secara terus-menerus di berbagai negara, baik
itu negara muslim maupun bukan negara muslim yang minoritas
penduduknya muslim. Hal ini disebabkan selalu bermunculannya masalahmasalah baru di kalangan umat Islam, sehingga muncullah pembaharuanpembaharuan hukum Islam yang diberlakukan sejalan dengan perkembangan
zaman.
Alquran dan sunah tidak menjelaskan secara eksplisit dan implisit tiaptiap permasalahan kehidupan dengan jelas dan terperinci, tetapi hasil
pemikiran ulama dalam berijtihad menemukan hukum baru yang tetap
berdasar kepada dua kunci keselamatan hidup tersebut, terbukti mampu
memberikan solusi dalam kasus atau polemik yang terjadi dalam peri
kehidupan yang cenderung selalu berkembang dan dinamis.
Seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman, telah mempengaruhi
pemikiran para cendekiawan hukum dalam hal pemecahan masalah yang
sedang dialami dan mungkin akan terjadi pada waktu mendatang.
Pembaharuan hukum Islam dalam bidang perkawinan misalnya, walaupun
tidak ditemukan ayat dalam Alquran yang menjelaskan adanya kewajiban
pencatatan perkawinan, tetapi karena pertimbangan dari beberapa faktor
yang mungkin saja bisa dilakukan oleh baik suami atau istri dalam
1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
kehidupan rumah tangganya, hal ini menyebabkan lahirnya hukum Islam
baru yang mengharuskan adanya pencatatan perkawinan sesuai administrasi
negara yang sah, dengan harapan untuk mengurangi banyaknya pelanggaran
hak dan kewajiban dalam kehidupan berumah tangga.1
Dalam buku Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa perkawinan
merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan,
baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.2 Perkawinan
merupakan cara yang dipilih Allah
sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masingmasing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan.
Pada dasarnya hukum menikah adalah mubah (boleh).3 Akan tetapi,
hukum mubah ini bisa berubah menjadi salah satu dari empat hukum lain,
yaitu : wajib, haram, sunah, dan makruh, sesuai dengan situasi dan kondisi
seseorang yang akan melaksanakannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 3 :
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
1
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis
di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 146.
2
Sa’id bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah ( Hukum Perkawinan Islam ),
(Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 1.
3
Tolhah Ma’ruf, Fu’ad Hasan, dkk., Fiqh Ibadah (Panduan Lengkap Beribadah Versi
Ahlussunnah), 317.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa : 3).4
Dan juga sunah Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
ِ
ِ َﻋﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ,َﻋﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪاﻟ ﱠﺮ ْﺣﻤ ِﻦ ﺑْ ِﻦ ﻳ ِﺰﻳْ َﺪ
ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ
َ َﻗ,ﺎل
َ َاﷲ ﻗ
َ ﺎل ﻟَﻨَﺎ َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲ
ْ
ْ
َ
َ
ِ
ِ
ِ َﺸﺒ
ﺸ َﺮ اﻟ ﱠ
ﺼ ُﻦ
ﺎء َة ﻓَـﻠْﻴَﺘَـ َﺰﱠو ْج ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ أَﻏَ ﱡ
َ ﻳَ َﺎﻣ ْﻌ
َ َاﺳﺘَﻄ
ْ ﺼ ِﺮ َوأ
ْ ﺎب َﻣ ْﻦ
َ َﺣ
َ َﺾ ﻟﻠْﺒ
َ َﺎع ﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ اﻟْﺒ
ِ
(ﻟﺒﺨﺎري
)رواﻩ ا.ٌﺼ ْﻮِم ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ﻟَﻪُ ِو َﺟﺎء
َﻢ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱠ
ّ
ْ ﻟ ْﻠ َﻔ ْﺮ ِج َوَﻣ ْﻦ ﻟ
Artinya : Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, dari
Abdullah, ia berkata : Rasulullah Saw. bersabda kepada kami :
Wahai orang-orang muda, siapapun dari kamu semua yang sudah
mampu biaya nikah, maka nikahlah. Sesungguhnya nikah lebih
bisa menutup mata (dari melihat hal-hal yang haram) dan lebih
menjaga farji (dari zina). Bagi yang tidak mampu, berpuasalah,
sesungguhnya puasa itu bisa menjaga (dari zina). (H.R. Bukhori).5
Tentang melakukan perkawinan Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa
segolongan fukaha (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu wajib.
Ulama mazhab Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk
sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan
yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran
atau kesusahan dirinya.6
Perkawinan yang disyariatkan dalam agama Islam dapat dilihat dari 3
(tiga) sudut pandang yaitu: Pertama, dari sudut hukum, perkawinan
merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat. Kedua, dari sudut sosial,
4
Mushaf Al-Misykat, Alquran dan Terjemah Per Komponen Ayat, (Bandung: PT. Mizan Bunaya
Kreativa, 2011), 78.
5
Ibnu Rusyd, Bida>yatu al-Mujtahid wa Niha>yatu al-Muqtasid Juz 2, (Lebanon : Dar al-Hadits,
2004), 7.
6
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2009), 17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
perkawinan merupakan sarana sosial untuk meningkatkan status seseorang
dalam masyarakat. Ketiga, perkawinan merupakan suatu lembaga suci, sebab
pasangan suami istri itu dihubungkan dengan mempergunakan nama Allah.7
Sesungguhnya dalam realita menjalani kehidupan berumah tangga
tidaklah mudah untuk mendapatkan tujuan yang mulia dari sebuah
pernikahan atau perjanjian yang kuat tersebut. Agar tujuan dari perkawinan
tersebut tercapai secara sempurna, maka proses perkawinan harus sesuai
dengan syariat Islam yang telah ditentukam oleh agama. Di samping itu
untuk menghindari keterjerumusan kepada perbuatan yang tidak terpuji dan
untuk memperoleh ketentraman jiwa, maka pernikahan disyari’atkan juga
untuk melestarikan keturunan. Keturunan merupakan tujuan utama dalam
sebuah pernikahan, sedangkan hal-hal yang lain hanyalah sebagai faktor
pendukung bagi terwujudnya tujuan utama tersebut. Dari keturunan inilah
akan terbentuk masyarakat terkecil dalam sebuah kehidupan manusia.8
Masyarakat merupakan kumpulan orang hidup dalam suatu tempat yang
saling berinteraksi satu sama lain. Fungsi pemersatu dalam sebuah
masyarakat secara administratif dipegang oleh aparatur desa misalnya ketua
RT, kepala dusun atau dukuh, maupun kepala desa. Selain pemimpin
7
Asmin, Status Perkawinan Antara Agama Ditinjau Dari UU Perkawinan Nomor 1/1947,
(Jakarta: PT Dian Rakyat, 2009), 28.
8
Satria Effendi M Zain, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana
2004), 214.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
administratif tersebut juga terdapat pemersatu masyarakat secara simbolik
(moral, agama, kultural) yang dilaksanakan oleh para kiai.9
Kiai dalam kehidupan umat Islam tidak saja dinilai sebagai pemimpin
informal yang mempunyai otoritas sentral, tetapi juga dipandang sebagai
penerus Nabi Muhammad saw. Sebutan kiai tersebut diberikan oleh
masyarakat atas dasar keunggulan yang dimiliki oleh kiai itu sendiri, seperti
halnya kedalaman ilmunya, keagamaannya, keturunan, dan keunggulan
tersebut dipergunakan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Hal
tersebut menjadikan masyarakat banyak menggunakan kiai untuk dijadikan
sebagai wali dalam bidang keagamaan dan perkawinan. Padahal wali dalam
perkawinan adalah seorang yang memiliki kuasa mengawinkan seseorang
anak perempuannya. Keberadaan wali merupakan hal yang penting dalam
mengesahkan sesuatu perkawinan. Tanpa adanya wali atau izin kepada
wakilnya, sesuatu perkawinan itu di hukumi tidak sah atau batal. Hukum ini
adalah merujuk kepada sebuah sunah yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., dia
berkata: Rasulullah saw., bersabda setiap wanita yang menikah tanpa izin
dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasullullah saw., mengulanginya
hingga tiga kali, apa bila ia menggaulinya maka wanita tersebut berhak
mendapatkan mahar (maskawin). Apa bila terjadi perselisihan (wali nasab
enggan), maka penguasalah (dalam hal ini yang dimaksud adalah Hakim
9
M. Khanif, Kiai Kampung dan Demokrasi Lokal, (Yokyakarta: KLIK.R, 2007), 16-17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
Pengadilan Agama) yang menjadi wali bagi mereka yang tidak mempunyai
wali. (HR. Abu daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dari Aisyah).10
Merujuk pada sunah di atas, jika sebuah pernikahan tanpa seizin wali
maka hukum pernikahanya tidak sah atau batal, dan berhak untuk
mendapatkan mahar bagi perempuan bila disetubuhinya. Namun jika wali
bagi mempelai wanita tidak dapat menjadi wali yang disebabkan kurangnya
syarat sahnya menjadi wali, maka wali nasab hendaknya mewakilkan
perwaliannya kepada orang lain.
Para ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan wali dalam
pernikahan. Apakah wali itu sesuatu yang diperlukan adanya untuk sahnya
akad nikah ataukah tidak.
Menurut jumhur ulama wali adalah salah satu
rukun nikah, tidak sah pernikahan yang tidak dilakukan oleh wali. Akad
nikah yang dilakukan oleh wanita yang sudah balig, baik ia gadis ataupun
janda, maka akad nikahnya tidak sah. Tetapi menurut mazhab Hanafi, akad
nikah yang dilakukan oleh wanita yang sudah balig/dewasa dan cerdik
(berakal sehat) adalah sah secara mutlak. Yang dimaksud mutlak ialah,
apakah wanita itu gadis atau janda, atas ijin walinya atau tidak, baik ia
ucapkan langsung atau mewakilkan kepada wanita lain atau kepada laki-laki
yang bukan walinya.11
10
Imam Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy’ari al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Jilid 2 , (Surabaya :
Maktabah Dahlan, 2009). 229.
