BAB 1 3
1.1 Latar Belakang
Penyakit Human immunodeficiency virus infection and acquired immune deficiency syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu penyakit menular seksual yang belum ditemukan obatnya dan mempunyai dampak sosial yang sangat berat. Salah satu tujuan program pemberantasan penyakit menular langsung adalah menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan yang diakibatkan oleh penyakit menular langsung dan mencegah penyebaran serta mengurangi dampak sosial akibat penyakit sehingga tidak menjadi masalah kesehatan. Penyakit Seksual termasuk infeksi HIV dan AIDS merupakan salah satu program yang menjadi prioritas yang dilaksanakan di Provinsi Lampung. Kegiatan dalam penanggulangan penyakit seksual ini dilaksanakan dengan penemuan dan pengobatan penderita baik secara pasif di puskesmas maupun secara aktif dengan melakukan survey dengan sasaran kelompok resiko tinggi seperti Wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) eks lokalisasi, narapidana, karyawan tempat hiburan, panti pijat, diskotik, siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) dan lain sebagainya.
UNICEF menyatakan jumlah kematian HIV/AIDS di kalangan remaja di seluruh dunia meningkat hingga 50 persen antara tahun 2005 dan 2012 dan menunjukkan tren mengkhawatirkan. UNICEF menyebutkan, sekitar 71.000 remaja
(2)
berusia antara 10 dan 19 tahun meninggal dunia karena virus HIV pada tahun 2005. Jumlah itu meningkat menjadi 110.000 jiwa pada tahun 2012.
Prevalensi secara nasional kasus AIDS di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 10,62 per100.000 penduduk. Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Papua (175,91), disusul Bali (49,16), DKI Jakarta (44,74), Kepulauan Riau 0.(25,57), dan Kalimantan Barat (23,96). Di Indonesia secara kumulatif HIV/AIDS 1 April 1987 s.d. 30 September 2014, adalah 150,296 HIV dan 55.799 AIDS (Ditjen PPM & PL Kemkes RI, 2014). Jumlah kasus AIDS di Provinsi Lampung hingga tahun 2014 jumlah kasus HIV mencapai 1,090 dan AIDS 423 kasus. Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pringsewu tahun 2013 sebanyak 9 kasus dan meningkat menjadi 13 kasus pada tahun 2014, dari jumlah kasus tersebut 3 orang diantaranya berusia remaja (Dinkes Pringsewu, 2014).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2010, kaum muda usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan yang benar dan komprehensif tentang HIV/AIDS 11,4% Sementara target pada MDGs tahun 2015 sebesar 95%. Artinya pencapaian masih sangat jauh dari target yang diharapkan sehingga perlu upaya luar biasa untuk dapat mencapainya.
Mencegah lebih baik dan lebih murah dibandingkan dengan mengobati. Demikian juga dengan upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS yang terpenting adalah tersampaikannya informasi/pengetahuan yang benar dan komprehensif tentang HIV/AIDS kepada generasi muda kita. Data kasus HIV/AIDS setiap tahunnya mengalami kenaikan, dan perlu kita ketahui bahwa tersebut
(3)
merupakan fenomena gunung es artinya yang kelihatan itu hanya pada puncaknya sementara dua pertiganya tidak terdata/terlacak (Depkes Prov Lampung, 2012).
Menurut WHO remaja (adolescence) adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan anak muda (youth) adalah mereka yang usia 15-24 tahun. Remaja aktif secara seksual dan mereka seringkali kekurangan informasi dasar mengenai kesehatan reproduksi, keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, sehingga mereka rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi seperti HIV/AIDS (UNFPA, 2005).
Banyak di antara remaja yang kurang atau tidak memiliki hubungan yang stabil dengan orangtuanya maupun dengan orang dewasa lain. Mereka lebih senang berbicara dengan sahabat karib tentang masalah-masalah kesehatan reproduksi yang menjadi perhatian mereka. Apabila terjadi kecenderungan kearah penarikan diri, sangat mungkin terjadi tindakan irasional (UNFPA, 2005).
Menurut hasil survey yang telah dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional di 33 provinsi pada tahun 2008, sebanyak 63% remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Usia remaja mempunyai sifat ingin tahu yang sangat besar sehingga menyebabkan mereka mencoba segala sesuatu yang menurut mereka menarik. Jika tidak tersedia informasi yang tepat dan relevan tentang penyakit HIV/AIDS, sikap ingin tahu mereka bisa menyebabkan mereka masuk ke dalam sub-populasi berperilaku resiko tinggi. Selain itu, masalah HIV/AIDS pada remaja selain
(4)
berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental, emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Hal tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap remaja itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa pada akhirnya (UNFPA, 2005).
Menurut Lawrence Green dan Marshall Kreuter (2005) bahwa pengetahuan seseorang merupakan salah satu faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi perubahan sikap. Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS pada remaja diharapkan dapat menghindari perilaku beresiko HIV/AIDS. Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman pribadi, kebudayaan, media masa. Remaja yang lebih tahu tentang kesehatan reproduksi akan memiliki sikap positif (sikap tidak melakukan seks bebas), sikap negatif (sikap untuk melakukan seks bebas).
Remaja merupakan kelompok sosial berisiko terkait penularan HIV/AIDS namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan memadai. Fakta tersebut harus disikapi dengan makin gencarnya upaya penyebarluasan informasi dan dengan sasaran yang diperluas salah satunya melalui program Penyuluhan (Dinkes Provinsi Lampung, 2012).
Meningkatnya pengetahuan yang benar dan komperhensif tentang HIV/AIDS pada segmen usia 15-24 tahun sehingga diharapkan terbentuk sikap non diskriminatif pada kelompok sasaran, terbentuk kesadaran berperilaku mencegah penularan
(5)
terbentuk kesadaran berperilaku memperoleh pertolongan pengobatan (Dinkes Provinsi Lampung, 2012).
Kaum muda usia 15-24 tahun diharapkan dapat menjaga dirinya agar tidak tertular HIV/AIDS tidak diskriminatif kepada penderita HIV/AIDS, bagi yang berperilaku berisiko akan menyadari kondisinya dan memeriksakan diri untuk mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan dan bagi yang telah tertular akan mendapatkan pertolongan sehingga dapat menjalani kehidupan dan tetap berkarya (Dinkes Prov Lampung, 2012).
Berdasarkan permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang Hubungan Tingkat pengetahuan Remaja tentang HIV/AIDS dengan Perilaku Seksual Remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri I Kedondong Tahun 2016.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri I Kedondong Tahun 2016?”.
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri I Kedondong Tahun 2016.
(6)
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di Sekolah Menengah Atas Negeri I Kedondong Tahun 2016 b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perilaku seksual remaja di Sekolah
Menengah Atas Negeri I Kedondong Tahun 2016
c. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri I Kedondong Tahun 2016
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi pendidikan
Hasil penelitian dapat dijadikan bahan untuk menambah kepustakaan dan referensi untuk peneliti selanjutnya terutama yang berkaitan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan perilaku seksual remaja.
