Kebijakan orde baru terhadap etnis Tionghoa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK
KEBIJAKANORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA
Oleh:
Daud Ade Nurcahyo
Universitas Sanata Dharma
2016

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga
permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru
terhadap etnis Tionghoa; (2) Pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa; (3) Dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.
Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan:
pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),
interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan sosiologi dan pendekatan politik dengan model penulisan yang
bersifat deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) latar belakang munculnya
kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa dapat dirunut dari masa kolonial

hingga meletusnya peristiwa 1965, (2) Pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah Orde Baru yaitu mencangkup beberapa bidang, di antaranya dalam
bidang sosial budaya, bidang ekonomi dan bidang politik yang sangat menyandera
etnis Tionghoa, (3) dampak kebijakan yang dikeluarkanOrde Baru dalam bidang
sosial budaya adalah masyarakat Tionghoa umumnya kehilangan identitasnya,
dampak dalam bidang ekonomi menjadikan etnis Tionghoa sebagai komunitas
yang ekslusif karena mempunyai kemampuan ekonomi yang bagus dan dampak
dalam bidang politik masyarakat Tionghoa menjadi apolitis sehingga ketika
reformasi muncul menjadilkan babak baru peran perpolitikan etnis Tionghoa.

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT
NEW ORDER POLICY
AGAINST CHINESE ETHNIC
By:
Daud Ade Nurcahyo
Sanata Dharma University

2016

This study aims to describe and analyze three key issues, namely (1) The
background of theemergence of the New Order policies against the Chinese ethnic
a group in Indonesia; (2) The implementation of the New Order policies against
theChinese; (3) The impact of the New Order policies against the Chinese.
The research method used was factual historic usius steps as follows:
selection of topics, heuristics (the collection of sources), verification (the source
criticism), interpretation and historiography (the history writing). The approaches
used wasa sociological approach and political approach. Model was used to report
the study descriptive analysis writing.
The results of this study indicated that (1) the background of New Order
policies of the Chinese ethnic could be traced from the colonial period up to the
outbreak of the 1965events, (2) the implementation of the policies issued by the
New Order government covered several fields, including the social and cultural
fields, economic field and political field which highly disaduantagedChinese, (3)
the impact of the policies issued by the New Order in the socio-cultural field was
making the Chinese societylose their identity; the impact in the economy made
Chinese ethnic economically exclusive. As a resuet the Chinese community
becomeapolitical. Therefore with the reformation, the Chinese ethnicgroup appean

to gain new political role.

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KEBIJAKAN ORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA

SKRIPSI

DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat
MemperolehGelarSarjanaPendidikan
Program StudiPendidikanSejarah

Oleh:
DAUD ADE NURCAHYO
NIM : 111314013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016

i

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sebagaiungkapankasih, skripsiinisayapersembahkankepada:
1. Kedua

orang


tuasaya,

AyahandaZachiusPaidiNotoHadidanIbunda

Anastasia DasilahS.Pd.
2. Ketigasaudarasaya, Yohanes Ari Wibowo, Veronica RiaMerdekaS.Pddan
Lea PuriDaniatiS.Pd.
3. Sahabat- sahabatsaya,

iv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MOTTO

Kedisiplinan, hargadiri, dankepedulianmerupakanawaldarikeberhasilan (George
Washington)
Sayamemangberpendidikan di Barat, tapisayatetaplah orang Jawa
(Sri Sultan HB IX)

Sabarituilmutingkattinggi, belajarnyatiaphari, latihanyatiapsaat,
ujiannyamendadak, sekolahnyaseumurhidup, hadiahnyakebahagiaan
(Daud Ade Nurcahyo)

v

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK
KEBIJAKANORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA
Oleh:
Daud Ade Nurcahyo
Universitas Sanata Dharma
2016


Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga
permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru
terhadap etnis Tionghoa; (2) Pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa; (3) Dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.
Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan:
pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),
interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan sosiologi dan pendekatan politik dengan model penulisan yang
bersifat deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) latar belakang munculnya
kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa dapat dirunut dari masa kolonial
hingga meletusnya peristiwa 1965, (2) Pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah Orde Baru yaitu mencangkup beberapa bidang, di antaranya dalam
bidang sosial budaya, bidang ekonomi dan bidang politik yang sangat menyandera
etnis Tionghoa, (3) dampak kebijakan yang dikeluarkanOrde Baru dalam bidang
sosial budaya adalah masyarakat Tionghoa umumnya kehilangan identitasnya,
dampak dalam bidang ekonomi menjadikan etnis Tionghoa sebagai komunitas
yang ekslusif karena mempunyai kemampuan ekonomi yang bagus dan dampak
dalam bidang politik masyarakat Tionghoa menjadi apolitis sehingga ketika
reformasi muncul menjadilkan babak baru peran perpolitikan etnis Tionghoa.


viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT
NEW ORDER POLICY
AGAINST CHINESE ETHNIC
By:
Daud Ade Nurcahyo
Sanata Dharma University
2016

This study aims to describe and analyze three key issues, namely (1) The
background of theemergence of the New Order policies against the Chinese ethnic
a group in Indonesia; (2) The implementation of the New Order policies against
theChinese; (3) The impact of the New Order policies against the Chinese.
The research method used was factual historic usius steps as follows:
selection of topics, heuristics (the collection of sources), verification (the source
criticism), interpretation and historiography (the history writing). The approaches

used wasa sociological approach and political approach. Model was used to report
the study descriptive analysis writing.
The results of this study indicated that (1) the background of New Order
policies of the Chinese ethnic could be traced from the colonial period up to the
outbreak of the 1965events, (2) the implementation of the policies issued by the
New Order government covered several fields, including the social and cultural
fields, economic field and political field which highly disaduantagedChinese, (3)
the impact of the policies issued by the New Order in the socio-cultural field was
making the Chinese societylose their identity; the impact in the economy made
Chinese ethnic economically exclusive. As a resuet the Chinese community
becomeapolitical. Therefore with the reformation, the Chinese ethnicgroup appean
to gain new political role.

