Index of /ProdukHukum/kehutanan SB22.

LAPORAN MENGI KUTI SI DANG
SBSTA DAN SBI -22
KONVENSI PERUBAHAN I KLI M
( Tw ent y- second Sessions of Subsidiary Bodies of the United Nations
Framew ork Convention on Climate Change)
Bonn, Jerman, 19 – 27 May 2005

Oleh
Dr. Sunaryo
Staf Ahli Ment eri Kehutanan I V Bidang Kemitraan/
Ketua Tim CDM Kehutanan
e- mail : [email protected]
Dr. Joko Prihatno
Kasubdit Pemanfaatan Jasa lingkungan- Direktorat WAPJL
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam/
Anggota Tim CDM Kehutanan
e- mail : [email protected]

DEPARTEMEN KEHUTANAN
2005


1

PENGANTAR
1. Sidang SBSTA dan SBI -22 diselenggarakan di Bonn-Jerman, pada tanggal 1927 May 2005 membahas agenda yang ditugaskan oleh Conference of Parties
(COP) ke-10 atas berbagai pending matters yang hasilnya akan dilaporkan
pada COP-11 dan Meeting of Parties of the Protocol (MOP-1) di MontrealCanada pada tanggal 28 November – 9 Desember 2005.
2. Sidang diikuti oleh 157 negara dengan jumlah partisipan 1.589 peserta,
terdiri dari delegasi Pemerintah 926 peserta, Badan I nternasional 105
peserta, Lembaga Swadaya Masyarakat 511 peserta, media masa 39 peserta,
dan pengamat 8 orang. Delegasi I ndonesia pada sidang SBSTA dan SBI -22
sebanyak 11 orang terdiri dari wakil Departemen Luar Negeri/ Kedutaan Besar
RI di Berlin (1 orang), Kementerian Lingkungan Hidup (2 orang),
Departemen Luar Negeri (1 orang), Departemen Kehutanan (2 orang),
BPMI GAS (1 orang)), PT. PLN (1 orang), PT. I ndonesia Power (1 orang) dan
WWF-I ndonesia (1 orang), dan Pelangi (1 orang).
3. Laporan ini disusun sebagai pertanggung-jawaban atas penugasan kami
sebagai anggota DELRI 1 dalam Sidang SBSTA dan SBI -22 Konvensi
Perubahan I klim (Twenty-second Sessions of Subsidiary Bodies of United
Nations Framework Convention on Climate Change), di Bonn-Jerman, 19-27
May 2005. Karena masalah administrasi kami baru bisa berangkat pada

tanggal 22 Mei 2005, sehingga kami tidak dapat mengikuti event Carbon
Expo, Seminar on Governmental Expert (SOGE), dan in-session workshop
tentang Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan I klim, namun demikian
ada beberapa anggota delegasi lain yang mengikuti pada minggu pertama
yang dapat melengkapi laporan ini.
4. Diharapkan juga bahwa laporan ini merupakan sosialisasi hasil sidang kepada
pihak terkait untuk mendapat masukan atas hasil-hasil sidang penting
khususnya di sector LULUCF untuk kepentingan I ndonesia. Dilampirkan juga
hasil sidang SBSTA-22 sebanyak 14 laporan dan SBI -22 sebanyak 13 laporan
berikut hasil keputusan sidang COP-10, COP-9 dan COP-7 terkait, dengan
harapan bahwa siapapun calon DELRI dari Departemen Kehutanan di COP-11
dan COP/ MOP 1 dapat mempersiapkan diri dengan baik untuk kepentingan
Departemen Kehutanan I ndonesia.
5. Secara garis besar, laporan ini menyajikan jalannya persidangan, hasil
laporan yang telah diadopsi dalam sidang pleno SBSTA dan SBI -22 (khusus
untuk agenda yang relevan dan penting terhadap LULUCF) dan saran tindak
lanjut di sektor LULUCF. Saran tindak lanjut disusun berdasarkan hasil adopsi
1

Dasar : Usulan Direktur Direktur WAPJL No. ND. 403/¯ /WA-5/05 dan usulan Direktur Jendral PHKA

melalui surat No. S/297/¯-WAPJL/2005 tanggal 12 Mei 2005 dan persetujuan Sekretaris Jenderal
Departemen Kehutanan tanggal 17 Mei 2005, Persetujuan Deputi Sekretaris Negara Bidang Administrasi
No. Kl.0703/UMPL/1874 tanggal 18 Mei 2005. Surat penetapan DELRI dari Sekretaris Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. B-2424/SES/LH/05/2005 tanggal 12 Mei 2005.

2

laporan dan perkembangan sidang sektor LULUCF sampai akhir sesi (tanggal
27 Mei 2005) serta perkembangan penanganan bidang tersebut di
Departemen Kehutanan, dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkait.

JALANNYA PERSI DANGAN
Sidang SBSTA dan SBI -22 ini didahului oleh serangkaian kegiatan seperti
Carbon Expo, Seminar on Governmental Expert (SOGE), dan I n -session
Workshop tentang Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan I klim.
A. Carbon Expo dilaksanakan pada tanggal 11–12 Mei 2005, diikuti oleh 14
organisasi dengan menampilkan berbagai publikasi terkait dengan Perubahan
I klim, seperti I PCC publication and information, I nternational emission
trading, the potential of forest and plantation for carbon sequestration and
information for COP 11 participation in Montreal-Canada.