2. Bagi Puskesmas
Sebagai masukan bagi petugas kesehatan sehingga dapat meningkatkan keperdulian untuk memberikan informasi melalui penyuluhan tentang HIV/AIDS.
(7)
Sebagai bahan untuk peningkatan pengetahuan tentang hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual remaja.
1.5 Ruang Lingkup
Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan rancangan penelitian cross sectional, subjek penelitian adalah hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual remaja, subjek penelitian adalah remaja di Sekolah Menengah Atas Negeri I Kedondong, penelitian akan dilaksanakan pada bulan Januari Tahun 2016.
(8)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Pengertian HIV
HIV adalah nama virus yang merupakan singkatan dari Human Immunodeficency Virus, yaitu virus atau jasad renik yang sangat kecil yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Di dalam tubuh manusia terdapat sel-sel darah putih yang berfungsi untuk melawan dan membunuh bibit atau kuman penyakit yang masuk ke dalam tubuh manusia, sehingga manusia tidak jatuh sakit. Inilah yang disebut sistem kekebalan yang merupakan daya tahan tubuh seseorang (Kemenkes RI, 2013).
Dalam sel darah putih, atau sistem kekebalan tubuh manusia terdapat sel CD4 (atau disebut juga sel T). Jika ada bibit penyakit, kuman atau virus yang masuk atau menyusup ke dalam tubuh, sel CD4 akan mengenali si penyusup ini, kemudian mengirimkan informasi tentang data-data si penyusup, sehingga tubuh memproduksi sel darah putih yang sesuai untuk menangkal atau membunuh kuman, virus atau bibit penyakit tersebut. Virus HIV yang masuk ke dalam tubuh manusia secara khusus menjadikan sel-sel CD4 sebagai target sasarannya, dengan cara menghancurkan
(9)
dinding selnya, masuk dan berkembang atau memperbanyak diri di dalamnya, lalu keluar mencari sel CD4 yang lain dan melakukan serangan yang sama, sehingga lama kelamaan tubuh semakin banyak kehilangan sel-sel CD4 (Kemenkes RI, 2013).
Pada tahap awal serangan, tubuh masih melakukan perlawanan, sel-sel CD4 yang belum terserang mengirim informasi tentang HIV ini, tubuh membentuk sel-sel penangkal untuk menaklukkannya, namun lama kelamaan dengan semakin sedikitnya jumlah sel-sel CD4, mengakibatkan semakin sedikit sel-sel pertahanan yang terbentuk karena rusaknya system informasi sel darah putih. Akibatnya jumlah virus semakin banyak dalam tubuh dan semakin menguasai (Kemenkes RI, 2013).
2.1.2 Pengertian AIDS
AIDS adalah sebutan untuk kondisi tubuh seseorang yang sistem kekebalan tubuhnya telah sangat rusak, akibat serangan HIV, sehingga berbagai gejala penyakit ditemukan dalam tubuhnya. AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang artinya kumpulan gejala yang diakibatkan hilang atau berkurangnya kekebalan tubuh. Pada kondisi ini tubuh telah sangat parah kehilangan system kekebalannya, sehingga segala jenis kuman, virus dan bibit penyakit dapat menyerang tubuh tanpa dapat dilawan. Bahkan untuk serangan penyakit atau virus yang paling umum seperti influenza yang bagi orang sehat dapat hilang dengan sendirinya tanpa diobati, cukup dengan makan dan istirahat/tidur, tidak demikian halnya dengan orang dalam kondisi AIDS, baginya serangan influenza akan menetap lebih lama dan terasa lebih menyakitkan. Seseorang yang sudah masuk kondisi AIDS,
(10)
yakni kekebalan tubuhnya sudah rusak parah, akan dengan mudah diserang atau terinfeksi penyakit, bahkan kadang-kadang beberapa penyakit sekaligus. Keadaan ini disebut infeksi oportunistik, yaitu masuknya penyakit dalam tubuh karena sangat lemahnya daya tahan tubuh. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien
2.1.3 Cara Penularan HIV/AIDS
Untuk berada di dalam tubuh manusia, HIV harus masuk langsung ke dalam aliran darah orang yang bersangkutan. Sedangkan di luar tubuh manusia HIV sangat cepat mati. HIV bertahan lebih lama di luar tubuh manusia hanya bila darah yang mengandung HIV tersebut masih dalam keadaan belum mengering. Dalam media darah kering HIV akan cepat mati. Di dalam tubuh manusia, HIV terutama terdapat dalam cairan: darah, cairan kelamin (cairan sperma, bukan spermanya, dan cairan vagina), dan ASI (air susu ibu). Telah terbukti ketiga cairan inilah yang dapat menularkan HIV Penularan HIV terjadi jika ada kontak atau percampuran dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, yaitu:
(11)
a. Melalui hubungan seksual
b. Melalui darah, yaitu saat penggunaan jarum suntik yang tidak steril diantara pengguna narkoba, dan melalui transfusi darah yang ternyata darah yang ditransfusikan mengandung HIV, darah ibu ke bayi yang dikandungnya dalam rahimnya, dan alat suntik atau benda tajam yang tercemar darah yang mengandung HIV (alat cukur, jarum akupuntur, alat tindik, dll).
c. Melalui ASI, dari ibu yang mengidap HIV kepada bayinya
Dua Penyebab Utama Penularan (transmisi) HIV di Indonesia: 1. Hubungan seksual, dan
2. Penggunaan jarum suntik yang tidak steril diantara pengguna narkoba
HIV mudah mati di luar tubuh manusia, maka HIV tidak dapat ditularkan melalui kontak sosial sehari-hari seperti:
a. Bersenggolan atau menyentuh b. Berjabat tangan, karena HIV tidak c. Melalui bersin atau batuk
d. Berenang bersama
e. Menggunakan WC/toilet yang sama f. Tinggal serumah
g. Menggunakan piring/alat makan yang sama h. Gigitan nyamuk atau serangga yang sama
(12)
Karena HIV hanya terdapat dalam tiga cairan tubuh: darah, cairan kelamin, dan ASI, dan TIDAK terdapat dalam keringat, air liur/ludah, air seni, dan tinja. Sedangkan nyamuk, disamping HIV tidak hidup dalam tubuh nyamuk, nyamuk hanya mengisap darah orang yang “digigitnya” dan tidak memindahkan darah dari orang yang satu ke orang yang lain.
2.1.4 Proses Sejak Terinfeksi HIV Sampai Masuk Ke Kondisi AIDS
Secara singkat seseorang yang terinfeksi HIV akan mengalami tahapan yang dibagi dalam 4 stadium:
a. Stadium Satu – window period (Periode Jendela)
1) Stadium ini dimulai sejak saat pertama terinfeksi HIV
2) Tidak ada tanda-tanda khusus, dalam beberapa hari atau beberapa minggu orang tersebut mungkin akan menjadi sakit dengan gejala-gejala mirip flu, yaitu adanya demam, rasa lemas dan lesu, sendi-sendi terasa nyeri, batuk, dan nyeri tenggorokan. Gejala-gejala ini akan berlangsung beberapa hari atau minggu saja, kemudian hilang dengan sendirinya.
