speech bm dialogrisk 100609

Keynote Speech
MANAJEMEN RISIKO DI LINGKUNGAN YANG SEMAKIN DINAMIS1
BUDI MULYA
Deputi Gubernur Bank Indonesia

Hadirin sekalian yang saya hormati,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Thomson Reuters,
sebagai penyelenggara diskusi hari ini, yang telah mengundang saya untuk ikut berdialog
dengan para pelaku pasar finansial Indonesia. Ke depan diskusi seperti ini akan semakin
penting bagi kita semua, agar kita dapat memperoleh pemahaman yang sama terhadap
beberapa aspek di pasar keuangan meskipun kita memiliki kepentingan yang berbeda.
Dengan demikian, perekonomian dan masyarakat luas akan semakin merasakan manfaat
keberadaan pasar keuangan Indonesia. Khususnya, dalam menghadapi kondisi yang
berubah secara signifikan pasca krisis pasar keuangan global yang baru saja terjadi.
Krisis pasar keuangan global yang baru saja terjadi telah memberikan beberapa
pelajaran penting bagi kita semua. Sebagaimana yang terjadi dengan tragedi kemanusiaan,
penyebabnya beragam dan saling terkait. Namun demikian, semua penyebab yang
mungkin pada akhirnya berawal dari atau terkait dengan sifat dan perilaku manusia.
Secara spesifik, kita mencermati bahwa semuanya berawal dari bagaimana pelaku pasar
dan juga pihak otoritas menilai dan menyikapi risiko. Hal yang dalam praktiknya ternyata
kontras dengan diskusi mengenai manajemen risiko yang telah menajdi bahan diskusi

utama dalam satu dekade terakhir. Hal yang paling menonjol adalah bagaimana pelaku
pasar cenderung dihinggapi semacam ‘ilusi keuntungan’ yaitu, perilaku yang cenderung
mengesampingkan aspek risikonya karena terlalu fokus pada potensi keuntungan. Perilaku
yang menunjukkan betapa mudahnya kita terjebak pada rasa puas diri dan mengabaikan
kemungkinan kondisi yang berubah.
Di sisi lain, otoritas juga cenderung terjebak pada perilaku yang sama. Mereka
cenderung terlalu berasumsi bahwa disiplin pasar akan selalu berjalan dengan baik. Hal ini
terlihat khususnya dalam mengatur dan mengawasi transaksi yang sifatnya ‘over-the
counter’.Terkait hal ini, otoritas harus kembali mennegok nilai-nilai tradisional umum
bahwa kewajaran harus melandasi bisnis di pasar keuangan.
Sejalan dengan tendensi yang berkambang pasca krisis, yaitu meningkatnya tuntutan
akan kewajaran dan transparansi maka adopsi dari suatu standar internasional atas
laporan keuangan, seperti PSAK 50 dan 55 menjadi hal yang tidak bisa kita hindari. Terlebih

1

Disampaikan dalam Forum Dialog Risk Indonesia 2009 yang diselenggarakan oleh Thomson Reuters, Grand Hyatt –
Jakarta, 10 Juni 2009.

1


bila mengingat bahwa dari krisis yang baru lalu, kita melihat bahwa kurangnya transparansi
telah berperan memperparah gejolak yang terjadi di pasar keuangan global.
Saya berharap bahwa kita semua siap dan mendukung diberlakukannya PSAK 50 dan
55 sesuai dengan jadual, yaitu mulai Januari 2010. Meskipun demikian, hari ini saya tidak
ingin terlalu jauh mendiskusikan hal-hal detail menyangkut kedua standard akuntansi
tersebut, melainkan akan lebih menyoroti aspek-aspek yang kita pelajari dari krisis
keuangan global yang terjadi terakhir. Saya percaya bahwa hal-hal tersebut sejalan dan
akan semakin memperkuat alasan perlunya kita mulai menerapkan standard akuntansi
yang bersifat internasional.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Sengaja saya awali diskusi hari ini dengan mengingatkan kembali betapa pentingnya
menjaga kewajaran para pelaku di pasar keuangan, termasuk para bankir mengingat
kegagalan yang terjadi di pasar keuangan akan selalu membebani perekonomian dan
masyarakat luas serta akan memakan waktu yang lama untuk menyembuhkannya.
Sebagaimana yang pernah kita alami di tahun 1997/98 yang lalu.
Selanjutnya saya akan memaparkan secara singkat dampak dari krisis global kali ini ke
dalam perekonomian kita sebagai latar belakang untuk menggarisbawahi hal-hal yang
harus menjadi agenda kita bersama. Hal ini agar ke depan kita memiliki sistem perbankan
dan pasar keuangan yang paling cocok dan sesuai dengan kebutuhan perekonomian

