S PKN 1102070 Chapter1

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini permasalahan yang timbul dari kalangan remaja semakin marak terjadi. Banyak persoalan-persoalan yang ditimbulkan dari perilaku yang sudah jauh melenceng dari nilai dan moral peserta didik. Menurut Cohen ( dalam Willis, 2008, hlm. 5) “perilaku menyimpang adalah tingkah laku yang melanggar atau bertentangan, atau menyimpang dari aturan-aturan normatif dari pengertian-pengertian normatif ataupun dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan”.

Dengan melihat kondisi generasi bangsa yang saat ini bisa dikatakansudah jauh melenceng dari nilia-nilai agama dan nilai-nilai moral, pentingnya pembiasaan- pembiasaan baik dan penanaman nilai-nilai agama dan moral di lingkungan sekolah dalam membentuk siswa berkarakter mulia. Seperti tercantum dalam sila pertama dalam Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” bahwasannya Ketuhanan memiliki posisi tertinggi dalam seseorang berperilaku dilingkungan masyarakat. Kualitas warga Negara yang baik adalah yang memiliki perilaku yang baik, yang dapat dijadikan teladan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, menjalankan demokratis yang baik dan Pancasilais.

Pembinaan peran generasi muda sangatlah diperlukan untuk masa depan, karena masa depan adalah lanjutan masa sekarang yang dijalani oleh para generasi muda untuk perubahan kearah yang lebih baik dengan berpedoman pada tujuan nasional Indonesia yang terkandung dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea 4, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi


(2)

dan keadilan sosial. Pentingnya pembinaan nilai- nilai budaya kewarganegaraan kepada generasi muda dilakukan untuk memberikan arahan dalam menentukan dan membentuk sikap yang lebih baik.

Budaya kewarganegaraan (civic culture) memberikan kontribusi dalam

pengembangan sikap maupun perilaku masyarakat dalam menentukan suatu keputusan. Hal ini disebabkan agar segala keputusan yang diambil tidak menjadi suatu kesalahan langkah dalam bertindak. Nilai- nilai budaya kewarganegaraan (civic culture) yang diterapkan dalam kehidupan sehari- hari bersinergi dengan ideologi kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila. Dapat dipahami bahwa nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan begitu, kepribadian masyarakat Indonesia telah terdapat di dalam jiwa Pancasila. Harus sesuai dengan nilai- nilai yang dijabarkan didalamnya dan mengamalkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya sebagai pedoman bagi Negara Indonesia akan tetapi dapat menjadi jiwa dalam setiap individu masyarakat Indonesia.

Budaya kewarganegaraan (civic culture) merupakan suatu pembentukan identitas warganegara dengan melakukan pengembangan sikap dan perilaku. Pengembangan tersebut dapat dilakukan masyarakat dengan turut berpartisipasi secara aktif di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu suatu pembentukan identitas setiap warganegara harus dilakukan dengan berbagai upaya seperti pembinaan dan pembiasaan- pembiasaan untuk menghasilkan pribadi anak bangsa yang berkarakter baik.

Nilai- nilai budaya kewarganegaraan (civic culture) yang diterapkan dalam kehidupan sehari- hari bersinergi dengan ideologi kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila. Dapat dipahami bahwa nilai- nilai yang terkandung dalam Pnacasila telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan begitu kepribadian masyarakat Indonesia telah terdapat dalam jiwa Pancasila. Oleh karena


(3)

itu, segala tindakan yang kita lakukan berpedoman dengan nilai- nilai yang terkandung tersebut.

Budimansyah dan Suryadi (2008, hlm. 186) mengungkapkan pengertian budaya kewarganegaraan (civic culture) sebagai berikut:

Civic culture adalah sikap dan tindakan yang terlembagakan yang dibangun atas dasar nilai- nilai yang menekankan pentingnya hak partisipasi warga Negara untuk mengambil keputusan- keputusan yang berkaitan dengan berbagai aspek kepentingan publik.

Pembinaan civic culture memberikan kontribusi dalam pembentukan identitas warga Negara. Adapun tujuan pembinaan tersebut ialah membentuk warga Negara yang berkarakter sesuai dengan nilai- nilai Pancasila. Selain itu civic culture juga dapat mengembangkan peran serta masyarakat secara aktif disegala bidang, baik bidang sosial dalam bergaul dilingkungan masyarakat sebagai individu yang selalu berhubungan dengan individu lain, ekonomi, politik, budaya dan lainnya, sehingga mampu memunculkan sikap warga Negara yang cerdas dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pentingnya pembinaan budaya kewarganegaraan (civic culture) kepada peserta didik dengan berbagai pembinaan dan pembiasaan untuk menumbuhkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menciptakan generasi penerus yang baik dan memiliki karakter yang sesuai dengan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.

Hartomo dan Azis (1999, hlm. 127) menguraikan beberapa arahan pembinaan dan pengembangan generasi muda ditujukan pada pengembangan yang memiliki keselarasan dan keutuhan antara ketiga sumbu orientasi hidup, yakni:

1) Orientasi keatas kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai- nilai kerohanian yang luhur dan falsafah hidup Pancasila. Pembinaan dan pengembangan generasi muda ini berorientasi keatas ialah pengembangan insane berKetuhanan Yang


(4)

Maha Esa, yang bertakwa kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan, berbudi pekerti luhur dan bermoral Pancasila.