3) Jika dilakukan tes darah untuk HIV, hasilnya mungkin negatif, karena belum terdeteksinya antibody HIV dalam darah. Periode ini disebut Periode Jendela (window period) yaitu: sejak masuknya HIV ke dalam tubuh, diikuti dengan perubahan serologis pada darah sampai tes anti-bodi terhadap HIV dinyatakan positif. Lamanya window period adalah 1 sampai 3 bulan, bahkan dapat sampai 6 bulan. Berbeda pada penyakit umumnya karena virus, jika
(13)
ditemukan anti-bodi, ini adalah kabar baik karena berarti dalam tubuh ada cukup zat anti yang dapat melawan virus tersebut. Pada HIV kebalikannya, jika ditemukan adanya anti-bodi HIV dalam tubuh, itu adalah konfirmasi adanya HIV dalam tubuh.
4) Meski masih dalam Periode Jendela, hasil tes darah untuk HIV masih negatif, namun orang tersebut sudah dapat menularkan HIV kepada orang sehat lainnya
b. Stadium Dua – Stadium HIV Positif Tanpa Gejala/Asimtomatik
1) HIV telah berkembang biak, dan hasil tes darah untuk HIV dinyatakan positif 2) Namun orang tersebut masih terlihat sehat, dan merasa sehat
Pada stadium ini tidak ada gejala yang terlihat, orang tersebut masih terlihat sama seperti orang sehat lainnya. Hal ini berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun. c. Stadium Tiga – Muncul Gejala
1) Sistem kekebalan tubuh menurun
2) Mulai muncul gejala meliputi Diare kronis yang tidak jelas penyebabnya, pembesaran kelenjar limfe atau kelenjar getah bening secara tetap dan merata, tidak hanya muncul di satu tempat, dan berlangsung lebih dari satu bulan. Flu terus menerus
d. Stadium Empat – Masuk ke Kondisi AIDS
1) Sistem kekebalan tubuh rusak parah, tubuh menjadi lemah terhadap serangan penyakit apapun.
(14)
2) Ditandai dengan adanya bermacam-macam penyakit, meliputi Toksoplasmosis pada otak, Kandidiasis pada saluran tenggorokan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea), batang saluran paru-paru (bronchi) atau paru-paru dan Sarkoma Kaposi, dan berbagai kanker.
2.1.5 Terapi Untuk Pengidap HIV
Ada beberapa macam obat ARV, penggunaan ARV secara kombinasi (triple drugs) yang dijalankan dengan dosis dan cara yang benar mampu membuat jumlah HIV menjadi sangat sedikit, bahkan sampai tidak terdeteksi. Menurut data Pokdisus AIDS FKUI/RSCM, lebih dari 250 Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang minum Anti Retro Virus (ARV) secara rutin setiap hari, setelah 6 bulan jumlah viral load-nya (banyaknya jumlah virus dalam darah) tidak terdeteksi.
Meski sudah tidak terdeteksi, pemakaian ARV tidak boleh dihentikan, karena jika dihentikan dalam waktu dua bulan akan kembali kekondisi sebelum diberi ARV. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan ARV.
Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan pengobatan tersebut, diantaranya karena:
a. Adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir (diare, tidak enak badan, mual, dan lelah),
(15)
c. Infeksi HIV tertentu yang resisten obat, d. Tingkat kepatuhan pasien, serta
e. Kesiapan mental pasien, untuk memulai perawatan awal.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangan AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
2.1.6 Cara Mencegah Penularan HIV
Ada 3 Cara Pencegahan Penularan HIV (termasuk ABCDE) a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual (ABC)
(16)
A = abstinence = puasa, yaitu tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Hubungan seksual hanya dilakukan melalui pernikahan yang sah. B = be faithful = setia pada pasangan, yaitu jika telah menikah, melakukan hubungan seksual hanya dengan pasangannya saja (suami atau istri sendiri). Tidak melakukan hubungan seksual diluar nikah.
C = using condom = menggunakan kondom, yaitu bagi salah satu pasangan suami atau istri yang telah terinfeksi HIV agar tidak menularkan kepada pasangannya.
b. Pencegahan penularan melalui darah (termasuk DE)
D = drugs = tidak menggunakan narkoba, karena saat sakaw (gejala putus obat) tidak ada pengguna narkoba yang sadar akan kesterilan jarum suntik, apalagi ada rasa kekompakan untuk memakai jarum suntik yang sama secara bergantian, dan menularkan HIV dari pecandu yang telah terinfeksi kepada pecandu lainnya.
E = equipment = Mewaspadai semua alat-alat tajam yang ditusukkan ke tubuh atau yang dapat melukai kulit, seperti jarum akupuntur, alat tindik, pisau cukur, agar semuanya steril dari HIV lebih dulu sebelum digunakan, atau pakai jarum atau alat baru yang belum pernah digunakan
Mewaspadai darah yang diperlukan untuk transfusi, pastikan telah dites bebas HIV
(17)
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25-45%. Risiko ini semakin besar jika ibu telah masuk ke kondisi AIDS. Risiko dapat diturunkan jika dilakukan:
5) Intervensi berupa pemberian obat antiretroviral (ARV) kepada ibu selama masa kehamilan (biasanya mulai usia kehamilan 36 minggu); 6) Kemudian ibu melakukan persalinan secara bedah (Caesar); dan 7) Ibu memberikan susu formula sebagai pengganti ASI, karena ASI ibu
yang mengidap HIV mengandung virus (HIV)
2.2 Pengetahuan (Knowledge)
2.2.1 Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoadmojo, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2010) pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan
(18)
pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bahwa bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. 2.2.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoadmodjo (2010) pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 (enam) tingkatan, yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam tingkatan ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui yang dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
(19)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau pada kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu komponen atau meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.2.3 Cara Memperoleh Pengetahuan
Cara memperoleh pengetahuan yang dikutip dari Notoadmodjo (2010) adalah sebagai berikut:
1. Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan a. Cara coba salah (Trial and Error)
Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Cara coba salah ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam
(20)
memecahkan masalah dan apabila kemungkinan itu tidak berhasil maka dicoba. Kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan.
b. Cara kekuasaan atau otoritas
Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-pimpinan masyarakat baik formal atau informal, ahli agama, pemegang pemerintah, dan berbagai prinsip orang lain yang menerima mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris maupun penalaran sendiri.
c. Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai Upaya memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang pernah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa lalu.
2. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan
Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih popular atau disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan penelitian ilmiah (Notoadmojo, 2010).
