speech bm IBI 250209

PROSPEK PERBANKAN INDONESIA
DI TENGAH KRISIS KEUANGAN GLOBAL1
BUDI MULYA
Deputi Gubernur Bank Indonesia

Para Anggota Ikatan Bankir Indonesia dan Hadirin sekalian yang saya
muliakan, Assalamu’ alaikum wr.wb., salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih atas undangan pada forum
pertemuan anggota Ikatan Bankir Indonesia malam ini, mewakili Dr. Boediono –
Gubernur Bank Indonesia. Sungguh merupakan suatu kesempatan yang baik bagi kita
semua dapat bertemu di saat yang masih merupakan awal tahun 2009 ini. Tahun 2009
merupakan tahun yang akan penuh tantangan sejalan dengan dinamika yang terjadi
di pasar keuangan dan perekonomian secara global. Kita semua baru saja melewati
tahun 2008, suatu periode barangkali sulit untuk kita lupakan. Kita semua melihat,
mengamati dan merasakan betapa besar dan luasnya dampak dari gejolak pasar
finansial yang merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah, khususnya periode
setelah bangkrutnya salah satu institusi keuangan terbesar di US – Lehman Brothers
Holding Inc. pada 15 September 2008. Kita semua hendaknya dapat mengambil
hikmah dari pelajaran yang sangat mahal ini, khususnya agar industri perbankan di
Indonesia yang juga pernah mengalami krisis pada dekade lalu dapat lebih matang,
lebih mampu bertahan dan lebih optimal perannya bagi perekonomian Indonesia.

Tahun 2009 ini, profesionalisme kita semua, baik dari sisi otoritas maupun pelaku
bisnis khususnya di bidang industry perbankan, akan memperoleh ‘ujian’ yang berat di
tengah meningkatnya ketidakpastian, yang berarti meningkatnya risiko. Harapan saya
tentunya kita harus bisa tetap optimis, namun tetap realistis agar kita bisa siap
menghadapi dan melewati situasi terburuk yang meskipun tidak kita harapkan,
mungkin bisa terjadi (prepare for the worst).
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Saya ingin mengawali sambutan saya pada kesempatan ini dengan
menggambarkan secara singkat betapa dampak krisis keuangan global lebih suram
dari yang diperkirakan sebelumnya. Dampak krisis keuangan global kini semakin
terlihat lebih dalam dan lebih luas dari yang diperkirakan semula, bahkan proses
pemulihannya belum mulai terlihat nyata sampai saat ini. Beberapa analis/pengamat
bahkan menyatakan bahwa apabila dampak negatif krisis terhadap perekonomian
1

Sambutan disampaikan pada Acara Pertemuan Anggota Ikatan Bankir Indonesia, Jakarta 25 Februari 2009.
1

secara global tersebut mencapai titik terendahnya di tahun 2009, sudah sangat
beruntung. Hal ini terlihat dari semakin dalamnya ancaman resesi, meningkatnya

pengangguran dan semakin sulitnya aliran pembiayaan ke sektor riil. Pertumbuhan
ekonomi secara global mengalami koreksi yang sangat signifikan, lebih besar dari
yang diperkirakan sebelumnya. Dalam proyeksinya yang terakhir2, IMF
memperkirakan perekonomian dunia hanya akan tumbuh sebesar 0,5%, dari
sebelumnya diperkirakan 2,2%. Bahkan, pertumbuhan ekonomi di US, Kawasan Eropa
dan Jepang diperkirakan akan mengalami kontraksi (tumbuh negatif) lebih besar dari
perkiraan semula. Masing-masing akan mengalami pertumbuhan sebesar minus 1,6%,
minus 2,0% dan minus 2,6%. Sementara itu, volume perdagangan dunia diperkirakan
akan mengalami kontraksi yang lebih besar dari perkiraan semula, yaitu minus 4,8%.
Kondisi ini tentunya akan memiliki dampak yang lebih berat dan lebih luas bagi
negara-negara lain secara global karena menurunnya permintaan akan barang dan
jasa secara global.
Gambaran yang serupa juga terjadi di kawasan Asia. China yang diharapkan akan
menjadi penopang pertumbuhan dunia di tengah krisis juga diperkirakan akan
mengalami kontraksi yang signifikan. Menurut Consensus Forecast, di tahun 2009
China diperkirakan ‘hanya’ akan tumbuh sebesar 7% – angka pertumbuhan yang jelas
jauh dari rata-rata pertumbuhan ekonomi China yang biasanya ‘double digit’.
Demikian pula India, yang diperkirakan ‘hanya’ akan tumbuh sebesar 5,1% dari
semula
diperkirakan