B. Pertemuan koordinasi G77/ China pada tanggal 15 Mei 2005.
C. Seminar of Governmental Expert (SOGE) dilaksanakan pada tanggal 16-17
Mei 2005. Seminar dibagi dalam 2 topik seminar yaitu hal-hal yang terkait
dengan mitigasi dan adaptasi untuk membantu negara anggota melakukan
tindakan yang sesuai dan efektif untuk merespon perubahan iklim.
D. I n-session Workshop tentang Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan I klim
dilaksanakan pada tanggal 21 Mei 2005, yang diarahkan sebagai pertukaran
pandangan dalam suasana yang informal.
Sidang pokok dibagi menjadi 2 kelompok persidangan yaitu sidang Subsidiary
Body on Scientific and Technical Advise (SBSTA) dan Subsidiary Body on
I mplementation (SBI ) yang kebanyakan berjalan secara parallel.
A. Persidangan SBSTA terbagi kedalam 11 agenda yaitu : (1) Opening of the
session, (2) Organizational matters (adoption of the agenda and organization
of the work of the session), (3) Scientific, technical and socio-economic
aspects of impacts of, and vulnerability and adaptation to, climate change,
(4) Scientific, technical and socio-economic aspects of mitigation of climate
change, (5) Methodological issues, (6) Development and transfer of
technologies, (7) Good practices in policies and measures among Parties
included in Annex I to the Convention, (8) Research needs relating to the
Convention, (9) Cooperation with relevant international organizations, (10)

Other matters, and (11) Report on the session. Sidang ini dilakukan secara
efektif mulai tanggal 19-27 Mei 2005 dan menghasilkan 14 laporan. Dari 14
laporan yang perlu mendapat perhatian khusus dari Departemen Kehutanan
adalah agenda it em 3 (Scientific, technical and socio-economic aspects of
impacts of, and vulnerability and adaptation to, climate change), agenda item
4 (Scientific, technical and socio-economic aspects of mitigation of climate
change), agenda item 5b (I mplications of the implementation of project
activities under the clean development mechanism, referred to in decision
12/ CP.10, for the achievement of objectives of other environmental

3

conventions and protocols) dan agenda item 6 ( Development and transfer of
technologies).
B. Persidangan SBI terbagi kedalam 9 agenda yaitu : (1) Opening of the
session, (2) Organizational matters (adoption of the agenda and organization
of the work of the session), (3) National Communication from Parties
included in Annex I to the Convention, (4) Financial mechanism of the
Convention (special Climate Change Fund), (5) implementation of Article 4,
paragraph 8 and 9, of the Convention, (6) Arrangements for

intergovernmental meetings, (7) Administrative and financial matters, (8)
Other matters, and (9) Report on the session. Agenda ini dibahas mulai
tanggal 19-27 Mei 2005 dan menghasilkan 13 laporan. Dari 13 laporan yang
perlu mendapat perhatian khusus dari Kehutan an adalah: agenda item 3
(National communication from Parties not included in Annex I to the
Convention), agenda item 4 (Financial mechanism for Special Climate Change
Fund/ SCCF), dan agenda item 6 (a) (Eleventh session of the COP).
Adopsi hasil laporan sidang akan digunakan sebagai bahan pembahasan di
SBSTA dan SBI -23 serta akan diputuskan pada COP 11 yang akan
diselenggarakan di Montreal-Canada pada tanggal 28 November -9 Desember
2005. Konferensi para Anggota (COP) ke 11 UNFCCC akan dilangsungkan secara
bersama dengan COP/ MOP 1 setelah Kyoto Protokol diberlakukan (inter into
force) pada tanggal 16 Februari 2005. COP/ MOP 1 merupakan pertemuan para
pihak Protokol Kyoto dalam rangka mengupayakan terjadinya implementasi
Protokol secara efektif. Oleh karena itu sidang COP 11 dan MOP 1 di Montreal
pada akhir tahun 2005 ini mempunyai peranan penting karena akan
memutuskan upaya-upaya untuk efektifitas pelaksanaan protokol maupun
konvensi perubahan iklim baik melalui mitigasi maupun adaptasi.
Disamping mengikuti sidang formal di plenary dilakukan juga pertemuan
informal baik dalam bentuk informal consultation, friends of the chair, contact

group, maupun drafting group. Beberapa pertemuan penting dari DELRI antara
lain pertemuan dengan Delegasi dari United Kingdom, Delegasi dari Australia,
dan konsultasi ke Sekretariat UNFCCC tentang kemungkinan penyelenggaraan
COP 13 di I ndonesia.

4

HASI L PERSI DANGAN YANG RELEVAN DI BI DANG KEHUTANAN
( LULUCF/ LAND USE, LAND USE CHANGE AND FORESTRY)
A Hasil sidang SBSTA- 22 yang perlu mendapat perhatian dan tindak
lanjut dari bidang kehutanan ( Land Use, Land Use Change and
Forestry/ LULUCF) adalah sebagai berikut :
1. [ Agenda item 3: Scientific, Technical and Socio-economic aspects of
impacts vulnerability and adaptation to climate change.] COP, dalam
Keputusan 1/ COP10, menugaskan SBSTA untuk merumuskan program
kerja 5-tahunan SBSTA mengenai Scientific, Technical and Socioeconomic aspects of impacts vulnerability and adaptation to climate
change. Hasil pembahasan SBSTA -22 untuk agenda item 3 dalam bentuk
draft keputusan No. FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.14 tentang “the five year
programme of work of impacts, vulnerability and adaptation to climate
change” belum diselesai di bahas sampai kepada program adaptasi