(21)
Menurut Rogers yang dikutip oleh Notoadmodjo (2010), perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia baik yang dapat diamati langsung dari maupun tidak apat diamati oleh pihak luar. Sedangkan sebelum mengadopsi perilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)
b. Interest (merasa tertarik) dimana individu mulai menaruh perhatian dan tertarik pada stimulus.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) individu akan mempertimbangkan baik buruknya tindakan terhadap stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, dimana individu mulai mencoba perilaku baru e. Adaption, dan sikapnya terhadap stimulus
Pada penelitian selanjutnya, menyimpulkan bahwa pengadopsian perilaku yang melalui proses seperti diatas dan didasari oleh pengetahuan, kesadaran yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (ling lasting) namun sebaliknya jika perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut bersifat sementara atau tidak akan berlangsung lama. Perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan dan dipengaruhi oleh factor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya.
(22)
2.2.5 Cara Mengukur Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas (Notoatmodjo, 2010). Cara mengukur tingkat pengetahuan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan, kemudian dilakukan penilaian nilai 1 untuk jawaban benar dan nilai untuk jawaban salah. Kemudian digolongkan menjadi 3 kategori yaitu baik, sedang, kurang. Dikatakan baik (>80%), cukup (60-80%), dan kurang (<60%) (Arikunto, 2010).
2.2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan a. Faktor Internal
1) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
2) Pekerjaan
Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan,
(23)
tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.
3) Umur
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa.
b. Faktor Eksternal 1) Faktor Lingkungan
Menurut Ann Mariner yang dikutip dari Nursalam lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.
2) Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.
3) Informasi
Pengetahuan diperoleh melalui informasi yaitu kenyataan (fakta) dan melihat dan mendengar sendiri. Seseorang yang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas
(24)
2.3 Perilaku Seksual 2.3.1 Perilaku
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organism (makhluk hidup) yang bersangkutan. Pada dasarnya semua makhluk hidup berperilaku. Sehingga yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung atau yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skinner, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
(25)
Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dapat dengan mudah dilihat oleh orang lain. Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas.
2. Perilaku Seks Pranikah
a. Definisi Prilaku Seksual Pranikah
Seksualitas mengandung perilaku yang dipelajari sejak dini dalam kehidupannya melalui pengamatan terhadap perilaku orang tuanya. Untuk itulah orang tua memiliki pengaruh secara signifikan terhadap seksualitas anakanaknya. Seringkali bagaimana seseorang memandang diri mereka sebagai makhluk seksual berhubungan dengan apa yang telah orang tua tunjukan tentang tubuh dan tindakan mereka.
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Gunarsa menjelaskan hubungan seksual sebagai persenggamaan atau bersatunya antara manusia yang berlainan jenis. Hubungan seksual juga merupakan ekspresi akan perasaan cinta, cara berkomunikasi intim, dan cara mencapai kedekatan emosional.
Prilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah (Sarwono, 2005).
(26)
Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa prilaku seksual pranikah merupakan prilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut agama dan kepercayaan masing – masing. Semantara Luthfie (dalam Amrillah dkk, 2001) mengungkapkan bahwa prilaku seksual pranikah adalah prilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu.
Simanjuntak (dalam prastawa & Lailatushifah, 2009) menyatakan bahwa prilaku seksual pranikah adalah segala macam tindakan seperti bergandengan tangan, berciuman sampai dengan bersenggama yang dilakukan dengan adanya dorongan hasrat seksual yang dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan yang sah. Berdasarkan definisi – definisi yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa prilaku seksual pranikah adalah segala prilaku yang didorong oleh hasrat seksual seperti bergandengantangan, berciuman, bercumbu dan bersenggama yang dilakukan oleh pria dan wanita tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum dan agama.
a. Bentuk – Bentuk Prilaku Seksual
Sarwono mengemukakan bahwa perilaku seks bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, bersenggama. Menurut Hurlock perilaku seks yang biasa dilakukan dalam
(27)
berkencan mulai berciuman, bercumbu ringan, bercumbu berat sampai dengan bersenggama.
Menurut Muss, perilaku seks yang dilakukan saat berpacaran dimulai dari ciuman selamat malam, berpelukan, ciuman yang mendalam (ciuman di bibir dan leher), petting ringan sampai berat dan berhubungan seks. Jersild menyatakan bahwa dalam berpacaran remaja melibatkan beberapa kontak fisik, mulai dari berpegangan tangan, berciuman atau berpelukan, bahkan berhubungan seksual. Selain itu dalam berpacaran biasanya remaja juga melakukan necking dan petting.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rita Damayanti terhadap remaja di SLTA Jakarta tahun 2008 diperoleh hasil bahwa perilaku pacaran remaja adalah mengobrol, pegangan tangan, berangkulan, berciuman pipi, berpelukan, berciuman bibir, meraba-raba dada, meraba alat kelamin, menggesek kelamin, seks oral, dan hubungan seks.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gatra bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI) menjaring 800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Surabaya, dan Ujungpandang dapat diketahui bahwa responden menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap serba boleh) terhadap perilaku seks gaya modern seperti berpelukan antar lawan jenis, cium pipi, cium bibir, necking (cium leher atau cupang), meraba-raba, petting, dan senggama.
(28)
Penelitian tentang perilaku seksual pranikah juga pernah dilaksanakan di luar negeri oleh Sprecher, McKinney, Walsh, dan Anderson pada tahun 1988 yang kemudian mengkategorikan perilaku seks menjadi petting (saling menggesek-gesekkan alat kelamin), sexual intercourse (hubungan seksual), dan oral-genital sex (seks oral-genital). Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa petting merupakan perilaku seksual yang paling banyak dapat diterima oleh subjek, kemudian hubungan seksual dan seks oral.
Duvall, E.M & Miller, B.C (1985) mengatakan bahwa bentuk prilaku seksual pranikah mengalami peningkatan secara bertahap. Adapun bentuk – bentuk prilaku seksual tersebut adalah.
1) Touching
Berpegangan tangan, berpelukan. 2) Kissing
Berkisar dari ciuman singkat dan cepat sampai kepada ciuman yang lama dan lebih intim
3) Petting
Menyentuh atau meraba daerah erotis dari tubuh pasangan biasanya meningkat dari meraba ringan sampai meraba alat kelamin
4) Sexual Intercourse
(29)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk dari prilaku seksual menurut Duvall, E.M & Miller, B.C (1985) yaitu touching, kissing, petting dan sexual intercourse
1. Faktor yang Mempengaruhi Prilaku Seksual Pranikah Remaja
Menurut L Green (2005) perilaku dilakukan atau dibentuk oleh tiga faktor, yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factor)
Adalah faktor pencetus timbulnya perilaku seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai dan persepsi.
b. Faktor pemungkin (enabling factor)
Adalah faktor yang mendukung timbulnya perilaku sehingga motivasi dan pikiran menjadi kenyataan. Wujud dari faktor pendukung ini adalah seperti lingkungan dan sumber-sumber yang ada di masyarakat, seperti: ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, peraturan, undang-undang.
c. Faktor Penguat (reinforcing factor)
Adalah faktor yang mendukung timbulnya perilaku yang berasal dari orang lain seperti sikap dan perilaku dari petugas kesehatan, dukungan kelompok, teman, orang tua, pemerintah, dan lain-lain.