2) Orientasi kedalam terhadap dirinya sendiri. Pengembangan sebagai insane biologis, insane intelek serta insane kerja guna mengembangkan bakat- bakat dan kemampuan jasmaniah dan rohaniah agar dapat memberikan prestasi yang maksimal dengan mengembangkan faktor- faktor kemampuan dalam dirinya.

3) Orientasi keluar terhadap lingkungan (budaya, sosial dan moral) dan masa depannya. Sumbu orientasi keluar dibagi atas (a). pengembangan sebagai insane sosial budaya, (b). pengembangan sebagai insane sosial politik dan sebagai insane patriot, (c). pengembangan sebagai insane sosial ekonomi, (d). pengembangan pemuda terhadap masa depannya, kepekaan terhadap masa depannya yang menumbuhkan kemampuan untuk mawas diri, kreatif, kritis serta menumbuhkan kesadaran bagi kesinambungan nilai- nilai luhur bangsa dan Negara.

Berdasarkan pendapat diatas, bahwa arah pembinaan civic culture dapat ditujukan bagi generasi penerus bangsa yaitu generasi muda, dimana arahan pembinaan berorientasi pada kehidupan, baik berorientasi kepada Tuhan Yang Maha Esa, orientasi pada dirinya serta pada orang lain yang berada disekitarnya. Arahan pembinaan semata- mata dilakukan untuk membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk berperilaku yang sesuai dengan moral dan Pancasila, patuh dan tunduk terhadap Penciptanya serta menjalani segala hak dan kewajiban yang harus ditunaikan olehnya sebagai makhluk ciptaan- Nya dan individu yang berdiam dalam suatu lingkungan yang berinteraksi dengan individu lain,dan memiliki sikap dan karakter yang mencerminkan sebagai warga Negara yang baik.

Dalam prakteknya, Remaja usia 13 sampai dengan 18 tahun memiliki perilaku yang rentan terlibat atau terpengaruh oleh hal- hal negatif dalam lingkungan mereka bergaul, karena di usia itu umumnya remaja- remaja cenderung ingin tahu dan mencoba- coba hal baru yang baru mereka temui, dan dalam prakteknya tidak jarang yang menyimpang dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Fenomena rill contohnya seperti tawuran antara pelajar, pornografi dan pornoaksi yang diperankan oleh para pelajar, penyalahgunaan narkoba, dan penyalahgunaan media yang semakin canggih.


(5)

Soekanto (2012, hlm. 165) mengatakan bahwa:

Seorang anak dalam perkembangannya dipengaruhi baik oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri sendiri(intern),maupun faktor-faktor yang berasal dari lingkungan luar diri pribadinya(ekstern). Diri pribadi manusia umumnya terdiri dari tiga aspek yaitu, rasionya atau aspek kognitif, emosinya atau aspek afektif, dan yang ketiga merupakan hasil penyerasian antara aspek afektif atau yang disebut aspek konatif atau kehendak manusia.

Perilaku menyimpang yang melanda kalangan siswa atau pelajar umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya ialah dalam pergaulan di lingkungan masyarakat. Perilaku menyimpang siswa pada dasarnya lahir dari ekspresi sikap kenakalan yang muncul dari lingkungan pergaulannya. Secara fonomenologis gejala kenakalan timbul dalam masa pubertas, di mana jiwa dalam keadaan labil, sehingga mudah terseret oleh lingkungan. Seseorang anak tidak tiba-tiba menjadi nakal, tetapi menjadi nakal karena beberapa saat setelah dibentuk oleh lingkungan yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Selain permasalahan yang timbul dari diri pribadi remaja, banyak hal- hal penyebab lainnya yang menjadikan remaja berprilaku menyimpang.Salah satunya yaitu lingkungan keluarga dan sekolah.Keluarga merupakan langkah awal dalam perkembangan dan pertumbuhan kepribadian anak, dimana anak tumbuh dan berkembang dari lingkungan terdekat mereka yaitu keluarga. Apabila keluarga memiliki kemampuan baik dalam membentuk perilaku anaknya, jelas anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik pula.

Pentingnya pembinaan civic culture dengan pembiasaan- pembiasaan baik yang dilakukan siswa sejak usia dini agar siswa tidak salah langkah dalam bergaul dan saat terjun dalam lingkungan masyarakat.

Menurut Ali Syamsudin dalam bukunya Mengukir Sifat Kepribadian Muslim (2009, hlm. 74), Pendidikan karakter merupakan “Sebuah usaha untuk mendidik anak- anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya


(6)

dalam kehidupan sehari- hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya”.

Adapun tujuan pendidikan karakter menurut Dharma Kusuma dkk (2011, hlm. 43) ialah:

1. Menguatkan dan mengembangkan nilai- nilai kehidupan yang dianggap

penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/ kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai- nilai yang dikembangkan;

2. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai- nilai yang dikembangkan oleh sekolah;

3. Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.