selama 5 tahun. Program 5 tahun adaptasi tersebut akan di bahas secara
lebih detail dan lebih jauh pada SBSTA-23 dan COP 11, dimana
sebelumnya kepada Sekretariat UNFCCC diminta untuk mengorganisasi
informal workshop. Kepentingan I ndonesia dalam hal ini adalah agar
program kerja adaptasi untuk 5 tahun tersebut dapat juga dimanfaatkan
I ndonesia. Pada kesempatan tersebut, saran I ndonesia agar sektor yang
dicakup ini tidak dibatasi dan menyesuaikan dengan prioritas dan
kebutuhan nasional telah diterima. Dengan demikian, nantinya program
seperti konservasi hutan dan avoiding deforestation dan lainnya dapat
dimasukkan dalam program kerja SBSTA sesuai dengan kebutuhan dan
prioritas nasional. Disamping itu ada beberapa isu yang perlu mendapat
pencermatan khusus bagi I ndonesia, diantaranya adalah:
§ Draft program kerja 5 tahun untuk adaptasi, baru dapat
menyelesaiakan isu-isu tentang tujuan, ruang lingkup pekerjaan,
proses dan aktivitas, yang sebagian besar masih bertanda bracket. Hal
ini terjadi sebagai akibat perbedaan pandangan antara negara non
Annex 1 khususnya kelompok Afrika dan AOSI S (sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim) dan negara Annex 1 khususnya
berkaitan dengan tujuan dan ruang lingkup, sehingga pembahasan
berjalan lambat dan berlarut-larut. Untuk isu tentang proses dan

aktivitas, baru menyelesaian tahap pertama dari program kerja 5
tahun. Elaborate lebih detail dan lebih jauh tentang program kerja 5
tahun ini diantaranya adalah “Gaps, problems, and needs;
Opportunities and options for solutions; and additionalities to be
under take as a part of the programme of work” akan dibentuk Ad
Hock Expert Group. Badan tambahan yang akan dibentuk pada COP11 ini akan diarahkan untuk adopsi program 5 tahun adaptasi. Tugas
Ad Hock Expert Group akan dituangkan dalam TOR yang jelas kapan
pelaksanaannya, oleh siapa dan apa yang akan dikerjakan.

5

§

§

§

Lampiran draft keputusan FCC/ SBSTA/ 2005/ l.14, article I paragraph 1
tentang objectives, terdapat pernyataan tentang “ the most vulnerable”
to adaptation, posisi I ndonesia lebih aman jika menghapus kata-kata

“the most” sehingga cukup dengan kata-kata “vulnerability to
adaptation”.
Article I I paragraph 3, pernyataan tentang “isu-isu yang terkait
dengan metodologi, data dan modeling, penilaian adaptasi dan
vulnerability, perencanaan adaptasi, measures and actions, serta
keterpaduan kepada sustanaible development, dilakukan berdasarkan
kebutuhan dan prioritas nasional dan regional” masih bertanda
kurung. Pernyataan ini menguntungkan I ndonesia, maka perlu
dipertahankan.
I ndonesia perlu mempersiapkan posisi terkait dengan program 5
tahun adaptasi yang mencakup seluruh sector terkait yang seharusnya
dikoordinir oleh Kementerian Lingkungan Hidup atu BAPPENAS.

2. Agenda item 5b I mplications of the implementation of project activities
under the clean development mechanism, referred to in decision
12/ CP.10, for the achievement of objectives of other environmental
conventions and protocols dalam pembahasan ini SBSTA belum mencapai
kesepakatan. Oleh karena itu SBSTA mengundang Para Pihak untuk
memasukkan proposal tentang implikasinya paling lambat tanggal 5
Agustus 2005. Sekretariat akan mengkompilasi proposal dari parties

tersebut dan dimasukan dalam dokumen misc. untuk dipertimbangkan
dalam psesi SBSTA-23 bulan Desember 2005.
3. Agenda I tem 6, Development and transfer of technologies dalam hal ini
terdapat perbedaan pandangan antara Annex I dan Non-Annex I tentang
mandat SBSTA kepada EGTT, namun akhirnya dicapai kesepakatan.
SBSTA menyambut baik hasil evaluasi awal yang dilakukan oleh UNEP
terhadap kegiatan EGTT, selain itu SBSTA juga sangat menghargai atas
kesediaan negara-negara UK, USA, EC, Canada, dan Jepang dalam mensupport kegiatan EGTT. Follow up workshop on inovative options for
financing the development and transfer of technologies, direncanakan
akan diselenggarakan pada bulan Oktober 2005 dengan peserta dari
negara berkembang dan negara maju serta negara donor. Dengan
demkian diharapkan dapat diidentifikasi potensial project selama
pelaksanaan
technology
needs
assessment.
EGTT
akan
menyelenggarakan seminar pada tanggal 14 - 16 Juni 2005 di Trinidad
dan Tobago dengan judul Technologies for adaptation to climate change.
Hasil seminar ini akan dilaporkan pada sesi ke 23.
4. Agenda I tem 4, Scientific, technical and socio-economic aspects of
mitigation of climate change, SBSTA memperhatikan masukan dari Parties
yang terdapat dalam dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ MI SC.2 dan Add.1-2.
Untuk itu SBSTA menyambut baik atas pertukaran pendapat peserta in-

6

session workshop, untuk itu sekretariat diminta membuat laporan lengkap
dengan arahan ketua SBSTA, sampai 15 Juli 2005. Laporan tersebut
harus mencakup GRK, sektor, teknologi, region, aspek socio-ekonomi,
dan hal lain yang terkait dan disajikan.