11
Ibn Rusyd, Bida>yat al-Mujtahid , Jilid II, Alih bahasa Abdurrahman, (Semarang: Asy Syifa,
1990), 365.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
Pengertian wali dalam arti umum adalah orang yang menurut hukum
dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara,
mengawasi dan menguasai suatu persoalan. Perwalian disebut juga wilayah
yang berarti penguasaan dan perlindungan. Dalam definisi lain dijelaskan
wali adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi mengurus
anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.12 Pengertian wali dalam
negara bisa berarti Kepala Pemerintah.13
Sedangkan menurut istilah, wali adalah pertanggung jawaban tindakan,
pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang ada di
bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta
kekayaannya. Wali dalam konteks pernikahan adalah pengasuh pengantin
perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan
pengantin laki-laki). Adanya perwalian sangatlah penting karena wali
menentukan keabsyahan nikah, namun wali disini tidak bersifat kaku
melainkan bersifat fleksibel. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bagian
ketiga membahas tentang wali nikah secara detail dalam pasal 19 dan 20,
sebagaimana yang ada di bawah ini :
Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.
Pasal 20 (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan balig}. (2)
Wali nikah terdiri dari ; a. Wali nasab; b. Wali hakim.
12
Abdul Roman Ghozali, Fiqih Munakahat,( Jakarta: Kencana, 2003), 165.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), 1123.
13
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
Jika tidak ada wali nasab yaitu terdiri dari empat urutan dalam kedudukan
kekerabatan dengan calon mempelai perempuan, empat kedudukan itu
diantaranya adalah, pertama, garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dan
seterusnya ke atas. Kedua, jalur kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah dan keturunannya. Ketiga, kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki kandung seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara lakilaki seayah dan keturunan laki-laki mereka.14 Jika dari wali nasab tidak ada
atau adanya wali nasab namun wali nasab tersebut enggan untuk
menikahkan putrinya (wali ‘ad{al), maka alternatif lain ia bisa menikah
menggunakan wali hakim.
Wali hakim tidak serta merta dapat bertindak menjadi wali nikah
melainkan harus mengetahui adanya wali nasab atau tidak, seperti yang
diatur dalam pasal 23 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam bahwa wali
hakim baru bisa bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
atau gaib atau ‘ad{al. Dalam hal ini ‘ad{al atau enggannya wali nasab, maka
wali hakim baru dapat bertindak setelah ada putusan pengadilan agama
tentang ‘ad}al-nya wali tersebut.
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo, 1992),
Pasal 21 ayat 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
Wali hakim adalah wali yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat
yang ditunjuk olehnya. Namun dalam prakteknya pernikahan yang terjadi di
masyarakat juga menggunakan wali muh{akkam, dalam hal ini wali
pernikahan merupakan wali yang ditunjuk oleh kedua belah mempelai baik
laki-laki ataupun perempuan sebagai pengganti wali nasab atau wali hakim,
yang mana dalam hal penunjukan wali muh}akkam ini biasanya mereka
menunjuk seorang tokoh masyarakat atau pemuka agama (kiai) yang
menurutnya mengetahui dalam seluk beluk hukum fikih untuk dijadikan
sebagai wali dalam pernikahan mereka.15
Biarpun demikian, bukan lagi hal yang baru bagi kita tentunya mendengar
tentang kasus-kasus dalam rumah tangga di masyarakat kita mengenai
pernikahan yang terjadi tanpa izin orang tua. Di Indonesia kawin lari atau
kawin tanpa izin orang tua adalah hal yang sering terjadi dan memang
menjadi suatu hal yang tidak tabu lagi untuk dibicarakan. Banyak kita
jumpai di media sosial seperti koran, internet, maupun berita di televisi
terkait kawin lari atau nikah bawah tangan. Seperti yang terjadi di daerah
Jakarta, Garut, Semarang, Malang, Sidoarjo, Surabaya dan sekitarnya sering
kita dengar berita yang mengisahkan nikah bawah tangan (nikah siri) yang
dilakukan oleh masyarakat baik dari kalangan pejabat pemerintahan,
selebriti, bahkan orang awam. Semisal kisah hubungan perkawinan Tommy
Kurniawan dan Fatimah Tania Nadira memang berat karena tidak adanya
15
Deprtemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah , (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf,1996/1997), 30.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
persetujuan dari orang tua pihak wanita. Meski demikian, keduanya tidak
menyerah dan memutuskan menikah secara siri yang berlangsung tanpa
dihadiri orang tua Fatimah sebagai wali yang sah. Pasangan ini baru
mengajukan isbat pada tahun 2014 lalu.16
UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi kenyataan yang terjadi di
negara ini, fenomena perkawinan yang berlangsung tanpa mengikuti aturan
perundangan yang telah ditetapkan negara masih banyak terjadi di
masyarakat. Peraturan Mentri Agama Nomor 30 tahun 2005 yang mengatur
tentang wali hakim, isinya bahwa ‘ad{al-nya wali merupakan salah satu
syarat atau keadaan dibolehkannya wali hakim sebagai wali dalam
perkawinan calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki dan
dalam menyatakan ‘ad{al-nya seorang wali tersebut diperlukan penetapan dari
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.
Hal ini masih saja dilanggar oleh sebagian masyarakat dengan memilih
menggunakan wali muh}akkam sebagai wali dalam melaksanakan pernikahan.
Kesadaran akan hukum dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya
hukum baik syariat maupun formil yang begitu rendah menjadi alasan
terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan peraturan negara ini. Kasus
16
“Ternyata Nikah Siri, Tomy Kurniawan Resmikan Perkawinan Lewat Sidang”, dalam
http://hot.detik.com/celeb/d-2675201/ternyata-nikah-siri-tommy-kurniawan-resmikan perkawinanlewat-sidang. adm, diakses pada 27 Juli 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
perkawinan yang menggunakan kiai sebagai wali muh{akkam, ini jelas
melanggar pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun
1987 yang isinya:
1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat
Nikah ditunjuk wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan
mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
2. Apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan
Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agma
menunjuk Wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara
menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Banyaknya kasus pernikahan yang terjadi tanpa menghiraukan peraturan
seperti latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
lebih lanjut dengan judul Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama
NU Mengenai Wali Muh{akkam Atas Dasar Wali ‘Ad{al.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Melalui latar belakang tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan
yang dapat peneliti identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Pentingnya pencatatan pernikahan.
2. Tujuan pernikahan menurut hukum Islam.
3. Macam-macam wali menurut pandangan ulama.
4. Alasan tentang penolakan wali nasab sebagai wali nikah.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
5. Peran kiai sebagai wali muh{akkam.
6. Status anak dari pernikahan karena wali ‘ad{al.
7. Pandangan ulama NU mengenai wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al.
8. Tinjauan hukum Islam pandangan ulama NU dengan wali muh{akkam atas
dasar wali ‘ad{al.
Adapun batasan masalah yang menjadi fokus penulis dalam penelitian ini,
yaitu mengkaji tentang :
1. Pandangan ulama NU mengenai wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap pandangan ulam NU tentang wali
muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al.
3. Status hukum pernikahan, anak dan hak warisnya dari hasil pernikahan
yang terjadi karena wali ‘ad{al.
C. Rumusan Masalah
Melalui latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah tersebut di atas,
maka rumusan masalah yang akan penulis kaji dalam penelitian ini, yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan ulama NU mengenai wali muh{akkam atas dasar
wali ‘ad{al ?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pandangan ulama NU tentang
wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al ?
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa
sumber yang membicarakan tentang permasalahan yang ada kaitannya
dengan penelitian yang peneliti lakukan, adapun masalah tersebut
diantaranya sebagai berikut:
1. Skripsi yang ditulis oleh Lailatul Masruroh Mahasiswi IAIN Sunan
Ampel Surabaya, Studi Putusan Pengadilan Agama Sumenep Nomor
07/Pdt.P/PA.Smp.yang meneliti mengapa perkara wali ‘ad{al sering
dimenangkan oleh anak dibanding pihak orang tua dan kebijakankebijakan dari Pengadilan Agama Sumenep untuk mengatasi problem
orang tua terhadap anak dalam masalah wali ‘ad{al yang memfokuskan
kepada putusan Pengadilan.17
2. Analisis Hukum Islam Tentang Perkara Wali ‘Ad{al Dikarenakan Berbeda
Marga di Pengadilan Agama Surabaya. Skripsi yang ditulis oleh Ghin
Hismania yang meneliti tentang kasus wali ‘ad{al karena berbeda marga
yang menerangkan bagaimana golongan syarifah yang tidak mau
menerima golongan yang lain untuk menjadi pasangan bagi salah satu
dari golongannya karena beranggapan tidak sekufu.18
17
Lailaatul Masruroh, “ Studi Putusan Pengadilan Agama Sumenep No: 07/Pdt.P/PA. Smp”
(Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2009), 10.