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan anugerah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa”. Skripsi ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas
Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu
Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, dukungan dan peran serta pihak-pihak yang telah memberi bantuan
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma
yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
3. Dr. Anton Haryono, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang telah
sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan,
saran serta masukan selama penyusunan skripsi.
4. HendraKurniawanM.Pd. selaku dosen pendampingyang telah sabar
mendampingi, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran
serta masukan selama penyusunan skripsi.
5. Drs.B. Musidi.M.Pd. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah

membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan kepada
penulis selama proses studi.

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6. Seluruh dosen dan sekretariat program studi pendidikan sejarah yang
telah

memberikan

dukungan

dan

bantuan

selama

penulis

menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.
7. Kedua Orang tua penulisan, AyahandaZachiusPaidiNotoHadidan
Ibunda Anastasia DhasilahS.Pd yang telah banyak memberikan
dorongan spiritual dan material sehingga penulis dapat meyelesaikan
studi di Universitas Sanata Dharma.
8. Ketiga kakak penulis Yohanes Ari Wibowo, Veronica Ria Merdeka,
S.Pd. dan Lea Puri Daniati, S.Pd. yang telah memberikan dukungan
selama menyelesaikan skripsi.
9. Teman – teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2011
yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta inspirasi dalam
menyelesaikan skripsi
10. Kekasih saya, Chatarina Adventi Rose Susanta yang telah memberikan
dukungan dan semangat dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi
ini.
11. Temanteman brotherhood, Esti, Bayu, Ardi,IndraPoku, dan Inayang
telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
12. Teman- teman geng TIPIS, Tea, Dimas, Wawan, Galang, dan Bernad
yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.

xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN MOTTO .......................................................................................

v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
ABSTRACT ....................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR .......................................................................................

x

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................

1

A. Latar Belakang ..................................................................................

1

B. Rumusan Masalah .............................................................................

5

C. Tujuan Penulisan ...............................................................................

5

D. Manfaat Penulisan .............................................................................

6

E. Tinjauan Kepustakaan .......................................................................

6

F. Landasan Teori ..................................................................................

9

G. Metodologi Penelitian Dan Pendekatan ............................................ 18
H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 22
BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKANORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA .................................................... 23
A. Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru ................................ 23
B. Etnis Tionghoa Pasca Peristiwa 1965 ............................................... 25
C. Sikap Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa ...................................... 32

xiii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

D. Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ................................. 34
BAB III PELAKSANAAN KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS
TIONGHOA ...................................................................................... 39
A. Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tahun 1967-1998 ...................... 39
B. Bidang Sosial dan Budaya ................................................................ 42
1. Instruksi Presiden No. 14/1967 .................................................. 42
2. Surat Edaran Menteri Kehakiman No.JHB 3/31/3 Tahun 1978 . 46
3. Peraturan Menteri Perumahan No.55.2-360/1988 ...................... 49
C. Bidang Ekonomi ............................................................................... 50
D. Bidang Politik ................................................................................... 53
BAB IV DAMPAK DARI KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAPETNIS
TIONGHOA ........................................................................................ 56
A. Bidang Sosial dan Budaya ................................................................ 56
1. Masalah SBKRI .......................................................................... 56
2. Diskriminasi Agama Konghucu .................................................. 58
3. Masalah Kelenteng ...................................................................... 60
B. Bidang Ekonomi ............................................................................... 64
C. Bidang Politik ................................................................................... 68
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 76
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 79

xiv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada masa Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa merupakan masalah yang
krusial. Masalah tersebut begitu kompleks bukan saja mengenai identitas
kebangsaannya, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang
berkembang di Indonesia. Citra Etnis Tionghoa akhirnya dinilai negatif di
kalangan pemerintahan Orde Baru yang terlihat dalam kebijakan-kebijakannya.1
Sewaktu Orde Baru berjaya, selama itu pula Etnis Tionghoa banyak
mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa
peraturan yang mengatur eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain :
1. Instruksi Presiden No. 14/1976 yang berisi larangan kegiatan
keagamaan,kepercayaan, dan adat Tionghoa di Indonesia.
2. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967 yang isinya menyatakan
masyarakat Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang
berbau Indonesia
3. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang
pelarangan Impor, penjualan, dan Penggunaan bahasa Cina.
4. Surat edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988, yang melarang
penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa
Cina di depan umum.
5. Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988, yang melarang
penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas,atau memperbarui
Kelenteng.
6. Keputusan Presiden No. 56/1996 bertanggal 9 juli 1996. Isinya,
semua peraturan yang mensyaratkan SBKRI dihapus.2

1

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint,1988. hlm.63
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: edisi 16-22 Agustus
2004.hlm.16