B Hasil sidang SBI - 22 yang perlu mendapat perhatian dan tindak
lanjut dari bidang kehutanan ( Land Use, Land Use Change and
Forestry/ LULUCF) adalah sebagai berikut :
1. Agenda I tem 4 mengenai Special Climate Change Fund (SCCF) merupakan
topik yang sensitifitasnya cukup tinggi di mana terdapat perbedaan
kepentingan yang cukup prinsipil di antara Negara Pihak dari kelompok
Annex-1 (Negara maju yang mempunyai tanggung jawab pembiayaan SCCF)
dengan kelompok non-Annex-1 (negara berkembang yang dimotori oleh G77/ Cina).
Sebagai
akibatnya
SBI
dalam
keputusannya
No.
FCCC/ SBI / 2005/ L.13 memutuskan bahwa masalah ini akan dibahas lebih
lanjut pada SBI berikutnya. Dalam annex dari dokumen tersebut terdapat
beberapa isu yang belum dapat disetujui dan perlu dicermati serta tindak
lanjut khususnya sebagai persiapan posisi delegasi I ndonesia yang akan
menghadiri COP-11/ MOP-1 pada bulan November -Desember 2005. Hal-hal
tersebut terutama menyangkut:
- Pertimbangan mengenai pengaitan komunikasi nasional dengan kegiatan
yang dapat dibiayai lewat SCCF.
- Pembiayaan lewat SCCF untuk kegiatan seperti yang diatur dalam
Keputusan 7/ CP.7 paragraf 2c yaitu di bidang transportasi dan industri.
Negara-negara pihak mengajukan tiga opsi yang perlu diputuskan pada
pertemuan SBI berikutnya.
- Afforestasi dan reforestasi dalam penggunaan tanah marjinal merupakan
kegiatan yang akan dibiayai dari SCCF, perlu diidentifkasi kegiatan lain di
sektor LULUCF yang perlu mendapat pembiayaan dari SCCF.
- Pembiayaan lewat SCCF untuk kegiatan seperti yang diatur dalam
keputusan 7/ CP.7 paragraf 2d yang menjadikan SCCF sebagai dana
pelengkap dari dana GEF. Negara-negara Annex1, dimotori oleh Jepang
dan Norwegia, menghendaki agar SCCF dapat juga membiayai bantuan
teknis. Negara berkembang, khususnya G-77/ Cina, berpandangan bahwa
bantuan teknis tidak perlu dimasukkan dalam skema SCCF.
2. Agenda item 6 tentang Eleven session of the Conference of the Parties, COP
11 dan COP/ MOP 1 akan diselenggarakan di Montreal-Canada pada tanggal
28 November -9 Desember 2005, dimana tanggal 7-9 Desember merupakan
forum High level segment yang akan dihadiri oleh pejabat setingkat Menteri
atau Ketua Delegasi lainnya.
3. Agenda item 3 (a) tentang National Communication, dalam keputusannya
SBI nomor FCCC/ SBI / 2005/ L.9 paragraf 2 diatur bahwa negara Pihak nonAnnex1 harus mengajukan proposal pendanaan untuk komunikasi nasional

7

selanjutnya antara tiga sampai lima tahun dari pembayaran pertama, kecuali
untuk Pihak yang telah menyerahkan komunikasi nasional tersebut lebih dari
5 tahun, maka harus mengajukan permohonan tersebut sebelum 2006.
I mplikasinya adalah I ndonesia perlu mengambil langkah-langkah aktual dan
mempersiapkan National Communication selanjutnya selambat-lambatnya
Desember 2005.

PERTEMUAN TERKAI T
Pertemuan G77+ China
Selama SB-22, Pertemuan G77+ China diselenggarakan 2 kali setiap harinya
(9.00-10.00 dan 14.00-15.00 waktu setempat), yang dimaksudkan untuk
‘updating’ negara anggota tentang proses negosiasi dan menyusun posisi
bersama terutama yang menyangkut kepentingan negara berkembang secara
umum. Pertemuan juga dimaksudkan untuk menggalang pengertian untuk isuisu yang tidak dapat melahirkan posisi bersama, seperti agenda 3 SBSTA dan
agenda 6 SBSTA serta agenda 4 SBI .

Pertemuan informal
1. Di sela-sela persidangan, Delri juga melakukan pertemuan bilateral dengan
beberapa pihak. Pihak Sekretariat telah melakukan pendekatan kepada Delri
untuk
menjajaki
kemungkinan
I ndonesia
sebagai
tuan
rumah
penyelenggaraan lokakarya pelatihan untuk kawasan Asia Pasifik di bidang
modeling untuk kerentanan dan adaptasi (Vulnerability and Adaptation).
Lokakarya direncanakan akan diikuti oleh 50 orang dan diharapkan dapat
dilaksanakan
pada
pertengahan
tahun
2006.
Pihak
Sekretariat
menyampaikan bahwa pendanaan untuk kegiatan ini akan diupayakan dari
kontribusi sukarela. Sejauh ini didapat informasi bahwa Australia telah
memberikan indikasi untuk memberikan bantuan. Pengumuman rencana
pelaksanaan workshop ini akan dilakukan pada COP11 di Montreal.
Sehubungan itu, I ndonesia (Kementerian LH) perlu segera memutuskan
tanggapannya terhadap usulan ini .
2. Penawaran pihak Sekretariat kiranya dapat ditanggapi secara positif
mengingat pelatihan tersebut secara teknis akan bermanfaat bagi para ahli
I ndonesia khususnya dalam mengembangkan model kerentanan dan
adaptasi yang dapat diterapkan di I ndonesia. Sejauh ini salah satu
kebutuhan yang diperlukan adalah car a pengembangan model kerentanan
dan adaptasi yang diharapkan akan juga mencakup aspek asesmen dan
perencanaan upaya-upaya di bidang ini. Penyelenggaraan workshop ini akan
dikoordinasi Deplu dengan melibatkan KLH, Kehutanan, dan sektor terkait.
Saat ini sekretariat sedang menunggu persetujuan sekretariat PBB di New
York yang menyangkut masalah security clearance, apabila sudah ada