18
Ghin Hismania, “Analisis Hukum Islam Tentang Perkara Wali Ad{al Dikarenakan Berbeda
Marga di Pengadilan Agama Surabaya”(Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2010).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
3. Skripsi yang ditulis oleh Sugeng Rianto Mahasiswa IAIN Sunan Ampel
dengan judul Studi Tentang Pendapat Yusuf Qardhawi tentang Wali
Mujbir, yang mana skripsi ini membahas tentang kerelaan anak dan
keluarga sama-sama pentingnya menurut pandangan Yusuf Qardhawi.19
4. Peran Kiai Sebagai Wali Muh{akkam (Studi Kasus di Desa Sukabumi,
Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo), Skripsi Alwi Sihab UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, hasil penelitian menunjukkan bahwa
peran kiai sebagai wali muh{akkam dipergunakan oleh mempelai
pengantin dengan pertimbangan hamil prapernikahan, kawin lari,
masalah poligami, tidak memenuhi syarat undang-undang serta
ekonomi.20
Adapun perbedaan skripsi ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa
skripsi ini menjelaskan tentang dasar hukum wali muh{akkam menurut ulama
mazhab Syafii yang berfokus kepada bolehnya seorang kiai menikahkan
wanita atas dasar wali nasab yang ‘ad{al untuk menjaga keselamatan agama.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti kaji dalam penelitian ini,
maka penulisan penelitian ini bertujuan untuk:
19
Sugeng Rianto, “Studi Tentang Pendapat Yusuf Qardhawi tentang Wali Mujbir” (Skripsi—
IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2011).
20
Alwi Sihab, “Peran Kiai Sebagai Wali Muh{akkam (Studi Kasus di Desa Sukabumi, Kecamatan
Mayangan, Kota Probolinggo)” (Skripsi—UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang 2013).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
1. Mengetahui pandangan ulama NU tentang wali muh{akkam atas dasar
wali ‘ad{al.
2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pandangan ulama NU tentang
wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat
memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai
berikut:
1. Teoritis:
Secara teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih khazanah keilmuan, khususnya dalam hukum Islam terkait
penikahan dengan wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al, dan penelitian ini
dapat dijadikan sebagai literatur atau referensi, bagi peneliti selanjutnya
maupun bagi pemerhati hukum Islam dalam memahami hukum nikah
dengan wali muh{akkam.
2. Praktis:
Secara praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat
memberikan
manfaat
dan
berguna
bagi
masyarakat,
khususnya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
masyarakat dan pemerhati atau peneliti lebih lanjut tentang hukum nikah
dengan wali muh{akkam.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan penelitian ini,
dan untuk berbagai pemahaman interpretatif yang bermacam-macam, maka
peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian
ini, sebagai berikut:
1. Hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang diturunkan Allah Swt.,
untuk manusia melalui Nabi Muhammad saw., baik berupa Alquran
maupun sunnah Nabi.21 Dalam penelitian ini, hukum Islam yang
dimaksud adalah hukum fikih mazhab Syafii.
2. Ulama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang ahli
dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Menurut istilah Ulama
diartikan sebagai seorang yang memiliki ilmu pengetahuan yang
mendalam mengenai Alquran dan sunah serta menerapkan Alquran dan
sunah dalam kehidupannya.22 Dalam penelitian ini yang dimaksud
dengan ulama NU adalah seorang tokoh yang menjadi pengurus dalam
oraganisasi NU, di samping juga sebagai pengasuh Pondok Pesantren
Salaf yang mana dalam pelaksanaan ubudiyahnya berdasarkan kebiasaankebiasaan yang digagas oleh organisasi NU.
21
Ahmed el- Ghandur, “Prespektif Hukum Islam, diterjemahkan oleh Ma’mun Muhammad Murai
dari Al- Madkhal lla as- Shariat al- Islamiyah”, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006), 7.
22
Admin, “Pengertian Ulama”, dalam https://googlewiblight.Com. Html, diakses pada 1 Februari
2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
3. Wali muh{akkam adalah wali nikah yang dilakukan oleh penguasa
terhadap wanita yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada, baik
karena tidak punya, karena sudah meninggal, atau karena menolak
menjadi wali.23 Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai wali
muh{akkam adalah seorang kiai atau tokoh agama.
4. Wali ‘ad{al adalah wali yang enggan atau menolak untuk menikahkan
anaknya atau tidak mau menjadi wali dalam pernikahan anak
perempuannya yang berada di bawah perwaliannya tanpa adanya alasan
yang ada dalam syariat.24
H. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka, yaitu penelitian terhadap
pandangan hukum Islam dan ulama Nahdlatul Ulama terkait wali muh{akkam
atas dasar wali ‘ad{al.
1. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan judul dan rumusan masalah dalam penulisan penelitian
ini, maka data-data yang akan dimpulkan oleh peneliti dalam penelitian
ini yaitu sebagai berikut:
a. Data primer
1) Pandangan hukum Islam (fikih) dan ulama NU tentang keberadaan
wali dalam pernikah
23
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1999), 25.
Husain bin Aurah al Awasiyah, al- Maushu’ah al Fiqhiyah al Muyassaroh, Juz v ,(terjemah al
maktabah samilah dari Ibn Hazm), 138.
24
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
2) Pandangan hukum Islam (fikih) dan ulama NU tentang dasar
hukum, syarat dan rukun dalam pernikahan
3) Pengertian wali muh{akkam
4) Pengertian wali ‘ad{al
5) Hukum pernikahan dengan wali muh{akkam.
b. Data sekunder
1) Tujuan pernikahan menurut KHI dan UU
2) Syarat dan rukun pernikahan menurut KHI dan UU
3) Wali muh{akkam menurut KHI
4) Hukum pernikahan dengan wali muh{akkam menurut KHI
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan
dalam dua kategori, yaitu :
a. Sumber primer
Sumber primer adalah sumber yang langsung diperoleh dari
subyek penelitian pustaka. Dalam hal ini sumber primer adalah:
1) Dokumen Bahstul Masail.
2) Husein Muhammad, Fikih Perempuan.
3) Muhammad Jawwad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab
4) Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
5) Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
6) Sayyid Alawy Bin Ahmad Al-Saqqaf, Al-Fawa>id al-Makiyyah fi
Sab’ah al-Kitab al-Mufi>dah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
7) Sayyid al-Bakri al-Dimyathi, I’anah at}-T}alibi>n ‘Ala Hal al-Faz}i
Fath}ul Mu’i>n
8) Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fath}ul Mu’i>n Bisyarh}i
Qurrota al-‘Ain Bi Muhimma>ti al-Di>n
9) Sayyid Abdurrahman Ba’Alawi, Bughyah al-Mustarsyidi>n
b. Sumber sekunder
1) M. Nuruzzamam, Kyai Husein Membela Perempuan
2) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara
Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan
3) Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam
4) Kompilasi Hukum Islam
5) Amir Syarifuddin, Garis Besar Fiqih
6) Muhammad bin Isa , Sunan at-Turmudzi
3. Teknik pengumpulan data
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Karena itu, pengumpulan
data akan dilakukan dengan dokumentasi dan telaah pustaka.
a. Dokumentasi: Dalam hal ini peneliti membaca, menelaah dokumen,
arsip, biografi dan buku-buku karya subyek penelitian yang sesuai
dengan permasalahan yang hendak dikaji yaitu terkait wali muh{akkam
dengan dasar wali ‘ad{al.
b. Telaah Pustaka: Dalam hal ini penulis mengumpulkan dan menelaah
dokumen-dokumen, arsip, juga buku-buku yang terkait dengan judul
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
penelitian, yakni tentang pernikahan dengan wali muh{akkam atas dasar
wali ‘ad{al.
4. Teknik pengolahan data
Untuk mempermudah peneliti dalam menganalisa data-data yang
telah dikumpulkan, maka peneliti menganggap perlu melakukan
pengolahan data melalui beberapa teknik sebagai berikut:
a.
Pengeditan : yaitu memeriksa kelengkapan data-data yang sudah
diperoleh. Data-data yang sudah diperoleh diperiksa dan dieedit
apabila tidak terdapat kesesuaian atau relevansi dengan kajian
penelitian. Dalam hal ini penulis mengedit tentang permasalahn
seputar wali muh{akkam.
b.
Pengkategorisasian : yaitu dengan mengkategorisasikan atau
mensistematisasikan data. Data yang sudah diedit kemudian
diorganisasikan sesuai dengan pendekatan dan bahasan yang telah
dipersiapkan. Dalam hal ini penulis mengorganisir masalah
pernikahan, pengertian wali muh{akkam dan wali ‘ad{al serta
hukumnya menurut fikih dan hukum materiil.
c.
Analizing: yaitu tahapan analisis dan perumusan terkait tinjauan
hukum Islam terhadap pandangan ulama mengenai wali muh{akkam
atas dasar wali ‘ad{al.
5. Teknik analisa data
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
Setelah seluruh data-data yang dibutuhkan oleh peneliti terkumpul
semua dan sudah diolah melalui teknik pengolahan data yang digunakan
oleh peneliti, kemudian data-data tersebut dianalisis. Bogdan menyatakan
bahwa analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, cacatan lapangan, dan bahanbahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat mudah
diinformasikan kepada orang lain.
Teknik analisa data penelitian ini menggunakan telnik deskriptif
analisis dengan pola pikir deduktif, yaitu teknik analisa dengan cara
memaparkan data apa adanya yang dalam hal ini data tentang pandangan
ulama NU terhadap wali muh{akkam, kemudian dianalisa dengan
menggunakan teori hukum fikih khususnya tentang wali dalam nikah.
Sedangkan pola pikir deduktif adalah pola pikir yang berangkat dari
variabel data yang bersifat umum, dalam hal ini teori hukum Islam
tentang wali nikah kemudian diaplikasikan kepada variabel yang bersifat
khusus, dalam hal ini adalah pandangan ulama NU.
I.
Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulis dalam menyusun penelitian ini secara
sistematis, dan mempermudah pembaca dalam memahami hasil penelitian ini,
maka penulis mensistematisasikan penulisan penelitian ini menjadi beberapa
bab, sebagai berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
Bab pertama yang berisi tentang pendahulun, dalam bab ini penulis
memaparkan seluruh isi penelitian secara umum yang terdiri dari latar
belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua yang berisi landasan teori, dalam bab ini peneliti akan
membahas tinjauan umum tentang wali nikah menurut fikih. Terdiri dari
keberadaan wali nikah dan dasar hukum perwalian menurut mazhab Syafii,
syarat wali nikah, dan urut-urutan wali nikah.
