Pengaruh Konsentrasi Dekstrin dan Tween 80 (polyoxyethylene sorbitan monooleat) pada Proses Pengeringan Gel Daun Lidah Buaya (Aloe barbadensis Miller) dengan Cabinet Dryer.

(1)

i

PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN TWEEN 80

(polyoxyethylene sorbitan monooleat) PADA PROSES PENGERINGAN GEL DAUN LIDAH BUAYA (Aloe barbadensis Miller) DENGAN CABINET

DRYER

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

OLEH :

I WAYAN ADI SAPUTRA NIM : 1011305008

JURUSAN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

ii


(3)

iii

I Wayan Adi Saputra. 1011305008. Pengaruh Konsentrasi Dekstrin dan Tween 80 (polyoxyethylene sorbitan monooleat) pada Proses Pengeringan Gel Daun Lidah Buaya (Aloe barbadensis Miller) dengan Cabinet Dryer. Di bawah bimbingan I.A. Rina Pratiwi Pudja, S.TP., MP sebagai pembimbing I dan Dr. Ir. Ida Bagus Putu Gunadnya, MS. sebagai pembimbing II.

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi bahan pengisi dekstrin dan tween 80 pada proses pengeringan gel lidah buaya dengan menggunakan pengeringan kabinet serta mengetahui konsentrasi dekstrin dan tween 80 yang dapat mempercepat proses pengeringan gel daun lidah buaya. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi dekstrin (10%, 14%, 18%, 22%) dan faktor kedua adalah konsentrasi tween 80 (0.3%, 0.4%, 0.5%) dengan suhu pengeringan 70°C. Perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan dilakukan setiap 2 jam sampai berat sampel tidak mengalami penurunan. Variabel yang diamati adalah laju pengeringan, derajat putih, rendeman, dan pH tepung lidah buaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi dekstrin dan tween 80 berpengaruh nyata terhadap kadar air, konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata terhadap derajat putih tepung lidah buaya. Interaksi konsentrasi dekstrin dan tween 80 tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati. Penambahan dekstrin akan memperlambat proses pengeringan, sebaliknya penambahan tween 80 akan mempercepat proses pengeringan. Rendemen tertinggi yang didapatkan adalah dari interaksi perlakuan dekstrin 22% dengan twen 80 0,3% sebesar 10,99%. Derajat keasaman (pH) tertinggi adalah dari interaksi perlakuan dekstrin 10% dengan tween 80 0,5% sebesar 4,00. Perlakuan terbaik dari penelitian ini yang mendekati standar mutu Terry Laboratories adalah interaksi perlakuan dekstrin 22% dengan tween 80 0,3% dengan kadar air 8,68%, nilai derajat keputihan 50,51, rendemen 10,99%, dan derajat keasaman (pH) 3,65.


(4)

iv

I Wayan Adi Saputra. 1011305008. The Effect Concentration Dextrins and Tween 80 (polyoxyethylene sorbitan monooleate) on Drying Process Leaf Aloe Vera Gel (Aloe barbadensis Miller) with Cabinet Dryer. Under the guidance of I. A. Rina Pratiwi Pudja, S.TP.,MP as first supervisor and Dr. Ir. Ida Bagus Putu Gunadnya, MS assecond supervisor.

ABSTRACT

This study was conducted to determine the effect of the concentration of dextrin and tween 80 in the drying process by using dryer cabinet and determine the concentration of dextrin and tween 80 which can speed up the drying process of aloe vera gel. This study used a Randomized Complete Design (RBD) with 2 factors. The first factor was the concentration of dextrin (10%, 14%, 18%, 22%) and the second factor was the concentration of tween 80 (0.3%, 0.4%, 0.5%) with the drying temperature of 70°C. The experiment was repeated three times. Observations were made every 2 hours until the sample weight did not decrease. Variables which observed were rate of drying, whiteness, yield, and pH of flour aloe vera. The results showed that concentrations of dextrin and tween 80 significantly affected water content, the degree of whiteness of the flour was affected by concentrations of dextrin. Treatment interaction between dextrin concentration and tween 80 did not significantly affect all parameters observed. The addition of dextrin will slow the drying process, on the contrary the addition of tween 80 will speed up the drying process. The highest yield at amount of 10.99% was obtained from the treatment interaction of 22% dextrin with 0.3% tween 80. The degree of acidity (pH) of the flour at 4.00 which was the highest value of pH was yielded form the treatment interaction of 10% dextrin with 0.5% tween 80. In this study, the best treatment resulting aloe vera flour that approaching the standards of quality of Terry Laboratories was a treatment interaction of 22% dextrin with 0.3% tween 80. The flour had a water content of 8.68%, the degree of whiteness 50.51, yield 10.99%, and the degree of acidity (pH) 3.65.


(5)

v

RINGKASAN

Tanaman lidah buaya (Aloe barbadensis Miller) ditemukan oleh Phillip Miller, seorang pakar botani yang berasal dari Inggris, pada tahun 1768. Aloe barbadensis Miller mempunyai beberapa keunggulan, di antaranya tahan hama, ukurannya lebih panjang, yakni bisa mencapai 121 cm, berat perbatangnya bisa mencapai 4 kg, dan mengandung 75 nutrisi. Lidah buaya atau aloe vera adalah salah satu tanaman obat yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit (Anonim, 2011).