domestik.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, dampak krisis pasar keuangan yang bermula
sekitar dua tahun yang lalu, khususnya pasca bangkrutnya Lehman Brother bulan
September tahun lalu telah menyebar ke hampir seluruh dunia. Dalam perkembangannya
hamper tidak ada lagi pembicaraan mengenai ‘decoupling’ mengingat perekonomian,
perdagangan dan pasar keuangan telah sedimikian teritengrasinya secara global.
Secara global, perekonomian mengalami koreksi yang tajam. Beberapa negara maju
bahkan telah mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal yang juga terjadi di beberapa
negara Asia. Sebagai respon atas perkembangan ini dan untuk mencegah dampak yang
lebih parah bagi perekonomian, otoritas secara global telah melakukan ekspansi besarbesaran yang tentunya berimplikasi pada meningkatnya defisit anggaran pemerintah.
Langkah ini diikuti dengan beberapa negara mengeluarkan blanket guarantee. Langkahlangkah ini menunjukkan betapa seriusnya dampak krisis bagi pereknomian. Semua
langkah yang secara politis feasible telah diambil oleh berbagai otoritas.
Sejalan dengan hal tersebut, bank-bank sentral di dunia juga telah mengambil
kebijakan moneter yang cukup dramatis. Penurunan suku bunga kebijakan tercatat sebagai
yang terbesar, baik dari sisi besaran maupun kecepatan penurunnya. Hal ini diikuti dengan
langkah-langkah implementasi kebijakan, melalui operasi pasar terbuka (OPT) yang sangat
variatif dan inovatif. Mulai dari langkah memperluas underlying asset dan counterparty,
2

memperpanjang tenor transaksi OPT dan meningkatkan volume transaksi OPT hingga

pembelian surat-surat berharga di pasar keuangan secara outright.
Langkah yang ditempuh berbagai bank sentral tersebut juga menunjukkan sedmikian
parahnya gangguan yang terjadi di pasar uang dan pasar keuangan secara lebih luas. Hal
yang paling menonjol adalah hilangnya kepercayaan diantara para pelaku pasar, sehingga
likuiditas tidak mengalir di pasar uang antar bank. Hal yang tidak lain mencerminkan
praktik manajemen risiko yang cenderung terlalu kontras dalam kondisi normal dan dalam
kondisi krisis. Dalam kondisi krisis, bank cenderung terlalu rigid, bahkan terlihat cenderung
berekasi berlebihan untuk menghindari dari risiko. Indikasi yang dalam kadar tertentu
terlihat pula di pasar uang kita sejak beberapa bulan yang lalu.
Di sisi lain, kita juga melihat bahwa ekspansi fiskal besar-besaran yang dilakukan
beberapa negara dilakukan bukan tanpa konsekuensi di kemudian hari. Bahkan sejak hal
tersebut dilakukan, beberapa pihak sudah mulai mempertanyakan bagaimana nanti
pemerintah memitigasi implikasinya pada meningkatnya potensi risiko inflasi dalam jangka
panjang. Pertanyaan-pertanyaan mengenai ‘exit strategy’ tersebut terlihat semakin
meningkat dewasa ini sebagaimana antara lain tercermin dari struktur suku bunga yang
cenderung curam di berbagai negara.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Khusus dari sisi pasar keuangan, saya ingin memfokuskan pada salah satu aspek yang
berkontribusi pada kedalaman krisis pasar keuangan, yaitu transaksi derivative. Transaksi
derivative yang awalnya ditujukan untuk membantu manajemen risko telah berkembang