Bab ketiga membahas mengenai biografi ringkas tentang Imam Syafii,
pandangan mazhab Syafii tentang keberadaan wali muh{akkam, wali ‘ad}al
dalam pernikahan, sejarah berdirinya NU, tradisi bahtsul masail dalam NU,
hasil bahtsul masail tentang wali muh{akkam, dan hasil bahtsul masail tentang
wali ‘ad}al
Bab keempat yang merupakanan analisis terhadap pandangan ulama NU
tentang wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al, dan analisis hukum Islam
terhadap pandangan ulama NU tentang wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad}al.
Bab kelima merupakan bab terakhir dan sebagai penutup yang akan
menggambarkan apresiasi dari apa yang menjadi pokok kajian dalam
penelitian ini yang di dalamnya berisi kesimpulan dan saran.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH MENURUT HUKUM ISLAM
(FIKIH)
A. Keberadaan Wali dalam Nikah
Hukum pernikahan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam
karena mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang merupakan inti
kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk
yang
berkehormatan
melebihi
makhluk-makhluk
lainnya,
dan
juga
merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib ditaati serta
dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan
sunah Rasul.1
Hukum pernikahan merupakan bagian dari hukum Islam yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang hal pernikahan, yakni bagaimana proses dan
prosedur
menuju
terbentuknya
ikatan
pernikahan,
bagaimana
cara
menyelenggarakan akad pernikahan menurut hukum, bagaimana cara
memelihara ikatan lahir batin yang telah diikrarkan dalam akad pernikahan
sebagai akibat yuridis dari adanya akad itu, bagaimana cara mengatasi krisis
rumah tangga yang mengancam ikatan lahir batin antara suami isteri,
bagaimana proses dan prosedur berakhirnya ikatan pernikahan, serta akibat
yuridis dari berakhirnya pernikahan, baik yang menyangkut hubungan hukum
antara bekas suami dan isteri, anak-anak mereka dan harta mereka.
1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004), 1-2.
23
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
Yang menjadi pokok kajian dalam penelitian ini adalah masalah wali
dalam pernikahan menurut mazhab Syafii dan ulma NU. Perwalian dalam
istilah bahasa adalah wa>li yang berarti menolong yang mencintai. 2 Kata
perwalian berasal dari kata wali, dan jamak dari awliya>. Kata ini berasal dari
bahasa arab yang berarti teman, klien, sanak atau pelindung. Dalam literature
fikih Islam disebut dengan al-wala>yahi (al-wila>yah), orang yang mengurus
atau yang menguasai sesuatu.3 Perwalian dalam istilah fikih disebut wila>yah,
yang berarti penguasaan dan perlindungan.
Adapun perwalian dalam terminologi para fukaha (pakar hukum Islam),
seperti disebutkan Wahbah al-Zuhayli ialah kekuasaan/otoritas yang dimiliki
seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa
harus bergantung pada izin orang lain. Jadi perwalian menurut fikih ialah
penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk
menguasai dan melindungi orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan
perwalian disebut wali.
Untuk memperjelas pengertian tentang perwalian, maka penulis
memaparkan beberapa pengertian antara lain, perwalian yang berasal
dari kata wali mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua
yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir, (Jogjakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir,
1984), 1960.
3
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), 134.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
belum akil balig} dan melakukan perbuatan hokum. 4 Sedangkan menurut
Amin Suma perwalian adalah kakuasaan atau otoritas yang dimiliki
seseorang untuk secara langsung melakukan tindakan sendiri tanpa harus
bergantung (terikat) atas izin orang lain.5
Dedi Junaedi menyatakan bahwa perwalian dalam Islam dibagi
menjadi dua kategori yaitu : Perwalian umum biasannya mencakup
kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) seperti waliy al amri (dalam
arti Gubernur atau yang lainnya). Sedangkam perwalian khusus ialah
perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti terhadap anak
yatim. 6 Sayyid Sabiq juga mengklasifikasikan wali menjadi dua golongan,
menurutnya wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan
pada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, selanjutnya menurut
beliau wali ada yang khusus dan ada yang umum, yang khusus adalah
yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.7
Berbeda dari pengertian di atas, kamus praktis bahasa Indonesia,
wali berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban
mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa atau
pengasuh
pengantin
perempuan
pada
waktu
nikah
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
8
(orang
yang
Senada dengan
4
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum
Islam dan Hukum Adat, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2002), 60.
5
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
GrafindoPersada, 2005), 134.
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Cetakan pertama (Jakarta : Akademika Pressindo, 2000),
104.
7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), 7.
8
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1996), 176.
6
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ali Afandi menuturkan perwalian adalah
pengawasan pribadi dan pengurusan terhadap harta kekayaan seorang
anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua. Jadi dengan demikian anak yang orang tuannya telah bercerai
atau salah satu dari mereka meninggal dunia, ia berada dibawah
perwalian.9
Muhammad Jawad al-Mugniyah memberi pengertian wali adalah
seorang yang diberi kewenangan atau kekuasaan sesuai syariat atas
segolongan
manusia,
hal
tersebut
dikarenakan
adanya
kekurangan
tertentu pada orang tertentu. 10 Sedangkan Abdur Rahman al-Jaziri dalam
kitabnya Fiqh ‘Ala> Maz}a>hib al-‘Arba’ah mendefinisikan wali dalam nikah
adalah orang yang mempunyai puncak kebijaksanaan atas keputusan yang
baginya menentukan sahnya akad (pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad
tanpa dengannya, ia adalah ayah atau kuasanya dan kerabat yang melindungi,
mu’tik, sult}an dan penguasa yang berwenang. 11 Mustofa Hasan seirama
dengan pernyataan dari Abdur Rahman al-Jaziri, beliau menyatakan wali
dalam nikah adalah orang yang berhak menikahkan karena adanya pertalian
darah secara langsung dengan pihak mempelai perempuan.12
Jadi wali dalam nikah adalah seorang laki-laki yang berwenang
untuk menikahkan calon mempelai perempuan akibat hubungan darah, yang
9
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Kleuarga, Hukum Pembuktian, ( Jakarta: Rineka Cipta,
1997), 156.
10
Muhammad Jawad al-Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, ( Jakarta: Lentera, 2011), 345.
11
Abdur Rohman al-Jaziri, Fiqih ‘Ala Mazhibil Arba’ah, Jilid 4 (Kairo: Darul Haditst, 2004), 26.
12
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung ; Pustaka Setia, 2011), 98.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
berhak menjadi wali adalah kelompok kerabat laki-laki lurus ke atas
(ayah, kakek dan sete
PANDANGAN ULAMA NU MENGENAI WALI MUH{AKKAM
ATAS DASAR WALI ‘AD{AL
SKRIPSI
Oleh:
Muhammad Nur Hakim
NIM. C01211098
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM
PRODI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
SURABYA
2017
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan tentang ”Analisis
Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama NU Mengenai Wali
Muh}akkam Atas Dasar Wali ‘Ad}al.” Penelitian ini bertujuan untuk
menjawab dua pertanyaan penelitian., yaitu bagaimanakah pandangan
ulama NU mengenai wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al ? Dan
bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pandangan ulama NU
mengenai wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al ?
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang juga merupakan
penelitian kepustakaan sehingga sumber utamanya adalah literaturliteratur yang terkait dengan wali muh}akkam atas dasar wali ‘ad}al dalam
perkawinan baik dalam perspektif hukum Islam dan pandangan ulama NU
maupun literatur yang relefan terkait kasus-kasus perwalian dalam nikah.
Teknik analisa data penelitian ini menggunakan telnik deskriptif analisis
dengan pola pikir deduktif, yaitu teknik analisa dengan cara memaparkan
data apa adanya yang dalam hal ini data tentang pandangan ulama NU
terhadap wali muh{akkam, kemudian dianalisa dengan menggunakan teori
hukum fikih khususnya tentang wali dalam nikah. Sedangkan pola pikir
deduktif adalah pola pikir yang berangkat dari variabel data yang bersifat
umum, dalam hal ini teori hukum Islam tentang wali nikah kemudian
diaplikasikan kepada variabel yang bersifat khusus, dalam hal ini adalah
pandangan ulama NU.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dengan wali
muh}akkam terjadi karena calon suami istri terhalang menikah dengan
landasan wali nasab enggan (‘ad}al), tetapi tidak mau berurusan dengan
wali hakim dan ingin mengambil jalan mudah dalam melangsungkan
pernikahan. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat pandangan ulama
terkait pernikahan dengan wali muh}akkam, ada yang menghukumi
pernikahan ini tidak sah karena masih ada wali hakim yang berwenang,
dan pernikahan demikian menimbulkan banyak kerugian terutama bagi
istri karena ketiadaan kekuatan hukum (buku nikah), kesulitan dalam
menuntut hak istri dan anak serta bagi anak karena akan kesulitan dalam
mengurus akta kelahiran. Dan ada juga yang menghukumi pernikahannya
sah dengan alasan keadaan darurat.
Mengacu pada hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang
dapat dikemukakan oleh peneliti adalah seharusnya pasangan calon
mempelai yang ingin menikah harus patuh dan taat dengan hukum Negara
yang belaku, jangan melakukan pernikahan dengan menggunakan wali
muh}akkam yang mana status hukum keabsahan nikahnya masih belum
jelas. Selain itu para pemuka agama harus berusaha untuk keluar dari
melakukan hal-hal yang bersifat ikhtilaf (muh}akkam) supaya
perbuatannya tidak menjadi kontroversial dan sorotan, karena sudah ada
ketentuan hukum yang mengatur masalah ini dalam perundangan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .....................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................
iii
PENGESAHAN ..........................................................................................
iv
MOTTO .......................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ........................................................................................
vi
ABSRAK .....................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
x
DAFTAR TRANSLITERASI ....................................................................... xiii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...........................................