Kemampuan yang harus dikembangkan pada peserta didik melalui persekolahan adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang berketuhanan (tunduk patuh pada konsep ketuhanan) dan mengemban amanah sebagai pemimpin didunia. Kemampuan yang perlu dikembangkan pada peserta didik adalah kemampuan mengabdi kepada Tuhan yang menciptakannya, kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri, kemampuan untuk hidup secara harmoni dengan manusia dan makhluk lainnya dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai wahana kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa “anak sejak lahir telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan”. (Jalaludin, 1996, hlm. 65).

Komaruddin Hidayat (Mansyur, 2011, hlm. 73) mengatakan bahwa

Hakikat spiritual anak tercermin dalam sikap spontan, imajinasi, dan kreativitas yang tak terbatas dan semua itu dilakukan dengan terbuka serta ceria.Spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai- nilai agama, dan moral.Spiritual memberi arah dan arti pada kehidupan.Caranya dengan melalui pembiasaan perkataan, tindakan dan perhatian, dan lain sebagainya.

Pembinaan civic culture yang sangat penting diberikan pada anak untuk menumbuhkan sikap dan moral serta karakter yang baik ialah pemberian pendidikan dasar dalam hal spiritual.SabdaRasulullah SAW yang artinya: "Tidak ada anak yang


(7)

dilahirkan kecuali dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nashrani dan majusi". (H.R. Imam Muslim).

Implementasi dalam Islam, tersimpul dalam karakter pribadi Rasulullah SAW. Dalam pribadi Rasul, tersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung. Al-qur’an dalam surat Al-ahzab ayat 21 mengatakan:

Artinya: “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari

kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Dan diantara ayat Al-qur’an yang menjadi dasar sikap baik seseorang adalah surat Luqman ayat 17-18 sebagai berikut yang artinya:

Artinya: “Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang

baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan

diri”.

Anak akan senantiasa mengikuti perilaku yang diperintahkan atau dicerminkan dari gurunya, untuk itu dalam memberikan pembelajaran di sekolah, guru perlu memperhatikan cara mereka mengajar dan memperhatikan perilaku- perilaku anak didiknya. Guruyang mempunyai prilaku yang baik akan senantiasa memberikan suritauladan yang baik kepada peserta didiknya, mendidik dengan panggilan hati, berintegritas menjalankan profesi, tidak jemu mengasah kompetensi, dan tulus mengabdikan diri untuk mengeluarkan peserta didik dari jerat kebodohan sebagaimana ketulusan pengabdian menghamba kepada Tuhannya.

Pentingnya pembinaan civic culture dengan pembiasaan menanamkan nilai- nilai dan norma- norma dalam lingkungan sekolah agar menciptakan perilaku anak yang baik yang akan senantiasa melahirkan karakter anak yang baik pula dan menjunjung tinggi nilai- nilai agama dalam menjalankan kehidupannya. Menjadi pribadi yang bermoral dan berkarakter sesuai dengan karakter warganegara yang baik


(8)

yang mampu menjadi individu yang berkualitas yang sesuai dengan nilai- nilai yang berlaku di masyarakat.

Pondasi penopang tangguhnya perilaku manusia yang pertama ialah dimensi

religiusitas. Agama merupakan ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Sejalan dengan itu tercermin pula dalam sila pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, dari sila pertama dari Pancasila tersebut tercermin, bahwa sikap ketuhanan atau berkarakter religius dan berakhlak mulia merupakan hal wajib yang harus dimiliki masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan memiliki akhlak mulia dan berkarakter akan senantiasa memberikan pengaruh baik pada perilaku- perilaku lainnya yang akan dijalani. Perilaku- perilaku baik lainnya akan tumbuh dan terwujud apabila individu memiliki rasa kecintaan pada Tuhan yang telah menciptakannya. Selain itu, prinsip kehidupan yang didapatkan dari Pancasila adalah adil, kesadaran akan ketuhanan, memiliki integritas, kebijaksanaan, dan mentalitas berkelimpahan yang penuh keberadaban.

Menurut Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan bahwa

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab"

Maka kita dapat memahami bahwa tujuan utama pendidikan adalah membentuk insan yang beriman dan berakhlak mulia.

Seperti yang terkandung dalam Surat al-A’raf (7) ayat 172:

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka

(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu)


(9)

agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani

Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”

Dengan menyadari kehadiran Tuhan pada dirinya, setiap muslim selalu berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk mewujudkan kehendak yang diperintahkan Tuhan seraya menjauhi perbuatan-perbuatan yang disinyalir akan mengundang murka-Nya.

Untuk itu pentingnya menanamkan pembinaan civic culture dengan

pembiasaan- pembiasaan baik dalam membentuk prilaku siswa dan pembinaan berakhlak mulia pada siswa yang diberikan sekolah dengan penanaman nilai- nilai religius pada siswa, tersedianya sekolah yang baik sangat dibutuhkan.