8

informasi dari New York pihak sekretariat UNFCCC akan segera
menginformasikan ke Pemerintah I ndonesia melalui Focal Point atau Deplu.
3. Pihak Delri juga melakukan pertemuan dengan Delegasi Belanda (Regie
Harnus) yang membahas khususnya mengenai perkembangan BCPA
(Bilateral CER Purchase Agreement) untuk sektor industri. VROM minta
penjelasan mengapa sampai saat ini, belum dapat ditunjuk konsultan yang
akan membantu proses manejemen kegiatan CDM yang bisa berkoordinasi
dengan Pemerintah I ndonesia, VROM, dan pihak swasta sebagai
implementasi kegiatan. Pihak I ndonesia menginformasikan bahwa kesulitan
ini disebakan karena belum ada kepastian jumlah dana yang tersedia untuk
menyewa konsultan. Oleh karenanya, pada diskusi nasional sendiri timbul
pertanyaan siapa yang akan menandatangani persetujuan tersebut. VROM
menghendaki agar penandatangan dari pihak I ndonesia adalah Pemerintah
RI dalam hal ini KLH dengan pihak konsultan. Dalam hal ini, VROM tak bisa
menjadi pihak yang mengkontrak nasional konsultan, karena tidak diizinkan
oleh kebijakan EU yang harus melalui international bidding dan lewat
persetujuan parlemen. I ndonesia mengusulkan kem ungkinan VROM ikut
menandatangani sebagai saksi dan dimasukannya klausal dalam kontrak
tersebut yang menjamin implikasi pembiayaannya ditanggung oleh VROM.
VROM secara tentative dapat setuju dan akan mengkonsultasikan usulan ini
dengan penasihat hukumnya. Menyangkut biaya, VROM tak bisa memberikan
info dana yang pasti tersedia karena belum jelas kemungkinan rencana
tersebut terwujud. Konsultan terpilih harus segera memberikan proposal
dengan mengajukan biaya untuk kemudian dikonsultasikan dengan VROM.
Tindak lanjut dalam rangka mempercepat proses ini dapat dilakukan
konsultasi informal lewat email dengan VROM untuk membantu finalisasi
seleksi konsultan. VI ROM mengharapkan agar paling tidak bulan Agustus
2005 program ini sudah dapat diluncurkan, karena apabila sampai dengan
tahun anggaran ini tidak ada dana yang dapat dimanfaatkan (cairkan) maka
posisi VROM sangat kritis dan dapat mengakibatkan BCPA tidak terwujud.
4. Delri juga telah melakukan pembicaraan bilateral dengan delegasi I nggris
(United Kingdom-UK) dan diterima oleh Henry Derwent (Utusan Khusus
Perubahan I klim - Ketua Delegasi UK). I su-isu yang dibahas dalam
pertemuan bilateral tersebut adalah kebijakan energi kaitannya dengan
lingkungan hidup, mekanisme Konvensi dan KP khususnya CDM, serta areaarea kerjasama di bidang lingkungan hidup yang dapat dijajagi antara ke dua
negara. Mengenai kebijakan energi, UK tertarik untuk mengetahui
penanganan kebijakan energi di I ndonesia dalam kaitannya dengan
lingkungan hidup. I ndonesia menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah
I ndonesia adalah diversifikasi sumber energi dan terutama sumber energi
terbarukan. Namun dalam pengembangannya banyak kendala antara lain
sumber pendanaan dan juga sumber renewable energi terletak di daerah
terpencil sehingga dibutuhkan invest asi yang cukup besar. Oleh karena itu,
Delri mengharapkan pihak UK dapat membantu pengembangan industri

9

energi ini. Delegasi UK menyampaikan bahwa, pemerintah UK hanya dapat
mempunyai kendali efektif atas badan nasionalnya dan tidak mencakup
sektor swasta. Namun demikian, UK mempunyai Climate Change Process
Office (CCPO) yang membantu bisnis untuk berpartisipasi dalam proyek CDM.
Diinformasikan juga bahwa perusahaan-perusahaan UK merupakan potential
buyer CER dan Pemerintah UK akan mengusahakan untuk mengar ahkan
pembelian tersebut ke I ndonesia.
Mengenai perkembangan pelaksnaan CDM, ke dua pihak sepaham bahwa
saat ini proses CDM ini masih sangat lambat dan juga rumit bagi negara
berkembang untuk mengimplementasikannya. Pihak UK telah menerima
berabgai masukan dan akan melakukan penilaian dan studi lebih lanjut
mengenai CDM.
Pihak I ndonesia menyampaikan bahwa selain KP, negara Pihak juga perlu
menangani isu-isu yang termuat dalam Konvensi khususnya: capacity
building, public awareness dan penelitian. Delegasi UK menyatakan
ketertarikannya terhadap masalah-masalah tersebut dan kemungkinan
penanganannya.
Ke dua pihak juga melakukan tukar informasi mengenai area kerjasama yang
dapat dijajagi dalam bidang lingkungan hidup. Pihak I ndonesia
menyampaikan bahwa salah satu bidang yang dapat digarap adalah masalah
kehutanan . Hal ini mendapat tanggapan positif dari pihak UK. Ke dua pihak
sepakat untuk menindaklanjuti pembicaraan ini dalam bentuk kerjasama
khususnya secara bilateral.
Tindak lanjut pertemuan ini, pihak UK akan mempelajari lebih lanjut hasil
pembicaraan ini dan seandainya ada rencana kerjasama akan menghubungi
focal point yang akan difasilitasi oleh Kedutaan I nggris di Jakarta. Di sisi lain,
Pihak UK juga terbuka untuk menerima masukan atau usulan kerjasama dari
I ndonesia.
6. Pertemuan Kelompok Asia telah diselenggarakan disela-sela pertemuan
SBSTA/ SBI -22. Pertemuan membahas antara lain pencalonan anggota Biro
COP11/ MOP1 mendatang serta anggota Compliance Committee. Untuk
anggota Biro terdapat dua posisi wakil ketua sementara untuk Compliance
Committee, Asia diharapkan dapat mengajukan dua calonnya. Negara
anggota diminta untuk mengajukan pencalonannya paling lambat pada
minggu pertama penyelenggaraan COP11/ MOP1.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, jika tidak ada pertimbangan lain,
I ndonesia kiranya dapat mengajukan usulan untuk menduduki posisi wakil
presiden COP11/ MOP1 mengingat selama ini I ndonesia belum pernah
menduduki jabatan keanggotaan biro di COP Konvensi Perubahan I klim.
Berkaitan dengan keanggotaan Committee Compliance, I ndonesia kiranya
dapat pula mengajukan nominasi, apabila tidak ada negara-negara lain yang
berminat. Mengingat Komite ini akan mempunyai peran strategis khususnya
dalam memantau kepatuhan negara-negara Annex I dalam memenuhi
komitmennya, keterlibatan I ndonesia sebagai anggota akan memberikan
kontribusi bagi pencapaian tujuan Konvensi.