Gel lidah buaya menurut Winarti dan Nurjanah (2005), memiliki sifat yang mudah rusak karena adanya kandungan nutrisi dan enzim. Sifat gel lidah buaya yang mudah rusak mendorong dilakukannya upaya pengolahan menjadi bahan olahan seperti tepung. Upaya ini disamping untuk mempertahankan kandungan nutrisi dalam gel juga untuk memberikan nilai tambah karena penggunaan lidah buaya saat ini sangat beragam dari makanan, minuman, kosmetik dan obat-obatan, sehingga lidah buaya tidak hanya dijual dalam bentuk pelepah segar yang relatif murah (Syahputra, 2008).

Filler yang digunakan dalam pengeringan gel lidah buaya menjadi tepung adalah maltodekstrin dan tween 80 dengan menggunakan metode Foam-mat Drying serta suhu yang digunakan adalah 60°C (Ramadhia et al., 2012). Selanjutnya Ramadhia et al. (2012) melaporkan hasil perlakuan terbaik adalah kombinasi dari 15% maltodekstrin dan 0,3% tween 80. Hasil penelitian pembuatan tepung lidah buaya yang lain dengan menggunakan filler dekstrin 15% memberikan hasil tepung lidah buaya terbaik dengan menggunakan freeze dryer (Latifah dan Apriliawan, 2009).

Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Ramadhia et al. (2012) dan Latifah dan Apriliawan, (2009) belum disebutkan lama waktu pengeringan gel lidah buaya, karena lama waktu pengeringan berpengaruh terhadap kualitas yang terdapat mutu tepung lidah buaya yg dihasilkan. Tetapi Syahputra (2008) melaporkan bahwa pembuatan tepung lidah buaya yang dilakukan dengan menggunakan oven blower dan suhu 70°C serta lama waktu pengeringan selama 12 jam memberikan hasil yang terbaik pada proses pengeringan gel lidah buaya


(6)

vi

dengan konsentrasi dekstrin 6%. Pada penelitian ini filler yang digunakan adalah dekstrin dan tween 80. Untuk proses pengeringan gel daun lidah buaya menggunakan cabinet dryer dengan suhu pengeringan 70°C. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi bahan pengisi dekstrin dan tween 80 pada proses pengeringan gel lidah buaya dengan menggunakan cabinet dryer dan mengetahui konsentrasi dekstrin dan tween 80 yang dapat mempercepat proses pengeringan gel daun lidah buaya.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor. Faktor pertama yaitu konsentrasi dekstrin dan faktor yang kedua yaitu konsentrasi tween 80 dengan suhu pengeringan 70°C. Perlakuan diulang sebanyak tiga (3) kali. Pengamatan dilakukan setiap 2 jam sekali sampai berat sampel tidak mengalami penurunan. Data hasil pengeringan dari interaksi dekstrin dan tween 80 yang diperoleh kemudian dianalisis dengan sidik ragam pada taraf uji 5% dan apabila perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter yang diamati, maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan’s (Steel dan Torrie, 1993).

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan untuk mengetahui konsentrasi dekstrin dan tween 80 yang terbaik untuk digunakan sebagai acuan penelitian utama. Kisaran konsentrasi dekstrin yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah D1 (4%), D2 (12%), D3 (20%), D4 (28%) dan tween 80 pada penelitian pendahuluan adalah T1 (0,2%), T2 (0,3%), T3 (0,4%), T4 (0,5%). Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan hasil bahwa penggunaan konsentrasi dekstrin D1 (4%) dan D4 (28%) serta tween 80 T1 (0,2%) menyebabkan penampakan tepung tidak bagus, maka kisaran konsentrasi dekstrin yang digunakan dalam penelitian utama adalah D1 (10%), D2 (14%), D3 (18%), D4 (22%) dan tween 80 T1 (0,3%), T2 (0,4%), T3 (0,5%).

Interaksi konsentrasi dekstrin dan tween 80 yang paling cepat mengeringkan gel lidah buaya sampai beratnya tidak mengalami penurunan adalah interaksi perlakuan dekstrin 10% dengan tween 80 0,5% dan yang paling lama adalah interaksi perlakuan dekstrin 22% dengan tween 80 0,3%. Derajat putih tepung lidah buaya tertinggi adalah dari interaksi perlakuan dekstrin 22% dengan tween 80 0,3% sebesar 50,51. Rendemen tertinggi yang didapatkan adalah dari interaksi perlakuan dekstrin 22% dengan twen 80 0,3% sebesar 10,99%. Derajat keasaman


(7)

vii

(pH) tertinggi adalah dari interaksi perlakuan dekstrin 10% dengan tween 80 0,5% sebesar 4,00. Perlakuan terbaik dari penelitian ini yang mendekati standar mutu Terry Laboratories adalah interaksi perlakuan dekstrin 22% dengan tween 80 0,3% dengan kadar air 8,68%, nilai derajat keputihan 50,51, rendemen 10,99%, dan derajat keasaman (pH) 3,65.


(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis (I Wayan Adi Saputra) dilahirkan di Gianyar pada tanggal 8 Februari 1992, merupakan anak tunggal dari pasangan I Wayan Mustika dan Ni Nyoman Ariati (Almarhum).

Penulis memulai tahap pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Swadharma Sastra di Desa Serongga pada tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis tercatat sebagai siswa Sekolah Dasar No. 1 Serongga sampai tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 3 Gianyar. Pada tahun 2010 penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Blahbatuh. Sejak tahun 2010 penulis tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

Selama kuliah penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai anggota Badan Legislatif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana periode 2012/2013.


