SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM

SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM / ILMU TAUHiD
SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM / ILMU TAUHiD
A. Masalah –masalah Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid / Ilmu Kalam adalah aqidah islam,karena sesuai dengan dalil-dalil akal pikiran dan dalil
naqli, menetapkan keyakinan aqidah dan menjelaskan tentang ajaran-ajaran yang dibawa oleh
junjungan Nabi Muhammad SAW bahkan merupakan kelanjutan dari ajaran para nabi sebelumnya
.Al-Qur an sebagai kitab suci menggariskan ajaran-ajarannya di atas jalan yang terang ,yang belum
pernah dilalui oleh kitab suci sebelumnya. Yaitu jalan yang memungkinkan orang di zaman ia
diturunkan dan orang yang datang kemudian untuk melaluinya.
B. Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Ilmu Kalam / ilmu tauhid dapat dibagi menjadi dua ,
yaitu factor dari dalam ( intern) dan factor dari luar ( extern).
1 .Faktor Intern
Faktor-faktor intern yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam / ilmu tauhid ada tiga macam:
a.Sesungguhnya Al-Qur an itu sendiri disamping seruan dakwahnya kepada tauhid dan mempercayai
kenabian,dan hal-hal yang berhubungan dengannya juga menyinggung golongn-golongan dan agama,
yang tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW ,lalu Al-Qur an itu menolaknya dan membatalkan
pendapat-pendapatnya.
b.Sesungguhnya kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru ,dan keadaan mulai
stabil serta melimpah ruah rezekinya ,disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama .
c.Masalah –masalah politik


2 .Faktor Extern
Faktor-faktor extern,ada tiga factor penting ,yaitu:
a.Sesungguhnya kebanyakan orang-orang memeluk islam sesudah kemenangannaya,semula mereka
memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi,Kristen,Manu,Zoroaster,Brahmana ,Sabiah,Atheisme
dan lain-lain.
b. Sesungguhnya golongn islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah memutuskan
perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan orang-orang yang
memusuhi islam.
c.Factor ketiga ini merupakan kelanjutan factor yang kedua.Yaitu sesungguhnya kebutuhan para
mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi ) musuhmusuhnya,mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama,maka mereka terpaksa
mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat logika,terutama dari segi ketuhanan.Kita
mengetahui An-Nadhami ( tokoh Mu’tazilah ) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak babarapa
pendapatnya.
C. Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam ,Fiqh dan Tasawuf
Yang akan dibicarakan disini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu
keislaman
lainnya, yaitu : Filsafat Islam , Fiqh dan Tasawuf.
1 .Filsafat Islam
Filsafat Yunani telah menarik perhatian kaum muslimin terutama sesudah adanya terjemah buku-buku

filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab sejak zaman kholifah Al Manshur (754-775 M ) dan mencapai

puncaknya pada masa Al Makmun ( 813-833 M ) dari kholifah Bani Abbasiyah ,ilmu rethorika .ilmu
tentang cara berdebat sebagai bagian dari fisafat Yunani mendapat perhatian tersendiri dari kaum
muslimin sebagai suatu yang membicarakan tentang tata cara berdebat.
2 . Ilmu Fiqh
Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang sistemnya dengan ijtihad,seperti mengetahui
bahwa niat dalam wudhu itu wajib dan sebagianya dari masalah-masalah ijtihadiyah , karena sabda
Nabi Muhammad SAW : Bahwa sesungguhnya amal itu harus dengan niat .sedangkan wudhu itu
termasuk dari pada amal.
3. Ilmu Tasawuf
Tasawuf lebih banyak menggunakan perasaan dan latihan kejiwaan dengan jalan memperbanyak
ibadah.
Imam Ghozali ( 1059-1112 M ) mengatakan : “kemudian sesudah aku menyelesaikan pelajaranpelajaran ilmu-ilmu ini ,aku menghadap keinginanku menurut jalannya orang-orang tasawuf. Aku
mengetahui bahwa jalan mereka itu bisa sempurna hanya dengan ilmu dan amal. Dan hasil amal itu
memotong segala gangguan atau penghalang nafsu-nafsu ,membersihkan dari akhlak yang tercela dan
sifat –sifat yang kotor ,sehingga berhasil mengosongkan hati selain Allah.
D. Pengaruh Sosial Politik Terhadap Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
Apabila memperhatikan masalah khilafah ( bentuk pemerintahan ) dengan akal pikiran yang sehat
,maka dapat disimpulkan bahwa masalah khilafah adalah soal politik belaka.Agama tidak

mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk Kilafah dengan system tertentu .Tetapi Agama
hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum.
Mengenai khilafah Ibnu Taimiyah memandang bahwa tata politik yang lahir di Madinah setelah Nabi
Muhammad SAW wafat adalah despensasi khusus dari Allah dan menyebutnya khilafah annubuwwah.ia berpendapat bahwa kekholifahan ini juga memiliki sifat yang sui generic,yang tidak
dapat terulang kembali didalam sejarah karena Nabi telah menyatakan ;Kekholifahan ini ,hanya
bertahan selama tiga puluh tahun setelah itu yang ada hanyalah politik dalam pengertian yang umum.
Memang benar bahwa kholifah-kholifah dari dinasti-dinasti Umayah ,Abbasiyah dan lain-lainnya
menamakan diri mereka sebagai khulafah tetapi kaum muslimin terpaksa menerima hal itu karena
mereka mamiliki kekuatan otoritas yang nyata dan mereka adalah “ Raja-raja kaum muslimin” dan “
Penguasa-penguasa diatas dunia “.Mereka tidak memerintah sebagai wakil-wakil Nabi,tetapi hanya
tampil sesudah beliau wafat dan melaksanakan syariah sebagai hukum dasar Negara dengan semua
upaya mereka dan oleh karena secara populer dijuluki sebagai khulafah. Jadi menurut Ibnu Taimiyah
praktek-praktek yang telah dilakukan kaum muslimin di dalam sejarah tidak dapat di jadikan landasan
filsafat politik tidak mau ada kesalahan dengan membenarkan kekuatan politik yang actual sebagaia
otoritas yang dihibahkan oleh kholifah boneka tersebut .Karena tidak menemukan petunjuk mengenai
teori teori konstitusionsl didalam Al Qur an,Sunnah,atau dalam praktek Khulafaur-Rasyidin, maka
teori klasik mengenahi kekhalifahan ditholaknya.
oleh : M.Syafi’i Budi Santoso

FAKTOR-FAKTOR MUNCULNYA

ILMU TAUHID (ILMU KALAM)
Abdul Muchid (008)

A. PENDAHULUAN
Kepercayaan sesuatu agama merupakan pokok dasarnya. Islam sebagai agama yang mengingkari
agama-agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama Berhala merasa perlu untuk menjelaskan pokok
dasar ajarannya dan segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya, al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
Muhammad saw banyak berisi pembicaraan tentang Wujud Tuhan, Keagungan, dan ke Esaan-Nya.
Qur’an terutama menyebutkan untuk sifat-sifat Tuhan yang banyak sekali dan sebagian lagi
menyatakan macam-macam hubungan dengan makhluknya seperti mendengar, melihat, Maha adil,
menciptakan, memberi rijki, menghidupkan, mematikan dan sebagainya.
Ilmu tauhid belum dikenal pada masa Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya melainkan baru
dikenal pada masa kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu muncul dan setelah orang
banyak suka membicarakan alam ghaib atau metafisika.
B. POKOK MASALAH
1. Masalah-Masalah Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
2. Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
3. Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf
4. Pengaruh Sosial Politik Terhadap Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
C. PEMBAHASAN

Masalah-Masalah Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Adalah aqidah islam karena sesuai dengan
dalil-dalil akal pikiran dan dalil naqli, menetapkan keyakinan aqidah dan menjelaskan tentang ajaranajaran yang dibawa oleh junjungan Nabi Muhammad SAW, Bahkan merupakan kelanjutan dari ajaran
para Nabi sebelumnya. Al-Qur’an sebagai kitab suci menggariskan ajaran-ajarannya diatas jalan yang
terang yang belum pernah dilalui oleh kitab suci sebelumnya, yaitu: jalan yang memungkinkan orang
di zaman ia diturunkan dan orang yang datang kemudian untuk melaluinya.

Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya Ilmu Kalam / ilmu tauhid dapat dibagi menjadi dua , yaitu faktor dari dalam ( intern) dan
faktor dari luar ( extern)


a. Faktor Intern. Faktor-faktor intern yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam / ilmu tauhid ada tiga
macam, yaitu:
1) Sesungguhnya Al-Qur’an itu sendiri disamping seruan dakwahNya kepada tauhid dan mempercayai
kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengannya juga menyinggung golongan-golongan dan agama,
yang tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW lalu Al-Qur’an itu menolaknya dan membatalkan
pendapat-pendapatnya.
2) Sesungguhnya kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru , dan keadaan mulai
stabil serta melimpah ruah rezekinya ,disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama .
3) Masalah –masalah politik

b. Faktor Extern. Faktor-faktor extern ada tiga factor penting, yaitu:
1) Sesungguhnya kebanyakan orang-orang memeluk islam sesudah kemenangannaya, semula mereka
memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah,
Atheisme dan lain-lain.
2) Sesungguhnya golongn islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah memutuskan
perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan orang-orang yang
memusuhi islam.
3) Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan factor yang kedua. Yaitu sesungguhnya kebutuhan para
mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi ) musuh-musuhnya,
mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka terpaksa
mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat logika, terutama dari segi Ketuhanan. Kita
mengetahui An-Nadhami ( tokoh Mu’tazilah ) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak babarapa

pendapatnya.
3. Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf
Yang akan dibicarakan disini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu
keislaman lainnya, yaitu: Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf.
4. Pengaruh Sosial Politik Terhadap Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
Apabila memperhatikan masalah khilafah ( bentuk pemerintahan ) dengan akal pikiran yang sehat,
maka dapat disimpulkan bahwa masalah khilafah adalah soal politik belaka. Agama tidak

mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk Khilafah dengan sistem tertentu. Tetapi Agama
hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum. Mengenai khilafah Ibnu
Taimiyah memandang bahwa tata politik yang lahir di Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat
adalah despensasi khusus dari Allah dan menyebutnya khilafah an-nubuwwah. Ia berpendapat bahwa
kekholifahan ini juga memiliki sifat yang sui generic, yang tidak dapat terulang kembali didalam
sejarah karena Nabi telah menyatakan; Kekholifahan ini, hanya bertahan selama tiga puluh tahun
setelah itu yang ada hanyalah politik dalam pengertian yang umum.
Memang benar bahwa kholifah-kholifah dari dinasti-dinasti Umayah, Abbasiyah dan lain-lainnya
menamakan diri mereka sebagai khulafah tetapi kaum muslimin terpaksa menerima hal itu karena
mereka mamiliki kekuatan otoritas yang nyata dan mereka adalah “ Raja-raja kaum muslimin” dan “
Penguasa-penguasa diatas dunia “.Mereka tidak memerintah sebagai wakil-wakil Nabi, tetapi hanya
tampil sesudah beliau wafat dan melaksanakan syariah sebagai hukum dasar Negara dengan semua
upaya mereka dan oleh karena secara populer dijuluki sebagai khulafah. Jadi menurut Ibnu Taimiyah
praktek-praktek yang telah dilakukan kaum muslimin di dalam sejarah tidak dapat di jadikan landasan
filsafat politik tidak mau ada kesalahan dengan membenarkan kekuatan politik yang actual sebagaia
otoritas yang dihibahkan oleh kholifah boneka tersebut. Karena tidak menemukan petunjuk mengenai
teori teori konstitusionsl didalam Al Qur’an, Sunnah atau dalam praktek Khulafaur-Rasyidin, maka
teori klasik mengenai kekhalifahan ditolaknya.
Qur’an sendiri, sebagai kitab utama agama Islam, menyerukan pemakaian akal pikiran dan
memperhatikan alam semesta ini dengan panca indra, dan mencela keras taqlid (ikut – ikutan),