tumbuh
6,3%.
Beberapa
negara
yang
tingkat
ketergantungannya pada ekspor cukup tinggi, seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong
Kong dan Singapore, bahkan akan mengalami pertumbuhan yang negatif.
Sementara itu, perekonomian Indonesia juga diperkirakan akan mengalami
koreksi yang cukup signifikan. Dengan melihat perkembangan perekonomian global
yang terlihat lebih suram sebagaimana saya singgung, downside risk pertumbuhan
ekonomi Indonesia masih akan cukup besar. Consensus forecast misalnya
memperkirakan perekonomian Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 3,9% di tahun
2009 ini. Di sisi lain, inflasi bukan merupakan isu dominan saat ini seiring dengan
tendensi turunnya harga komiditas dan energi dewasa ini sejalan dengan
menurunnya permintaan agregat secara global. Tahun 2009 ini inflasi diperkirakan
akan berada dalam trend yang terus turun dalam kisaran 5%-7%.
Menyikapi ancaman perekonomian secara global yang luar biasa tersebut,
respond otoritas baik dari sisi otoritas fiskal maupun bank sentral, di beberapa negara
maju juga sangat luar biasa dan komprehensif. Berbagai paket stimulus dalam skala

yang besar sudah mulai digulirkan, termasuk diantaranya untuk merekapitalisasi
perbankan sebagaimana yang pernah kita alami sekitar sebelas tahun lalu. Kita juga
2

IMF, World Economic Outlook, update 28 Januari 2009.
2

melihat betapa koordinasi antar otoritas sebagaimana dalam Chiang Mai Initiative
(Asean plus 3), di berbagai negara semakin meningkat untuk secara bersama-sama,
mencoba mengatasi atau meminimalkan dampak krisis dan mencoba mempercepat
pemulihannya meskipun disadari prosesnya akan memerlukan waktu yang cukup
panjang.
Krisis kali ini juga semakin menguatkan perlunya dilakukan re-regulasi terhadap
pasar finansial secara global. Seruan dan rekomendasi atas hal ini misalnya telah
dikeluarkan oleh the Group of Thirty (G30) dalam “Financial Reform: A Framework for
Financial Stability” yang dipublikasikan 15 Januari 2009 lalu. G30 merupakan kelopok
yang beranggotakan ekonom-ekonom dan policy makers serta mantan policy makers
terkemuka, yang dikomandoi oleh Paul Volker (mantan chairman Board of Governors
the Fed) dan antara lain melibatkan Tim Geithner (sekarang Menteri Keuangan US),
Larry Summer (mantan Treasury dan sekarang penasehat ekonomi Presiden Barack

Obama) serta Jean-Claude Trichet (President European Central Bank).
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Besarnya kerugian yang dialami perbankan dan institusi keuangan secara global
serta semakin memburuknya perekonomian di beberapa negara telah meningkatkan
persepsi risiko secara global. Beberapa negara di kawasan Eropa Timur, seperti:
Ukraina, Latvia, Hungaria dan Belarus, serta Pakistan di Asia dan Iceland terpaksa
harus meminta dukungan IMF. Di tengah kondisi yang masih dilingkupi
ketidakpastian dan fenomena ‘risk aversion’ dan ‘flight to quality’ yang masih
berlangsung menyebabkan meningkatnya persepi risiko ke negara-negara
berkembang semakin cepat menyebar.
Salah satu indikator dari meningkatnya persepsi risiko ini misalnya terlihat dari
grafik credit- default swap (CDS) yang kembali menunjukkan lonjakan di awal tahun
2009 serta menunjukkan pola yang serupa untuk negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. CDS yang awalnya merupakan produk pasar finansial untuk
meng-hegde risiko default korporasi, kini semakin terlihat mulai digunakan untuk
risiko yang terkait dengan souverign debt. Bahkan, di tengah kebijakan tingkat suku
bunga global yang turun tajam dan mendekati ‘nol’ di beberapa negara maju dan
tendensi membesarnya defisit anggaran secara global, besar kemungkinan CDS akan
menjadi indikator yang semakin digunakan pelaku pasar dalam melihat pergerakan
arah nilai tukar suatu negara.