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), karena berkat rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi berjudul “Pengaruh Konsentrasi Dekstrin dan Tween 80 (polyoxyethylene sorbitan monooleat) pada Proses Pengeringan Gel Daun Lidah Buaya (Aloe barbadensis Miller) dengan Cabinet Dryer”, disusun sebagai salah satu syarat bagi mahasiswa untuk menyelesaikan Program Pendidikan Strata Satu (S-1) di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Pada setiap tahapan penelitian sampai penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, dukungan serta partisipasi dari berbagai pihak.

Atas bantuan dan dukungan yang sudah penulis terima, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Ibu I.A. Rina Pratiwi Pudja, S.TP., MP sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Ida Bagus Putu Gunadnya, MS. sebagai pembimbing II yang telah banyak membantu, membimbing dan mengarahkan selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. I Dewa Gede Mayun Permana, MS. selaku Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

3. Bapak Dr. Ir. I Wayan Widia, MSIE. selaku Ketua Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

4. Bapak/Ibu dosen dan staf pegawai FTP Unud yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak (I Wayan Mustika), yang telah memberi dorongan material, spiritual dan semangat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

6. Sahabat-sahabat Agritech 2008 dan 2010 khususnya Adi Diantara, Nyoman Sudiksa, Oka Mandana, Gede Viqtor Arya Nugraha, Dian Asgar Paradisa, Komang Ayu Trisna Libriastuti dan rekan-rekan lain yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

7. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, untuk itu saran


(10)

x

dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

RINGKASAN... v

RIWAYAT HIDUP... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPITRAN... xv

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang... 1

1.2.Perumusan Masalah... 3

1.3.Hipotesis... 4

1.4.Tujuan Penelitian... 4

1.5.Manfaat Penelitian... 4

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tanaman Lidah Buaya... 5

2.2.Pengolahan Daun Lidah Buaya... 6

2.3.Penambahan Bahan Pengisi... 8

2.3.1. Dekstrin... 8

2.3.2. Tween 80... 9

2.4.Pengeringan dengan Cabinet Dryer... 10

2.5.Laju Pengeringan... 11

III. METODELOGI PENELITIAN 3.1.Tempat dan Waktu Penelitian... 13

3.2.Alat dan Bahan Penelitian... 13

3.2.1. Alat... 13

3.2.2. Bahan... 13


(12)

xii

3.4.Prosedur Penelitian... 14

3.4.1. Penelitian Pendahuluan... 14

3.4.2. Pembuatan Konsentrasi untuk Sampel... 14

3.4.3. Penentuan Kisaran Konsentrasi yang Digunakan dalam Penelitian... 15

3.4.4. Penelitian Utama... 17

3.5.Variabel yang Diamati... 19

3.5.1. Laju Pengeringan... 19

3.5.2. Warna Derajat Putih... 20

3.5.3. Rendeman... 20

3.5.4. Derajat Keasaman (pH)... 21

3.6.Analisis Data... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Hubungan Laju Pengeringan dengan Kadar Air... 22

4.1.1. Laju Pengeringan... 22

4.1.2. Kadar Air... 23

4.2.Warna Derajat Putih... 25

4.3.Rendemen... 27

4.4.Derajat Keasaman (pH)... 28

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.Kesimpulan... 31

5.2.Saran... 32

DAFTAR PUSTAKA... 33


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Standar mutu tepung lidah buaya menurut Terry Laboratories... 7

2. Kombinasi dekstrin dan tween 80 pada penelitian pendahuluan... 15

3. Hasil Penelitian Pendahuluan... 16

4. Kombinasi dekstrin dan tween 80 pada penelitian utama... 17

5. Hasil Kadar Air Akhir Tepung Lidah Buaya... 23

6. Nilai Rata-rata Warna Keputihan Tepung Lidah Buaya... 26

7. Rata-rata Nilai Persentase Rendemen Tepung Lidah Buaya pada Setiap Kombinasi Perlakaun... 28


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Grafik hubungan kadar air dengan waktu..,... 12

2. Diagaram Alir Pelaksanaan Penelitian... 19

3. Hubungan Laju Pengeringan dengan Kadar Air pada Kombinasi Perlakuan Dekstrin A (10%), B (14%), C (18%), dan D (22%) dengan Kombinasi Tween 80 0,3%, 0,4%, dan 0,5%... 22

4. Penurunan Kadar Air pada Kombinasi Perlakuan Dekstrin A (10%), B (14%), C (18%), dan D (22%) dengan Tween 80 0,3%, 0,4%, dan 0,5%... 24

5. Nilai Keputihan Tepung Lidah Buaya... 26

6. Penurunan Rendemen disetiap Kombinasi Perlakuan...,.. 27


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Laju Pengeringan... 36

2. Kadar Air... 37

3. Warna Derajat Putih... 44

4. Rendemen... 45


(16)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lidah Buaya atau Aloe vera (Aloe barbadensis Miller) merupakan tanaman berduri yang berasal dari daerah kering di benua Afrika. Tanaman lidah buaya ini telah dikenal dan digunakan sejak ribuan tahun yang lalu karena khasiat dan manfaatnya yang luar biasa. Catatan sejarah yang ada menyebutkan bahwa Bangsa Mesir kuno telah mengetahui manfaat lidah buaya sebagai tanaman kesehatan sejak tahun 1500 SM. Mengetahui manfaat lidah buaya yang begitu luar biasa, bangsa Mesir kuno menyebut tanaman lidah buaya sebagai tanaman keabadian.