Peran pendidikan dalam mencegah terjadinya perilaku menyimpang di kalangan siswa adalah dengan dilaksanakannya program pembinaan siswa yang dirancang oleh sekolah tanpa mengabaikan kegiatan belajar mengajar, ini dapat berarti bahwa program pembinaan siswa dan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan seiringan. Program pembinaan siswa di sekolah dapat berupa extrakulikuler atau program keahlian lainnya tentunya sesuai minat dan bakat siswa.

Menurut Willis (2008, hlm.142) upaya pembinaan remaja dimaksudkan ialah:

1. Pembinaan terhadap remaja yang tidak melakukan kenakalan, dilaksanakan di

rumah, sekolah, dan masyarakat. Pembinaan seperti ini telah di ungkapkan pada upaya preventif yaitu upaya menjaga jangan terjadi kenakalan remaja. 2. Pembinaan terhadap remaja yang telah mengalami tingkah laku kenakalan

atau yang telah menjalani sesuatu hukuman karena kenakalannya. Hal ini perlu dibina agar supaya mereka tidak mengulangi lagi kenakalannya. Dalam hal ini pembinaan dapat diarahkan dalam beberapa aspek :

a. Pembinaan mental dan kepribadian beragama.

b. Pembinaan mental ideologi negara yakni pancasila, agar menjadi warga negara yang baik.

c. Pembinaan kepribadian yang wajar untuk mencapai pribadi yang stabil dan sehat.

d. Pembinaan ilmu pengetahuan.

e. Pembinaan keterampilan khusus.


(10)

Pembinaan civic culture dengan pembiasaan nilai- nilai religius yang diterapkan dalam lingkungan sekolah terhadap siswa untuk membentuk perilaku siswa kearah yang lebih baik merupakan salah satu upaya yang dilakukan sekolah untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai- nilai dan norma- norma yang berlaku di masyarakat dan Negara, mampu membentuk siswa menjadi pribadi yang berkarakter lebih baik dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan orang- orang disekitarnya. Mampu menjadi warga Negara yang memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negaranya. Menjadi contoh yang baik dan generasi penerus bangsa yang memberikan nama baik untuk negaranya serta menjadi warga Negara yang baik (to be good citizenship) dengan melakukan suatu tindakan/ kegiatan yang bermanfaat dan berdaya guna bagi Negara Indonesia.

Dengan diterapkannya pembinaan civic culture dengan pembiasaan nilai- nilai religius siswa yang diberlakukan oleh SMP Negeri 44 Bandung seharusnya memberikan banyak nilai- nilai yang didapatkan oleh siswa- siswanya, antara lain menumbuhkan karakter religius dan barakhlak mulia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, senantiasa tunduk dan patuh terhadap apa yang diperintahkanNya, senantiasa berprilaku baik, jujur, disiplin dan bertanggung jawab terhadap hak dan kewajiban yang seharusnya dijalani sebagai makhluk Tuhan, menunjukan perilaku yang baik dalam lingkungan masyarakat, berbangsa dan bernegara, bermoral dan menjadi contoh bagi teman- teman dan lingkungannya, menjadi warga Negara yang memiliki sikap yang sesuai dengan kebiasaan dan aturan yang berlaku dalam lingkungannya.

PEMBIASAAN NILAI- NILAI RELIGIUS TERHADAP PEMBINAAN CIVIC CULTURE SISWA DI SMP NEGERI 44 BANDUNG ( Studi Deskriptif di SMP Negeri 44 Bandung )


(11)

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, penulis dapat mengidentifikasi masalah umum yang akan diungkap dalam penelitian ini yaitu Bagaimana Pembiasaan Nilai-Nilai Religius Terhadap Pembinaan Civic Culture

Siswa di SMP Negeri 44 Bandung?

2. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah penulis dalam melakukan penelitian ini, maka masalah umum tersebut dijabarkan sebagai masalah khusus yang menjadi rumusan masalah penelitian ini, yaitu:

a. Bagaimana program penerapan pembiasaan nilai-nilai religius di SMP Negeri

44 Bandung?

b. Bagaimanakah pelaksanaan program pembiasaan nilai-nilai religius terhadap pembinaan civic culture siswa?

c. Bagaimanakah bentuk keberhasilan program pembiasaan nilai-nilai religius terhadap pembinaan civic culture siswa?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembiasaan nilai-nilai religius terhadap civic culture siswa di SMP Negeri 44 Bandung

2. Tujuan Khusus

Selain tujuan umum, penelitian ini pula memiliki tujuan khusus yakni untuk: a. Untuk melihat dan mengetahui penerapan pembiasaan nilai-nilai religius

siswa di SMP Negeri 44 Bandung

b. Untuk melihat dan mengetahui pelaksanaan pembiasaan nilai-nilai religius terhadap civic culture siswa


(12)

c. Untuk melihat dan mengetahui bentuk keberhasilan pembiasaan nilai-nilai religius terhadap civic culture siswa

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berkaitan dengan upaya untuk memperoleh informasi dan data mengenai pembiasaan nilai- nilai religius terhadap pembinaan civic culture siswa di SMP Negeri 44 Bandung. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat diperoleh kegunaan sebagai berikut:

1. SegiTeoritis

Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan sesuatu yang berguna dalam tataran teoritis bagi pelaksanaan dan pengembangan keilmuan tentang karakter religus bagi siswa- siswa di sekolah menengah. Secara keilmuan diharapkan agar memberikan pengetahuan dan pengalaman kepada siswa mengenai pentingnya mengedepankan pendidikan spiritual dan mengamalkannya dalam menjalankan kehidupan sehari- hari dalam lingkungan masyarakat, memiliki nilai- nilai dan norma-norma yang berlaku di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agar menghindarkan diri dari hal- hal negatif yang tidak diinginkan. Selain itu dapat membentuk karakter siswa yang religius dan bermoral baik terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

2. SegiPraktis

Secara praktis penelitian ini berguna untuk:

a. Diketahuinya penerapan pembiasaan nilai-nilai religius siswa di SMP Negeri 44 Bandung

b. Diketahuinya pelaksanaan pembiasaan nilai-nilai religius terhadap pembinaan

civic culture siswa

c. Diketahuinya bentuk keberhasilan pembiasaan nilai-nilai religius terhadap pembinaan civic culture sisw


(13)

3. Segi Isu

Secara isu penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana penerapan nilai-nilai religius terhadap pembinaan civic culture siswa di SMP Negeri 44 Bandung.

E. Penjelasan Istilah

Untuk menghindari kekeliruan dalam mengartikan istilah-istilah yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi pengertian dari setiap istilah tersebut sebagai berikut:

1. Pengertian Pembiasaan

Pembiasaan merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relative menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang- ulang. Model pembiasaan yang diterapkan diberbagai sekolah mempunyai tujuan yang hendak dicapai dalam pembentukan karakter/ watak siswa, sebagaimana yang dijelaskan oleh Budimansyah (2010, hlm. 63):

Habituasi adalah proses penciptaan aneka situasi dan kondisi (persistentlife situation) yang berisi aneka penguatan ( reinforcement) yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, dirumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berprilaku sesuai dengan nilai dan menjadikan perangkat nilai yang telah diiternalisasi dan dipersonalisasi melalui proses olah hati, olah pikir, olah raga dan olah rasa dan karsa itu sebagai karakter atau watak. Sedangkan Naping (dalam Dahliyana, 2009, hlm. 30) menjelaskan bahwa

Pembiasaan dapat dipahami sebagai pembudayaan (internalization) dan pelembagaan (institualization). Makna pertama merujuk pada upaya penanaman suatu nilai, sikap, perasaan, pandangan dan pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat kepada individu- individu anggota kebudayaan bersangkutan. Sedangkan makna kedua menekankan pada aspek nilai, norma dan perilaku yang disepakati secara bersama oleh individu dalam kontek sosial, mengendalikan dan mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan yang bersifat spesifik.


(14)

Penjelasan diatas memberikan kesimpulan bahwa pembiasaan atau habituasi bertujuan untuk menumbuh kembangkan karakter atau watak seseorang agar dapat berprilaku sesuai dengan yang ingin dicapai.

Bourdy (dalam Dahliyana, 2009, hlm. 32) menyebutkan bahwa

Habituasi adalah struktur struktur kognitif yang memperantai individu dan realita sosial. Habitus merupakan subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Secara muda habitus diindikasikan oleh skema- skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda- benda dalam realita sosial. Skema itu diungkapkan dalam wujud istilah penanaman. Skema itu berhubungan sedemikian rupa membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan kepada individu dalam kehidupan kesehariannya bersama orang lain. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas.

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (dalam Dahliyana, 2009,

hlm. 32) menyebutkan bahwa “Habituasi sebagai pembiasaan yang artinya

merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui pembelajaran yang berulang- ulang”.

2. Pengertian Civic Culture

Civic culture merupakan budaya yang ada di masyarakat dan harus dikembangkan terus oleh masyarakat karena civic culture merupakan budaya yang mampu membentuk identitas pribadi masyarakat. Identitas pribadi masyarakat yang bersumber dari civic culture tersebut dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan latar. Elemen civic cultur yang paling central dan perlu dikembangkan adalah civic virtue.

Berkenaan dengan civic virtue menurut Quigley, dkk (dalam Budimansyah dan Winataputra, 2012, hlm. 234) adalah “kemauan dari warganegara untuk menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi”.

Sedangkan menurut Kalidjernih (2010, hlm. 21) “civic virtue adalah istilah


(15)

dan komitmen yang diperlukan untuk memelihara dan memajukan kewarganegaraan dan pemerintahan yang demokratis”.

Civic virtue sebagai bagian dari civic culture yang tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan. Seperti halnya dengan civic disposition dan civic commitments. Yang memiliki arti menurut Quigley, dkk (dalam Budimansyah dan Winataputra, 2012, hlm. 235) mengungkapkan bahwa:

Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni civility atau keadaban ( hormat pada orang lain dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab individual, self- discipline atau disiplin diri, civic mindedness

atau kepekaan terhadap masalah kewargaan, open- mindedness ( terbuka,

skeptic, mengenal ambiguitas), compromise ( prinsip konflik dan batas- batas kompromi), toleration of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience dan persistence atau kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan,

generosity atau kemurahan hati, and loyality to the nation and its principle

atau kesetiaan pada bangsa dan segala aturan.