terlalu jauh. Transaksi tersebut telah menjadi sedemikian kompleks dan cenderung tidak
terkait dengan aktivitas ekonomi.
Transaksi derivative telah cenderung menjadi sarana untuk mengejar keuntungan
semata, sehingga akhirnya terbukti justru menambah risiko. Beberapa pelaku pasar
terlihat memanfaatkan karakteristik transaksi derivative yang cenderung bersifat ‘over-the
counter’, kurang transparan dan tidak termonitor dengan memadai oleh otoritas. Namun
demikian, kita melihat telah terjadi tendensi yang berubah terkait bagaimana otoritas
mengatur dan menyikapi transaksi jenis ini yang cenderung bergeser ke arah
penyederhanaan (flight to simplicity). Hal yang antara lain terlihat dari bagaimana otoritas
di US meningkatkan efektifitas pengawasannya untuk jenis transaksi ini, termasuk
penerapan centralized clearing and exchange trading for standardized derivative product.
Terkait dengan aspek ini, kita juga mengalami hal yang serupa, yaitu bagaimana
sulitnya menyelesaikan dispute atas transaksi derivative yang cenderung bersifat ‘over-the
counter’ ini. Hal ini mengingatkan kita semua untuk ke depan, memiliki infrastruktur yang
memadai yang di satu sisi dapat memenuhi kebutuhan pelaku bisnis namun di sisi lain
mencegah terjadinya perilaku mencari keuntungan yang berlebihan dari transaksi
derivative.

3


Hadirin sekalian yang saya hormati,
Selanjutnya, izinkan saya untuk memaparkan perkembangan perekonomian
Indonesia yang akhir-akhir ini menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Sebagai
konsekuensi logis dari perekonomian terbuka, perlambatan ekonomi sebagai bagian dari
dampak krisis global tidak dapat kita hindari. Namun demikian, berbeda dengan
perekonomian lain yang cenderung terkontraksi, ekonomi Indonesia masih sanggup
tumbuh positif 4.4% di triwulan I-2009.
Bersama dengan China dan India yang juga merupakan negara dengan populasi
penduduk yang besar, Indonesia merupakan salah satu perekonomian yang masih
mencatat pertumbuhan positif di tengah gelombang krisis terberat yang pernah terjadi
setelah era depresi ekonomi tahun 1930-an. Momentum pertumbuhan positif di ekonomi
Indonesia sanggup dipertahakan karena rendahnya ketergantungan ekonomi terhadap
ekspor, terutama bila dibandingkan dengan peran permintaan domestik yang lebih dari
60% terhadap PDB. Resiliensi permintaan domestik juga banyak terbantu oleh dampak dari
belanja PEMILU yang cukup besar akhir-akhir ini. Berbagai perbaikan positif terhadap
persepsi global terhadap perekonomian Indonesia juga mulai terlihat. Pada minggu lalu,
IMF telah merevisi ke atas perkiraan mereka terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia
dari sebelumnya 2.5% menjadi 3.0%-4.0%, yang juga sejalan dengan perkiraan kami atas
pertumbuhan ekonomi di 2009.
Perlambatan ekonomi domestik berdampak langsung terhadap inflasi yang telah

menurun cukup drastis dari sekitar 11% di 2008 menjadi 6.04% pada Mei 2009. Selain
disebabkan oleh melemahnya sisi permintaan, meredanya tekanan inflasi juga disumbang
oleh terjaganya pasokan barang, serta dampak dari penguatan nilai tukar rupiah. Kondisi
ini kami perkirakan terus berlangsung di keseluruhan tahun 2009 sehingga inflasi dapat
berada pada batas bawah kisaran 5.0%-7.0%.
Sementara itu, Neraca Pembayaran Indonesia di triwulan I-2009 mencatat surplus
USD 4.2 milyar menyusul kontraksi yang cukup besar di sisi impor serta derasnya arus
modal masuk, terutama dalam bentuk portfolio, yang dipicu oleh persepsi risiko yang
membaik. Kondisi ini kami perkirakan terus bertahan di keseluruhan tahun 2009 sehingga
sanggup mendukung perkiraan surplus transaksi berjalan sebesar USD 0.9 milyar dan
surplus neraca modal dan finansial sebesar USD 5.8 milyar untuk menopang surplus neraca
pembayaran sebesar USD 6.5 milyar. Prospek tersebut cukup memadai dalam menjaga
kestabilan level cadangan devisa sekaligus stabilitas nilai tukar rupiah ke depan.
Nilai tukar rupiah yang cenderung undervalued sejak Oktober 2008 telah
menunjukkan performa yang membaik di beberapa bulan terakhir. Persepsi risiko yang
terus membaik, terutama terhadap asset-aset negara emerging, berkontribusi positif
terhadap penguatan mata uang di kawasan, termasuk rupiah. Perkembangan ini konsisten
dengan membaiknya kondisi fundamental sebagaimana telah saya paparkan sebelumnya.
Perlu saya tekankan bahwa dampak negatif penguatan nilai tukar rupiah terhadap
keseimbangan eksternal relatif minimal, karena pada saat yang sama neraca pembayaran