Lidah buaya atau Aloevera adalah salah satu tanaman obat yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Tanaman ini sudah digunakan bangsa Samaria sekitar tahun 1875 SM. Seorang peracik obat-obatan tradisional berkebangsaan Yunani bernama Dioscordes menyebutkan bahwa lidah buaya dapat mengobati berbagai penyakit. Misalnya bisul, kulit memar, pecah-pecah, lecet, rambut rontok, wasir, dan radang tenggorokan. Dalam laporannya, Fujio L. Panggabean, seorang peneliti dan pemerhati tanaman obat, mengatakan bahwa keampuhan lidah buaya tak lain karena tanaman ini memiliki kandungan nutrisi yang cukup bagi tubuh manusia. Hasil penelitian lain terhadap lidah buaya menunjukkan bahwa karbohidrat merupakan komponen terbanyak setelah air, yang menyumbangkan sejumlah kalori sebagai sumber tenaga (Anonim, 2011).

Gel lidah buaya menurut Winarti dan Nurjanah (2005), memiliki sifat yang mudah rusak karena adanya kandungan nutrisi dan enzim. Sifat gel lidah buaya yang mudah rusak mendorong dilakukannya upaya pengolahan menjadi


(17)

2

bahan olahan seperti tepung. Upaya ini disamping untuk mempertahankan kandungan nutrisi dalam gel juga untuk memberikan nilai tambah karena penggunaan lidah buaya saat ini sangat beragam dari makanan, minuman, kosmetik dan obat-obatan, sehingga lidah buaya tidak hanya dijual dalam bentuk pelepah segar yang relatif murah (Syahputra, 2008).

Pengeringan atau pembuatan tepung dari gel lidah buaya dalam industri umumnya menggunakan metode freeze drying dan spray drying. Namun produk tepung yang dihasilkan harganya mahal karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi alat pengering seperti freeze dryer dan spray dryer (Latifah dan Apriliawan, 2009). Dengan membuat penelitian pengeringan kabinet (cabinet drying), peralatan yang digunakan lebih sederhana dibandingkan dengan freeze dryer dan spray dryer. Dengan demikian dapat menghemat biaya operasional serta pengeringan dengan metode ini memiliki biaya investasi yang jauh lebih rendah (Wirakartakusumah et al., 1992).

Gonnissen et al. (2008) menyatakan bahwa pengolahan tepung memerlukan filler sebagai pengisi dengan tujuan untuk mencegah kerusakan akibat panas, melapisi komponen flavour, meningkatkan total padatan, dan memperbesar volume. Filler yang digunakan dalam pengeringan gel lidah buaya menjadi tepung adalah maltodekstrin dan tween 80 dengan menggunakan metode Foam-mat Drying serta suhu yang digunakan adalah 60°C (Ramadhia et al., 2012). Selanjutnya Ramadhia et al. (2012) melaporkan hasil perlakuan terbaik adalah kombinasi dari 15% maltodekstrin dan 0,3% tween 80. Hasil penelitian pembuatan tepung lidah buaya yang lain dengan menggunakan filler dekstrin 15%


(18)

3

memberikan hasil tepung lidah buaya terbaik dengan menggunakan freeze dryer (Latifah dan Apriliawan, 2009).

Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh (Ramadhia et al., 2012) dan (Latifah dan Apriliawan, 2009) belum disebutkan berapa lama waktu yang digunakan untuk mengeringkan gel lidah buaya, karena lama waktu pengeringan sangat berpengaruh terhadap kualitas yang terdapat di dalam gel lidah buaya yang dikeringkan. Tetapi Syahputra (2008) melaporkan bahwa pembuatan tepung lidah buaya yang dilakukan oleh dengan menggunakan oven blower dan suhu 70°C serta lama waktu pengeringan selama 12 jam memberikan hasil yang terbaik pada proses pengeringan gel lidah buaya dengan konsentrasi dekstrin 6%. Pada penelitian ini filler yang digunakan adalah dekstrin dan tween 80. Untuk proses pengeringan gel daun lidah buaya menggunakan cabinet dryer dengan suhu pengeringan 70°C. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi bahan pengisi dekstrin dan tween 80 pada proses pengeringan gel lidah buaya dengan menggunakan cabinet dryer dan mengetahui konsentrasi dekstrin dan tween 80 yang dapat mempercepat proses pengeringan gel daun lidah buaya.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah konsentrasi bahan pengisi dekstrin dan tween 80 memberikan pengaruh terhadap pengeringan gel daun lidah buaya dengan menggunakan cabinet dryer ?

2. Pada konsentrasi dekstrin dan tween 80 manakah yang mempercepat proses pengeringan gel daun lidah buaya ?


(19)

4

1.3. Hipotesis

1. Penambahan bahan pengisi dekstrin dan tween 80 berpengaruh terhadap proses pengeringan gel daun lidah buaya.

2. Pada konsentrasi dekstrin dan tween 80 tertentu akan mempercepat proses pengeringan gel daun lidah buaya.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh konsentrasi bahan pengisi dekstrin dan tween 80 pada proses pengeringan gel lidah buaya dengan menggunakan cabinet dryer.

2. Mengetahui konsentrasi dekstrin dan tween 80 yang dapat mempercepat proses pengeringan gel daun lidah buaya.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai sumber referensi bagi pihak yang membutuhkan.