Budimansyah dan Suryadi (2008,hlm. 186) mengungkapkan pengertian budaya kewarganegaraan (civic culture) sebagai berikut

Civic culture adalah sikap dan tindakan yang terlembagakan yang dibangun atas dasar nilai- nilai yang menekankan pentingnya hak partisipasi warga Negara untuk mengambil keputusan- keputusan yang berkaitan dengan berbagai aspek kepentingan publik.

3. Pengertian Religius

Religius berasal dari kata Religi yang memiliki arti bersifat keagamaan dan ia sangat terkesan atas kehidupan.

Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa religius merupakan salah satu karakter yang dimiliki manusia dimana religious itu merupakan sikap patuh manusia terhadap penciptanya yaitu Allah SWT. Seseorang yang senantiasa tunduk dan patuh atas ajaran dan perintah Allah melalui Rasulullah saw, Al-Qur’an dan hadist merupakan salah satu ciri seseorang yang berkarakter religius.


(16)

Berkaitan dengan hal tersebut bahwa dalam pembelajaran dipersekolahan sangat pentingnya penanaman sifat atau karakter religius yang diberikan pada siswa- siswa agar siswa- siswa tersebut dalam menjalankan kehidupannya sesuai dengan apa yang diyakininya. Tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi semata namun akhirat pula.

Karakter religius ini sangat dibutuhkan oleh siswa dalam menghadapi perubahan zaman dan perubahan moral yang kekinian semakin buruk. Dalam hal ini siswa diharapkan mampu memiliki dan berprilaku dengan ukuran baik dan buruk yang di dasarkan pada ketentuan dan ketetapan agama khususnya agama Islam. Pembentukan karakter religius ini tentu dapat dilakukan jika seluruh komponen masyarakat danstake holders pendidikan dapat berpartisipasi dan berperan serta, termasuk orang tua dari siswa itu sendiri.

4. Program Kegiatan di SMP Negeri 44 Bandung

Program pembiasaan merupakan salah satu program yang diadakan di SMP Negeri 44 Bandung sejak tahun 2005. Program ini merupakan program yang sengaja dibuat dan diterapkan dilingkungan sekolah tersebut karena melihat situasi sekolah yang dirasa kurang memiliki nilai- nilai agamis pada siswa- siswanya.Terbukti dengan banyaknya kasus yang melibatkan siswa- siswa sekolah tersebut, diawali permasalahan kecil dengan melanggar peraturan- peraturan yang sekolah buat hingga terdengar kabar adanya bom meletop disekolah tersebut. Terjadinya perkelahian antar pelajar, tawuran dan kenakalan remaja lainnya yang membuat pihak sekolah berpikir bagaimana caranya untuk membina moral dan karate siswa untuk menjadi individu yang baik, positif dan berakhlak mulia.

Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, guru- guru dan kepala sekolah khususnya memutuskan untuk membuat dan menerapkan program pembiasaan diantaranya pembacaan asmaul husna dan sholawat, sholat dhuha, sholat dzuhur dan hafalan 4 Ayat 4 Surat, dimana kegiatan ini dibentuk dan diterapkan kepada siswa-


(17)

siswa semata- mata untuk meningkatkan ketaqwaan dan membentuk serta membina karakter baik terhadap dirinya dan Allah SWT, terhadap keluarga dan lingkungannya. Adapun program yang dilakukan setiap hari yaitu pembacaan Asmaul Husna saat sebelum proses pembelajaran dimulai dengan membaca dan memperdalam asma- asma Allah dan sholawat, kemudian melaksanakan shalat Dhuha setelah pembacaan Asmaul Husna, dilanjut dengan hafalan 4 ayat 4 surat yang dilakukan sebelum sholat Dzuhur, dan setelahnya menjalankan shalat Dzuhur berjamaah.

Banyaknya kegiatan berjumlah empat (pembacaan Asmaul Husna dan sholawat, shalat Dhuha, hafalan surat dan shalat dzuhur berjamaah), hafalan surat yang dibaca berjumlah empat, yaitu surah Yasin, Ar- Rahman Al- Waqiah dan Al- Mulk. Dan jumlah ayat yang dihafal per hari berjumlah empat.

Adapun harapan dari dibentuknya program tersebut ialah semata- mata untuk meningkatkan karakter siswa agar terhindar dari perilaku- perilaku menyimpang yang saat ini kebanyakan dialami oleh remaja- remaja SMP dan SMA.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi yang berisi rincian tentang urutan penulisan.

a. Bagian pertama berupa pendahuluan yang berisi uraian mengenai latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan istilah, lokasi dan subjek penelitian dan sistematika penulisan.

b. Bagian kedua berupa kajian pustaka yang berisi mengenai pendidikan karakter dan karakter religius

c. Bagian ketiga berupa metode penelitian yang berisi mengenai pendekatan dan metode penelitian, teknik pengumpulan, subjek penelitian, teknik pengolahan dan analisis data dan tahap-tahap data penelitian.

d. Bagian keempat berupa hasil penelitian dan pembahasan yang berisi mengenai gambaran umum penerapan pembiasaan nilai-nilai religius, pelaksanaan program


(18)

pembiasaan, keberhasilan penerapan pembiasaan nilai-nilai religius, hasil penelitian, analisis data dan pengujian, hipotesis dan pembahasan.

e. Bagian kelima berupa kesimpulan dan saran yang berisi mengenai kesimpulan dan saran.


