Negara Orde Baru Dan Pengendalian Partai Politik (Studi Deskriptif Kebijakan Pemerintahan Orde Baru terhadap Partai Persatuan Pembangunan).

(1)

NEGARA ORDE BARU DAN PENGENDALIAN PARTAI POLITIK

(Studi Deskriptif Kebijakan Pemerintahan Orde Baru terhadap Partai Persatuan Pembangunan)

D I S U S U N OLEH LIA ERLYANA

040906003

Dosen Pembimbing : Drs.Zakaria Taher. MSP Dosen Pembaca : Dr. Warjio, MA

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul NEGARA ORDE BARU DAN PENGENDALIAN PARTAI POLITIK (Studi Deskriptif Kebijakan Pemerintahan Orde Baru terhadap Partai Persatuan Pembangunan). Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi syarat untuk menyelesaikan studi Strata-1 pada Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan. Namun berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Esa dan dorongan serta bantuan dari berbagai pihak baik berupa materiil maupun moril akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Dra. T. Irmayani, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

3. Bapak Drs. Zakaria, MSP, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan begitu banyak ilmu dan diskusi yang bermanfaat bagi penulis selama penyusunan skripsi ini,


(3)

4. Bapak Dr. Warjio, M.A selaku dosen pembaca saya, saran dan masukan bapak sangat berguna untuk menyempurnakan isi skripsi saya ini, terima kasih,

5. Seluruh staf pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan,

6. Seluruh staff pegawai FISIP USU, Departemen Ilmu Politik, Kak Emma, Bang Rusdi, yang sangat membantu penulis untuk seluruh urusan administrasi semasa kuliah di FISIP USU,

7. Kedua orang tuaku, Endang Sukandar dan Yentinai yang telah melahirkan, membesarkan dan mengajari aku hingga aku dapat menempuh pendidikan tinggi. Sungguh suatu pemberian yang takkan terbalas walau dengan emas berlian sekalipun, terima kasih kuucapkan. Maafkan atas segala kesalahan yang pernah kulakukan. Harapan kalian tidak akan pernah kusia-siakan, 8. Adikku tersayang Andre Fradesya, satu-satunya adikku. Ingat, masih

banyak Ilmu dan prestasi yang harus diraih. Semoga engkau menjadi seorang yang mempunyai kebijaksanaan, ilmu yang tinggi serta kerendahan hati. Mari wujudkan keinginan dan harapan orang tua kita! 9. Teman-temanku di Departemen Ilmu Politik, Fera, Irna, akhirnya kalian

duluan yaa.. Mawan, Iwanki, Enda dan Sandi giliran kita bro.. selamat yaa buat kalian juga, akhirnya kita tamat bro, MERDEKA..!

10.Fuad Hasan Lubis, S.Sos…, wah.. takkan cukup kata-kata untuk ungkapkan seluruh terima kasih untuk segala bantuanmu bro..! banyak waktu, banyak cerita, banyak hari, dan banyak peluh yang telah kita lalui


(4)

bersama untuk menyelesaikan semua ini, hehe… banyak rencana yang terbentang di hadapan kita, terus semangat bro.. Viva REBORN..,

11.Buat mereka yang menjadi mahkluk terindah yang pernah menjadi bagian dari hatiku, semangat hidupku, indahkan hari-hariku.., ada banyak cinta yang pernah tercipta buat kita, terima kasih buat cinta kalian semua..,

12.HMI FISIP USU dan teman-teman FORDIP, terima kasih untuk perjuangan kalian semua. Ayo bangkitkan semangat, perjuangan kita belum selesai..,

13.Bagi teman, pihak-pihak yang membantu, yang tidak tersebut namanya satu persatu, bukan karena aku melupakan kalian tetapi karena kalian semua terlalu berarti buatku. Kalian tersebut dan selalu tertulis di hatiku, Terima kasih.

Penulis menyadari dalam skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam pengetahuan, pengalaman maupun kemampuan yang masih terbatas yang penulis miliki. Untuk itu penulis senantiasa membuka ruang untuk segala kritik dan saran demi kesempurnaan isinya.

Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang memerlukannya.

Medan, Juni 2011,


(5)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

Abstraksi ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan dan Masalah ... 6

3. Pembatasan Masalah ... 6

4. Tujuan Penelitian ... 7

5. Manfaat Penelitian ... 7

6. Kerangka Teori ... 8

6.1 Kebijakan ………. ……….. 8

6.2 Negara Orde Baru ……….………... 8

6.3. Partai Politik ……… 19

7. Metodologi Penelitian ………. 27

8. Sistematika Penulisan ……….. 29

BAB II : DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN 1. Cikal Bakal PPP ... 30

2. Partai-Partai yang Berfusi ... 33

3. Lahirnya PPP ... 37

4. Perspektif Ideologi dan Program PPP ... 46


(6)