2. Meningkatkan nilai ekonomis dari daun lidah buaya di masyarakat, kelompok tani, dan industri pengolahan daun lidah buaya.


(20)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tanaman Lidah Buaya

Tanaman lidah buaya (Aloe barbadensis Miller) yang ditemukan oleh Phillip Miller, seorang pakar botani yang berasal dari Inggris, pada tahun 1768. Aloe barbadensis Miller mempunyai beberapa keunggulan, di antaranya tahan hama, ukurannya lebih panjang, yakni bisa mencapai 121 cm, berat perbatangnya bisa mencapai 4 kg, dan mengandung 75 nutrisi. Di samping itu, lidah buaya ini aman dikonsumsi, karena mengandung zat polisakarida (terutama glukomannan) yang bekerja sama dengan asam amino esensial dan sekunder serta enzim oksidase, katalase, lipase, dan enzim-enzim pemecah protein (Furnawanthi, 2002). Menurut Furnawanthi (2002) taksonomi Aloe barbadensis Miller sebagai berikut : Dunia : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Liliflorae

Suku : Liliaceae Marga : Aloe

Spesies : Aloe barbadensis Miller

Tanaman lidah buaya dapat tumbuh di daerah kering seperti Afrika, Asia, dan Amerika. Hal ini disebabkan bagian stomata daun lidah buaya dapat tertutup rapat pada musim kemarau karena untuk menghindari hilangnya air daun. Lidah buaya juga dapat tumbuh di daerah yang beriklim dingin. Lidah buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air, karena dari segi fisiologi tumbuhan, tanaman ini termasuk tanaman yang tahan kekeringan (Furnawanthi, 2002).


(21)

6

Lidah buaya dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai daerah pegunungan. Daya adaptasinya tinggi sehingga tempat tumbuhnya menyebar keseluruh dunia mulai daerah tropika sampai ke daerah sub tropika. Tanah yang dikehendaki lidah buaya adalah tanah subur, kaya bahan organik dan gembur. Kesuburan tanah pada lapisan olah sedalam 30 cm sangat diperlukan, karena akarnya yang pendek tanaman ini tumbuh baik di daerah bertanah gambut yang pHnya rendah (Furnawanthi, 2002).

Daun lidah buaya mengandung 96% air dan 4% sisanya terdiri dari 75 macam senyawa fitokimia. Senyawa ini bekerja secara sinergi atau saling melengkapi di tingkat sel tubuh, sehingga terkesan tubuh bisa menyembuhkan diri sendiri (biodefense) menghadapi serangan penyakit (Inggrit, 2000). Wahajo (2002) juga mengungkapkan bahwa daun lidah buaya (aloevera) banyak mengandung senyawa nutrisi seperti asam amino (essensial dan non essensial), enzim, mineral, vitamin, polisakarida, dan komplek antraquinon. Senyawa-senyawa tersebut sangat penting dan dibutuhkan untuk kesehatan tubuh.

2.2. Pengolahan Daun Lidah Buaya

Pemanfaatan gel daun lidah buaya dalam bidang pangan saat ini mulai beragam, mulai dari makanan, minuman, hingga jelly. Pengolahan daun lidah buaya akan memberikan nilai ekonomis yang lebih tinggi serta penggunaan yang lebih praktis untuk memperpanjang masa simpan. Gel daun lidah buaya dapat diolah menjadi tepung lidah buaya (Anonim, 2000). Mengolah atau mengeringkan gel daun lidah buaya menjadi tepung juga merupakan salah satu upaya untuk memberikan nilai tambah sehingga daun lidah buaya tidak hanya dijual dalam bentuk pelepah segar yang harganya relatif murah (Anonim, 2002). Pada


(22)

7

prinsipnya, jenis alat pengering tergantung pada bahan yang dikeringkan dan tujuan pengeringannya. Pengeringan buatan (artificial drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan dapat diawasi (Winarto, 1993). Selama dalam pengeringan pada suhu yang terlalu tinggi dan waktu yang terlalu lama tidak dikehendakin, karena akan menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan serta penurunan mutu (Yohanes, 2005).

Adapun tepung lidah buaya yang ada di pasaran dan digunakan dalam industri mempunyai standar mutu seperti yang telah ditetapkan oleh Terry Laboratories Amerika Serikat pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar mutu tepung lidah buaya menurut Terry Laboratories

Spesifikasi Tepung lidah buaya (Spray Dried)

Tepung lidah buaya (Freeze Dried)

Penampakan Butiran halus Butiran halus

Warna Krem muda, cokelat

keabuabuan (beige)

Putih, cokelat keabu-abuan (light beige)

Kadar air (maks.) 8% 8%

Kecepatan disperse

(25°C) 5 menit 5 menit

Total padatan 100% 50%

Keasaman (pH) 3,5 – 5,0 3,5 – 5,0

Gravity @ 25°C 0,990 – 1,010 0,990 – 1,010 Mikrobiologi < 100 cfu/g tidak ada

patogen

< 10 cfu/g tidak ada patogen Sumber : Furnawanthi, 2002

2.3. Penambahan Bahan Pengisi

2.3.1. Dekstrin

Dekstrin merupakan polisakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati yang diatur oleh enzim-enzim tertentu atau hidrolisis oleh asam, berwarna putih sampai kuning. Pada pembuatan dekstrin, rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh


(23)

8

enzim atau asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu 6-10 unit glukosa, dengan rumus molekul (C6H10O5)n. Berkurangnya panjang rantai menyebabkan terjadinya perubahan sifat dari pati yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah larut dalam air, memiliki kekentalan lebih rendah dibandingkan pati (Reynold, 1982). (Arief, 1987) mengemukakan bahwa struktur molekul dekstrin berbentuk spiral, sehingga molekul-molekul flavor yang terperangkap di dalam struktur spiral helix dapat menekan kehilangan komponen volatile selama proses pengolahan.