2

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2

Orde Baru memberikan perlakuan diskriminatif dan membatasi golongan
etnis Tionghoa. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Orde Baru melanjutkan
kebijakan pembaharuannya dan memunculkan konsep SARA (Suku, Agama, Ras,
Antar golongan) yang ditunjukkan kepada media agar tidak memberikan hal-hal
yang menyangkut dengan konsep tersebut. Dalam kenyataannya, proses
pembaruan yang diimplementasikan oleh pemerintah tidak menuju kerukunan
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya yang berkaitan dengan
etnis Tionghoa. Malahan yang

terjadi sebaliknya, selama Orde Baru terjadi

sentimen anti Tionghoa yang menimbulkan kekerasan seperti yang terjadi pada
akhir kekuasaan Soeharto sekitar bulan Mei 1998.3
Sikap anti Tionghoa sering dipertanyakan dengan asumsi bahwa sikap anti
Tionghoa merupakan produk dari proses interaksi sosial dengan etnis lainnya
dalam kehidupan bermasyarakat yang berlangsung secara alami. Dalam
masyarakat sentimen anti Tionghoa didorong oleh faktor kesenjangan ekonomi.
Latar belakang sejarah di bidang ekonomi warga etnis Tionghoa telah melahirkan
mitos kekuatan ekonomi mereka. Terdapat pemukul ratataan bahwa WNI etnis
Tionghoa adalah kaya dan memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi dalam
pemerintahan nasional sebagaimana dahulu mereka mendapatkan perlindungan
dan keistimewaaan dari pemerintah kolonial.4 Pandangan yang lain justru
membawa sikap anti Tionghoa yang dihasilkan atau direkayasa melalui kebijakan
negara sebagai alat peredam yang dipakai oleh penguasa untuk mempertahankan
kekuasaannya. Prasangka anti Tionghoa begitu mendalam dibandingkan terhadap
3

Mely G Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia,Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan
Bangsa, Jakarta: Gramedia, 1979. hlm. 206
4
Ririn Darini, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis, Jurnal,hlm 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3

pendatang asing lainnya. Hal ini disebabkan banyak hal, diantaranya berasal dari
sudut pandang ekonomi.
Kebijakan ekonomi yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru
mengakibatkan kesengsaraan bagi etnis Tionghoa sendiri. Kesempatan etnis
Tionghoa untuk berwirausaha dibebaskan dalam kebijakan ekonomi Orde Baru.
Hal tersebut memicu ketidakpuasan kaum pribumi terhadap pencapaian ekonomi
etnis Tionghoa yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan sosial. Kondisi ini
dimanfaatkan

oleh

masa

untuk

melakukan

kerusuhan

dengan

bentuk

pengerusakan. Bila dirunut jauh ke masa lalu sentimen yang menimpa etnis
Tionghoa berpangkal pada politik devide et impera atau politik pecah belah yang
pernah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial tidak
menginginkan etnis-etnis non-pribumi yang ada di negeri jajahannya, termasuk
etnis Tionghoa berbaur dengan pribumi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
segala kemungkinan yang dapat menimbulkan pemberontakan. Atas dasar warisan
kolonial tersebut terciptalah ketidaksengajaan di kalangan pribumi terhadap etnis
Tionghoa.
Sudah sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda politik “Pecah belah”
golongan antar etnis telah diberlakukan. Sikap kebangsaan etnis Tionghoa di
Indonesia semakin dikebiri oleh negara, bahkan oleh masyarakat pribumi. Etnis
Tionghoa sangat dibatasi untuk menunjukkan sikap mereka dalam memaknai ke
Indonesiaannya. Kebudayaan serta kebiasaan yang mereka miliki „terpangkas‟
dengan adanya aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4

negara. Stereotip5 yang tumbuh dan berkembang terlebih sejak masa Orde Baru,
semakin menguatkan kelemahan etnis Tionghoa yang kemudian berlabelkan
„minoritas‟, bahkan di Indonesia sendiri ketika mereka telah berasimilasi dan
berakulturasi menjadi warga negara Indonesia.
Sebenarnya apakah yang salah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
sehingga mitos-mitos dan prasangka terhadap Etnis Tionghoa tertanam lekat
dalam benak kita sampai sekarang. Berkembangnya sentimen anti “Tionghoa”
tidak terlepas dari kebijakan negara. Negara dalam hal ini pemerintah, merupakan
suatu institusi yang selalu membuat isu-isu rasial demi mempertahankan status
quo. Sejak zaman penjajahan Belanda, penguasa telah menerapkan kebijakan
segregasi6 sosial terhadap Etnis Tionghoa. Langsung atau tidak langsung negara
memelihara

prasangka

dan

memanipulasinya

untuk

mempertahankan

kekuasaannya.

5

Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok
dimana orang tersebut dapat dikategorikan atau dapat juga berupa prasangka positif dan juga
negative, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif.
6
Segregasi adalah pemisahan kelompok rasa atau etnis secara paksa. Segregasi merupakan bentuk
pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam struktur sosial. .

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa?
2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa?
3. Bagaimana dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan ini secara umum diarahkan pada upaya menjawab berbagai
masalah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa. Maka penulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap
etnis Tionghoa.
2. Mendeskripsikan pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa.
3. Menjelaskan dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini sebagai berikut :
1. Bagi Universitas Sanata Dharma
Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi
khususnya bidang penelitian yaitu ilmu pengetahuan sosial, skripsi ini
diharapkan dapat memberikan kekayaan khasanah yang berguna bagi
pembaca dan pemerhati sejarah.
2. Bagi Penulis
Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam menulis karya
ilmiah khususnya tentang kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.
3. Bagi Pembaca
Skripsi ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari
tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai kebijakan
Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

E. Tinjauan Pustaka
Dikarenakan Keterbatasan sumber primer, maka skripsi ini lebih banyak
menggunakan sumber-sumber Sekunder. Beberapa sumber pustaka yang utama
antara lain:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7