mencatat surplus.
4

Hadirin sekalian yang saya hormati,
Pasar keuangan domestik juga mengalami volatilitas yang cukup tinggi di tengah krisis
global beberapa waktu lalu. Dalam kaitan ini saya ingin menyoroti khususnya apa yang
terjadi di pasar uang dan perbankan kita. Meskipun perbankan kita terbukti cukup tangguh
dan dapat bertahan dari badai krisis global namun menunjukkan perilaku yang mirip
dengan yang terjadi di perbankan internasional. Mereka cenderung terlalu mengindari
risiko sehingga transaksi di pasar uang terganggu, likuiditas tidak mengalir di tengah
menumpuknya stok likuditas perbankan.
Hal tersebut juga tercermin dari beberapa indikator di pasar uang yang menunjukkan
pola yang sama dengan indikator pasar uang secara global. Misalnya meningkat tajamnya
spread JIBOR I bulan dengan BI Rate, yang lazimnya hanya dalam kisaran 20 bps menjadi
sekitar 225 bps pada periode pertengahan September hingga awal Januari 2009 lalu. Juga
spread antara suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan BI Rate yang menunjukkan trend
yang terus meningkat di tengah trend BI Rate yang telah turun cukup besar. Spread SBDK,
khususnya untuk kredit konsumsi, terhadap BI Rate bahkan kini mencapai 900 bps. SBDK
mulai berada di level 16% sejak pertengahan September 2008.
Kedua indikator tersebut paling tidak menunjukkan meningkatnya persepsi risiko

likuiditas yang cenderung berlebihan di tengah menumpuknya stok likuditas, sebagaimana
tercermin dari penempatan dana perbankan di Bank Indonesia yang kini mencapai jumlah
Rp 270 triliun. Terkait hal ini, saya ingin menggarisbawahi beberapa aspek di dalam sistem
perbankan kita.
Pertama, paling tidak sejak tahun 1998 perbankan domestik berkembang dalam
situasi pasar uang dengan likuiditas yang berlebih. Hal yang kontras dengan situasi yang
dihadapi perbankan di negara-negara maju yang pasar uangnya cenderung ‘shortage’
sehingga setiap hari perbankan harus meminjam likuiditas dari bank sentral melalui
transaksi OPT. Kondisi likuiditas di pasar uang yang berlebih setiap hari tersebut
menyebabkan aspek manajemen risiko likuiditas perbankan cenderung terlalu longgar.
Kedua, adalah adanya ketergantungan yang berlebihan terhadap pemanfaatan
transaksi pasar uang antar bank rangka manajemen likuiditas. Kondisi ini tidak dapat
dilepakan dari faktor-faktor yang telah saya paparkan di atas. Pada saat counterparty risk
meningkat, sebagaimana berlangsung saat puncak krisis tahun lalu, aliran dana di pasar
uang antar bank turun secara signifikan aliran likuiditas di pasar keuangan terhenti. Di sisi
lain, bank cenderung menahan excess reserve dalam jumlah besar dan menempatkannya
pada instrumen OPT bank sentral. Fenomena ini, pada gilirannya, telah membatasi
perkembangan transaksi antar-bank beragunan, seperti misalnya pasar repo. Terkait
dengan pengembangan pasar repo, sejak tahun 2005 Bank Indonesia telah menginisiasi
penyusunan standardisasi repo agreement yang juga turut melibatkan pelaku di pasar fixed

income. Namun demikian, respon pasar sejauh ini masih terbatas dalam mengoptimalkan
MRA tersebut.

