speech bm maj investor 171208

GEJOLAK PASAR FINANSIAL GLOBAL
DAN PENGARUHNYA KE PASAR FINANSIAL DAN PEREKONOMIAN INDONESIA1
BUDI MULYA
Deputi Gubernur Bank Indonesia

Hadirin sekalian, Para Pelaku Pasar Finansial Indonesia dan Manajemen Majalah Investor yang
saya muliakan, Assalamu’ alaikum wr.wb., salam sejahtera bagi kita semua,

Pertama-tama, sungguh merupakan suatu kesempatan yang baik bagi kita semua bertemu
di saat-saat menjelang akhir tahun 2008. Akhir tahun merupakan saat yang tepat untuk
merenung, mengevaluasi langkah yang telah kita lakukan agar dapat menyongsong tahun baru
2009 nanti dengan lebih baik. Tahun 2008, barangkali merupakan salah satu tahun yang tidak
terlupakan karena kita semua melihat, mencermati dan merasakan dampak dari salah satu suatu
gejolak pasar finansial terbesar dalam sejarah. Beberapa pihak menyebut tahun 2008 sebagai ‘the
teribble year’ (annus horribilis). Hal ini tak lain untuk menggambarkan betapa luas dan dalamnya
dampak gejolak pasar finansial global yang bermula dari mencuatnya US Sub-prime mortgage
pertengahan tahun 2007 lalu, terutama pasca bangkrutnya salah satu institusi keuangan terbesar
di US – Lehman Brothers Holding Inc. pada 15 September lalu, terhadap perekonomian secara
global. Apa yang terjadi dengan Lehman Brothers, di sisi lain juga telah menggoyahkan
kepercayaan pada berfungsinya ekonomi pasar dengan baik2. Beberapa analis/pengamat bahkan
menyatakan bahwa apabila dampak negatif krisis terhadap perekonomian secara global tersebut

mencapai titik terendahnya (bottom) di tahun 2009, sudah sangat beruntung.
Secara jelas, dampaknya yang luas terhadap perekonomian terlihat dari ancaman resesi,
meningkatnya pengangguran dan semakin sulitnya aliran pembiayaan ke sektor riil. Pertumbuhan
ekonomi di US, Eropa, China, Jepang, dan di hampir semua negara mengalami koreksi yang cukup
drastis. Tahun depan, menurut perkiraan IMF3, ekonomi US diperkirakan tumbuh negatif sebesar
minus 0,7%, sementara pertumbuhan ekonomi di negara-negara kawasan Eropa minus 0,5% dan
1

Keynote speech disampaikan pada Acara Tokoh Finansial Indonesia 2008 - Majalah Investor Jakarta, 17 Desember
2008.
2
3

Mohamed El-Erian, “Only New Thinking Will Save the Global Economy”, Financial Times, 3 Desember 2008.
IMF, World Economic Outlook, 6 November 2008.
1

Inggris minus 1,3%. Adapun China yang rata-rata pertumbuhan ekonominya dalam beberapa
tahun terakhir di atas 10%, menjadi hanya 8,5%. Sedangkan Jepang juga diperkirakan akan
mengalami pertumbuhan ekonomi negatif sebesar minus 0,2.

Menyikapi ancaman perekonomian secara global yang luar biasa tersebut, respond otoritas,
pemerintah dan bank sentral, di beberapa negara maju juga sangat luar biasa dan komprehensif.
Di beberapa negara bahkan mengalami ‘swing’ yang sangat besar dari semula berusaha
menyeimbangkan antara antisipasi ancaman lonjakan inflasi sejalan dengan melonjaknya harga
komoditas dan bahan bakar terutama sejak awal 2008, dengan upaya menenangkan dan
mengisolasi kepanikan di pasar finansial, menjadi akhirnya lebih fokus pada ancaman resesi
perekonomian. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa dampak krisis terhadap perekonomian jauh
lebih buruk dari perkiraan sebelumnya.
Respond otoritas tersebut mulai dari injeksi likuiditas di pasar uang secara besar-besaran,
blanked guarantee, bail-out industri keuangan dan perbankan hingga pemangkasan suku bunga
dalam skala yang cukup besar. Bank sentral bisa dikatakan telah mengeluarkan semua jurus
kebijakan yang ada, termasuk dengan semua inovasi langkah yang mungkin. The FED misalnya,
dalam FOMC meeting kemarin, memangkas suku bunga dengan cara di luar kebiasaan sampai
saat ini, yaitu sebesar 75-100 bps sehingga target suku bunga di US berada dalam kisaran 0 0.25%. Level suku bunga ini merupakan level terendah yang pernah terjadi. Hal ini disertai
dengan pemotongan suku bunga diskonto (O/N repo discount rate) sebesar 75 bps menjadi 0.5%.
Di sisi lain, gejolak pasar finansial secara global kali ini juga telah mengubah secara
fundamental landscape pasar finansial global, melonjaknya counterparty risk sehingga aliran
likuiditas di pasar uang nyaris berhenti di tengah stok likuiditas yang menumpuk serta semakin
kuatnya indikasi berakhirnya era investment bank.
Hadirin sekalian yang berbahagia,