1. Dilema Minoritas Tionghoa7
Buku karangan Leo Suryadinata tentang Minoritas Etnis Tionghoa ini
menjelaskan tiga hal pokok. Pertama, peresepsi tentang bangsa Indonesia dan
minoritas Tionghoa. Bagian kedua, memberikan uraian singkat tentang posisi
ekonomi orang Tionghoa serta analisis sosiohistoris terbatas mengenai masyarakat
Tionghoa Indonesia. Bagian ketiga, menjelaskan tentang kebijakan pemerintah
Indonesia, dan persepsi orang Indonesia terhadap pengambilan kebijakan
Misalnya, peresepsi kaum nasionalis sekuler mengenai etnis Tionghoa pada masa
Liberal dan Demokrasi Terpimpin, sedangkan persepsi kaum militer dominan
setelah kudeta tahun 1965.
Persepsi-persepsi ini berkembang sesuai dengan keadaan ekonomi dan
politik pada waktu itu, terwujud dalam kebijakan pemerintah Indonesia terhadap
Tionghoa lokal dari tahun 1949 sampai 1975, serta dampaknya bagi kebijakan
Indonesia terhadap RRC.
2. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa8
Buku karangan Leo Suryadinata ini berisi tentang persoalan-persoalan etnis
Tionghoa melalui kajian studi komparatif di Asia Tenggara yakni di Indonesia dan
Malaysia. Buku ini menjelaskan kebijakan pemerintah dan integrasi nasional di
Indonesia. Pemerintah Indonesia baru menerapkan kebijakan integrasi nasional
yang plural. Integrasi Nasional didefinisikan dalam pengertiannya menciptakan
identitas nasional. Ini mencakup integrasi politik dan integrasi teritorial.
Kebijakan
7
8

terhadap

kelompok

“minoritas

asing”

berbeda.

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint 1988
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, Jakarta: LP3ES.1999

Pemerintah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8

menggunakan model asimilasi yang mengharuskan etnis Tionghoa meninggalkan
identitas Cina mereka dan mengubahnya menjadi identitas „pribumi‟ Indonesia.
Dengan kata lain, kecinaan dianggap „asing‟ dan „berbahaya‟ bagi pembentukan
kebudayaan Indonesia. Tujuan kebijakan Indonesia terhadap etnis Tionghoa masih
merupakan perubahan total. Kebijakan asimilasi dapat dilihat dalam berbagai
bidang seperti pendidikan, status bahasa Cina, undang-undang kewarganegaraan,
dan peraturan pergantian nama.
3. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis9
Buku karangan Charles A. Coppel ini berisi tentang latar belakang sejarah
keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, timbulnya anti Tionghoa, kebijakan
pemerintah mengatur etnis Tionghoa, dan keterlibatan etnis Tionghoa dalam
pemerintahan. Selain itu kehidupan etnis Tionghoa pada masa Orde Lama dan
Orde Baru, juga memaparkan kebijakan pemerintahan yang mempengaruhi
pergantian agama dan pergantian nama masyarakat etnis Tionghoa pada masa
Orde Baru. Hal ini terjadi karena pemerintah ingin melaksanakan pembaruan dan
asimilasi secara konsekwen.
4. Tionghoa Dalam Cengkraman SBKR10
Buku karangan Wahyu Efendi ini berisi tentang permasalahan surat bukti
kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). SBKRI, sebagai sebuah dokumen
tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor.
Persoalannya tidaklah sederhana dan terbatas sebagai dokumen yang “diharuskan”
untuk dimiliki ketika seorang anak dari orang tua warga Negara Indonesia etnis
9
10

Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1993
Wahyu Efendi, Tionghoa dalam cengkraman SBKRI, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9

Tionghoa beranjak 18 tahun atau sudah menikah, biarpun orang tua atau kakek
nenek buyutnya sudah menjadi warga Negara Indonesia dan mempunyai bukti
kewarganaegaran Indonesia. Layaknya sebuah “ritual generasi” ketika anak sudah
menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya
terjadi dari generasi ke generasi.
5. Setelah Air Mata Kering “Masyarakat Tionghoa Pasca –Peristiwa Mei
1998”11
Buku ini merupakan hasil seminar “Setelah Air Mata Kering” Sebagaimana
jelas dari judul tersebut, sesudah Tragedi Mei berlalu 10 tahun, dan sesudah air
mata banyak orang disiksa. Sumbangan gagasan dalam buku ini dapat menambah
sedikit pemikiran tentang kelompok etnis Tionghoa di Indonesi, yang selama 10
tahun terakhir telah ikut mengalami “reformasi”. Dari buku ini tampak bahwa
kelompok etnis Tionghoa tidak tinggal diam, tetapi telah berpikir dan berbuat
banyak.