B. REMAJA
(30)
Banyak ahli yang memberikan definisi/batasan tentang masa remaja. Muss menjelaskan bahwa remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata Latin (adolescere) yang artinya tumbuh ke arah kematangan. Masa remaja dapat ditinjau sejak mulainya seseorang menunjukkan tanda-tanda pubertas dan berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual.
Santrock mengartikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Walaupun remaja mempunyai ciri unik, yang terjadi pada masa remaja akan saling berkaitan dengan perkembangan dan pengalaman pada masa anak-anak dan dewasa.
Masa awal remaja adalah waktu di mana konflik orang tua dengan remaja meningkat lebih dari konflik orang tua dengan anak. Peningkatan ini bisa terjadi karena beberapa faktor yang melibatkan pendewasaan remaja dan pendewasaan orang tua, meliputi perubahan biologis, pubertas, perubahan kognitif termasuk meningkatnya idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan jati diri, dan harapan yang tak tercapai.
Ditinjau dari sudut batas usia tampak bahwa golongan remaja sebenarnya tergolong kalangan yang transisional. Hal ini berarti, keremajaan merupakan gejala sosial yang bersifat sementara karena berada di antara usia anak-anak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya, mengakibatkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak, usia remaja sudah dianggap
(31)
dewasa sedangkan orang dewasa masih menganggap usia remaja sebagai anak kecil.
Mappiare menguraikan masa remaja dimulai dari usia 13 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun yang dibagi dalam masa remaja awal usia 13 tahun sampai 17 tahun dan remaja akhir 17 tahun sampai 21 tahun (19). Soekanto memberikan batasan golongan remaja putri adalah para gadis berusia 13 tahun sampai 17 tahun, dan bagi remaja laki-laki berusia 14 tahun sampai 17 tahun.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kriteria remaja dilihat berdasarkan aspek biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Ditinjau dari bidang kesehatan WHO, masalah yang dirasakan paling mendesak berkaitan dengan kesehatan remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Berdasarkan permasalahan tersebut, WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batas usia remaja. Kehamilan pada usia tersebut mempunyai resiko yang lebih tinggi daripada usia di atasnya. WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.
Ketika memasuki usia remaja terjadi perubahan fisik, emosional, maupun seksual. Hormon seksual di dalam tubuh mulai berfungsi. Perubahan hormon tersebut ditandai dengan kematangan seksual, sehingga dorongan seksual yang timbul semakin meluap. Baik remaja putra maupun putri akan merasakan adanya suatu dorongan seksual.
(32)
Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja, yaitu:
a. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm dan stress.
Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.
b. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
c. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain.
Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih
(33)
matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
d. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.
3. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst antara lain:
a. Memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan akan memperoleh peranan social
b. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif c. memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya c. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri e.
(34)
d. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga e. Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup
4. Perkembangan Seksualitas Remaja
Perkembangan seksualitas pada remaja meliputi: a. Perubahan fisik
1) Perempuan
a) Ditandai dengan perkembangan payudara, bisa dimulai paling muda umur 8 tahun sampai akhir usia 10 tahun.
b) Meningkatnya kadar estrogen mempengaruhi genitalia, antara lain: uterus membesar; vagina memanjang; mulai tumbuhnya rambut pubis dan aksila; dan lubrikasi vagina baik spontan maupun akibat rangsangan.
c) Menarche sangat bervariasi, dapat terjadi pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16 tahun. Siklus menstruasi pada awalnya tidak teratur dan ovulasi mungkin tidak terjadi saat menstruasi pertama. 2) Laki-laki
a) Meningkatnya kadar testosteron ditandai dengan peningkatan ukuran penis, testis, prostat, dan vesikula seminalis; tumbuhnya rambut pubis, wajah.
b) Walaupun mengalami orgasme, tetapi mereka tidak akan mengalami ejakulasi, sebelum organ seksnya matang sekitar usia 12 – 14 tahun.
(35)
c) Ejakulasi terjadi pertama kali mungkin saat tidur (emisi nokturnal), dan sering diinterpretasikan sebagai mimpi basah dan bagi sebagian anak hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat memalukan.
d) Oleh karena itu anak laki-laki harus mengetahui bahwa meski ejakulasi pertama tidak menghasilkan sperma, akan tetapi mereka akan segera menjadi subur.
b. Perubahan psikologis/emosi
1) Periode ini ditandai oleh mulainya tanggung jawab dan asimilasi pengharapan masyarakat
2) Remaja dihadapkan pada pengambilan sebuah keputusan seksual, dengan demikian mereka membutuhkan informasi yang akurat tentang perubahan tubuh, hubungan dan aktivitas seksual, dan penyakit yang ditularkan melalui aktivitas seksual.
3) Yang perlu diperhatikan terkadang pengetahuan yang didapatkan tidak diintegrasikan dengan gaya hidupnya, hal ini menyebabkan mereka percaya kalau penyakit kelamin maupun kehamilan tidak akan terjadi padanya, sehingga ia cenderung melakukan aktivitas seks tanpa kehatihatian.
(36)
4) Masa ini juga merupakan usia dalam mengidentifikasi orientasi seksual, banyak dari mereka yang mengalami setidaknya satu pengalaman homoseksual. Remaja mungkin takut jika pengalaman itu merupakan gambaran seksualitas total mereka, walaupun sebenarnya anggapan ini tidak benar karena banyak individu terus berorientasi heteroseksual secara ketat setelah pengalaman demikian.
5) Remaja yang kemudian mengenali preferensi mereka sebagai homoseksual yang jelas akan merasa kebingungan sehingga membutuhkan banyak dukungan dari berbagai sumber (Bimbingan Konselor, penasihat spiritual, keluarga, maupun profesional kesehatan mental).
C. Kerangka Teori
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi perilaku, dengan mengikuti teori yang dikemukkan oleh Green (2005) pembentuk perilaku spesifik dipengaruhi oleh faktor pemungkin (Enabling factor), faktor penguat (Reinforcing factor), dan faktor pendorong (Predisposing factor). Berdasarkan telaah pustaka diatas maka dapat disusun kerangka teori sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Genetik
Faktor predisposisi : - Pengetahuan - Sikap
- Kepercayaan - Nilai
(37)
Secara tidak Langsung komunikasi Melalui staf pelatihan, supervise, konsultasi. Umpan balik Pelatihan; Organisasi Kemasyarakatan, Pedoman, alokasi sumber
Sumber: Green (2005). D. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
E. Hipotesis Penelitian Komponen program promosi kesehatan Kebijakan peraturan organisasi Prilaku Individu, kelompok atau komunitas
Faktor Pendorong : - Faktor kemampuan
sumber daya kesehatan - Aksesibilitas - Peraturan dan
hukum - Keahlian - peralatan
Faktor pendukung : - Sikap dan prilaku
kesehatan orang lain, teman dekat, orang tua,
pemerintah pekerja kesehatan dan sebagainya.