Dampak negatif dari gejolak pasar finansial global tersebut, juga telah mempengaruhi pasar
finansial dan perekonomian domestik, meskipun perekonomian kita memiliki fundamental yang
kini jauh lebih baik pasca krisis 1997/98 serta pasar finansial domestik tidak terkait langsung
dengan produk-produk pasar perumahan di US yang menjadi pemicu krisis global kali ini. Hal ini
tidak lain terutama karena perekonomian dan pasar keuangan secara global telah sedemikian
2

terintegrasinya serta karena kepanikan para pelaku pasar keuangan sedemikian cepat menyebar.
Namun sebelum mengulas lebih jauh hal ini, saya ingin mengemukakan beberapa hal yang
kiranya harus menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua ke depan, dari krisis finansial
global yang dampaknya secara luas masih terasa sampai saat ini, dan belum dapat dipastikan
kapan akan mereda.
‘Too much greed, too little fear’ dan ‘from greed to fear’, barangkali inilah gambaran yang
tepat atas apa yang terjadi saat ini. Sebagaimana saya singgung di awal, krisis kali ini dipicu oleh
pasar perumahan di US yang pada dasarnya berawal dari un-prudent lending practice perbankan.
Praktik pembiayaan kredit perumahan yang kurang layak ini kemudian diikuti dengan securitisasi
dan transaksi derivatifnya yang menjadi sangat besar dan tidak terkontrol dalam kondisi
pengaturan yang kurang memadai (too loose). Bila dilihat lebih mendalam, hal ini tidak lain
merupakan cerminan dari bentuk lain keserakahan manusia (dalam hal ini para pelaku pasar
finansial). Lazimnya, iming-iming keuntungan yang besar akan cenderung menutup risiko yang

ada sehingga penilaian terhadap risiko investasi menjadi kurang memadai. Krisis kali ini juga
menunjukkan bahwa perilaku yang demikian ternyata masih cukup kuat meskipun risk
management telah menjadi topik yang selalu menjadi salah satu prioritas dalam konteks stabilitas
pasar keuangan dalam satu dasawarsa terakhir. Bahkan, kita masih melihat bagaimana para
investor di pasar finansial modern masih bisa ‘tertipu’ dengan pola investasi yang dikenal sebagai
‘ponzi scheme investment’ sebagaimana yang dituduh dilakukan oleh perusahaan sekuritas
Bernard L. Madoff4, mantan pejabat NASDAQ Stock Exchange, yang melibatkan dana sebesar 50
milyar US Dollar5.
Perilaku para pelaku di pasar finansial yang demikian, dalam situasi krisis berkembang
menjadi perilaku panik yang cenderung berlebihan dan cepat menyebar secara luas. Masingmasing berusaha menyelamatkan nilai asetnya ke dalam bentuk yang dirasakan paling aman
(flight to quality) dan likuid, yaitu ‘cash’ dan surat utang pemerintah US (US Treasury
Notes/Bonds) dan tidak mau memberikan pinjaman kepada yang lain. Hal ini karena masingmasing institusi keuangan menjadi saling tidak percaya karena belum diketahui secara pastinya
potensi kerugian yang dialami pihak lain (counterparty risk meningkat). Hal yang terjadi kemudian