F. Landasan Teori
Skripsi ini berjudul Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa. Untuk
menjelaskan permasalahan dan ruang lingkup skripsi dibutuhkan beberapa teori
konsep sebagai berikut:

11

Wibowo I dan Thung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering:Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa
Mei 1998, Jakarta: Kompas, 2010

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10

1. Kebijakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan berasal dari
kata dasar bijak, yang berarti pandai, mahir, selalu menggunakan akal budi. Kata
dasar bijak ini diberi imbuhan ke – an menjadi kebijakan yang berarti kepandaian,
kemahiran.12
Kebijakan dalam arti sempit dapat diartikan sebagai keputusan atau tindakan
dari suatu organisasi atau institusi. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai suatu
arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dan
kesempatan yang diharapkan dapat mengatasi halangan tersebut dalam rangka
mencapai sebuah cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan
tertentu.13

Kebijakan di sini adalah arah tindakan yang direncanakan untuk

mencapai suatu sasaran.14 Kebijakan dapat juga dikatakan sebagai suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam
usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mecapai tujuan-tujuan itu. Pada
prinsipnya pihak yang membuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya.15 Selanjutnya kebijakan selalu menyangkut keputusan dan
tindakan , dengan pengertian bahwa keputusan adalah unsur yang lebih penting.
Tindakan untuk mencapai sasaran dapat dihasilkan dari kebijakan, apabila
keputusan menunjukkan dengan jelas apa yang terkandung dari pikiran pembuat
kebijakan baik sebagai sasaran ataupun sebagai prosedur.16

12

Sutan Mohammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994,
hlm 131.
13
Soenarko, Public Policy,Surabaya, Ailangga University Pres: 2000, hlm 32
14
Dhlan Nasution, Politik Internasional : Konsep dan Teori, Jakarta: Erlangga, 1989, hlm 9.
15
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982, hlm 12.
16
Ibid,hlm 10.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11

2. Orde Baru
Orde Baru adalah bangunan sistem politik kekuasaan yang tidak terlepas
dari sosok Soeharto yang berperan sebagai arsitek. Sepanjang sejarahnya Orde
Baru memiliki dua pola

kekuasaan. Pola pertama terbentuk pada masa

konsolidasi awal Orde Baru. Pada masa ini Presiden belum muncul sebagai
kekuatan politik mandiri dan masih terkolektifikasi di dalam kekuatan Angkatan
Darat atau militer. Pola kedua segera terbentuk setelah Golongan Karya (Golkar)
memenangkan dua kali pemilu, sehingga penguasa Orde Baru memiliki legitimasi
politik yang konkrit dan kokoh. Pada pola kedua, Presiden perlahan namun pasti
mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri, dan akhirnya menjadi sentral
kekuasaan.17
Pada awal perjalanannya pemerintahan Orde Baru menunjukkan langgam
libertarian yang sebenarnya adalah langgam transisi sambil mencari format baru
bagi konfigurasi politik. Program pembangunan yang menitikberatkan pada
bidang ekonomi harus diamankan dengan “stabilitas nasional” yang dianggap
sebagai prasyarat yang realisasinya ternyata menuntut langgam otoritarian. Sejak
penemuan format baru politik Indonesia pada tahun 1969/1971, Indonesia mulai
menampilkan politik otoriter birokratis yang diperlukan untuk mengamankan
jalannya pembangunan.18
Pada pertengahan 1970-an, Soeharto telah menjadi dalang nasional,
menggunakan para perwira militer yang setia untuk menghancurkan musuhmusuhnya. Orde Baru sangat berhasil dalam membuat dan menyebarkan cerita
17

Saefulah Fatah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru:Masalah dan Masa Demokrasi
Terpimpin Konstitusional, Bandung: Rosdakarya, 2000. hlm 46.
18
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2006, hlm 196.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12

versi mereka bagi sebagian besar orang Indonesia tentang “kudeta” 30 September
dengan mengalamatkan semua kesalahan pada Partai Komunis. Para wartawan,
cendikiawan, seniman, dan pejabat yang dipekerjakan oleh rezim diarahkan untuk
menghasilkan laporan dan kisah tentang kudeta sesuai dengan versi Soeharto.
Publikasi-publikasi yang ada membuktikan bahwa peristiwa itu adalah “Kudeta
PKI‟. 19
Intinya pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto berupaya menjaga
stabilitas politik dan sosial yang dilakukan secara keras sehingga dirasakan
sebagai pemerintahan yang posesif dan represif. Siapa yang berani mengkritik
Orde Baru dianggap musuh Panscasila atau pro-komunis dan G-30S, sehingga
harus disingkirkan dari kehidupan umum. Pada waktu itu, Soeharto sebagai
presiden berhasil menguasai semua lembaga pengawasan, termasuk MPR, DPR,
ABRI, Bepeka, BPKP, pengadilan, Pres, dan media masa lainnya. Pengawasan
hanya diperbolehkan terhadap pihak-pihak yang di luar lingkaran kekuasaan
Presiden termasuk yang bertentangan dengan kepentingannya. Semua itu terbuka
waktu negara Indonesia pada pertengahan tahun 1997 diserang oleh krisis moneter
dan krisis ekonomi yang menggetarkan seluruh masyarakat.20
Dari paparan di atas dapatlah ditegaskan, bagaimana politik atau kebijakankebijakan pada masa pemerintahan Soeharto yang mengatasnamakan Orde Baru
dijalankan. Pada dasarnya politik yang dilakukan Soeharto tampak untuk
melanggengkan kekuasaanya. Dengan dalih untuk stabilitas nasional dan agar
masyarakat dapat mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, maka
19
20