Dekstrin mempunyai viskositas yang relatif rendah, sehingga pemakaian dalam jumlah banyak masih diijinkan. Hal ini justru akan menguntungkan jika pemakaian dekstrin ditujukan sebagai bahan pengisi (filler) karena dapat meningkatkan berat produk yang dihasilkan (Warsiki, 1995). Dekstrin dapat digunakan pada proses enkapsulasi, untuk melindungi senyawa volatile, melindungi senyawa yang peka terhadap oksidasi atau panas, karena molekul dari dekstrin stabil terhadap panas dan oksidasi. Dekstrin dapat melindungi stabilitas flavor selama pengeringan dengan menggunakan spray dryer (Suparti, 2000). Warsiki (1995) mengemukakan bahwa kenaikan konsentrasi dekstrin dari 5-15% akan meningkatkan rendemen, densitas kamba, penurunan kadar air, total padatan terlarut serta gula pereduksi tepung instan sari buah nanas. Dekstrin banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi sebagai bahan pengisi pembuatan tablet (Ryan, 2008). Fennema (1985) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit glukosa yang dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat dikurangi, akibatnya proses oksidasi dapat dicegah.


(24)

9

2.3.2. Tween 80

Tween 80 (polyoxyethylene sorbitan monooleat) merupakan cairan kental dengan nilai kekentalan 300-500 centistokes, berwarna kuning, bersifat sangat larut dalam air, larut dalam minyak, dan pelarut lain seperti etanol, etil asetat, methanol dan toluene. Tween 80 digunakan sebagai emulsifier dalam produk pangan seperti es krim untuk meningkatkan homogenitas adonan, melembutkan tekstur dan menjaga es krim agar tidak cepat meleleh (Irma Rita 2011). Selain itu, tween 80 juga dapat digunakan sebagai emulsifier dalam produk minuman emulsi. Surfiana (2002) dan Sabariman (2007) menggunakan tween 80 sebagai emulsifier dalam pembuatan produk minuman emulsi dari minyak sawit merah. Tween 80 aman untuk dikonsumsi dan bersifat non karsinogenik.

Menurut Sankat dan Castaigne (2004) tween 80 selain sebagai bahan pembusa juga dapat berfungsi sebagai kapsulat, emulsifier dan mempercepat proses pengeringan. Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan. Selain fungsi tersebut, tween 80 juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi.

2.4. Pengeringan dengan Cabinet Dryer

Pengeringan merupakan suatu metode untuk menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan bantuan energi matahari atau energi panas lainnya. Pengeringan merupakan metode tertua untuk mengawetkan bahan pangan. Hal ini terjadi karena dalam keadaan kering mikroba pembusuk tidak dapat tumbuh dan enzim-enzim yang menyebabkan kerusakan


(25)

10

kimia yang tidak diinginkan tidak akan berfungsi secara normal tanpa adanya air (Earle, 1969).

Pengeringan juga merupakan proses pemindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas. (Taib, G. et al., 1988) menyatakan proses pengeringan adalah proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan biji-bijian akibat aktivitas biologi dan kimia sebelum bahan diolah/digunakan. Bakker Arkema (1992) mengemukakan pengeringan bahan hasil pertanian menggunakan aliran udara pengering yang baik adalah antara 45°C sampai 75°C. Pengeringan pada suhu dibawah 45°C mikroba dan jamur yang merusak produk masih hidup, sehingga daya awet dan mutu produk rendah. Namun pada suhu udara pengering di atas 75°C menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak, karena perpindahan panas dan massa air yang berdampak perubahan struktur sel (Setiyo, 2003).

Alat cabinet dryer merupakan salah satu alat pengering bahan pangan. Prinsip dari alat tersebut adalah menghilangkan kelembaban menjadi bahan kering. Alat ini menguapkan kadar air dalam bahan sehingga berat bahan berkurang. Kadar air yang menguap inilah yang membuat bahan menjadi kering (Sumarni, 2010). Cabinet dryer terdiri dari satu ruang atau cabinet yang di dalamnya tersusun atas rak-rak yang digunakan untuk tempat meletakkan bahan yang akan dikeringkan. Udara kering disirkulasikan dan mengalir paralel atau sejajar dengan permukaan rak (Denni, 2011). Pengeringan kabinet (cabinet dying)


(26)

11

merupakan pengeringan yang paling murah pembuatannya, mudah pemeliharaannya, dan penggunaannya pun lebih mudah (Mutiara, 2012).

2.5. Laju Pengeringan

Proses pengeringan mempunyai 2 (dua) periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap dan periode dengan laju pengeringan menurun. Kedua periode utama ini dibatasi oleh kadar air kritis (critical moisture content) (Taib, G. et al., 1988).

Brooker, D.B, et al. (1992) menyatakan bahwa kadar air kritis adalah kadar air terendah saat dimana laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan sama dengan laju pengambilan uap air maksimum dari bahan. Pada biji-bijian umumnya kadar air ketika pengeringan dimulai lebih kecil dari kadar air kritis. Dengan demikian pengeringan yang terjadi adalah pengeringan dengan laju pengeringan menurun. Perubahan dari laju pengeringan tetap ke laju pengeringan menurun terjadi pada berbagai tingkatan kadar air yang berbeda untuk setiap bahan.