12
C. Rumusan Masalah ..................................................................
13
D. Kajian Pustaka ........................................................................
13
E. Tujuan Penelitian ...................................................................
15
F. Kegunaan Hasil Penelitian ......................................................
15
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
G. Definisi Operasional ...............................................................
16
H. Metode Penelitian ..................................................................
18
I. Sistematika Pembahasan ........................................................
22
BAB II : Tinjauan Umum Tentang Wali Nikah Menurut Hukum Islam
(Fikih) ......................................................................................
23
A. Keberadaan Wali dalam Nikah ...............................................
23
B. Dasar Hukum Perwalian .........................................................
28
C. Syarat Wali Nikah ..................................................................
31
D. Urutan Wali Nikah .................................................................
33
BAB III : Pandangan Hukum Islam dan Ulama Nahdlatul Ulama (NU)
Mengenai Wali Muh{akkam Atas Dasar Wali Ad}al .....................
37
A. Biografi Ringkas Imam Syafii .................................................
37
B. Kedudukan Wali Muh}akkam Menurut Mazhab Syafii ............
40
C. Wali ‘Ad}al dalam Pernikahan Menurut Mazhab Syafii ...........
44
D. Sejarah Ringkas Organisasi Masyarakat Nahdlatul Ulama .....
45
1. Sejarah pembentukan NU .................................................
45
2. Struktur organisasi NU .....................................................
47
3. Lembaga-lembaga dalam NU ............................................
48
E. Tradisi Bahtsul Masail dalam NU ...........................................
50
F. Hasil Bahtsul Masail Syuriah PWNU Jatim Tentang Wali
Muh}akkam ..............................................................................
53
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1. Kronologis Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tentang
Wali Muh{akkam Yang Berlangsung Pada Tanggal 08-09
Februari 2013 di Pondok Pesantren Ma’had Ilmi Wal
‘Amal Tulungagung ..........................................................
53
2. Penjelasan Teks Bahtsul Masail Wali Muh{akkam .............
55
G. Hasil Bahtsul Masail Syuriah PWNU Jatim Tentang Wali
‘Ad}al ......................................................................................
61
1. Kronologis Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tentang
Wali Muh{akkam Yang Berlangsung Pada Tanggal 08-09
Februari 2013 di Pondok Pesantren Ma’had Ilmi Wal
‘Amal Tulungagung ..........................................................
61
2. Penjelasan Teks Bahtsul Masail Wali ‘Ad}al .....................
62
BAB IV : Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama NU
Mengenai Wali Muha{ kkam Atas Dasar Wali ‘Ad{al ....................
64
A. Wali Muha{ kkam Atas Dasar Wali ‘Ad{al Menurut Pandangan
Ulama NU ..............................................................................
64
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama NU
Tentang Wali Muha{ kkam Atas Dasar Wali ‘Ad{al ...................
70
BAB V: PENUTUP ..................................................................................
80
A. Kesimpulan ............................................................................
80
B. Saran ......................................................................................
81
DAFTAR PUSTAKA
BIODATA PENULIS
LAMPIRAN-LAMPIRAN
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam berkembang secara terus-menerus di berbagai negara, baik
itu negara muslim maupun bukan negara muslim yang minoritas
penduduknya muslim. Hal ini disebabkan selalu bermunculannya masalahmasalah baru di kalangan umat Islam, sehingga muncullah pembaharuanpembaharuan hukum Islam yang diberlakukan sejalan dengan perkembangan
zaman.
Alquran dan sunah tidak menjelaskan secara eksplisit dan implisit tiaptiap permasalahan kehidupan dengan jelas dan terperinci, tetapi hasil
pemikiran ulama dalam berijtihad menemukan hukum baru yang tetap
berdasar kepada dua kunci keselamatan hidup tersebut, terbukti mampu
memberikan solusi dalam kasus atau polemik yang terjadi dalam peri
kehidupan yang cenderung selalu berkembang dan dinamis.
Seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman, telah mempengaruhi
pemikiran para cendekiawan hukum dalam hal pemecahan masalah yang
sedang dialami dan mungkin akan terjadi pada waktu mendatang.
Pembaharuan hukum Islam dalam bidang perkawinan misalnya, walaupun
tidak ditemukan ayat dalam Alquran yang menjelaskan adanya kewajiban
pencatatan perkawinan, tetapi karena pertimbangan dari beberapa faktor
yang mungkin saja bisa dilakukan oleh baik suami atau istri dalam
1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
kehidupan rumah tangganya, hal ini menyebabkan lahirnya hukum Islam
baru yang mengharuskan adanya pencatatan perkawinan sesuai administrasi
negara yang sah, dengan harapan untuk mengurangi banyaknya pelanggaran
hak dan kewajiban dalam kehidupan berumah tangga.1
Dalam buku Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa perkawinan
merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan,
baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.2 Perkawinan
merupakan cara yang dipilih Allah
sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masingmasing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan.
Pada dasarnya hukum menikah adalah mubah (boleh).3 Akan tetapi,
hukum mubah ini bisa berubah menjadi salah satu dari empat hukum lain,
yaitu : wajib, haram, sunah, dan makruh, sesuai dengan situasi dan kondisi
seseorang yang akan melaksanakannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 3 :
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
1
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis
di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 146.
2
Sa’id bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah ( Hukum Perkawinan Islam ),
(Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 1.
3
Tolhah Ma’ruf, Fu’ad Hasan, dkk., Fiqh Ibadah (Panduan Lengkap Beribadah Versi
Ahlussunnah), 317.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa : 3).4
Dan juga sunah Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
ِ
ِ َﻋﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ,َﻋﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪاﻟ ﱠﺮ ْﺣﻤ ِﻦ ﺑْ ِﻦ ﻳ ِﺰﻳْ َﺪ
ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ
َ َﻗ,ﺎل
َ َاﷲ ﻗ
َ ﺎل ﻟَﻨَﺎ َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲ
ْ
ْ
َ
َ
ِ
ِ
ِ َﺸﺒ
ﺸ َﺮ اﻟ ﱠ
ﺼ ُﻦ
ﺎء َة ﻓَـﻠْﻴَﺘَـ َﺰﱠو ْج ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ أَﻏَ ﱡ
َ ﻳَ َﺎﻣ ْﻌ
َ َاﺳﺘَﻄ
ْ ﺼ ِﺮ َوأ
ْ ﺎب َﻣ ْﻦ
َ َﺣ
َ َﺾ ﻟﻠْﺒ
َ َﺎع ﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ اﻟْﺒ
ِ
(ﻟﺒﺨﺎري
)رواﻩ ا.ٌﺼ ْﻮِم ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ﻟَﻪُ ِو َﺟﺎء
َﻢ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱠ
ّ
ْ ﻟ ْﻠ َﻔ ْﺮ ِج َوَﻣ ْﻦ ﻟ
Artinya : Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, dari
Abdullah, ia berkata : Rasulullah Saw. bersabda kepada kami :
Wahai orang-orang muda, siapapun dari kamu semua yang sudah
mampu biaya nikah, maka nikahlah. Sesungguhnya nikah lebih
bisa menutup mata (dari melihat hal-hal yang haram) dan lebih
menjaga farji (dari zina). Bagi yang tidak mampu, berpuasalah,
sesungguhnya puasa itu bisa menjaga (dari zina). (H.R. Bukhori).5
Tentang melakukan perkawinan Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa
segolongan fukaha (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu wajib.
Ulama mazhab Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk
sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan
yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran
atau kesusahan dirinya.6
Perkawinan yang disyariatkan dalam agama Islam dapat dilihat dari 3
(tiga) sudut pandang yaitu: Pertama, dari sudut hukum, perkawinan
merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat. Kedua, dari sudut sosial,
4
Mushaf Al-Misykat, Alquran dan Terjemah Per Komponen Ayat, (Bandung: PT. Mizan Bunaya
Kreativa, 2011), 78.
5
Ibnu Rusyd, Bida>yatu al-Mujtahid wa Niha>yatu al-Muqtasid Juz 2, (Lebanon : Dar al-Hadits,
2004), 7.
6
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2009), 17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
perkawinan merupakan sarana sosial untuk meningkatkan status seseorang
dalam masyarakat. Ketiga, perkawinan merupakan suatu lembaga suci, sebab
pasangan suami istri itu dihubungkan dengan mempergunakan nama Allah.7
Sesungguhnya dalam realita menjalani kehidupan berumah tangga
tidaklah mudah untuk mendapatkan tujuan yang mulia dari sebuah
pernikahan atau perjanjian yang kuat tersebut. Agar tujuan dari perkawinan
tersebut tercapai secara sempurna, maka proses perkawinan harus sesuai
dengan syariat Islam yang telah ditentukam oleh agama. Di samping itu
untuk menghindari keterjerumusan kepada perbuatan yang tidak terpuji dan
untuk memperoleh ketentraman jiwa, maka pernikahan disyari’atkan juga
untuk melestarikan keturunan. Keturunan merupakan tujuan utama dalam
sebuah pernikahan, sedangkan hal-hal yang lain hanyalah sebagai faktor
pendukung bagi terwujudnya tujuan utama tersebut. Dari keturunan inilah
akan terbentuk masyarakat terkecil dalam sebuah kehidupan manusia.8
Masyarakat merupakan kumpulan orang hidup dalam suatu tempat yang
saling berinteraksi satu sama lain. Fungsi pemersatu dalam sebuah
masyarakat secara administratif dipegang oleh aparatur desa misalnya ketua
RT, kepala dusun atau dukuh, maupun kepala desa. Selain pemimpin
7
Asmin, Status Perkawinan Antara Agama Ditinjau Dari UU Perkawinan Nomor 1/1947,
(Jakarta: PT Dian Rakyat, 2009), 28.