Ibid., hlm 262.
Selo Soemarjan, Pengawasan Sosial Orde Baru dan Reformasi, Jakarta: Obor, 2011, hlm 639.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13

siapa pun yang menentang kebijakan Soeharto, termasuk organisasi manapun,
dianggap sebagai pembangkang negara dan berbahaya bagi negara. Di sini tampak
tidak ada satu pun kekuatan yang dapat mengontrol kebijakan Soeharto. Untuk itu
dapat dianggap bahwa dalam menjalankan pemerintahannya, Soeharto layaknya
raja yang diktator.
3. Etnis Tionghoa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etnis berarti kelompok sosial
dalam sistem sosial

atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan

tertentu karena keturunan adat, agama, bahasa dan sebagainya. Narrol,
menyatakan bahwa yang disebut dengan etnis/kelompok etnis adalah sebagai
berikut:
1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.
2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa
kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.
3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain
dan dapat diterima oleh kelompok lain, dan dapat dibedakan dari kelomok
populasi lain.
Lain halnya dengan Narrol, Barth memberikan

definisi etnis, yang

menujukkan pada suatu kelompok tertentu dimana karena kesamaan ras, agama,
asal usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai
budayannya.21 Barker juga memberikan definisi etnis sebagai sebuah konsep

21

Barth, Kelompok Etnis dan Batasannya, Jakarta: UI Press, 1988, hlm 9-20.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14

budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan
praktek budaya. Terbentuknya “suku bangsa” bersandar pada penanda budaya
yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis,
sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki, yang paling tidak
sebagaian didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama.22 Sedangkan
dalam penelitian ini etnis merupakan sebuah komunitas atau kelompok yang
memiliki kesamaan asal, yang kemudian terpusat pada kesamaan norma, nilai,
kepercayaan, simbol, dan praktek budaya.
Sebelum membahas mengenai kata Tionghoa, haruslah membahas dahulu
kata Cina yang merupakan sumber dari Tionghoa. Cina adalah sebuah negara
yang terletak di sebelah barat Korea, sebelah utara Vietnam dan sebelah selatan
Rusia. Asal mula penggunaan kata Cina diperkirakan terjadi pada Dinasti Chin ,
dimana kaisar pada saat itu adalah Chin Si Ong, seorang kaisar yang berhasil
membangun tembok besar. Pada masa itu, orang di daratan China seringkali
mengganti istilah kebangsaan mereka, ketika Dinasti Tang berkuasa, mereka
menyebut diri mereka orang Tang (Tang-jin), ketika Dinasti Han berkuasa,
mereka menyebut diri mereka orang Han (Han-jin). Demikian pula ketika bangsa
Chin berkuasa mereka menyebut diri mereka bangsa Chin. Dalam dialek Hokkian, ucapan Chin seringkali ada ujungnya, dan biasanya diucapkan dengan
akhiran “a” atau”ah”, yang oleh orang-orang ini kemudian dihafalkan menjadi
“Chin-ah” dan akhirnya lama-lama menjadi kata Cina.23

22

Baker, Cultural Studies,Yogyakarta: Kresai Wacana, 2005, hlm 201.
Mahar,Chellen,dkk,”Posisi Teoritis Dasar Dalam :Richard Harker Cheleen Mahar dan Cris
Wilkes,Yogyakarta: Jalansutra, 2009, hlm 32
23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15

Kata Tionghoa atau tionghwa itu sendiri sebenarnya merupakan istilah
yang dibuat oleh orang keturunan China di Indonesia, yang berasal dari kata
Zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua berasal dari kata Zhonggua dan
sudah ditemukan pada naskah sejarah klasik dari abad 6 SM, penyebutan untuk
kekaisaran Dinasti Zhou. Pada masa itu, Dinasti Zhou merasa sebagai pusat
kebudayaan, dibandingkan dengan daerah sekelilingnya. Kadang istilah Zhongguo
dipakai juga untuk menamai ibu kota pusat kekaisaran yang membedakannya
dengan penamaan kota di bawah kekuasaan pangeran yang berinduk pada kaisar.
Kemudian istilah Zhongguo juga dipakai sebagai singkatan penamaan dari
republik yang didirikan Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911, yakni Zhonghua
Minguo. Selanjutnya hal yang sama juga terjadi pada tahun 1949, ketika
diproklamirkannya Zhonghua Renmin Gongheguo.
Istilah ini kemudian menjadi populer setelah Dr. Sun Yat Sen pada tahun
1911 memproklamirkan berdirinya republik setelah menumbangkan kekaisaran
Manchu (Ching) Da Qing Di Guo. Negara baru tersebut kemudian diberi nama
Chung Hwa Ming Guo (Zhonghua Minguo) yang memiliki arti harfiah Negara
rakyat Chungwa atau Republik Chunghwa, yang kemudian disingkat menjadi
Chung Guo dalam dialek Hokkian. Sedangkan warga masyarakatnya disebut
Chunghwa atau dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Sebutan Chungguo dan Chunghwa menjadi popular sebab revolusi
perubahan dari kekaisaran menjadi negara demokratis memberikan sebuah
harapan baru adanya perbaikan pada masyarakat umum. Tersirat juga di sana
persaingan primordial bahwa etnis Han terlepas dari dominasi etnis Manchu. Hal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16