10

Hal-Hal Lain :
Pertemuan dengan sekretariat untuk penjajagan sehubungan dengan
kemungkinan menjadi penyelenggara COP, diperoleh gambaran kasar tentang
jumlah yang harus ditanggung oleh tuan rumah sekitar Rp. 40 – 50 milyar.
Selain pendanaan tersebut juga masih ada pertimbangan UNFCCC bahwa tuan
rumah perlu diteliti terlebih dahulu oleh UN tentang keamanan kota yang akan
digunakan sebagai tempat penyelenggaraan dengan skala UN dari 1 - 5.
I nformasi sementara Jakarta merupakan skala 1 dan Bali sekala 3, semakin
besar skala semakin besar pula resiko keamanannya. Berdasarkan informasi
tersebut untuk menjadi tuan rumah COP agar dipertimbangkan secara cer mat,
sehingga benar -benar mendapat manfaat sebagai tuan rumah.
JI CA menginformasikan bahwa dalam rangka membantu meningkatkan
pengetahuan sumber daya manusia dari anggota para pihak tentang
pemahaman isu perubahan iklim. Untuk tujuan tersebut JI CA akan
menyelenggarakan Training Workshop di Tsukuba, 9 Januari – 2 Maret 2006,
dengan judul Development of Strategies on Climate Change. Pencalonan peserta
paling lambat tanggal 6 Oktober 2005, ke Kantor JI CA atau kedutaan Jepang.
Peserta harus dicalonkan oleh Pemerintah dan harus membuat Paper tentang
kebijakan Pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim.
Dalam intergovernmental meeting, Papua New Guinea (PNG) menyampaikan
pandangan negaranya atas kegiatan avoiding deforestation. PNG memberikan
usulan atas pentingnya menjadikan kegiatan avoiding deforestation sebagai
bagian dari kegiatan mitigasi, dimana kegiatan penurunan deforestasi yang
dilakukan secara voluntary tersebut tidak eligible untuk Kyoto Protokol. Padahal
bagi negara yang memiliki hutan hujan tropika luas, kegiatan ini dapat menjadi
industri perdagangan karbon yang potensial. Mekanisme yang diusulkan adalah
menjadikan kondisi deforestation yang terjadi pada saat ini dan prediksi selama
satu periode proyek sebagai baseline. Additionality dihitung berdasarkan
kemampuan penurunan deforestasi yang dihitung berdasarkan luasan hutan
yang tetap dapat dipertahankan sebagai hutan dalam menyerap karbon.
Presentasi ini mendapat sambutan positip dari berbagai negara dan juga
organisasi internasional termasuk World Bank. I ndonesia sebagai negara yang
memiliki hutan hujan tropika yang sangat luas perlu melakukan aliansi dengan
negara-negara yang memperjuangkan avoiding deforestation dan kegiatan
konservasi untuk diperhitungkan dalam mekanisme pembiayaan atau
kompensasi dari negara maju.