Henderson dan Perry (1955) menyatakan bahwa pada periode pengeringan dengan laju tetap, bahan mengandung air yang cukup banyak, dimana pada permukaan bahan berlangsung penguapan yang lajunya dapat disamakan dengan laju penguapan pada permukaan air bebas. Laju penguapan sebagian besar tergantung pada keadaan sekeliling bahan, sedangkan pengaruh bahannya sendiri relatif kecil. (Taib, G. et al., 1988). Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air selama pengeringan. Jumlah air terikat makin lama semakin berkurang. Perubahan dari laju pengeringan tetap menjadi laju pengeringan menurun untuk bahan yang berbeda akan terjadi pada kadar air yang


(27)

12

berbeda pula. Pada periode laju pengeringan menurun permukaan partikel bahan yang dikeringkan tidak lagi ditutupi oleh lapisan air. Selama periode laju pengeringan menurun, energi panas yang diperoleh bahan digunakan untuk menguapkan sisa air bebas yang sedikit sekali jumlahnya. Laju pengeringan menurun terjadi setelah laju pengeringan konstan dimana kadar air bahan lebih kecil dari pada kadar air kritis (Gambar 1.). Periode laju pengeringan menurun meliputi dua proses yaitu : perpindahan dari dalam ke permukaan dan perpindahan uap air dari permukaan bahan ke udara sekitarnya.

Gambar 1. Grafik hubungan kadar air dengan waktu. Keterangan :

AB = periode pemanasan

BC = periode laju pengeringan konstan

CD = periode laju pengeringan menurun pertama DE = periode laju pengeringan menurun kedua


(1)

prinsipnya, jenis alat pengering tergantung pada bahan yang dikeringkan dan tujuan pengeringannya. Pengeringan buatan (artificial drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan dapat diawasi (Winarto, 1993). Selama dalam pengeringan pada suhu yang terlalu tinggi dan waktu yang terlalu lama tidak dikehendakin, karena akan menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan serta penurunan mutu (Yohanes, 2005).

Adapun tepung lidah buaya yang ada di pasaran dan digunakan dalam industri mempunyai standar mutu seperti yang telah ditetapkan oleh Terry Laboratories Amerika Serikat pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar mutu tepung lidah buaya menurut Terry Laboratories

Spesifikasi Tepung lidah buaya (Spray Dried)

Tepung lidah buaya (Freeze Dried)

Penampakan Butiran halus Butiran halus

Warna Krem muda, cokelat

keabuabuan (beige)

Putih, cokelat keabu-abuan (light beige)

Kadar air (maks.) 8% 8%

Kecepatan disperse

(25°C) 5 menit 5 menit

Total padatan 100% 50%

Keasaman (pH) 3,5 – 5,0 3,5 – 5,0

Gravity @ 25°C 0,990 – 1,010 0,990 – 1,010 Mikrobiologi < 100 cfu/g tidak ada

patogen

< 10 cfu/g tidak ada patogen Sumber : Furnawanthi, 2002

2.3. Penambahan Bahan Pengisi

2.3.1. Dekstrin

Dekstrin merupakan polisakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati yang diatur oleh enzim-enzim tertentu atau hidrolisis oleh asam, berwarna putih sampai kuning. Pada pembuatan dekstrin, rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh


(2)

enzim atau asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu 6-10 unit glukosa, dengan rumus molekul (C6H10O5)n. Berkurangnya panjang rantai

menyebabkan terjadinya perubahan sifat dari pati yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah larut dalam air, memiliki kekentalan lebih rendah dibandingkan pati (Reynold, 1982). (Arief, 1987) mengemukakan bahwa struktur molekul dekstrin berbentuk spiral, sehingga molekul-molekul flavor yang terperangkap di dalam struktur spiral helix dapat menekan kehilangan komponen volatile selama proses pengolahan.

Dekstrin mempunyai viskositas yang relatif rendah, sehingga pemakaian dalam jumlah banyak masih diijinkan. Hal ini justru akan menguntungkan jika pemakaian dekstrin ditujukan sebagai bahan pengisi (filler) karena dapat meningkatkan berat produk yang dihasilkan (Warsiki, 1995). Dekstrin dapat digunakan pada proses enkapsulasi, untuk melindungi senyawa volatile, melindungi senyawa yang peka terhadap oksidasi atau panas, karena molekul dari dekstrin stabil terhadap panas dan oksidasi. Dekstrin dapat melindungi stabilitas flavor selama pengeringan dengan menggunakan spray dryer (Suparti, 2000). Warsiki (1995) mengemukakan bahwa kenaikan konsentrasi dekstrin dari 5-15% akan meningkatkan rendemen, densitas kamba, penurunan kadar air, total padatan terlarut serta gula pereduksi tepung instan sari buah nanas. Dekstrin banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi sebagai bahan pengisi pembuatan tablet (Ryan, 2008). Fennema (1985) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit glukosa yang dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat dikurangi, akibatnya proses oksidasi dapat dicegah.