ini sangat jelas terlihat ketika mereka yang merasa memiliki orientasi baru segera
memotong rambut panjang, suatu adat yang dipaksakan oleh pemerintah Manchu
ketika mereka pada periode awal berhasil menguasai kekaisaran Tiongkok.
Dengan adanya istilah baru ini tersirat semangat membangun kembali harga diri
bangsa dan negara yang telah lama terpuruk.24
Wacana Cung Hwa atau Tionghoa pertama kalinya dikemukakan di muka
umum pada Tahun 1900-an di Indonesia, dengan didirikannya THHK(Tiong Hoa
Hwee Koan/”Tjung Hwa Hwei Kwan”/Zhonghua Huiguan). Pada masa itu,etnis
Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) disebut dengan “Orang Tjin” oleh
masyarakat.
Istilah Tionghoa dan kemudian Tiongkok mulai popoler dengan bangkitnya
nasionalisme kalangan Tionghoa di Hindia Belanda pada dekade ke dua abad ke 20. Penggunaan istilah Tionghoa sangat erat kemudian dengan penggunaan istilah
Zhonghua di daratan Tiongkok, di mana Zhonghua dalam dialek Hokkian
dilafalkan sebagai Tionghoa di Hindia Belanda. Melalui THHK dan sekolahsekolahnya dan juga pres, istilah Tionghoa kemudian disebarluaskan ke seluruh
lapisan masyarakat. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat mulai mengenal
istilah Tionghoa. Istilah lama Tjina (Cina) mulai dianggap sebagai istilah yang
berkaitan dengan status rendah dan menjadi target gerakan nasionalis Tionghoa.
Dalam konteks tersebut, orang Tionghoa di Hindia Belanda akan merasa dihina
apabila dipanggil dengan sebutan Tjina dan mereka ingin disebut dengan
Tionghoa saja.
24

Kusteja,2011:http://web.budaya-Tionghoa.net/home/625-istilah-tiongoa-Tionghoa-chinachinesedan-cina)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17

Pada tahun 1928, Anggaran Dasar THHK juga mengalami amandemen,
dimana istilah Tjina diganti dengan istilah Tionghoa. Tahun yang sama Gubernur
Jendral Hindia Belanda juga memakai istilah Tionghoa sebagai istilah resmi.
Istilah Tionghoa dan Tiongkok juga mulai masuk pada pres pribumi. Pres
peranakan Tionghoa juga memakai istilah “Indonesier” tidak lagi memakai
sebutan “Boemiputra” untuk menyebut orang pribumi, sebutan “Hindia Belanda”
dan “Hindia Oland” diganti dengan sebutan Indonesia. Sebutan Indonesia mulai
dipergunakan pres peranakan pada tahun 1927 tepatnya 3 Febuari 1927 pada
Koran Sin Po, akan tetapi istilah ini baru popular pada tahun 1930-an.
Pada perkembangan berikutnya, zaman penjajahan Jepang hingga Indonesia
merdeka, istilah Tionghoa kemudian menjadi sebutan baku yang dipergunakan
tidak saja bagi kalangan Tionghoa sendiri tetapi juga kalangan pres.25
Jadi yang dimaksud dengan etnis Tionghoa adalah kelompok sosial dalam
sistem sosial yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan
praktek budaya yang berasal dari Cina yang telah lama terintegrasi ke dalam
bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian integral dari negara Indonesia.

25

Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm 100-106.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18

G. Metodologi Penelitian dan Pendekatan
1. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah
melalui tahap-tahap berikut:
a. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik atau mengumpulkan sumber sejarah adalah tahap lanjutan setelah
tema dipilih. Sumber sejarah adalah bahan penulisan sejarah yang mengandung
bukti baik lisan maupun tertulis. Menulis sejarah tidak mungkin dapat dilakukan
tanpa tersedianya sumber sejarah.26 Dalam pengumpulan sumber ini dilakukan
beberapa teknik pengumpulan sumber, yaitu:
1. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan kegiatan untuk memperoleh data dengan cara
mencari dan membaca buku- buku dan literatur yang relevan dengan tema
penelitian.
2. Wawancara
Wawancara adalah usaha mengumpulkan keterangan dan informasi tentang
kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Wawancara dilakukan terhadap
informan, agar yang akan diwawancari mau menjawab dengan lancar
pertanyaan- pertanyaan yang diajukan maka harus dikembangkan suasana
yang harmonis kekeluargaan. Adapun pelaksanaan dari wawancara ini
menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin yang dimaksud disini adalah
bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan bersifat terbuka dan

26

Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010,hlm. 30

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19

terarah. Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu menentukan informan
yang akan diwawancarai. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya penulis
dapat menggali dan memperoleh informasi yang sesungguhnya dan informasi
yang semu. Dalam penelitian ini yang dijadikan informan adalah tokoh tokoh
etnis Tionghoa yang hidup pada era Orde Baru
b. Kritik sumber (Verifikasi)
Kritik sumber adalah upaya mendapatkan otentitas dan kredibilitas sumber.
Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti
metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian.27
Dalam usaha mencari kebenaran, sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan
untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar atau palsu, apa yang
mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil. Supaya memperoleh sumber
yang benar, sejarawan harus menggabungkan antara pengetahuan, sikap ragu
(skeptis), percaya begitu saja, menggunakan akal sehat, dan melakukan tebakan
inteligen. Jadi, fungsi dari kritik sumber adalah supaya karya sejarah merupakan
produk dari suatu proses ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hasil
dari suatu fantasi, manipulasi atau fabrikasi sejarawan.28
Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik
ini meliputi verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan
(akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu
kritik eksternal (otentitas dan integritas) dan kritik internal.