(1)

3. Segi Isu

Secara isu penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana penerapan nilai-nilai religius terhadap pembinaan civic culture siswa di SMP Negeri 44 Bandung.

E. Penjelasan Istilah

Untuk menghindari kekeliruan dalam mengartikan istilah-istilah yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi pengertian dari setiap istilah tersebut sebagai berikut:

1. Pengertian Pembiasaan

Pembiasaan merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relative menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang- ulang. Model pembiasaan yang diterapkan diberbagai sekolah mempunyai tujuan yang hendak dicapai dalam pembentukan karakter/ watak siswa, sebagaimana yang dijelaskan oleh Budimansyah (2010, hlm. 63):

Habituasi adalah proses penciptaan aneka situasi dan kondisi (persistentlife situation) yang berisi aneka penguatan ( reinforcement) yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, dirumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berprilaku sesuai dengan nilai dan menjadikan perangkat nilai yang telah diiternalisasi dan dipersonalisasi melalui proses olah hati, olah pikir, olah raga dan olah rasa dan karsa itu sebagai karakter atau watak. Sedangkan Naping (dalam Dahliyana, 2009, hlm. 30) menjelaskan bahwa

Pembiasaan dapat dipahami sebagai pembudayaan (internalization) dan pelembagaan (institualization). Makna pertama merujuk pada upaya penanaman suatu nilai, sikap, perasaan, pandangan dan pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat kepada individu- individu anggota kebudayaan bersangkutan. Sedangkan makna kedua menekankan pada aspek nilai, norma dan perilaku yang disepakati secara bersama oleh individu dalam kontek sosial, mengendalikan dan mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan yang bersifat spesifik.


(2)

Penjelasan diatas memberikan kesimpulan bahwa pembiasaan atau habituasi bertujuan untuk menumbuh kembangkan karakter atau watak seseorang agar dapat berprilaku sesuai dengan yang ingin dicapai.

Bourdy (dalam Dahliyana, 2009, hlm. 32) menyebutkan bahwa

Habituasi adalah struktur struktur kognitif yang memperantai individu dan

realita sosial. Habitus merupakan subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Secara muda habitus diindikasikan oleh skema- skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda- benda dalam realita sosial. Skema itu diungkapkan dalam wujud istilah penanaman. Skema itu berhubungan sedemikian rupa membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan kepada individu dalam kehidupan kesehariannya bersama orang lain. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas.

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (dalam Dahliyana, 2009, hlm. 32) menyebutkan bahwa “Habituasi sebagai pembiasaan yang artinya merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui pembelajaran yang berulang- ulang”.

2. Pengertian Civic Culture

Civic culture merupakan budaya yang ada di masyarakat dan harus

dikembangkan terus oleh masyarakat karena civic culture merupakan budaya yang mampu membentuk identitas pribadi masyarakat. Identitas pribadi masyarakat yang bersumber dari civic culture tersebut dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan latar. Elemen civic

cultur yang paling central dan perlu dikembangkan adalah civic virtue.

Berkenaan dengan civic virtue menurut Quigley, dkk (dalam Budimansyah dan Winataputra, 2012, hlm. 234) adalah “kemauan dari warganegara untuk menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi”.

Sedangkan menurut Kalidjernih (2010, hlm. 21) “civic virtue adalah istilah dalam pendidikan kewarganegaraan yang merujuk kepada watak atau karakter


(3)

dan komitmen yang diperlukan untuk memelihara dan memajukan kewarganegaraan dan pemerintahan yang demokratis”.

Civic virtue sebagai bagian dari civic culture yang tidak dapat dilepaskan atau

dipisahkan. Seperti halnya dengan civic disposition dan civic commitments. Yang memiliki arti menurut Quigley, dkk (dalam Budimansyah dan Winataputra, 2012, hlm. 235) mengungkapkan bahwa:

Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni civility atau keadaban ( hormat pada orang lain dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab individual, self- discipline atau disiplin diri, civic mindedness atau kepekaan terhadap masalah kewargaan, open- mindedness ( terbuka,

skeptic, mengenal ambiguitas), compromise ( prinsip konflik dan batas- batas

kompromi), toleration of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience

dan persistence atau kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan,

generosity atau kemurahan hati, and loyality to the nation and its principle

atau kesetiaan pada bangsa dan segala aturan.

Budimansyah dan Suryadi (2008,hlm. 186) mengungkapkan pengertian budaya kewarganegaraan (civic culture) sebagai berikut

Civic culture adalah sikap dan tindakan yang terlembagakan yang dibangun

atas dasar nilai- nilai yang menekankan pentingnya hak partisipasi warga Negara untuk mengambil keputusan- keputusan yang berkaitan dengan berbagai aspek kepentingan publik.