Faktor lingkungan : - Fisik - Sosial - Ekonomi Perilaku Seksual Faktor Predisposisi:
1. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS;
2. Sikap terhadap seksualitas
Faktor Reinforcing:
1. Pengaruh teman sebaya 2. Pengawasan orang tua
Faktor Enabling: Pengaruh media massa
(38)
1. Ada hubungan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS dengan perilaku seksual pada remaja Di SMK YP Serdang Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2013
2. Ada hubungan sikap terhadap seksualitas dengan perilaku seksual pada remaja Di SMK YP Serdang Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2013
3. Ada hubungan teman sebaya dengan perilaku seksual pada remaja Di SMK YP Serdang Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2013
4. Ada hubungan pengawasan orang tua dengan perilaku seksual pada remaja Di SMK YP Serdang Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2013
5. Ada hubungan media massa dengan perilaku seksual pada remaja Di SMK YP Serdang Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2013
6. Ada faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan perilaku seksual pada remaja Di SMK YP Serdang Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2013
(39)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah kuantitatif (Murti, 2006). Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu tentang faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja, meliputi: pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS; sikap terhadap seksualitas; pengaruh teman sebaya; pengawasan orang tua dan pengaruh media massa
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 14-21 Januari tahun 2013 2. Penelitian dilaksanakan Di SMK YP Serdang Wilayah Kerja Puskesmas
(40)
C. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) yaitu penelitian yang mengkaji tentang hubungan antara efek dapat berupa penyakit atau kondisi kesehatan tertentu dengan faktor risiko tertentu, seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku yang dilihat dalam waktu bersamaan.
D. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek dan subyek yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2004:55). Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Kelas X, XI, dan XII Di SMK YP Serdang Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 299 siswa.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Untuk menentukan besarnya sampel peneliti menggunakan rumus Bungin (2005). Untuk perhitungan sampel peneliti menggunakan derajat kepercayaan 95% (d = 0,05).
(41)
1+N(d 2 ) Keterangan:
n : Besar sampel N : besar populasi
d : tingkat penyimpangan yang diinginkan (0,1) Sehingga didapatkan sampel sebanyak:
n = 299 1 + 299 (0,052 ) n = 171.1 orang
3. Tehnik Pengambilan Sampel
Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah random sampling yaitu dengan cara mengundi.
E. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel
Menurut Effendi, variabel adalah konsep yang mempunyai variabilitas nilai. Arikunto (1997) mengemukakan bahwa variabel penelitian adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Variabel independen meliputi pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS; sikap terhadap seksualitas; pengaruh teman sebaya; pengawasan orang tua dan pengaruh media massa
(42)
2. Definisi Operasional
Definisi operasional bermanfaat untuk mengarahkan atau mengamati variabel - variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen penelitian (alat ukur). Definisi operasional variabel – variabel dalam penelitian ini ialah sebagai berikut :
No Variabel Definisi Operasional Alat
Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1 Perilaku
Seksual Segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis, maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan perkawinan menurut agama diantaranya: masturbasi,
berpegangan tangan, berpelukan dan cium bibir, kissing, necking, petting, seks oral, intercause, dan seks anal (Sarwono, 2003).
Kuesioner Responden Mengisi Kuesioner 0: Beresiko (masturbasi, kissing, necking, petting, seks oral, intercouse, dan seks anal) 1: Tidak Beresiko
(berpegangan tangan, berpelukan)
Ordinal
2 Pengetahuan Kemampuan responden
dalam memahami informasi yang berhubungan dengan seksualitas meliputi: - Organ reproduksi laki-laki dan perempuan - Berbagai perubahan yang terjadi pada masa remaja
- Perilaku seks pranikah - Dampak perilaku seks pranikah
Kuesioner Responden Mengisi Kuesioner
0: Tidak Baik < 56%
1: Baik ≥ 56% (Arikunto, 2006)
Ordinal
3 Sikap Keyakinan dan
kecenderungan responden untuk bertindak tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas Kuesioner Responden Mengisi Kuesioner
0: Negatif (Skor T < 50)
1: Positif (Skor T ≥ 50)
(Hastono, 2007)
(43)
4 Pengaruh teman sebaya
Lingkungan pergaulan sehari hari dimana remaja bergaul
Kuesioner Responden Mengisi Kuesioner
0: Mendukung (Skor ≥ mean= 4,35) 1: Tidak mendukung (Skor < mean=4,35) (Hastono, 2007) Ordinal 5 Pengawasan
orang tua Kegiatan pengawasan/ Kontrol yang dilakukan orang tua terhadap pergaulan remaja
Kuesioner Responden Mengisi Kuesioner
0 : Tidak Baik (Skor < median=6) 1 : Baik (Skor ≥ median=6) (Hastono, 2007)
Ordinal
6 Media Massa Jumlah sumber media informasi yang berhubungan dengan pornografi. Kuesioner Responden Mengisi Kuesioner 0: Mendukung (Skor ≥ median =9) 1: Tidak
mendukung (Skor < median=9) (Hastono, 2007)
Ordinal
F. Alat Ukur
Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah: Kuesioner untuk variable perilaku seksual terdiri dari 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban pernah dan tidak pernah. Variable pengetahuan terdiri dari 30 pertanyaan dengan pilihan jawaban benar dan salah, variable sikap terdiri dari 10 pertanyaan meliputi 5 pernyataan positif dan 5 penyataan negative dengan pilihan jawaban Sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju, variable pengaruh teman sebaya terdiri dari 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban tidak pernah, pernah dan sering, variable pengaruh orang tua terdiri dari 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban tidak pernah, pernah dan sering, dan variable sumber informasi/media dengan 14 pertanyaan dengan pilihan jawaban ya dan tidak.
(44)
Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian dilakukan oleh peneliti dilakukan di SMA Pahlawan terhadap 30 responden.
1. Uji Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Tehnik yang digunakan dengan Korelasi product moment (r).
Keputusan Uji:
Bila r hitung lebih besar dari r tabel maka Ho ditolak, artinya variabel valid Bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho diterima, artinya variabel tidak valid.
Hasil uji validitas pada kuesioner perilaku didapat satu soal yang tidak valid yaitu soal no 3 dengan nilai r hitung 0,153, pengetahuan jumlah soal yang tidak valid sebanyak 10 item yaitu soal nomor 7 = 0,221, 9 = 0,065, 14 = -0,328, 15 = -0,286, 16 = 0,098, 17 = 0,081, 21 = 0,127, 24 = 0,115, 25 = 0,081, 28 = -0,033. Sikap jumlah soal yang tidak valid sebanyak 3 item, yaitu soal nomor 1 = 0,050, 4 = -0,051, 5 = -0,326, Pengaruh teman soal yang tidak valid sebanyak 2 item, yaitu soal nomor 9 = 0,142 dan 10 = 0,227, Pengaruh orang tua soal yang tidak valid sebanyak 3 item, yaitu soal nomor 2 = 0,184, 8 = -0,341 dan 9 = 0,261.