6. Struktur PPP ... 62

BAB III : ANALISIS DATA 1. Parpol dalam Konfigurasi Politik Rezim Orba ... 72

2. Kebijakan Politik Fusi dan Perkembangan PPP ... 82

3. Kebijakan Mempersempit Ruang Gerak PPP ... 91

4. Perolehan Suara PPP Pada Masa Orba ... 100

BAB IV : PENUTUP 1. Kesimpulan ... 122

2. Saran ... 125


(7)

ABSTRAKSI

NEGARA ORDE BARU DAN PENGENDALIAN PARTAI POLITIK (Studi Deskriptif Kebijakan Pemerintahan Orde Baru terhadap Partai

Persatuan Pembangunan)

Kehidupan Partai Politik di Indonesia mengalami masa pasang surut. Sejak awal kemerdekaan, pemaksaan Partai Politik tunggal di Indonesia mendapat kecaman keras dari tokoh-tokoh nasional Indonesia. Setelah itu berkembanglah kehidupan multipartai di Indonesia di tengah situasi pemerintahan yang parlementer. Demokrasi Pancasila yang lahir menggantikan Demokrasi Parlementer di era Orde Baru memang menghalalkan lahirnya partai politik namun perjalanan dan esksistensi partai-partai politik selain Golkar tampaknya dipersulit dan dikendalikan oleh kebijakan-kebijakan Pemerintah Orde Baru demi satu alasan yakni stabilitas politik.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan menjelaskan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru terhadap partai-partai politik yang ada pada masa itu, khususnya Partai Persatuan Pembangunan. Berbagai cara dan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik dan melanggengkan kekuasaan nya dengan mempersempit ruang gerak dari partai politik pesaing lainnya.

Pada masa Orde Baru, konfigurasi Partai Politik di Indonesia mengalami konstelasi yang otoriter, terlihat dari kebijakan dari penguasa pada waktu itu yang mengeluarkan kebijakan mengenai upaya penyederhanaan Partai Politik melalui TAP MPRS No. XXXVI/MPRS/1966 tentang kepartaian, keormasan, dan kekaryaan serta pemaksakan terhadap azas tunggal Pancasila. Upaya ini dilakukan untuk “mengkebiri” peran Partai Politik demi kepentingan penguasa. Sehingga jelas, dalam setiap Pemilihan Umum sejak tahun 1971 dan seterusnya Partai Golongan Karya (Golkar) sebagai partai pemerintah selalu memenangkan Pemilihan Umum, yang berdampak pula terhadap struktur Dewan Perwakilan Rakyat dalam badan Legislatif.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan dengan cara mendeskripsikan dan menganalisa kebijakan yang diberlakukan terhadap partai politik pada masa Orde Baru. Dari hasil penelitian dan penelaahan, didapat bahwa berbagai kebijakan yang menyulitkan PPP untuk dapat berbicara banyak dalam setiap pemilu untuk meraih suara yang maksimal, dan malah selalu kalah dari perolehan suara yang diraih oleh partai pemerintah yakni Golkar.


(8)

ABSTRAKSI

NEGARA ORDE BARU DAN PENGENDALIAN PARTAI POLITIK (Studi Deskriptif Kebijakan Pemerintahan Orde Baru terhadap Partai

Persatuan Pembangunan)

Kehidupan Partai Politik di Indonesia mengalami masa pasang surut. Sejak awal kemerdekaan, pemaksaan Partai Politik tunggal di Indonesia mendapat kecaman keras dari tokoh-tokoh nasional Indonesia. Setelah itu berkembanglah kehidupan multipartai di Indonesia di tengah situasi pemerintahan yang parlementer. Demokrasi Pancasila yang lahir menggantikan Demokrasi Parlementer di era Orde Baru memang menghalalkan lahirnya partai politik namun perjalanan dan esksistensi partai-partai politik selain Golkar tampaknya dipersulit dan dikendalikan oleh kebijakan-kebijakan Pemerintah Orde Baru demi satu alasan yakni stabilitas politik.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan menjelaskan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru terhadap partai-partai politik yang ada pada masa itu, khususnya Partai Persatuan Pembangunan. Berbagai cara dan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik dan melanggengkan kekuasaan nya dengan mempersempit ruang gerak dari partai politik pesaing lainnya.