8
Satria Effendi M Zain, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana
2004), 214.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
administratif tersebut juga terdapat pemersatu masyarakat secara simbolik
(moral, agama, kultural) yang dilaksanakan oleh para kiai.9
Kiai dalam kehidupan umat Islam tidak saja dinilai sebagai pemimpin
informal yang mempunyai otoritas sentral, tetapi juga dipandang sebagai
penerus Nabi Muhammad saw. Sebutan kiai tersebut diberikan oleh
masyarakat atas dasar keunggulan yang dimiliki oleh kiai itu sendiri, seperti
halnya kedalaman ilmunya, keagamaannya, keturunan, dan keunggulan
tersebut dipergunakan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Hal
tersebut menjadikan masyarakat banyak menggunakan kiai untuk dijadikan
sebagai wali dalam bidang keagamaan dan perkawinan. Padahal wali dalam
perkawinan adalah seorang yang memiliki kuasa mengawinkan seseorang
anak perempuannya. Keberadaan wali merupakan hal yang penting dalam
mengesahkan sesuatu perkawinan. Tanpa adanya wali atau izin kepada
wakilnya, sesuatu perkawinan itu di hukumi tidak sah atau batal. Hukum ini
adalah merujuk kepada sebuah sunah yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., dia
berkata: Rasulullah saw., bersabda setiap wanita yang menikah tanpa izin
dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasullullah saw., mengulanginya
hingga tiga kali, apa bila ia menggaulinya maka wanita tersebut berhak
mendapatkan mahar (maskawin). Apa bila terjadi perselisihan (wali nasab
enggan), maka penguasalah (dalam hal ini yang dimaksud adalah Hakim
9
M. Khanif, Kiai Kampung dan Demokrasi Lokal, (Yokyakarta: KLIK.R, 2007), 16-17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
Pengadilan Agama) yang menjadi wali bagi mereka yang tidak mempunyai
wali. (HR. Abu daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dari Aisyah).10
Merujuk pada sunah di atas, jika sebuah pernikahan tanpa seizin wali
maka hukum pernikahanya tidak sah atau batal, dan berhak untuk
mendapatkan mahar bagi perempuan bila disetubuhinya. Namun jika wali
bagi mempelai wanita tidak dapat menjadi wali yang disebabkan kurangnya
syarat sahnya menjadi wali, maka wali nasab hendaknya mewakilkan
perwaliannya kepada orang lain.
Para ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan wali dalam
pernikahan. Apakah wali itu sesuatu yang diperlukan adanya untuk sahnya
akad nikah ataukah tidak.
Menurut jumhur ulama wali adalah salah satu
rukun nikah, tidak sah pernikahan yang tidak dilakukan oleh wali. Akad
nikah yang dilakukan oleh wanita yang sudah balig, baik ia gadis ataupun
janda, maka akad nikahnya tidak sah. Tetapi menurut mazhab Hanafi, akad
nikah yang dilakukan oleh wanita yang sudah balig/dewasa dan cerdik
(berakal sehat) adalah sah secara mutlak. Yang dimaksud mutlak ialah,
apakah wanita itu gadis atau janda, atas ijin walinya atau tidak, baik ia
ucapkan langsung atau mewakilkan kepada wanita lain atau kepada laki-laki
yang bukan walinya.11
10
Imam Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy’ari al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Jilid 2 , (Surabaya :
Maktabah Dahlan, 2009). 229.
11
Ibn Rusyd, Bida>yat al-Mujtahid , Jilid II, Alih bahasa Abdurrahman, (Semarang: Asy Syifa,
1990), 365.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
Pengertian wali dalam arti umum adalah orang yang menurut hukum
dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara,
mengawasi dan menguasai suatu persoalan. Perwalian disebut juga wilayah
yang berarti penguasaan dan perlindungan. Dalam definisi lain dijelaskan
wali adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi mengurus
anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.12 Pengertian wali dalam
negara bisa berarti Kepala Pemerintah.13
Sedangkan menurut istilah, wali adalah pertanggung jawaban tindakan,
pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang ada di
bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta
kekayaannya. Wali dalam konteks pernikahan adalah pengasuh pengantin
perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan
pengantin laki-laki). Adanya perwalian sangatlah penting karena wali
menentukan keabsyahan nikah, namun wali disini tidak bersifat kaku
melainkan bersifat fleksibel. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bagian
ketiga membahas tentang wali nikah secara detail dalam pasal 19 dan 20,
sebagaimana yang ada di bawah ini :
Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.
Pasal 20 (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan balig}. (2)
Wali nikah terdiri dari ; a. Wali nasab; b. Wali hakim.
12
Abdul Roman Ghozali, Fiqih Munakahat,( Jakarta: Kencana, 2003), 165.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), 1123.
13
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
Jika tidak ada wali nasab yaitu terdiri dari empat urutan dalam kedudukan
kekerabatan dengan calon mempelai perempuan, empat kedudukan itu
diantaranya adalah, pertama, garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dan
seterusnya ke atas. Kedua, jalur kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah dan keturunannya. Ketiga, kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki kandung seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara lakilaki seayah dan keturunan laki-laki mereka.14 Jika dari wali nasab tidak ada
atau adanya wali nasab namun wali nasab tersebut enggan untuk
menikahkan putrinya (wali ‘ad{al), maka alternatif lain ia bisa menikah
menggunakan wali hakim.
Wali hakim tidak serta merta dapat bertindak menjadi wali nikah
melainkan harus mengetahui adanya wali nasab atau tidak, seperti yang
diatur dalam pasal 23 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam bahwa wali
hakim baru bisa bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
atau gaib atau ‘ad{al. Dalam hal ini ‘ad{al atau enggannya wali nasab, maka
wali hakim baru dapat bertindak setelah ada putusan pengadilan agama
tentang ‘ad}al-nya wali tersebut.
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo, 1992),
Pasal 21 ayat 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
Wali hakim adalah wali yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat
yang ditunjuk olehnya. Namun dalam prakteknya pernikahan yang terjadi di
masyarakat juga menggunakan wali muh{akkam, dalam hal ini wali
pernikahan merupakan wali yang ditunjuk oleh kedua belah mempelai baik
laki-laki ataupun perempuan sebagai pengganti wali nasab atau wali hakim,
yang mana dalam hal penunjukan wali muh}akkam ini biasanya mereka
menunjuk seorang tokoh masyarakat atau pemuka agama (kiai) yang
menurutnya mengetahui dalam seluk beluk hukum fikih untuk dijadikan
sebagai wali dalam pernikahan mereka.15
Biarpun demikian, bukan lagi hal yang baru bagi kita tentunya mendengar
tentang kasus-kasus dalam rumah tangga di masyarakat kita mengenai
pernikahan yang terjadi tanpa izin orang tua. Di Indonesia kawin lari atau
kawin tanpa izin orang tua adalah hal yang sering terjadi dan memang
menjadi suatu hal yang tidak tabu lagi untuk dibicarakan. Banyak kita
jumpai di media sosial seperti koran, internet, maupun berita di televisi
terkait kawin lari atau nikah bawah tangan. Seperti yang terjadi di daerah
Jakarta, Garut, Semarang, Malang, Sidoarjo, Surabaya dan sekitarnya sering
kita dengar berita yang mengisahkan nikah bawah tangan (nikah siri) yang
dilakukan oleh masyarakat baik dari kalangan pejabat pemerintahan,
selebriti, bahkan orang awam. Semisal kisah hubungan perkawinan Tommy
Kurniawan dan Fatimah Tania Nadira memang berat karena tidak adanya
15
Deprtemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah , (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf,1996/1997), 30.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
persetujuan dari orang tua pihak wanita. Meski demikian, keduanya tidak
menyerah dan memutuskan menikah secara siri yang berlangsung tanpa
dihadiri orang tua Fatimah sebagai wali yang sah. Pasangan ini baru
mengajukan isbat pada tahun 2014 lalu.16
UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi kenyataan yang terjadi di
negara ini, fenomena perkawinan yang berlangsung tanpa mengikuti aturan
perundangan yang telah ditetapkan negara masih banyak terjadi di
masyarakat. Peraturan Mentri Agama Nomor 30 tahun 2005 yang mengatur
tentang wali hakim, isinya bahwa ‘ad{al-nya wali merupakan salah satu
syarat atau keadaan dibolehkannya wali hakim sebagai wali dalam
perkawinan calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki dan
dalam menyatakan ‘ad{al-nya seorang wali tersebut diperlukan penetapan dari
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.
Hal ini masih saja dilanggar oleh sebagian masyarakat dengan memilih
menggunakan wali muh}akkam sebagai wali dalam melaksanakan pernikahan.
Kesadaran akan hukum dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya
hukum baik syariat maupun formil yang begitu rendah menjadi alasan
terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan peraturan negara ini. Kasus
16
“Ternyata Nikah Siri, Tomy Kurniawan Resmikan Perkawinan Lewat Sidang”, dalam
http://hot.detik.com/celeb/d-2675201/ternyata-nikah-siri-tommy-kurniawan-resmikan perkawinanlewat-sidang. adm, diakses pada 27 Juli 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
perkawinan yang menggunakan kiai sebagai wali muh{akkam, ini jelas
melanggar pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun
1987 yang isinya:
1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat
Nikah ditunjuk wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan
mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
2. Apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan
Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agma
menunjuk Wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara
menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Banyaknya kasus pernikahan yang terjadi tanpa menghiraukan peraturan
seperti latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
lebih lanjut dengan judul Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ulama
NU Mengenai Wali Muh{akkam Atas Dasar Wali ‘Ad{al.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Melalui latar belakang tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan
yang dapat peneliti identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Pentingnya pencatatan pernikahan.