5

Ketiga, terkait dengan potensi risiko di dalam strategi pendanaan perbankan.
Besarnya ketergantungan perbankan nasional atas pembiayaan melalui DPK, seperti giro,
tabungan, dan deposito berjangka, memiliki tingkat kerentanan yang tinggi seiring dengan
semakin bervariasinya instrumen di pasar keuangan yang pada gilirannya meningkatkan
kompetisi antar pelaku perbankan. Dalam konteks tersebut, perbankan sudah seharusnya
memperkuat ALMA mereka melalui akses yang terukur terhadap instrumen di pasar uang.
Ketiga aspek yang telah saya paparkan di atas menjadi agenda kita bersama dalam
lingkup upaya penguatan industri perbankan nasional sekaligus meningkatkan ketahanan
pasar keuangan. Secara lebih spesifik, agenda ini juga mengacu pada upaya peningkatan
pemahaman pelaku pasar atas implementasi manajemen risiko di dalam bisnis mereka,
khsusunya seiring dengan semakin rendahnya ekses likuiditas perbankan dari waktu ke
waktu yang seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dan berbagai perubahan
strategis di area debt dan cash management Pemerintah.
Aspek terakhir sekaligus menandakan besarnya kebutuhan atas penerapan standar
internasional khususnya terkait dengan penguatan aspek transparansi. Hal ini termasuk

pengadopsian standar internasional dalam Pelaporan Keuangan dan Standar Akuntansi
Internasional, yang dalam konteks Indonesia terwujud di dalam PSAK 50 dan 55.
Sebagaimana kita pahami, lemahnya aspek transparansi telah menjadi salah satu faktor
penting yang memperdalam krisis dan memicu kepanikan yang berlebihan di pasar
keuangan.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Sebelum saya mengakhiri sambutan saya, izinkan saya untuk sekali lagi mengingatkan
kita semua untuk terus menempuh langkah yang wajar dan akurat dalam penerapan
manajemen risiko.
Indikasi awal stabilisasi perekonomian global, termasuk di pasar keuangan memang
mulai terlihat. Namun demikian, perlu diingat bahwa risiko ketidakpastian ke depan masih
sangat besar sehingga sikap optimis yang berlebihan perlu dihindari. Tidak sedikit pelaku
pasar yang belum mau mengubah tata caranya berbisnis di pasar keuangan. Indikasi ini
mudah kita temui dari respon beberapa pelaku pasar yang cenderung terlampau optimis
dan bereaksi secara berlebihan, khususnya terhadap informasi lebih baik ekspektasi
mereka sebelumnya. Perbaikan suatu indikator ekonomi memang dapat mengangkat rasa
percaya diri pelaku pasar. Namun, sejarah juga mengajari kita bahwa perbaikan yang
dilandasi sentimen cenderung jauh dari aspek fundamental, serta hanya sebatas refleksi
atas keuntungan dan kerugian yang bersifat temporer. Oleh karena itu, kita perlu lebih
bijaksana dalam menyikapi berbagai indikasi perbaikan yang saat ini berlangsung.
Optimisme yang terbentuk harus tetap dilandasi kehati-hatian sebagai dasar bagi
pengambilan keputusan yang terukur.
Namun demikian, manajemen risiko juga bukan merupakan konsep rigid yang
menafikan berbagai aspek penting dan wajar. Dalam konteks tersebut, peningkatan risiko
6

ditengah berlangsungnya krisis, perlu disikapi secara tepat melalui penerapan ukuranukuran risiko yang lebih bijaksana. Terkait industri perbankan nasional, perlu kiranya saya
tekankan bahwa upaya meminimalkan risiko tidak dapat diterjemahkan melalui
pembatasan penyaluran kredit secara berlebihan. Dalam kondisi krisis, penerapan
manajemen risiko terletak pada kemampuan bank dalam melakukan seleksi yang tepat
atas bisnis-bisnis yang potensial. Bagaimanapun, perlu dipahami oleh kita semua bahwa
hakikat keberadaan bank bagi perekonomian tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai
lembaga penyalur kredit.
Akhirnya, besar harapan saya agar dialog ini dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kita semua sekaligus memberikan pamahaman baru bagi kita untuk
menyiapkan dengan baik penerapan PSAK 50 dan 55, sejalan dengan perlunya penguatan
praktek manajemen risiko dan disiplin pasar ditengah kondisi lingkungan global yang
semakin dinamis ke depan.
Terima kasih.
Jakarta, 10 Juni 2009

7