11

SARAN TI NDAK LANJUT
1. Persiapan SBSTA-23/ COP-11 dan COP/ MOP 1 di Montreal-Canada, tanggal 28
November -9 Desember 2005:
a) Melakukan pencermatan dari aspek hukum, teknis dan kelembagaaan
terhadap dokumen SBSTA dan SBI -22 sebagai bahan negosiasi di SBSTA
dan SBI -23 serta COP- 11, antara lain:
Agenda item 3 SBSTA (adaptasi):
- Objectives: [ all] Parties, particularly the [ most] vulnerable, ] ...:
perlu dikaitkan dg article 4.1e; 4.4; 4.4; 4.8 dan 4.9
- Scope of work paragraph 1: [ and taking into account dec 1/ CP.10] :
lebih fokus kepada tindak lanjut dari dec 1/ CP.10
- Scope of work paragraph 2:[ take into account regional and
national priorities and needs by] : dipertahankan untuk ditentukan
berdasarkan prioritas nasional, tingkat kerentanan di setiap negara
berbeda (untuk kehutanan: avoiding deforestation dan
conservation activities).
agenda item 4 (a) SBI (SCCF):
- [ Pengaitan komunikasi nasional, program adaptasi nasional, atau
informasi relevan lainnya dengan kegiatan yang dapat dibiayai
lewat SCCF] .
- Paragrap 2 bis [ menjadikan SCCF sebagai dana pelengkap dari GEF
untuk mendukung pembiayaan kegiatan asistensi teknis] .
b) Berkaitan dengan butir 1a) tersebut, mengingat sejumlah paragraph
masih dalam tanda kurung (square bracket) sebagai akibat dari
perbedaan pendapat diantara negara annex 1 dan negara non annex 1
khususnya G77/ China dan Kelompok Afrika serta AOSI S. Pencermatan
lebih dalam diperlukan pada paragraph-paragraph tersebut untuk
pembahasan lebih lanjut dalam SABSTA-23 dan negosiasi di COP-11 dan
COP/ MOP 1.
2. Untuk isu adaptasi agar dapat lebih dicermati dan bila memungkinankan
untuk mendorong para pakar disektor non-energi (Kehutanan, Pertanian,
Sumber Daya Air, Perikanan, dan Kesehatan) membuat makalah tentang
usaha yang selama telah dilakukan di I ndonesia. Hasil tersebut dituangkan
dalam posisi paper I ndonesia untuk program 5 tahun adaptasi perubahan
iklim. Sehingga kita bisa menyusun prioritas negara agar dapat diakomodir
dalam program prioritas kerja SBSTA ke-23 yang akan datang. Program
konservasi dan avoiding deforestasi merupakan tindakan yang terkait dengan
protection and rehabilitation area sebagaimana dituangkan dalam artikel 4
paragraph 1 (e) Konvensi Perubahan I klim, sehingga perlu mendapat
prioritas dalam 5 tahun program adaptasi perubahan iklim di I ndonesia.

12

3. Sekretariat mengundang Para Pihak untuk memasukkan proposal tentang
implikasi pelaksanaan kegiatan CDM paling lambat tanggal 5 Agustus 2005.
4. Dalam Pengembangan transfer teknologi, EGTT akan menyelenggarakan
workshop tentang inovative options for financing the development and
transfer of teknologies pada bulan Oktober 2005 . Peserta dari negara
berkembang, negara maju serta negara donor. Perlu diidentifikasi potensial
project selama pelaksanaan technology needs assessment.
5. Untuk isu mitigasi SBSTA meminta sekretariat membuat laporan in-session
workshop paling lambat tanggal 15 Juli 2005. Laporan tersebut mencakup
GRK, Sektor yang dicakup, teknologi, aspek sosio-ekonomi, pendapat peserta
pada saat workshop.
6. I su utama yang menjadi perbedaan pandangan dalam SCCF adalah kegiatan
apa saja yang dapat di danai oleh SCCF terutama kegiatan bantuan teknis.
Negara Non-Annex menolak bantuan teknis dibiayai oleh SCCF. Sebagaimana
Dec 7/ COP 7 tentang kegiatan yang didanai dari SCCF, kegiatan aforestasi
dan reforestasi di tanah marjinal disetujui untuk didanai dari SCCF.
Disamping itu program 5 tahun adaptasi perubahan iklim yang isunya akan
ditentukan berdasarkan prioritas dan kebutuhan negara yang bersangkutan
(diusulkan termasuk konservasi dan avoiding deforestation), perlu diposisikan
untuk dapat didanai juga dari SCCF.
7. Sesuai pembahasan Nasional komunikasi, maka National Communication ke
dua untuk I ndonesia harus sudah diusulkan sebeleum tahun 2006. Hal ini
berarti proposal yang sedang disiapkan harus segera dilaksanakan sehingga
pengajuan pendanaan dapat diusulkan paling lambat Dersember 2005.
8. Sekretariat
UNFCCC
menawarkan
Pemerintah
I ndonesia
untuk
menyelenggarakan training workshop untuk modeling kerentanan dan
adaptasi dari CGE yang direncanakan pertengahan tahun 2006. Saat ini
UNFCCC menunggu approval dari UN New York sehubungan dengan masalah
keamanan di I ndonesia.
9. Pemerintah Belanda melalui VROM mengharapkan agar proses BCPA dapat
dipercepat khususnya dalam pemelihan konsultan dan diharapkan sudah
dapat selesai bulan Agustus 2005.
10. Pemerintah I nggris juga menunjukkan keinginan untuk mengadakan
kerjasama dengan I ndonesia baik melalui bilateral maupun multilateral.
Kerjasama ini bisa mencakup implementasi maupun capacity building, public
awareness, maupun reasearch tergantung persiapan pemerintah masingmasing. Untuk itu agar di nasional juga lebih disebarluaskan kesemua sektor
yang interes dalam rangka mengatasi isu perubahan iklim.

13

11. Saat ini ada lowongan untuk Biro MOP dan Komisi Kepatuhan, maka apabila
I ndonesia berminat agar dapat mempersiapkan dan mengajukan pencalonan
ke sekretariat dan perlu lobi ke negara ASI A atau G77/ China untuk dukungan
kepada calon I ndonesia saat berlangsungnya SB ke-23 yang akan datang.
12. Perlu melakukan aliansi dengan negara-negara yang memiliki pandangan
sama terhadap avoiding deforestation dan kegiatan konservasi untuk
mendapat kompensasi pembiayaan dari negara annex 1 melalui mekanisme
adaptasi maupun mitigasi. Negara yang telah memberikan pandangannya
antara lain Papua New Guinea, Brazil dan Ghana.
13. Perlu membentuk tim penyusun materi sidang SBSTA/ SBI 23 dan COP 11 ,
yang bertugas mempersiapkan materi teknis sebagai posisi I ndonesia. Proses
komunikasi antar tim dan proses penyusunan materi perlu dirumuskan dalam
program pertemuan yang jelas tata waktu dan agendanya.