(45)
Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan cara one shot atau diukur sekali saja. Pengukuran reliabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebih dahulu. Jadi jika sebuah pertanyaan tidak valid, maka pertanyaan tersebut dibuang. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah valid kemudian baru secara bersama diukur reliabilitasnya.
Keputusan uji Reliabilitas adalah bila r alpha > r tabel, maka pertanyaan tersebut reliabel. Uji reabilitas didapatkan nilai r hitung perilaku 0, 854, pengetahuan 0,712, sikap 0,732, peran teman 0,833, dan peran orang tua 0,763 lebih besar dari nilai r tabel (0,374) yang berarti seluruh pertanyaan kuesioner dikatakan reliabel.
G. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dalam peneliti ini dengan cara melalui wawancara langsung menggunakan kuiseoner serta observasi dokumen yang ada di Sekolah.
H. Pengolahan Data
Analisis data penelitian agar menghasilkan informasi yang benar, paling tidak ada empat tahapan dalam pengolahan data yang harus dilalui (Hastono, 2007). 1. Editing
Memastikan bahwa data yang diperoleh sudah lengkap, artinya data dalam kuiseoner tersebut telah terisi semua dengan lengkap, jelas dan relevan. 2. Coding
Merupakan kegiatan merubah data kedalam bentuk angka/bilangan, terutama pada pertanyaan-pertanyaan yang belum sesuai dengan kode yang ada pada
(46)
definisi operasional berdasarkan hasil ukur. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan pada saat analisis dan juga mempercepat pada saat memasukkan data ke program komputer. Untuk variable perilaku seksual kode 0 untuk jawaban tidak pernah, kode 1 untuk jawaban pernah. Variable pengetahuan kode 0 untuk jawaban salah, kode 1 untuk jawaban benar. Variable sikap, kode 4 untuk jawaban sangat setuju, kode 3 untuk jawaban setuju, kode 2 untuk jawaban tidak setuju, kode 1 untuk jawaban sangat tidak setuju. Variable pengaruh teman sebaya kode 0 untuk jawaban tidak pernah, kode 1 untuk jawaban pernah. Variable pengaruh orang tua kode 0 untuk jawaban tidak pernah, kode 1 untuk jawaban pernah. Dan untuk variable sumber informasi/media kode 0 untuk jawaban tidak, kode 1 untuk jawaban Ya.
3. Proccessing
Setelah semua lembaran observasi dan kuiseoner terisi penuh dan benar serta sudah dilakukan pengkodean, selanjutnya data diproses dengan cara memasukan hasil observasi yang diperoleh dari dokumen yang dilakukan dalam instrument cheklist ke dalam program komputer.
4. Cleaning
Kegiatan pembersihan data dilakukan untuk mengecek kembali sebelum dilakukan analisis lebih lanjut.
I. Analisa Data
Data yang telah dilakukan pengolahannya dengan benar selanjutnya dianalisa dengan tiga tahapan, yaitu:
(47)
Analisa univariat ini dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi subyek penelitian dan distribusi rasio prevalensi perilaku seksual menurut masing-masing variabel independent yang diteliti.
2. Analisa Bivariat.
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan yang sekaligus menguji hipotesis penelitian dengan menggunakan uji Chi-Square. Analisis statistik untuk menguji hipotesis yang diajukan, diperlukan dalam mencapai tujuan penelitian kuantitatif. Data penelitian ini merupakan data kategorik yang selanjutnya diuji menggunakan uji statistik Chi square untuk menguji perbedaan proporsi atau persentase antara beberapa kelompok data. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan antara variabel independen kategorik dengan variabel dependen kategorik. Dalam hal ini menggunakan tabel contingensi (Agresti A, 1996).
3. Analisa multivariat
Analisis multivariate dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan hubungan variabel perilaku seksual pada remaja dengan variabel independen. Karena variabel independen dalam penelitian ini bersifat dikotomis (kategorik) dan variabel independennya terdiri dari beberapa variabel dalam satu model, maka analisis yang digunakan regresi logistic ganda.
Tahapan pemodelan :
a. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel independen dengan variabel perilaku seksual, bila hasil uji bivariat mempunyai nilai p < 0,25, maka variabel tersebut masuk dalam model multivariate. Nanum bisa saja p-value > 0,25 tetap diikutkan multivariate bila variabel tersebut secara subtansi penting.
(48)
a. Memilih variabel yang dianggap penting yang masuk dalam model, dengan cara mempertahankan variabel mempunyai nilai p-value < 0,05 dan mengeluarkan variabel yang nilai p-value >0,05. Pengeluaran variabel tidak serentak semua yang p-valuenya > 0,05 dikeluarkan secara bertahap dari variabel yang mempunyai p value terbesar.
b. Identifikasi linearitas variabel numerik dengan tujuan untuk menentukan apakah variabel numerik dijadikan variabel kategorik caranya dengan mengelompokkan variabel numerik kedalam 4 quartil kemudian lakukan analisis logistik dan hitung nilai OR-nya bila nilai OR masing masing kelompok menunjukan bentuk garis lurus, maka variabel numerik dapat dipertahankan, dan bila hasilnya ada patahan, maka dapat dipertimbangkan dirubah dalam bentuk kategorik.
c. Setelah memperoleh model yang memuat variabel –variabel penting, maka langkah terakhir adalah memeriksa kemungkinan interaksi variabel ke dalam model. Penentuan variabel interaksi sebaiknya melalui pertimbangan logika subtantif. Pembukti interaksi dilihat dari kemaknaan uji statistik bila variabel mempunyai nilai bermakna, maka variabel interaksi penting dimasukan dalam model.
(1)
4 Pengaruh teman sebaya
Lingkungan pergaulan sehari hari dimana remaja bergaul
Kuesioner Responden Mengisi Kuesioner
0: Mendukung (Skor ≥ mean= 4,35) 1: Tidak mendukung (Skor < mean=4,35) (Hastono, 2007) Ordinal 5 Pengawasan
orang tua Kegiatan pengawasan/ Kontrol yang dilakukan orang tua terhadap pergaulan remaja
Kuesioner Responden Mengisi Kuesioner
0 : Tidak Baik (Skor < median=6) 1 : Baik (Skor ≥ median=6) (Hastono, 2007)
Ordinal
6 Media Massa Jumlah sumber media informasi yang berhubungan dengan pornografi. Kuesioner Responden Mengisi Kuesioner 0: Mendukung (Skor ≥ median =9) 1: Tidak
mendukung (Skor < median=9) (Hastono, 2007)
Ordinal
F. Alat Ukur
Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah: Kuesioner untuk variable perilaku seksual terdiri dari 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban pernah dan tidak pernah. Variable pengetahuan terdiri dari 30 pertanyaan dengan pilihan jawaban benar dan salah, variable sikap terdiri dari 10 pertanyaan meliputi 5 pernyataan positif dan 5 penyataan negative dengan pilihan jawaban Sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju, variable pengaruh teman sebaya terdiri dari 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban tidak pernah, pernah dan sering, variable pengaruh orang tua terdiri dari 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban tidak pernah, pernah dan sering, dan variable sumber informasi/media dengan 14 pertanyaan dengan pilihan jawaban ya dan tidak.