terutama dalam soal- soal kepercayaan agama. Juga al-Qur’an banyak menyinggung dan membantah
golongan-golongan atheist (dahriyyin), golongan musyrikin, mereka yang tidak mempercayai
keputusan Nabi-nabi.
Karena itu kaum muslimin sendiri harus melepaskan akal pikirannya untuk menggali isi al-Qur’an dan
Sunnah Rasul sebagai penjelas dan juru penerangnya (al-Qur’an). Pada waktu Rasul masih hidup,
apabila terdapat sesuatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, atau diketahui, maka
mereka bisa menanyakannya langsung kepada Rasul.
Setelah Rasul wafat, timbullah persoalan, siapakah yang berhak memegang khilafat (pimpinan kaum
muslimin)sesudahnya? Dengan berlalunya masa, muncullah apa yang disebut ”peristiwa Ali r.a kontra
Usman r.a. “ yang telah banyak menimbulkan persengketaan dan perdebatan dikalangan kaum
muslimin untuk di ketahui siapa yang benar dan siapa pula yang salah.
Pertama yang di perselisihkan ialah soal “Imamah” (pimpinan kaum muslimin) dan syarat- syaratnya,
serta siapa yang berhak memegangnya .Golongan syiah (pengikut Ali r.a) memonopolikan Imamah
tersebut kepada Ali r.a. dan keturunan-keturunannya, sedangkan golongan khawarij dan Mu’tazilah
meganggap, bahwa orang yang berhak memangku jabatan Imamah ialah orang yang terbaik dan paling
cakap, meskipun ia budak belian atau bukan orang Arab (Quraisy). Dalam pada itu, menurut mayoritas
kaum muslimin, yang pendapatnya moderat, yang berhak memangku jabatan tersebut ialah orang yang
paling cakap dari golongan Quraisy, karena Rasul sendiri mengatakan : “imam-imam terdiri dari orang
Quraisy “(bukan imam dalam sholat).
Setelah terjadi pembunuhan atas diri Usman r.a (th.655 M) timbul perselisihan yang lain, yaitu sekitar

prsoalan dosa besar, apa hakekatnya dan bagaimana hukum orang yang mengerjakannya. Apa yang di
maksudkan dengan dosa besar mula-mula ialah pembunuhan tersebut. Kelanjutannya sudah barang
tentu ialah perselisihan tentang iman, apa pengertian dan bagaimana batasanya, serta pertaliannya
dengan perbuatan lahir. Perselisihan ini telah menimbulkan golongan- golongan Khawarij, Murjiah
dan kemudian lagi golongan Mu’tazilah,
Dengan demikian, maka perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan) sudah bercorak agama
yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian menjadi pembicaraan yang penting dalam
Tauhid Islam, sebagaimana halnya dengan urusan khalifah dan Imamah, sedangkan soal-soal ini
sebenarnya lebih tepat kalau di masukkan kedalam ilmu fiqih karena bertalian dengan hukum amalan
lahir, bukan dalam bidang kepercayaan.

Akan tetapi karena pendapat beberapa golongan Islam dalam soal-soal tersebut hampir membawa
mereka keluar dari dasar-dasar agama Islam, maka Ulama–ulama Tauhid Islam memasukan soal-soal
tersebut kedalam pembahasan Ilmu Tauhid agar bisa di bahas dengan sebaik-baiknya, lepas dari rasa
fanatik dan penguasaan hawa nafsu dan agar bisa jelas antara yang benar dan yang salah, untuk
menjaga kemurnian agama.
Dalam daerah-daerah yang di datangi oleh kaum Muslimin, terutama di Irak, pada pertengahan abad
hijriah, terdapat bermacam-macam agama dan peradaban, yaitu peradaban Persia dan India yang
dibawa oleh orang-orang persi dan India yang masuk islam; peradaban Yunani yang dibawa oleh
orang-orang Suriani dan oleh buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab,