Perilaku para pelaku di pasar finansial yang masih mudah panik dan fenomena
flight to quality yang masih berlangsung telah menyebabkan pula tekanan terhadap
nilai tukar secara global, terhadap US Dollar. Nilai tukar global mengalami tekanan
pelemahan dan bergerak dalam volatilitas yang cenderung meningkat. Di kawasan

3

Asia, nilai tukar Korean Won misalnya, mengalami pelemahan terbesar. Sejak awal
tahun 2009, Won telah melemah sebesar 14,84%. Sementara Rupiah tercatat
mengalami pelemahan sebesar 9,02% sejak awal tahun 2009.
Hal yang serupa juga terjadi di pasar saham. Indeks saham secara global
mengalami tekanan yang cukup besar karena di tengah prospek perekonomian global
yang memburuk, investor cenderung mengalihkan dananya ke surat utang negara
(khususnya surat utang pemerintah AS) atau emas. Di kawasan Asia, indeks saham di
Vietnam mengalami penurunan terbesar, yaitu sekitar 19,25% sejak awal tahun 2009,
sementara indeks saham di Hong Kong (Hang Seng) turun sebesar 9,48%, Singapore
(STI) sebesar 7,51% dan IHSG kita turun sebesar 2,34% dibandingkan posisi awal
tahun 2009.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Terkait dengan nilai tukar yang terus mengalami tekanan seperti saya singgung

sebelumnya, Bank Indonesia senantiasa berusaha untuk menjaga agar nilai tukar tidak
bergerak dengan fluktuasi yang eksesif meskipun tidak dimaksudkan untuk menjaga
level nilai tukar tertentu sejalan dengan sistem nilai tukar mengambang bebas (free
float exchange rate system) yang kita anut. Hal ini krusial mengingat volatilitas yang
berlebihan akan menambah ketidakpastian bagi pelaku bisnis dan semakin
mengundang aksi spekulasi yang tentu tidak kita inginkan. Di tengah meningkatnya
permintaan valas, khususnya US Dollar, dan masih tingginya counterparty risk antar
pelaku pasar, Bank Indonesia telah pula mengambil kebijakan operasional untuk
memperlancar distribusi dan menyeimbangkan kebutuhan likuiditas valas melalui
instrumen Repo US Dollar dengan agunan Global Bonds (SUN Valas) dan transaksi
swap USD/Rupiah.
Dampak krisis keuangan global, khususnya fenomena risk aversion dan flight to
quality yang masih berlangsung telah pula menekan harga surat utang negara (SUN)
sehingga yield SUN kembali meningkat di awal tahun untuk semua tenor. Secara ratarata, yield SUN telah mengalami peningkatan sekitar 200 bps sejak aal tahun,
khususnya untuk tenor di atas 10 tahun. Peningkatan yield SUN di tengah tendensi
suku bunga yang menurun kali ini menunjukkan cukup kuatnya faktor eksternal,
khususnya terkait dengan peningkatan persepsi risiko.
Sementara itu, pasar uang antar bank di Indonesia juga terlihat belum berfungsi
dengan baik. Aliran likuiditas antar bank masih belum lancar karena segmentasi yang
meningkat seiring dengan meningkatnya counterparty risk antar bank. Sebagaimana

fenomena yang terjadi di pasar uang secara global, yaitu aliran likuiditas di pasar
uang yang nyaris berhenti di tengah menumpuknya stok likuiditas. Beberapa
kalangan menilai bahwa pemulihan fungsi pasar uang secara global masih
memerlukan waktu yang cukup panjang. Alan Greenspan, mantan Gubernur bank
4