4
5

Siaran pers US Securities and Exchange Commission, 11 Desember 2008.
‘Top Broker Accused of 50$ Billions Fraud’, the Wall Street Journal, 12 Desember 2008.
3


adalah penarikan dana, khususnya dalam bentuk US Dollar besar-besaran secara global sehingga
menyebabkan likuiditas US Dollar secara global kering.
Perilaku sebagian pelaku pasar finansial yang tidak bertanggung jawab tersebut pada
akhirnya menjadi beban rakyat (pembayar pajak) karena otoritas di beberapa negara harus
melakukan rekapitalisasi perbankan/institusi keuangan, mengambil alih (take over) kepemilikan
bank dan mengeluarkan blanked guarantee untuk menjaga tetap berfungsinya pasar finansial
secara umum dalam rangka menghindari akibat atau kerugian yang lebih luas ke dalam
perekonomian. Di sini otoritas menghadapi dilema yang sangat berat karena langkah untuk
menyelamatkan pasar finansial dan perekonomian, di sisi lain juga dihadapkan pada risiko
semakin meningkatnya moral hazard. Untuk meminimalkan hal ini, langkah penyelamatan
pemerintah berbagai negara selalu diikuiti dengan penyidikan oleh pihak berwajib sehingga pihak
yang bersalah harus dapat tertangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Sengaja saya sampaikan paparan di atas kali ini karena saya melihat bahwa pada
kesempatan yang baik ini, kita semua perlu mengambil pelajaran yang sangat berharga meskipun
sangat mahal dan hikmah dari apa yang terjadi agar ke depan kita, baik otoritas/regulator, pelaku
pasar dan masyarakat secara umum, dapat secara bersama-sama menjaga kelanjutan
pembangunan ekonomi bangsa yang berkualitas dan berkelanjutan. Agar kita tidak lagi harus
mengalami pengalaman pahit sebagaimana pada saat krisis 1997/98 yang dampak negatifnya

juga sedemikian luas dan mendasar mencakup semua aspek kehidupan kita bersama. Terlebih
pada saat ini dimana pasar keuangan domestik sudah berkembang sedemikan pesat dan
perannya yang semakin besar bagi pembiayaan ekonomi nasional.
Sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, pasar keuangan dan perekonomian
domestik juga terkena imbas dari apa yang terjadi secara global dewasa ini, meskipun memiliki
fundamental perekonomian dan manajemen kebijakan makro yang cukup baik. Hal ini tidak lain
karena bagaimanapun, di era globalisasi seperti saat ini maka interaksi satu pasar dan satu
ekonomi dengan pasar dan ekonomi lainnya sangat erat. Faktor eksternal inilah yang saat ini
menjadi faktor utama yang mempengaruhi pasar keuangan dan perekonomian domestik.

4

Imbas dari gejolak pasar finansial global yang telah terjadi di pasar keuangan domestik
dapat kita lihat dari berbagai indikator. Di pasar fixed income misalnya, indeks harga Surat Utang
Negara (SUN) sebagaimana ditunjukkan oleh IDMA indeks merosot cukup tajam dan mencapai
titik terendah pada level 67,11 pada 29 Oktober 2008 lalu. Level ini jauh lebih rendah dari pada
level terendah pada saat ‘mini crisis’ tahun 2005 sebesar 81,71 pada 9 September 2005. Hal ini
tidak lain merupakan dampak dari ‘risk aversion’ terhadap aset-aset finansial emerging market
yang menyertai perilaku kepanikan investor global dan penarikan dana besar-besaran secara
global (capital outflows), sekaligus menunjukkan tidak likuidnya pasar SUN. Namun demikian, hal