14. I dentifikasi data kegiatan LULUCF terkait kegiatan adaptasi perubahan iklim
seperti dampak dan tingkat kerentanan masyarakat, satwa dan ekosistem
sebagai akibat dari perubahan lahan dan penggunaan lahan kehutanan;
upaya illegal logging, perambahan dan pencegahan kebakaran; dampak
negative akibat kekeringan/ banjir dan dan hubungannya dengan peningkatan
suhu.

LAMPI RAN
1. Draft Laporan SBSTA ke 22 “Draft report of the Subsidiary Body for Scientific

2.

3.

4.
5.
6.
7.
8.

and Technological Advice on its twenty-second session” (dokumen
FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.1).
“Technical guidance on methodologies for adjustments under Article 5,
paragraph 2, of the Kyoto Protocol” (dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.2 dan
dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.2/ Add.1).
“I mplications of the implementation of project activities under the clean
development mechanism referred to in decision 12/ CP.10” (dokumen
dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.3).
“Good practices” in policies and measures among Parties included in Annex I
to the Convention, dokumen dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.4.
“I ssues relating to the implementation of Article 2, paragraph 3, of the Kyoto
Protocol” (dokumen dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.5).
“Research
needs
relating
to
the
Convention”
(dokumen
FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.6 dan dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.6/ Add.1).
“Registry systems under the Kyoto Protocol” (dokumen dokumen
FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.7).
“Special report of the I ntergovernmental Panel on Climate Change on
safeguarding the ozone layer and global climate system: issues relating to
hydrofluorocarbons
and
perfluorocarbons”
(dokumen
dokumen
FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.8).

14

9. “Reports from the secretariate of the Global Climate Observing System ”
(dokumen dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.9).

10. Dokumen tentang mitiga si “Scientific, technical and socio- economic
aspects
of
mitigation
of
climate
change”
( dokumen
FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.10) ∗ .
11. “Emissions from fuel used for international aviation and maritime transport”
(dokumen dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.11).

12. “I nternational meeting to Review the implementation of the Programme of
Action for Sustainable Development of Small I sland Developing States”
(Dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.”12)

13. Draft Keputusan tentang “Development and transfer of
technologies” ( dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.13) ∗ .
14. Dokumen tentang adaptasi “Scientific, technical and socioeconomic aspects of impacts, vulnerability and adaptation to
climate change” ( dokumen dokumen FCCC/ SBSTA/ 2005/ L.14) * .
15. “Draft report of the Subsisiary Body for I mplementation on its twenty-second
session” (dokumen FCCC/ SBI / 2005/ L.1).
16. “I mplementation
of
the
Headquarters
Agreement”
(dokumen
FCCC/ SBI / 2005/ L.2).
17. “Flexibility for Croatia under Article 4, paragraph 6, of the Convention”
(dokumen FCCC/ SBI / 2005/ L.3).

18. “Arrangements for intergovernmental meetings”
FCCC/ SBI / 2005/ L.4) * .
19. “Budget performance for the biennium 2004-2005”

( dokumen
(dokumen

FCCC/ SBI / 2005/ L.5).
review of the activities of the secretariat”
(dokumen
FCCC/ SBI / 2005/ L.6 dan dokumen FCCC/ SBI / 2005/ L.6/ Add.1).
21. “ Provision of financial and technical support” (dokumen FCCC/ SBI / 2005/ L.7).
22. “Compilation and synthesis of initial national communications” (dokumen
FCCC/ SBI / 2005/ L.8).

20. “I nternal

23. “Submission of second and, w here appropriate, third national
communications” ( dokumen FCCC/ SBI / 2005/ L.9) * .
24. “I mplementation of paragraph 7 © of the financial procedures of the
Convention concerning the financial support for participation in the UNFCCC
process” (dokumen FCCC/ SBI / 2005/ L.10).
25. “Work of the Consultative Group of Experts on National Communications
from Parties not included in Annex I to the Convention”
(dokumen
FCCC/ SBI / 2005/ L.11).
26. “Climate neutral UNFCCC meetings” (dokumen FCCC/ SBI / 2005/ L.12)

27. Draft Keputusan tentang “Special Climate Change Fund ( SCCF) ”
( dokumen FCCC/ SBI / 2005/ L.13) * .
28. Keputusan 1 COP-10 tentang “Boenos Aires programme of work on
adaptation and response measures”.


Draft keputusan yang secara langsung berkaitan dengan sector LULUCF.

15

29. “A Five -Year Program on the Scientific, Technical and SocioEconomic Aspects of I mpacts, Vulnerability and Adaptation to
Climate Change ” ( posisi Departemen Kehutanan, sebagai bahan
sidang SBSTA dan SBI - 22) * .
30. “View s on the five- year programme of w ork of the Subsidiary Body
for Scientific and Technological Advice on the scientific, technical
and socio- economic aspects of impacts of, and vulnerability and
adaptation to, climate change” ( Submission from Parties) * .
31. Pandangan dari Pemerintah Papua New Guinea tentang Avoiding
Deforestation “Statement by H.E. Robert G. Aisi Ambassador of
Papua New Guinea to the United Nations”* .

Jakarta,

29 Mei 2005

1. Dr. Sunaryo

2. Dr. Joko Prihatno