sentral Amerika Serikat misalnya, sebagaimana dikutip Bloomberg tanggal 23 Februari
lalu mengindikasikan bahwa pemulihan pasar uang global baru akan terjadi paling
cepat di tahun 2010 mendatang. Hal ini ditunjukkan oleh spread antara LIBOR 3 bulan
dengan OIS yang masih cukup tinggi dan kembali di atas 1% akhir-akhir ini. Indikasi
yang serupa juga kita cermati di pasar uang domestik. Spread antara JIBOR - OIS
maupun JIBOR dengan tenor non-overnight dengan JIBOR overnight, yang meskipun
sudah mulai menyempit namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi
normal. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa perbankan masih lebih suka
menempatkan kelebihan dananya di Bank Indonesia daripada memebrikan pinjaman
ke bank lain, sebagaimana terlihat dari posisi instrumen operasi pasar terbuka (OPT)
BI, termasuk fine tune kontraksi (FTK) yang cenderung meningkat sementara volume
transaksi antar bank yang cenderung turun.
Mempertimbangkan bahwa adalah sangat penting menjaga berfungsinya pasar
uang antar bank dengan baik, Bank Indonesia telah melakukan langkah-langkah yang

dimaksudkan untuk memperlancar aliran likuditas di pasar uang antar bank. Langkah
ini antara lain dengan mengaktifkan transaksi pembelian secara repo surat-surat
berharga (SBI/SUN) baik dalam FTE maupun ‘repo’ sampai dengan 14 hari. Transaksi
‘repo’ sampai dengan 14 hari ini tersedia setiap hari. Meski demikian, hal ini tentunya
tidak akan optimal apabila tidak didukung oleh kalangan perbankan sendiri karena
sebenarnya substansi permasalahan adalah bukan pada tidak adanya likuiditas di
pasar uang melainkan lebih pada persepsi risiko masing-masing bank kepada bank
lainnya sehingga likuiditas tidak mengalir. Untuk itu, ke depan perbankan diharapkan
dapat memiliki komposisi portfolio aset yang lebih sehat khususnya dengan
memelihara sejumlah tertentu aset likuid di dalam portfolionya. Dalam kaitan ini,
Bank Indonesia telah mendorong hal tersebut dengan memberlakukan semacam
liquidity ratio sebagai bagian dari giro wajib minimum perbankan yang akan mulai
berlaku bulan Oktober 2009 nanti.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Apa yang saya kemukakan tadi tentunya akan menjadi gambaran lingkungan
yang dihadapi oleh industri perbankan kita. Meski demikian peran perbankan harus
tetap optimal, tentunya dengan tingkat kehati-hatian yang harus lebih kuat, dalam
situasi perekonomian yang menghadapi tekanan dan tantangan yang cukup berat ke
depan. Sejauh ini kondisi perbankan kita bisa dikatakan masih cukup kuat. Dalam
kaitan dengan krisis keuangan global saat ini, bisa dikatakan bahwa praktik

perbankan kita yang masih relatif ‘konvensional’, khususnya yang masih
mengandalkan DPK masyarakat untuk membiayai kredit (leverage di pasar uang yang
sangat rendah) dan relatif marginalnya keterkaitan dengan produk-produk pasar
finansial global menjadi semacam blessing in disguise. Namun demikian, ke depan hal
5

ini tentunya memiliki risiko tersendiri di tengah semakin maraknya produk-produk
investasi alternatif, khususnya bagi deposan-deposan besar. Untuk itu, perbankan
tetap perlu mencari terobosan-terobosan untuk memperkuat stabilitas sisi fundingnya, tentunya secara terukur dan transparan.
Berbagai indikator terkini masih menunjukkan relatif baiknya kondisi perbankan
Indonesia. CAR secara industry masih mencapai rata-rata 16,2%, NPL masih cukup baik
di level 3,8% (gross) dan tingkat return on assets (ROA) yang masih cukup tinggi
(2,3%) per Desember 2008. Meski demikian, dari sisi permodalan tentunya dalam
situasi saat ini modal yang lebih tinggi bagi setiap individu bank akan jauh lebih baik.
Sejalan dengan trend penurunan suku bunga, suku bunga perbankan baik suku
bunga deposito maupun kredit juga sudah mulai menunjukkan penurunan, meskipun
masih relatif lambat dan belum seperti yang diharapkan. Hal ini tentunya merupakan
cerminan pula akan dampak krisis, baik dari sisi funding perbankan maupun risiko
kredit terhadap sisi penempatan bank yang meningkat. Dari sisi likuiditas, tentu
bukan merupakan praktik persaingan yang sehat secara industry apabila terkait