peradaban yang dibawa oleh orang-orang Masehi yang telah memfilsafatkan agamanya dan memakai
filsafat Yunani sebagai alat untuk memperkuat kepercayaan mereka. Sebagai akibat pertemuan agama
islam dengan peradaban-peradaban tersebut, maka sebagian kaum muslimin mulai mencetuskan
fikiran-fikiran yang bercorak filsafat dalam soal-soal agama yang tidak dikenal sebelumnya, serta
mereka mulai memberikan pembuktian pembenarannya dengan alasan-alasan logika.
Disamping itu ada juga yang menyatakan bahwa lahirnya ilmu kalam disebabkan karena perbedaan
pendapat mengenai hukum, masihkah seorang muslim sebagai muslim setelah melakukan dosa besar?
Ataukah menjadi kafir?.
Mengenai hal tersebut golongan khowarij menegaskan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa
besar tidak lagi sebagai muslim. Sebagai reaksi terhadap pandangan kaum khawarij yang keras itu
timbullah kaum murji’ah. Menurut mereka orang islam yang berdosa besar tidak menjadi kafir, tetapi
tetap mukmin. Soal dosa besar yang bersangkutan, mereka serahkan kepada keputusan Tuhan di hari
perhitungan kelak. Sehubungan dengan masalah orang yang berbuat dosa besar sebagai diperdebatkan
oleh kaum murji’ah dan khawarij diatas, timbul pula kaum mu’tazilah, sebagai aliran ketiga dalam
ilmu kalam. Bagi mereka orang islam yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin.
Selain masalah orang islam yang berdosa besar sebagaimana disebutkan di atas, muncul pula masalah
takdir Tuhan. Menurut paham kodariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sedangkan menurut paham jabariyah bahwa Tuhan telah
menakdirkan perbuatan manusia sejak awal, dan pada hakikatnya manusia itu tidak memiliki
kehendak dan kudroh.

D. KESIMPULAN
Adanya perbedaan-perbedaan paham antara golongan atau paham khowarij, murji’ah dan muktajilah
dalam menyikapi masalah seperti yang terjadi diatas. Akhirnya para Ulama ahli kalam (tauhid) merasa
khawatir golongan-golongan tersebut didalam menentukan hukum dan menyikapi masalah-masalah
yang terjadi, keluar dari nash yang sudah digariskan oleh al-qur’an dan hadits, terutama yang
berkaitan dengan aqidah atau kepercayaan umat islam.
Maka lahirlah ilmu kalam sebagai landasan dan acuan didalam menyikapi masalah-masalah yang
berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (kepercayaan), sehingga tidak keluar dari ajaran dan
ketentuan-ketentuan yang telah dinashkan oleh hukum-hukum islam baik al-Qur’an maupun Sunnah
Rasulullah saw.
Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama islam adalah agama (kepercayaan) “Tauhid”
(monotheisme), bukan agama yang berpecah-pecah dalam keprcayaan-kepercayaan itu. Akal adalah
pembantunya yang paling utama dan naql (al-Qur’an dan Sunnah) adalah merupakan sendi-sendi yang
paling kukuh. Dibalik itu hanyalah godaan-godaan setan belaka dan nafsu-nafsu orang yang haus
kekuasaan.
Qur’an menjadi saksi bagi segala amal perbuatan manusia dan menjadi hakim yang menghukum benar
atau salahnya masing-masing orang dalam amalnya.
E. PENUTUP
Sebagai mahasiswa theology ideal dan seyogyanya, dengan adanya karya yang sangat memberi andil
besar dalam kajian akidah (tauhid) khususnya, yaitu “ilmu kalam (tauhid)” dapat memberi jalan,
sehingga tidak ada lagi alasan untuk hanya ikut-ikutan (taqlid) dalam bertauhid. Ilmu tauhid adalah
ilmu yang sangat penting dalam membangun keimanan yang sejati, Ilmu tauhid adalah merupakan
tiang yang amat kokoh dari segala ilmu, menurut Syekh Muhammad Abduh.
Tujuan terakhir dari ilmu ini, ialah menegakkan suatu kewajiban yang sama-sama disepakati, yaitu
mengenal Allah yang Maha Esa, Maha tinggi dengan segala sifat-sifat yang wajib melekat pada diri-

Nya, serta menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang mustahil bagi Zat-Nya. Membenarkan para RasulNya dengan keyakinan yang dapat menentramkan jiwa, dengan jalan berpegang teguh kepada dalil,
bukan semata-mata menyerah kepada taqlid buta, sesuai yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan Sunnah
Rasul kepada kita. Ia menganjurkan kepada kita untuk melakukan penyelidikan dengan
mempergunakan akal, kepada benda-benda alam yang terdapat di sekitar kita, menembus rahasiarahasia alam itu sekedar yang dapat dicapai, sehingga timbul keyakinan terhadap apa-apa yang telah
dianjurkan kita menyelidiki nya.
Demikian penulisan makalah yang dapat kami sajikan dan kami sangat menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
perbaikan dan pengembangan. Dan semoga ada manfaatnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi A, Theology Islam, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995), cet.6
Nata Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993)
Abduh Syekh Muhammad, Risalah Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992)