3. Pengertian Religius

Religius berasal dari kata Religi yang memiliki arti bersifat keagamaan dan ia sangat terkesan atas kehidupan.

Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa religius merupakan salah satu karakter yang dimiliki manusia dimana religious itu merupakan sikap patuh manusia terhadap penciptanya yaitu Allah SWT. Seseorang yang senantiasa tunduk dan patuh atas ajaran dan perintah Allah melalui Rasulullah saw, Al-Qur’an dan hadist merupakan salah satu ciri seseorang yang berkarakter religius.


(4)

Berkaitan dengan hal tersebut bahwa dalam pembelajaran dipersekolahan sangat pentingnya penanaman sifat atau karakter religius yang diberikan pada siswa- siswa agar siswa- siswa tersebut dalam menjalankan kehidupannya sesuai dengan apa yang diyakininya. Tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi semata namun akhirat pula.

Karakter religius ini sangat dibutuhkan oleh siswa dalam menghadapi perubahan zaman dan perubahan moral yang kekinian semakin buruk. Dalam hal ini siswa diharapkan mampu memiliki dan berprilaku dengan ukuran baik dan buruk yang di dasarkan pada ketentuan dan ketetapan agama khususnya agama Islam. Pembentukan karakter religius ini tentu dapat dilakukan jika seluruh komponen masyarakat

danstake holders pendidikan dapat berpartisipasi dan berperan serta, termasuk orang

tua dari siswa itu sendiri.

4. Program Kegiatan di SMP Negeri 44 Bandung

Program pembiasaan merupakan salah satu program yang diadakan di SMP Negeri 44 Bandung sejak tahun 2005. Program ini merupakan program yang sengaja dibuat dan diterapkan dilingkungan sekolah tersebut karena melihat situasi sekolah yang dirasa kurang memiliki nilai- nilai agamis pada siswa- siswanya.Terbukti dengan banyaknya kasus yang melibatkan siswa- siswa sekolah tersebut, diawali permasalahan kecil dengan melanggar peraturan- peraturan yang sekolah buat hingga terdengar kabar adanya bom meletop disekolah tersebut. Terjadinya perkelahian antar pelajar, tawuran dan kenakalan remaja lainnya yang membuat pihak sekolah berpikir bagaimana caranya untuk membina moral dan karate siswa untuk menjadi individu yang baik, positif dan berakhlak mulia.

Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, guru- guru dan kepala sekolah khususnya memutuskan untuk membuat dan menerapkan program pembiasaan diantaranya pembacaan asmaul husna dan sholawat, sholat dhuha, sholat dzuhur dan hafalan 4 Ayat 4 Surat, dimana kegiatan ini dibentuk dan diterapkan kepada siswa-


(5)

siswa semata- mata untuk meningkatkan ketaqwaan dan membentuk serta membina karakter baik terhadap dirinya dan Allah SWT, terhadap keluarga dan lingkungannya. Adapun program yang dilakukan setiap hari yaitu pembacaan Asmaul Husna saat sebelum proses pembelajaran dimulai dengan membaca dan memperdalam asma- asma Allah dan sholawat, kemudian melaksanakan shalat Dhuha setelah pembacaan Asmaul Husna, dilanjut dengan hafalan 4 ayat 4 surat yang dilakukan sebelum sholat Dzuhur, dan setelahnya menjalankan shalat Dzuhur berjamaah.

Banyaknya kegiatan berjumlah empat (pembacaan Asmaul Husna dan sholawat, shalat Dhuha, hafalan surat dan shalat dzuhur berjamaah), hafalan surat yang dibaca berjumlah empat, yaitu surah Yasin, Ar- Rahman Al- Waqiah dan Al- Mulk. Dan jumlah ayat yang dihafal per hari berjumlah empat.

Adapun harapan dari dibentuknya program tersebut ialah semata- mata untuk meningkatkan karakter siswa agar terhindar dari perilaku- perilaku menyimpang yang saat ini kebanyakan dialami oleh remaja- remaja SMP dan SMA.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi yang berisi rincian tentang urutan penulisan.

a. Bagian pertama berupa pendahuluan yang berisi uraian mengenai latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan istilah, lokasi dan subjek penelitian dan sistematika penulisan.

b. Bagian kedua berupa kajian pustaka yang berisi mengenai pendidikan karakter dan karakter religius

c. Bagian ketiga berupa metode penelitian yang berisi mengenai pendekatan dan metode penelitian, teknik pengumpulan, subjek penelitian, teknik pengolahan dan analisis data dan tahap-tahap data penelitian.

d. Bagian keempat berupa hasil penelitian dan pembahasan yang berisi mengenai gambaran umum penerapan pembiasaan nilai-nilai religius, pelaksanaan program


(6)

pembiasaan, keberhasilan penerapan pembiasaan nilai-nilai religius, hasil penelitian, analisis data dan pengujian, hipotesis dan pembahasan.

e. Bagian kelima berupa kesimpulan dan saran yang berisi mengenai kesimpulan dan saran.