dengan aspek funding ini, perbankan kemudian berlomba untuk melakukan ‘perang
suku bunga deposito’. Perlu ada terobosan-terobosan sebagaimana saya singgung
sebelumnya untuk memperkuat ketahanan sisi funding perbankan. Dalam hal ini,
pola-pola semacam pinjaman sindikasi antar bank barangkali perlu untuk dikaji
sebagai alternatif.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Sejalan dengan perkembangan kondisi perekonomian ke depan yang akan
cenderung melambat, pertumbuhan kredit perbankan untuk semua jenis dan sektor
ekonomi juga mulai mengalami penurunan. Pertumbuhan kredit jenis modal kerja
dan kredit sektor industri menunjukkan penurunan pertumbuhan terbesar sejak akhir
tahun 2008. Tentu hal ini merupakan konsekuensi yang wajar terhadap
perkembangan yang terjadi di sektor riil. Secara umum, pertumbuhan kredit sebesar
sekitar 30% di tahun 2008 jelas bukan merupakan hal yang akan terjadi di tahun 2009
ini. Tahun ini, pertumbuhan kredit diperkirakan akan melambat dan berada di kisaran
15,5%.
Namun demikian, beberapa risiko perlu diwaspadai dan diantisipasi khususnya
potensi meningkatnya non-performing loans yang berakibat pada menurunnya ROA
dan CAR Perbankan. Demikian pula pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK)
masyarakat, yang sampai saat ini merupakan sumber utama pendanaan penempatan
Perbankan, diperkirakan akan tumbuh melambat.
Sebagaimana saya kemukakan sebelumnya, mengingat peran perbankan yang
dominan dalam perekonomian tentunya fungsi intermediasi perbankan harus tetap
6

dapat berjalan dengan optimal ke depan. Dalam kaitan dengan penyaluran kredit,
kredit kepada sektor UMKM yang terbukti memiliki daya tahan terhadap krisis perlu
mendapat porsi yang lebih besar, yang juga merupakan bentuk penyebaran risiko
penempatan dana perbankan.
Sementara itu, Bank Indonesia bersama dengan Pemerintah akan terus
meningkatkan koordinasi kebijakan untuk menjamin terciptanya kondisi yang tetap
kondusif bagi perbankan dan perekonomian secara luas agar pertumbuhan ekonomi
yang meskipun diperkirakan lebih rendah dari tahun lalu dapat kita wujudkan
bersama serta kita berupaya dan berharap agar tidak lebih rendah dari yang
diperkirakan banyak pihak. Dalam kaitan ini, stabilitas makro ekonomi dan stabilitas
pasar keuangan akan menjadi prioritas. Di bidang perbankan, regulasi akan diarahkan
untuk tetap memberikan fleksibilitas perbankan dalam penyaluran kredit, namun
disertai dengan aspek governance dan pengelolaan risiko yang lebih baik. Bank
Indonesia juga akan terus meningkatkan kualitas pengawasan perbankan agar dapat
menjaga peran perbankan bagi perekonomian dengan lebih baik dan agar
pengalaman pahit sebagaimana terjadi pada krisis 1997/98 tidak terulang kembali.
Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk terus meningkatkan
kedewasaan dan profesionalisme kita khususnya dalam mengukur dan menangani
risiko sehingga perbankan Indonesia dapat lebih maju dan lebih berdaya tahan.
Dengan senantiasa disertai itikad baik dan perilaku mencari keuntungan secara wajar,
Insya Allah, kita semua dapat melewati periode yang penuh tantangan ke depan
dengan baik. Semoga para bankir Indonesia dan Perbankan dapat memberikan
kontribusi yang tetap optimal bagi perekonomian nasional.
Billahi taufiq wal hidayah wassalamu ‘alaikum wa Rahmatullah wa
Barakatuh.

Jakarta, 25 Februari 2009

7