2. Tujuan pernikahan menurut hukum Islam.
3. Macam-macam wali menurut pandangan ulama.
4. Alasan tentang penolakan wali nasab sebagai wali nikah.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
5. Peran kiai sebagai wali muh{akkam.
6. Status anak dari pernikahan karena wali ‘ad{al.
7. Pandangan ulama NU mengenai wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al.
8. Tinjauan hukum Islam pandangan ulama NU dengan wali muh{akkam atas
dasar wali ‘ad{al.
Adapun batasan masalah yang menjadi fokus penulis dalam penelitian ini,
yaitu mengkaji tentang :
1. Pandangan ulama NU mengenai wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap pandangan ulam NU tentang wali
muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al.
3. Status hukum pernikahan, anak dan hak warisnya dari hasil pernikahan
yang terjadi karena wali ‘ad{al.
C. Rumusan Masalah
Melalui latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah tersebut di atas,
maka rumusan masalah yang akan penulis kaji dalam penelitian ini, yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan ulama NU mengenai wali muh{akkam atas dasar
wali ‘ad{al ?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pandangan ulama NU tentang
wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al ?
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa
sumber yang membicarakan tentang permasalahan yang ada kaitannya
dengan penelitian yang peneliti lakukan, adapun masalah tersebut
diantaranya sebagai berikut:
1. Skripsi yang ditulis oleh Lailatul Masruroh Mahasiswi IAIN Sunan
Ampel Surabaya, Studi Putusan Pengadilan Agama Sumenep Nomor
07/Pdt.P/PA.Smp.yang meneliti mengapa perkara wali ‘ad{al sering
dimenangkan oleh anak dibanding pihak orang tua dan kebijakankebijakan dari Pengadilan Agama Sumenep untuk mengatasi problem
orang tua terhadap anak dalam masalah wali ‘ad{al yang memfokuskan
kepada putusan Pengadilan.17
2. Analisis Hukum Islam Tentang Perkara Wali ‘Ad{al Dikarenakan Berbeda
Marga di Pengadilan Agama Surabaya. Skripsi yang ditulis oleh Ghin
Hismania yang meneliti tentang kasus wali ‘ad{al karena berbeda marga
yang menerangkan bagaimana golongan syarifah yang tidak mau
menerima golongan yang lain untuk menjadi pasangan bagi salah satu
dari golongannya karena beranggapan tidak sekufu.18
17
Lailaatul Masruroh, “ Studi Putusan Pengadilan Agama Sumenep No: 07/Pdt.P/PA. Smp”
(Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2009), 10.
18
Ghin Hismania, “Analisis Hukum Islam Tentang Perkara Wali Ad{al Dikarenakan Berbeda
Marga di Pengadilan Agama Surabaya”(Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2010).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
3. Skripsi yang ditulis oleh Sugeng Rianto Mahasiswa IAIN Sunan Ampel
dengan judul Studi Tentang Pendapat Yusuf Qardhawi tentang Wali
Mujbir, yang mana skripsi ini membahas tentang kerelaan anak dan
keluarga sama-sama pentingnya menurut pandangan Yusuf Qardhawi.19
4. Peran Kiai Sebagai Wali Muh{akkam (Studi Kasus di Desa Sukabumi,
Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo), Skripsi Alwi Sihab UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, hasil penelitian menunjukkan bahwa
peran kiai sebagai wali muh{akkam dipergunakan oleh mempelai
pengantin dengan pertimbangan hamil prapernikahan, kawin lari,
masalah poligami, tidak memenuhi syarat undang-undang serta
ekonomi.20
Adapun perbedaan skripsi ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa
skripsi ini menjelaskan tentang dasar hukum wali muh{akkam menurut ulama
mazhab Syafii yang berfokus kepada bolehnya seorang kiai menikahkan
wanita atas dasar wali nasab yang ‘ad{al untuk menjaga keselamatan agama.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti kaji dalam penelitian ini,
maka penulisan penelitian ini bertujuan untuk:
19
Sugeng Rianto, “Studi Tentang Pendapat Yusuf Qardhawi tentang Wali Mujbir” (Skripsi—
IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2011).
20
Alwi Sihab, “Peran Kiai Sebagai Wali Muh{akkam (Studi Kasus di Desa Sukabumi, Kecamatan
Mayangan, Kota Probolinggo)” (Skripsi—UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang 2013).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
1. Mengetahui pandangan ulama NU tentang wali muh{akkam atas dasar
wali ‘ad{al.
2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pandangan ulama NU tentang
wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat
memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai
berikut:
1. Teoritis:
Secara teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih khazanah keilmuan, khususnya dalam hukum Islam terkait
penikahan dengan wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al, dan penelitian ini
dapat dijadikan sebagai literatur atau referensi, bagi peneliti selanjutnya
maupun bagi pemerhati hukum Islam dalam memahami hukum nikah
dengan wali muh{akkam.
2. Praktis:
Secara praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat
memberikan
manfaat
dan
berguna
bagi
masyarakat,
khususnya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
masyarakat dan pemerhati atau peneliti lebih lanjut tentang hukum nikah
dengan wali muh{akkam.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan penelitian ini,
dan untuk berbagai pemahaman interpretatif yang bermacam-macam, maka
peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian
ini, sebagai berikut:
1. Hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang diturunkan Allah Swt.,
untuk manusia melalui Nabi Muhammad saw., baik berupa Alquran
maupun sunnah Nabi.21 Dalam penelitian ini, hukum Islam yang
dimaksud adalah hukum fikih mazhab Syafii.
2. Ulama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang ahli
dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Menurut istilah Ulama
diartikan sebagai seorang yang memiliki ilmu pengetahuan yang
mendalam mengenai Alquran dan sunah serta menerapkan Alquran dan
sunah dalam kehidupannya.22 Dalam penelitian ini yang dimaksud
dengan ulama NU adalah seorang tokoh yang menjadi pengurus dalam
oraganisasi NU, di samping juga sebagai pengasuh Pondok Pesantren
Salaf yang mana dalam pelaksanaan ubudiyahnya berdasarkan kebiasaankebiasaan yang digagas oleh organisasi NU.
21
Ahmed el- Ghandur, “Prespektif Hukum Islam, diterjemahkan oleh Ma’mun Muhammad Murai
dari Al- Madkhal lla as- Shariat al- Islamiyah”, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006), 7.
22
Admin, “Pengertian Ulama”, dalam https://googlewiblight.Com. Html, diakses pada 1 Februari
2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
3. Wali muh{akkam adalah wali nikah yang dilakukan oleh penguasa
terhadap wanita yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada, baik
karena tidak punya, karena sudah meninggal, atau karena menolak
menjadi wali.23 Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai wali
muh{akkam adalah seorang kiai atau tokoh agama.
4. Wali ‘ad{al adalah wali yang enggan atau menolak untuk menikahkan
anaknya atau tidak mau menjadi wali dalam pernikahan anak
perempuannya yang berada di bawah perwaliannya tanpa adanya alasan
yang ada dalam syariat.24
H. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka, yaitu penelitian terhadap
pandangan hukum Islam dan ulama Nahdlatul Ulama terkait wali muh{akkam
atas dasar wali ‘ad{al.
1. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan judul dan rumusan masalah dalam penulisan penelitian
ini, maka data-data yang akan dimpulkan oleh peneliti dalam penelitian
ini yaitu sebagai berikut:
a. Data primer
1) Pandangan hukum Islam (fikih) dan ulama NU tentang keberadaan
wali dalam pernikah
23
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1999), 25.
Husain bin Aurah al Awasiyah, al- Maushu’ah al Fiqhiyah al Muyassaroh, Juz v ,(terjemah al
maktabah samilah dari Ibn Hazm), 138.
24
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
2) Pandangan hukum Islam (fikih) dan ulama NU tentang dasar
hukum, syarat dan rukun dalam pernikahan
3) Pengertian wali muh{akkam
4) Pengertian wali ‘ad{al
5) Hukum pernikahan dengan wali muh{akkam.
b. Data sekunder
1) Tujuan pernikahan menurut KHI dan UU
2) Syarat dan rukun pernikahan menurut KHI dan UU
3) Wali muh{akkam menurut KHI
4) Hukum pernikahan dengan wali muh{akkam menurut KHI
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan
dalam dua kategori, yaitu :
a. Sumber primer
Sumber primer adalah sumber yang langsung diperoleh dari
subyek penelitian pustaka. Dalam hal ini sumber primer adalah:
1) Dokumen Bahstul Masail.
2) Husein Muhammad, Fikih Perempuan.
3) Muhammad Jawwad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab
4) Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
5) Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
6) Sayyid Alawy Bin Ahmad Al-Saqqaf, Al-Fawa>id al-Makiyyah fi
Sab’ah al-Kitab al-Mufi>dah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
7) Sayyid al-Bakri al-Dimyathi, I’anah at}-T}alibi>n ‘Ala Hal al-Faz}i
Fath}ul Mu’i>n
8) Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fath}ul Mu’i>n Bisyarh}i
Qurrota al-‘Ain Bi Muhimma>ti al-Di>n
9) Sayyid Abdurrahman Ba’Alawi, Bughyah al-Mustarsyidi>n
b. Sumber sekunder
1) M. Nuruzzamam, Kyai Husein Membela Perempuan
2) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara
Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan
3) Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam
4) Kompilasi Hukum Islam
5) Amir Syarifuddin, Garis Besar Fiqih
6) Muhammad bin Isa , Sunan at-Turmudzi
3. Teknik pengumpulan data
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Karena itu, pengumpulan
data akan dilakukan dengan dokumentasi dan telaah pustaka.
a. Dokumentasi: Dalam hal ini peneliti membaca, menelaah dokumen,
arsip, biografi dan buku-buku karya subyek penelitian yang sesuai
dengan permasalahan yang hendak dikaji yaitu terkait wali muh{akkam
dengan dasar wali ‘ad{al.
b. Telaah Pustaka: Dalam hal ini penulis mengumpulkan dan menelaah
dokumen-dokumen, arsip, juga buku-buku yang terkait dengan judul
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
penelitian, yakni tentang pernikahan dengan wali muh{akkam atas dasar
wali ‘ad{al.