yang patut dihargai adalah dalan kondisi yang demikian, investor dometik tidak serta merta ikut
melakukan sell-off SUN. Hal ini menunjukkan bahwa investor domestik semakin rasional dan
semakin matang.
Fenomena flight to quality dan mengeringnya aliran likuiditas US Dollar secara global juga
telah menekan nilai tukar Rupiah, sejalan dengan pelemahan nilai tukar regional (kecuali Yen).
Nilai tukar sempat melemah mencapai titik tertinggi di level 12.700 per US Dollar (kurs
Bloomberg) pada 24 November 2008 setelah sebelumnya relatif stabil di kisaran 9.000 – 9.500
per US Dollar. Sejak awal Januari 2008, nilai tukar Rupiah telah mengalami depresiasi sekitar
14,0%. Tingkat pelemahan nilai tukar rupiah ini juga sejalan dengan currency regional, bahkan
masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan Baht, Rupee dan Won yang pelemahannya di atas
15% sejak Januari 2008. Menyikapi hal ini Bank Indonesia senantiasa berupaya agar nilai tukar
Rupiah tidak mengalami volatilitas yang berlebihan dan pada akhirnya bergerak dalam kisaran
level yang sesuai dengan fundamental perekonomian sejalan dengan sistem nilai tukar
mengambang bebas. Bank Indonesia selalu berupaya mengatur lancarnya aliran likuiditas dan
menjaga keseimbangan antara permintaan dan pasokan US Dollar di pasar.
Pasar saham juga mengalami tekanan yang cukup besar. IHSG yang sempat mencapai level
tertinggi sebesar 2830,263 pada 9 Januari 2008, merosot cukup besar di level terendah pada 28
Oktober 2008 sebesar 1113,624. IHSG bahkan sempat mengalami ‘suspend’ pada tanggal 8-10
Oktober 2008.
Sementara itu, di pasar uang Rupiah, khususnya pasar uang antar bank (PUAB) meskipun

pergerakan suku bunga overnight (PUAB O/N) tetap terlihat stabil di kisaran level BI Rate, namun
terlihat pula adanya indikasi gangguan aliran likuiditas di pasar uang antar bank. Hal ini
5

mencerminkan adanya segmentasi yang meningkat sebagai dampak dari meningkatnya
counterparty risk. Indikasi akan hal ini terlihat misalnya dari spread suku bunga JIBOR (Jakarta
Inter-bank Offer Rate) jangka waktu di atas satu bulan terhadap JIBOR overnight yang meningkat
cukup besar, yaitu di atas 250 bps. Dalam kondisi normal, spread tersebut berada dalam kisaran
100-150 bps.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Pelemahan ekonomi secara global dan menurunnya volume perdagangan dunia tentu pada
akhirnya berdampak pula pada perekonomian domestik. Pertumbuhan ekspor diperkirakan akan
menurun dalam beberapa waktu ke depan. Neraca pembayaran dan transaksi berjalan juga
diperkirakan akan mengalami penurunan. Demikian pula kegiatan investasi dan konsumsi swasta.
Hal tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik.
Pertumbuhan ekonomi, khususnya tahun 2008 dan 2009 diperkirakan akan lebih rendah dari
perkiraan semula. Tahun 2008, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih cukup tinggi sekitar
6%, namun demikian pertumbuhan ekonomi di tahun 2009 diperkirakan akan terkoreksi dalam
kisaran 5% atau bahkan bisa lebih rendah.
Sementara inflasi, tahun 2008 diperkirakan berada dalam kisaran 11,5% - 12,0% dan pada

tahun 2009 diproyeksikan akan berada dalam kisaran 6,5% - 7,5% dengan kecenderungan akan
berada di batas bawah kisaran sejalan dengan trend penurunan harga komoditas dan
menurunnya sisi permintaan domestik.
Menghadapi tantangan yang cukup berat dan tingkat ketidakpastian yang tinggi tersebut,
Pemerintah dan Bank Indonesia, telah dan akan mengambil kebijakan-kebijakan secara
terkoordinasi agar tetap dapat mengoptimalkan kondisi fundamental perekonomian domestik
dan meminimalkan dampak negative dari sisi eksternal. Kebijakan yang telah diambil pada
dasarnya untuk menjaga tingkat kepercayaan pelaku ekonomi dan menjaga stabilitas pasar
keuangan serta memitigasi hambatan-hambatan yang ada terkait dengan pembiayaan sektor riil.
Sebagai respon dan langkah antisipasi menghadapi kondisi potensi dampak negatif yang
lebih luas, Pemerintah misalnya telah mengeluarkan 3 (tiga) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu). Ketiga Perppu tersebut adalah Perppu No.2/2008 yang berisi
6