(2)
Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian dilakukan oleh peneliti dilakukan di SMA Pahlawan terhadap 30 responden.
1. Uji Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Tehnik yang digunakan dengan Korelasi product moment (r).
Keputusan Uji:
Bila r hitung lebih besar dari r tabel maka Ho ditolak, artinya variabel valid Bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho diterima, artinya variabel tidak valid.
Hasil uji validitas pada kuesioner perilaku didapat satu soal yang tidak valid yaitu soal no 3 dengan nilai r hitung 0,153, pengetahuan jumlah soal yang tidak valid sebanyak 10 item yaitu soal nomor 7 = 0,221, 9 = 0,065, 14 = -0,328, 15 = -0,286, 16 = 0,098, 17 = 0,081, 21 = 0,127, 24 = 0,115, 25 = 0,081, 28 = -0,033. Sikap jumlah soal yang tidak valid sebanyak 3 item, yaitu soal nomor 1 = 0,050, 4 = -0,051, 5 = -0,326, Pengaruh teman soal yang tidak valid sebanyak 2 item, yaitu soal nomor 9 = 0,142 dan 10 = 0,227, Pengaruh orang tua soal yang tidak valid sebanyak 3 item, yaitu soal nomor 2 = 0,184, 8 = -0,341 dan 9 = 0,261.
(3)
Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan cara one shot atau diukur sekali saja. Pengukuran reliabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebih dahulu. Jadi jika sebuah pertanyaan tidak valid, maka pertanyaan tersebut dibuang. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah valid kemudian baru secara bersama diukur reliabilitasnya.
Keputusan uji Reliabilitas adalah bila r alpha > r tabel, maka pertanyaan tersebut reliabel. Uji reabilitas didapatkan nilai r hitung perilaku 0, 854, pengetahuan 0,712, sikap 0,732, peran teman 0,833, dan peran orang tua 0,763 lebih besar dari nilai r tabel (0,374) yang berarti seluruh pertanyaan kuesioner dikatakan reliabel.
G. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dalam peneliti ini dengan cara melalui wawancara langsung menggunakan kuiseoner serta observasi dokumen yang ada di Sekolah. H. Pengolahan Data
Analisis data penelitian agar menghasilkan informasi yang benar, paling tidak ada empat tahapan dalam pengolahan data yang harus dilalui (Hastono, 2007). 1. Editing
Memastikan bahwa data yang diperoleh sudah lengkap, artinya data dalam kuiseoner tersebut telah terisi semua dengan lengkap, jelas dan relevan. 2. Coding
Merupakan kegiatan merubah data kedalam bentuk angka/bilangan, terutama pada pertanyaan-pertanyaan yang belum sesuai dengan kode yang ada pada
(4)
definisi operasional berdasarkan hasil ukur. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan pada saat analisis dan juga mempercepat pada saat memasukkan data ke program komputer. Untuk variable perilaku seksual kode 0 untuk jawaban tidak pernah, kode 1 untuk jawaban pernah. Variable pengetahuan kode 0 untuk jawaban salah, kode 1 untuk jawaban benar. Variable sikap, kode 4 untuk jawaban sangat setuju, kode 3 untuk jawaban setuju, kode 2 untuk jawaban tidak setuju, kode 1 untuk jawaban sangat tidak setuju. Variable pengaruh teman sebaya kode 0 untuk jawaban tidak pernah, kode 1 untuk jawaban pernah. Variable pengaruh orang tua kode 0 untuk jawaban tidak pernah, kode 1 untuk jawaban pernah. Dan untuk variable sumber informasi/media kode 0 untuk jawaban tidak, kode 1 untuk jawaban Ya.
3. Proccessing
Setelah semua lembaran observasi dan kuiseoner terisi penuh dan benar serta sudah dilakukan pengkodean, selanjutnya data diproses dengan cara memasukan hasil observasi yang diperoleh dari dokumen yang dilakukan dalam instrument cheklist ke dalam program komputer.
4. Cleaning
Kegiatan pembersihan data dilakukan untuk mengecek kembali sebelum dilakukan analisis lebih lanjut.
I. Analisa Data
Data yang telah dilakukan pengolahannya dengan benar selanjutnya dianalisa dengan tiga tahapan, yaitu:
(5)
Analisa univariat ini dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi subyek penelitian dan distribusi rasio prevalensi perilaku seksual menurut masing-masing variabel independent yang diteliti.
2. Analisa Bivariat.
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan yang sekaligus menguji hipotesis penelitian dengan menggunakan uji Chi-Square. Analisis statistik untuk menguji hipotesis yang diajukan, diperlukan dalam mencapai tujuan penelitian kuantitatif. Data penelitian ini merupakan data kategorik yang selanjutnya diuji menggunakan uji statistik Chi square untuk menguji perbedaan proporsi atau persentase antara beberapa kelompok data. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan antara variabel independen kategorik dengan variabel dependen kategorik. Dalam hal ini menggunakan tabel contingensi (Agresti A, 1996).
3. Analisa multivariat
Analisis multivariate dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan hubungan variabel perilaku seksual pada remaja dengan variabel independen. Karena variabel independen dalam penelitian ini bersifat dikotomis (kategorik) dan variabel independennya terdiri dari beberapa variabel dalam satu model, maka analisis yang digunakan regresilogistic ganda.
Tahapan pemodelan :
a. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel independen dengan variabel perilaku seksual, bila hasil uji bivariat mempunyai nilai p < 0,25, maka variabel tersebut masuk dalam model multivariate. Nanum bisa saja p-value > 0,25 tetap diikutkan multivariate bila variabel tersebut secara subtansi penting.
(6)
a. Memilih variabel yang dianggap penting yang masuk dalam model, dengan cara mempertahankan variabel mempunyai nilai p-value < 0,05 dan mengeluarkan variabel yang nilai p-value >0,05. Pengeluaran variabel tidak serentak semua yang p-valuenya > 0,05 dikeluarkan secara bertahap dari variabel yang mempunyai p value terbesar.
b. Identifikasi linearitas variabel numerik dengan tujuan untuk menentukan apakah variabel numerik dijadikan variabel kategorik caranya dengan mengelompokkan variabel numerik kedalam 4 quartil kemudian lakukan analisis logistik dan hitung nilai OR-nya bila nilai OR masing masing kelompok menunjukan bentuk garis lurus, maka variabel numerik dapat dipertahankan, dan bila hasilnya ada patahan, maka dapat dipertimbangkan dirubah dalam bentuk kategorik.
c. Setelah memperoleh model yang memuat variabel –variabel penting, maka langkah terakhir adalah memeriksa kemungkinan interaksi variabel ke dalam model. Penentuan variabel interaksi sebaiknya melalui pertimbangan logika subtantif. Pembukti interaksi dilihat dari kemaknaan uji statistik bila variabel mempunyai nilai bermakna, maka variabel interaksi penting dimasukan dalam model.