4. Teknik pengolahan data
Untuk mempermudah peneliti dalam menganalisa data-data yang
telah dikumpulkan, maka peneliti menganggap perlu melakukan
pengolahan data melalui beberapa teknik sebagai berikut:
a.
Pengeditan : yaitu memeriksa kelengkapan data-data yang sudah
diperoleh. Data-data yang sudah diperoleh diperiksa dan dieedit
apabila tidak terdapat kesesuaian atau relevansi dengan kajian
penelitian. Dalam hal ini penulis mengedit tentang permasalahn
seputar wali muh{akkam.
b.
Pengkategorisasian : yaitu dengan mengkategorisasikan atau
mensistematisasikan data. Data yang sudah diedit kemudian
diorganisasikan sesuai dengan pendekatan dan bahasan yang telah
dipersiapkan. Dalam hal ini penulis mengorganisir masalah
pernikahan, pengertian wali muh{akkam dan wali ‘ad{al serta
hukumnya menurut fikih dan hukum materiil.
c.
Analizing: yaitu tahapan analisis dan perumusan terkait tinjauan
hukum Islam terhadap pandangan ulama mengenai wali muh{akkam
atas dasar wali ‘ad{al.
5. Teknik analisa data
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
Setelah seluruh data-data yang dibutuhkan oleh peneliti terkumpul
semua dan sudah diolah melalui teknik pengolahan data yang digunakan
oleh peneliti, kemudian data-data tersebut dianalisis. Bogdan menyatakan
bahwa analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, cacatan lapangan, dan bahanbahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat mudah
diinformasikan kepada orang lain.
Teknik analisa data penelitian ini menggunakan telnik deskriptif
analisis dengan pola pikir deduktif, yaitu teknik analisa dengan cara
memaparkan data apa adanya yang dalam hal ini data tentang pandangan
ulama NU terhadap wali muh{akkam, kemudian dianalisa dengan
menggunakan teori hukum fikih khususnya tentang wali dalam nikah.
Sedangkan pola pikir deduktif adalah pola pikir yang berangkat dari
variabel data yang bersifat umum, dalam hal ini teori hukum Islam
tentang wali nikah kemudian diaplikasikan kepada variabel yang bersifat
khusus, dalam hal ini adalah pandangan ulama NU.
I.
Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulis dalam menyusun penelitian ini secara
sistematis, dan mempermudah pembaca dalam memahami hasil penelitian ini,
maka penulis mensistematisasikan penulisan penelitian ini menjadi beberapa
bab, sebagai berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
Bab pertama yang berisi tentang pendahulun, dalam bab ini penulis
memaparkan seluruh isi penelitian secara umum yang terdiri dari latar
belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua yang berisi landasan teori, dalam bab ini peneliti akan
membahas tinjauan umum tentang wali nikah menurut fikih. Terdiri dari
keberadaan wali nikah dan dasar hukum perwalian menurut mazhab Syafii,
syarat wali nikah, dan urut-urutan wali nikah.
Bab ketiga membahas mengenai biografi ringkas tentang Imam Syafii,
pandangan mazhab Syafii tentang keberadaan wali muh{akkam, wali ‘ad}al
dalam pernikahan, sejarah berdirinya NU, tradisi bahtsul masail dalam NU,
hasil bahtsul masail tentang wali muh{akkam, dan hasil bahtsul masail tentang
wali ‘ad}al
Bab keempat yang merupakanan analisis terhadap pandangan ulama NU
tentang wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad{al, dan analisis hukum Islam
terhadap pandangan ulama NU tentang wali muh{akkam atas dasar wali ‘ad}al.
Bab kelima merupakan bab terakhir dan sebagai penutup yang akan
menggambarkan apresiasi dari apa yang menjadi pokok kajian dalam
penelitian ini yang di dalamnya berisi kesimpulan dan saran.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH MENURUT HUKUM ISLAM
(FIKIH)
A. Keberadaan Wali dalam Nikah
Hukum pernikahan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam
karena mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang merupakan inti
kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk
yang
berkehormatan
melebihi
makhluk-makhluk
lainnya,
dan
juga
merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib ditaati serta
dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan
sunah Rasul.1
Hukum pernikahan merupakan bagian dari hukum Islam yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang hal pernikahan, yakni bagaimana proses dan
prosedur
menuju
terbentuknya
ikatan
pernikahan,
bagaimana
cara
menyelenggarakan akad pernikahan menurut hukum, bagaimana cara
memelihara ikatan lahir batin yang telah diikrarkan dalam akad pernikahan
sebagai akibat yuridis dari adanya akad itu, bagaimana cara mengatasi krisis
rumah tangga yang mengancam ikatan lahir batin antara suami isteri,
bagaimana proses dan prosedur berakhirnya ikatan pernikahan, serta akibat
yuridis dari berakhirnya pernikahan, baik yang menyangkut hubungan hukum
antara bekas suami dan isteri, anak-anak mereka dan harta mereka.
1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004), 1-2.
23
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
Yang menjadi pokok kajian dalam penelitian ini adalah masalah wali
dalam pernikahan menurut mazhab Syafii dan ulma NU. Perwalian dalam
istilah bahasa adalah wa>li yang berarti menolong yang mencintai. 2 Kata
perwalian berasal dari kata wali, dan jamak dari awliya>. Kata ini berasal dari
bahasa arab yang berarti teman, klien, sanak atau pelindung. Dalam literature
fikih Islam disebut dengan al-wala>yahi (al-wila>yah), orang yang mengurus
atau yang menguasai sesuatu.3 Perwalian dalam istilah fikih disebut wila>yah,
yang berarti penguasaan dan perlindungan.
Adapun perwalian dalam terminologi para fukaha (pakar hukum Islam),
seperti disebutkan Wahbah al-Zuhayli ialah kekuasaan/otoritas yang dimiliki
seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa
harus bergantung pada izin orang lain. Jadi perwalian menurut fikih ialah
penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk
menguasai dan melindungi orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan
perwalian disebut wali.
Untuk memperjelas pengertian tentang perwalian, maka penulis
memaparkan beberapa pengertian antara lain, perwalian yang berasal
dari kata wali mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua
yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir, (Jogjakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir,
1984), 1960.
3
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), 134.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
belum akil balig} dan melakukan perbuatan hokum. 4 Sedangkan menurut
Amin Suma perwalian adalah kakuasaan atau otoritas yang dimiliki
seseorang untuk secara langsung melakukan tindakan sendiri tanpa harus
bergantung (terikat) atas izin orang lain.5
Dedi Junaedi menyatakan bahwa perwalian dalam Islam dibagi
menjadi dua kategori yaitu : Perwalian umum biasannya mencakup
kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) seperti waliy al amri (dalam
arti Gubernur atau yang lainnya). Sedangkam perwalian khusus ialah
perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti terhadap anak
yatim. 6 Sayyid Sabiq juga mengklasifikasikan wali menjadi dua golongan,
menurutnya wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan
pada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, selanjutnya menurut
beliau wali ada yang khusus dan ada yang umum, yang khusus adalah
yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.7
Berbeda dari pengertian di atas, kamus praktis bahasa Indonesia,
wali berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban
mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa atau
pengasuh
pengantin
perempuan
pada
waktu
nikah
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
8
(orang
yang
Senada dengan
4
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum
Islam dan Hukum Adat, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2002), 60.
5
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
GrafindoPersada, 2005), 134.
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Cetakan pertama (Jakarta : Akademika Pressindo, 2000),
104.
7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), 7.
8
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1996), 176.
6
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ali Afandi menuturkan perwalian adalah
pengawasan pribadi dan pengurusan terhadap harta kekayaan seorang
anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua. Jadi dengan demikian anak yang orang tuannya telah bercerai
atau salah satu dari mereka meninggal dunia, ia berada dibawah
perwalian.9
Muhammad Jawad al-Mugniyah memberi pengertian wali adalah
seorang yang diberi kewenangan atau kekuasaan sesuai syariat atas
segolongan
manusia,
hal
tersebut
dikarenakan
adanya
kekurangan
tertentu pada orang tertentu. 10 Sedangkan Abdur Rahman al-Jaziri dalam
kitabnya Fiqh ‘Ala> Maz}a>hib al-‘Arba’ah mendefinisikan wali dalam nikah
adalah orang yang mempunyai puncak kebijaksanaan atas keputusan yang
baginya menentukan sahnya akad (pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad
tanpa dengannya, ia adalah ayah atau kuasanya dan kerabat yang melindungi,
mu’tik, sult}an dan penguasa yang berwenang. 11 Mustofa Hasan seirama
dengan pernyataan dari Abdur Rahman al-Jaziri, beliau menyatakan wali
dalam nikah adalah orang yang berhak menikahkan karena adanya pertalian
darah secara langsung dengan pihak mempelai perempuan.12
Jadi wali dalam nikah adalah seorang laki-laki yang berwenang
untuk menikahkan calon mempelai perempuan akibat hubungan darah, yang
9
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Kleuarga, Hukum Pembuktian, ( Jakarta: Rineka Cipta,
1997), 156.
10
Muhammad Jawad al-Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, ( Jakarta: Lentera, 2011), 345.
11
Abdur Rohman al-Jaziri, Fiqih ‘Ala Mazhibil Arba’ah, Jilid 4 (Kairo: Darul Haditst, 2004), 26.
12
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung ; Pustaka Setia, 2011), 98.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
berhak menjadi wali adalah kelompok kerabat laki-laki lurus ke atas
(ayah, kakek dan sete