amandemen kedua UU No.23 tahun 1999 yang memungkinkan Bank Indonesia dapat
memberikan pembiayaan jangka pendek kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas
dengan agunan yang mencakup kredit dengan kategori lancar. Perppu No. 3/2008 yang berisi
amandemen atas UU No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Perppu
No.4/2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK).
Sementara itu, sejalan dengan hal tersebut Bank Indonesia juga telah melakukan berbagai

langkah yang utamanya untuk menjaga tetap berfungsinya pasar uang dan pasar finansial dengan
baik. Langkah-langkah yang ditempuh terutama untuk meyakinkan tersedianya likuiditas yang
cukup bagi perbankan dan mengurangi hambatan aliran likuiditas, baik di pasar uang rupiah
maupun valas.
Hal ini antara lain dengan penyempitan koridor suku bunga overnight hingga saat ini
sebesar 100 bps (+/- 50 bps dari BI Rate), mengaktifkan transaksi pembelian secara repo suratsurat berharga (SBI dan SUN), atau FTE, dan membuka fasilitas repo yang tersedia setiap hari
dengan jangka waktu 2-14 hari. Sementara itu, terkait dengan likuiditas valas (US Dollar), Bank
Indonesia juga telah mengambil langkah menurunkan GWM valas dari semula 3% menjadi 1%
serta fasilitas rediskonto wesel ekspor, yang juga dimaksudkan untuk mengurangi hambatan
perbankan dalam memberikan pembiayaan kepada eksportir. Langkah-langkah ini juga
dimaksudkan untuk mengurangi tekanan permintaan US Dollar yang berlebihan yang pada
akhirnya akan pula mengurangi gejola nilai tukar.
Selain itu, Bank Indonesia juga telah mengambil langkah yang bersifat pelonggaran
terhadap transaksi valuta asing perbankan, yang juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak
negatif ketatnya likuditas US Dollar secara global. Namun demikian, pada saat yang sama Bank
Indonesia memperketat ketentuan untuk membatasi transaksi yang bersifat spekulatif serta
melarang structured product, suatu produk derivative yang telah melibatkan dan menyebabkan
kerugian bagi beberapa pelaku pasar, diantaranya para eksportir. Ketentuan mengenai hal ini
tertuang dalam PBI No.10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan PBI
No.10/38/PBI/2008 tentang penyempurnaan aturan tentang Transaksi Derivatif, tanggal 16

Desember 2008.

7

Hadirin sekalian yang berbahagia,
Saat ini proses konsolidasi pasar keuangan global masih terus berlangsung, sementara
perekonomian global juga sedang berada dalam fase untuk recovery pasca berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah dan bank sentral berbagai negara. Ini tentunya akan
memerlukan waktu yang relatif panjang dan ketidakpastian masih cukup tinggi.
Menghadapi tantangan ke depan yang masih akan cukup berat, Bank Indonesia bersama
dengan Pemerintah akan terus memonitor berbagai indikator pasar finansial maupun
perekonomian agar melakukan respond kebijakan yang diperlukan secara tepat, baik dari sisi
waktu maupun tujuannya.
Pada kesempatan yang baik ini pula, saya ingin mengajak kerja sama dan pengertian dari
hadirin sekalian perlunya kita secara bersama-sama, meski dalam posisi yang berbeda, untuk
menjaga tetap terjaganya stabilitas pasar finansial demi mendukung terwujudunya pembangunan
ekonomi bangsa yang berkualitas dan berkesinambungan.
Saya berharap pelaku pasar finansial dapat terus meningkatkan kedewasaan dan
profesionalisme, khususnya dalam mengukur dan menangani risiko sehingga pasar finansial
domestik dapat lebih maju dan lebih berdaya tahan. Dengan senantiasa disertai itikad baik dan
perilaku mencari keuntungan secara wajar, Insya Allah, kita semua dapat melewati masa-masa
sulit ini dan tantangan ke depan dengan baik.
Akhir kata, saya ingin mengucapkan SELAMAT kepada insan/tokoh pasar finansial yang
malam ini dinobatkan sebagai yang terbaik di tahun 2008. Semoga dapat memberikan contoh dan
menjadi inspirasi bagi yang lain. Semoga dapat memberikan kontribusi yang lebih baik bagi
perekonomian nasional.
Billahi taufiq wal hidayah wa ssalamu ‘alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Jakarta, 17 Desember 2008

8