(3)

2.3.2. Tween 80

Tween 80 (polyoxyethylene sorbitan monooleat) merupakan cairan kental dengan nilai kekentalan 300-500 centistokes, berwarna kuning, bersifat sangat larut dalam air, larut dalam minyak, dan pelarut lain seperti etanol, etil asetat, methanol dan toluene. Tween 80 digunakan sebagai emulsifier dalam produk pangan seperti es krim untuk meningkatkan homogenitas adonan, melembutkan tekstur dan menjaga es krim agar tidak cepat meleleh (Irma Rita 2011). Selain itu, tween 80 juga dapat digunakan sebagai emulsifier dalam produk minuman emulsi. Surfiana (2002) dan Sabariman (2007) menggunakan tween 80 sebagai emulsifier dalam pembuatan produk minuman emulsi dari minyak sawit merah. Tween 80 aman untuk dikonsumsi dan bersifat non karsinogenik.

Menurut Sankat dan Castaigne (2004) tween 80 selain sebagai bahan pembusa juga dapat berfungsi sebagai kapsulat, emulsifier dan mempercepat proses pengeringan. Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan. Selain fungsi tersebut, tween 80 juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi.

2.4. Pengeringan dengan Cabinet Dryer

Pengeringan merupakan suatu metode untuk menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan bantuan energi matahari atau energi panas lainnya. Pengeringan merupakan metode tertua untuk mengawetkan bahan pangan. Hal ini terjadi karena dalam keadaan kering mikroba pembusuk tidak dapat tumbuh dan enzim-enzim yang menyebabkan kerusakan


(4)

kimia yang tidak diinginkan tidak akan berfungsi secara normal tanpa adanya air (Earle, 1969).

Pengeringan juga merupakan proses pemindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas. (Taib, G. et al., 1988) menyatakan proses pengeringan adalah proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan biji-bijian akibat aktivitas biologi dan kimia sebelum bahan diolah/digunakan. Bakker Arkema (1992) mengemukakan pengeringan bahan hasil pertanian menggunakan aliran udara pengering yang baik adalah antara 45°C sampai 75°C. Pengeringan pada suhu dibawah 45°C mikroba dan jamur yang merusak produk masih hidup, sehingga daya awet dan mutu produk rendah. Namun pada suhu udara pengering di atas 75°C menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak, karena perpindahan panas dan massa air yang berdampak perubahan struktur sel (Setiyo, 2003).

Alat cabinet dryer merupakan salah satu alat pengering bahan pangan. Prinsip dari alat tersebut adalah menghilangkan kelembaban menjadi bahan kering. Alat ini menguapkan kadar air dalam bahan sehingga berat bahan berkurang. Kadar air yang menguap inilah yang membuat bahan menjadi kering (Sumarni, 2010). Cabinet dryer terdiri dari satu ruang atau cabinet yang di dalamnya tersusun atas rak-rak yang digunakan untuk tempat meletakkan bahan yang akan dikeringkan. Udara kering disirkulasikan dan mengalir paralel atau sejajar dengan permukaan rak (Denni, 2011). Pengeringan kabinet (cabinet dying)


(5)

merupakan pengeringan yang paling murah pembuatannya, mudah pemeliharaannya, dan penggunaannya pun lebih mudah (Mutiara, 2012).

2.5. Laju Pengeringan

Proses pengeringan mempunyai 2 (dua) periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap dan periode dengan laju pengeringan menurun. Kedua periode utama ini dibatasi oleh kadar air kritis (critical moisture content) (Taib, G. et al., 1988).

Brooker, D.B, et al. (1992) menyatakan bahwa kadar air kritis adalah kadar air terendah saat dimana laju air bebas dari dalam bahan ke permukaan sama dengan laju pengambilan uap air maksimum dari bahan. Pada biji-bijian umumnya kadar air ketika pengeringan dimulai lebih kecil dari kadar air kritis. Dengan demikian pengeringan yang terjadi adalah pengeringan dengan laju pengeringan menurun. Perubahan dari laju pengeringan tetap ke laju pengeringan menurun terjadi pada berbagai tingkatan kadar air yang berbeda untuk setiap bahan.

Henderson dan Perry (1955) menyatakan bahwa pada periode pengeringan dengan laju tetap, bahan mengandung air yang cukup banyak, dimana pada permukaan bahan berlangsung penguapan yang lajunya dapat disamakan dengan laju penguapan pada permukaan air bebas. Laju penguapan sebagian besar tergantung pada keadaan sekeliling bahan, sedangkan pengaruh bahannya sendiri relatif kecil. (Taib, G. et al., 1988). Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air selama pengeringan. Jumlah air terikat makin lama semakin berkurang. Perubahan dari laju pengeringan tetap menjadi laju pengeringan menurun untuk bahan yang berbeda akan terjadi pada kadar air yang


(6)

berbeda pula. Pada periode laju pengeringan menurun permukaan partikel bahan yang dikeringkan tidak lagi ditutupi oleh lapisan air. Selama periode laju pengeringan menurun, energi panas yang diperoleh bahan digunakan untuk menguapkan sisa air bebas yang sedikit sekali jumlahnya. Laju pengeringan menurun terjadi setelah laju pengeringan konstan dimana kadar air bahan lebih kecil dari pada kadar air kritis (Gambar 1.). Periode laju pengeringan menurun meliputi dua proses yaitu : perpindahan dari dalam ke permukaan dan perpindahan uap air dari permukaan bahan ke udara sekitarnya.

Gambar 1. Grafik hubungan kadar air dengan waktu. Keterangan :

AB = periode pemanasan

BC = periode laju pengeringan konstan

CD = periode laju pengeringan menurun pertama DE = periode laju pengeringan menurun kedua