27
28

Ibid., hlm 35
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm103.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20

c. Interprestasi
Fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterprestasikan untuk menghasilkan
cerita sejarah. Sebenarnya interprestasi atau tafsir sangat individual, artinya siapa
saja dapat menafsirkan. Walapun datanya sama, tetapi interprestasinya bisa
berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Perbedaan interprestasi terjadi
karena perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, Jadi interpretasi
sangat subjektif, tergantung masing-masing pribadi.29
Dalam melakukan interpretasi, sejarawan tetap berada di bawah bimbingan
metodologi sejarah, sehingga subjektivitas dapat dieliminasi. Metodologi
mengharuskan sejarawan mencantumkan sumber datanya supaya pembaca dapat
mengecek kebenaran data dan konsisten dengan interpretasinya.
Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sintesis menganalisis sama
dengan menguraikan. Dari data yang bervariasi dapat dianalisis setelah ditarik
secara induktif sehingga dapat disimpulkan. Sedangkan sintesis berlawanan
dengan analisis. Sintesis sama dengan penyatuan. Data-data yang dikelompokkan
menjadi satu kemudian disimpulkan.30
d. Penulisan (Historiografi)
Tahap penulisan mencangkup interprestasi sejarah, eksplanasi sejarah,
sampai presentasi atau pemeparan sejarah sebenarnya. Ketika sejarawan
memasuki tahap menulis, ia harus menggunakan pikiran-pikiran kritis dan
analisisnya karena ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil

29
30

Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010, hlm 55.
Ibid., hlm 56.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21

penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut
historiografi (penulisan sejarah).31
1. Pendekatan Penelitian
Sejarah sebagai ilmu sosial tidak bisa berdiri tanpa bantuan ilmu sosial yang
lain. Maka dari itu sejarah meminjam ilmu sosial yang lain maka penelitian
sejarah akan lebih jelas. Pendekatan menjadi sangat penting, sebab dari
pendekatan yang mengambil sudut pandang tertentu akan menghasilkan kejadian
tertentu. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua pendekatan,yaitu
pendekatan sosial dan pendekatan politik.
a. Pendekatan sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang berorientasi pada peristiwa
sosial dengan segala implikasinya. Pendekatan sosial ini digunakan untuk
melihat teori- teori sosial yang sesuai dengan konsep kebijakan Orde Baru
terhadap etnis Tionghoa. Pendekatan sosial ini juga digunakan untuk
melihat masalah- masalah sosial yang melatarbelakangi timbulnya kebijakan
Orde baru terhadap etnis Tionghoa
b. Pendekatan politik
Dalam sejarah kebijakan pemerintah yang berdampak ke etnis Tionghoa,
pendekatan politik disini artinya suatu pendekatan yang muncul berupa
kebijakan politik untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru.

31

Helius Sjamsuddin,op.cit.,hlm 103-104

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22

H. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi yang berjudul “Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis
Tionghoa”, mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I.

Berupa

pendahuluan

yang

memuat

latar

belakang

masalah,

permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka,
landasan teori, metodologi penelitian dan pendekatan, serta sistematika
penulisan.
Bab II

Menyajikan uraian tentang latar belakang kebijakan Orde Baru terhadap
Etnis Tionghoa

Bab III Menyajikan uraian tentang pelaksanan dari kebijakan Orde Baru terhadap
Etnis Tionghoa.
Bab IV Menyajikan uraian tentang dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap
Etnis Tionghoa
Bab V Menyajikan

kesimpulan

yang

berisi

tentang

permasalah yang ada dalam bab II, III, dan IV

jawaban-jawaban

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II
LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKAN ORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA

A. Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru
Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kedaulatan pada
tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial. Pemerintah membiarkan warga Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi
sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrasi. Namun
warga Tionghoa dibolehkan dalam bidang politik sehingga terdapat sebagian
warga Tionghoa yang menduduki jabatan sebagai menteri, misalnya Lie Kiat
Teng sebagai Menteri Kesehatan dan Oey Tjoe Tat sebagai menteri pada Kabinet
100 menteri.
Pemerintah Soekarno juga membolehkan etnis Tionghoa mengekspresikan
kebudayaan mereka dan menjalankan agama atau keyakinan mereka. Namun
demikian segregasi tetap terjadi karena dalam kenyataannya tidak ada interaksi
yang efektif antara warga etnis Tionghoa dengan warga etnis lainnya. Akibatnya
beberapa konflik serius terjadi. Masalah utama adalah kesenjangan kemakmuran
Beberapa tokoh nasionalis di bawah Mr. Asaat pernah memperkenalkan
sebuah program ekonomi yang disebut program Benteng, yang intinya ingin

23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24

meningkatkan partisipasi ekonomi warga pribumi dalam ekonomi nasional.32
Sistem ini diberlakukan untuk melindungi para importir nasional agar dapat
bersaing dengan orang asing yang masih beroperasi di Indonesia. Tujuan dari
sistem Benteng adalah agar terbentuk kelompok wiraswasta Indonesia yang
mampu menggerakkan perekonomian nasional. Program ini memberikan hak
kepada pengusaha pribumi untuk mendapatkan lisensi dan kredit impor.
Sebenarnya pemerintahan Soekarno ini ingin meminimalisir kebijakan ekonomi
politik sebagai pemicu segregasi sosial yang akan mengarah pada munculnya
sentimen anti Tionghoa. Tetapi target ini tidak tercapai dan hanya dimanfaatkan
oleh sekelompok elit politik untuk menumpuk kekayaan pribadi atau menghimpun
dana-dana politik, bahkan memelihara sebuah kerja sama Ali-Baba”. Dalam
kerjasama model ini pihak Indonesia asli yang tidak berpengalaman menjual izin
dan lisensi kepada pedagang warga etnis Tionghoa. Dengan cara ini orang
Tionghoa tetap mampu melanjutkan usahanya dan mendapatkan keuntungan,
sementara mitra Indonesia asli hampir tidak mendapatkan pengalaman bisnis yang
diperlukan bagi pengembangan ekonomi nasional.
Pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah juga mengeluarkan peraturan
yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP No.10/1959 yang isinya
melarang orang-orang Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang melahirkan
sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas peran dan hak ekonomi
etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sam