Pada masa Orde Baru, konfigurasi Partai Politik di Indonesia mengalami konstelasi yang otoriter, terlihat dari kebijakan dari penguasa pada waktu itu yang mengeluarkan kebijakan mengenai upaya penyederhanaan Partai Politik melalui TAP MPRS No. XXXVI/MPRS/1966 tentang kepartaian, keormasan, dan kekaryaan serta pemaksakan terhadap azas tunggal Pancasila. Upaya ini dilakukan untuk “mengkebiri” peran Partai Politik demi kepentingan penguasa. Sehingga jelas, dalam setiap Pemilihan Umum sejak tahun 1971 dan seterusnya Partai Golongan Karya (Golkar) sebagai partai pemerintah selalu memenangkan Pemilihan Umum, yang berdampak pula terhadap struktur Dewan Perwakilan Rakyat dalam badan Legislatif.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan dengan cara mendeskripsikan dan menganalisa kebijakan yang diberlakukan terhadap partai politik pada masa Orde Baru. Dari hasil penelitian dan penelaahan, didapat bahwa berbagai kebijakan yang menyulitkan PPP untuk dapat berbicara banyak dalam setiap pemilu untuk meraih suara yang maksimal, dan malah selalu kalah dari perolehan suara yang diraih oleh partai pemerintah yakni Golkar.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lahir dalam suatu masa ketika kebebasan berserikat dan berkumpul terdistorsi secara sistemik oleh kekuasaan Orde Baru. Ketika PPP lahir, jangkar otoritarianisme dan korporatisme negara begitu kuat mencengkeram setiap organisasi politik dan organisasi massa. Partai Persatuan Pembangunan adalah cermin persatuan melalui penggabungan atau fusi dari empat partai politik Islam peserta Pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Dalam naskah deklarasi pembentukan PPP yang ditandatangani oleh K.H. Idham Khalid (NU), H.M.S. Mintaredja (Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti), dan K.H. Masykur (NU), dikatakan bahwa kelahiran PPP merupakan wadah penyelamat aspirasi umat Islam dan cermin kesadaran serta tanggung jawab tokoh-tokoh umat dan pemimpin partai untuk bersatu, bahu-membahu, serta membina masyarakat agar dapat lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, melalui perjuangan partai politik.1

Sejarah perkembangan PPP sejak deklarasi fusi empat partai Islam tentu saja mengalami pasang-surut. Jika kita lacak, di era Orde Baru, PPP hanya dijadikan pelengkap penderita dalam bingkai Demokrasi Pancasila karena jika Demokrasi Pancasila dianggap sebagai demokrasi konsensus yang lahir dari bumi Indonesia, seharusnya PPP dan PDI ketika itu ikut berkuasa dalam menjalankan

      

1

Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia ; Ideologi dan Program 2004 – 2009, Jakarta : Kompas. Halaman .88


(10)

pemerintahan Orde Baru. Akan tetapi, kedua partai tersebut hanya dijadikan

sparing partner yang seolah-olah sudah dipastikan harus kalah.

Keberadaan PPP (juga PDI) pada masa Orde Baru tidak lebih dari sekadar “aksesoris” dalam sistem Demokrasi Pancasila. Aspirasi umat Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya disumbat dan dikekang dengan berbagai instrument hukum yang mendukung terhadap rezim otoriter. Intervensi Negara terhadap berbagai kehidupan masyarakat temsuk kedalam internal partai politik dapat dilakukan setiap saat. Akibatnya, partai politik tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya seperti yang diharapkan.

Dari semua Pemilu yang diikuti, dukungan masyarakat terhadap PPP selalu mengalami penurunan. Selama di bawah kendali struktur politik Orde Baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan1997, dukungan masyarakat terhadap PPP menjadi fenomena yang menarik untuk ditelusuri. Demokrasi Pancasila yang dijadikan dalil dan dalih stabilitas politik untuk kelancaran pembangunan telah membelenggu aspirasi rakyat. Rakyat disuguhkan politik hegemonik dengan hanya menampilkan tiga orsospol saja. Dahsyatnya, politik hegemonik tersebut mewarnai rakyat mulai dari istana sampai ke tingkat RT/RW. Pada setiap penyeleggaran Pemilu, satu orsospol harus dimenangkan oleh pemerintah sebagai

single majority, sedangkan dua orsospol lainnya (PPP dan PDI) hanya diposisikan

sebagai penggembira panggung demokrasi.

Pada masa Orde Baru, situasi kondisi politik internal PPP dapat dikategorikan kepada dua fase, yaitu fase berasaskan Islam (1977 – 1982) dan fase berasaskan Pancasila (1987 ,1992 ,1997). Kedua fase tersebut telah memberikan nuansa yang signifikan terhadap PPP dan psikologi para pendukungnya.


(11)

Sesudah terjadinya fusi tahun 1973, Pemilu pertama yang diikuti PPP tahun 1977 menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Partai yang membawa Panji Islam ini berhasil mendapat kepercayaan dengan perolehan suara 18.745.592 (29.29 %) suara dari 64.000.185 pemilih yang terdaftar. Perolehan suara itu meningkat 2,17 % dari total perolehan partai-partai fusi (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) dalam Pemilu 1971.2 Alhasil, dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, PPP berhasil memperoleh 99 kursi atau 27,5 % untuk mendudukkan wakilnya di DPR dari sebelumnya yang hanya memliki 96 kursi (sebelum fusi terjadi). Keberhasilan ini menunjukkan konsoliditas kalangan elite partai dan soliditas para pendukungnya ketika menghadapi Pemilu dalam meraih simpati pendukung lain cukup terbangun dengan baik, walaupun dibayang-bayangi skenario politik pemerintah yang tidak ramah.

Pada pemilu 1982, dukungan masyarakat mengalami penurunan sebesar 1,51 % dari Pemilu sebelumnya. Perolehan suara PPP pada Pemilu 1982 hanya 20,872,880 suara atau 27,78% dari 75.126.306 suara sah sehingga perolehan suara kursi DPR pun menurun sebesar 3 % atau 94 kursi (24.5%) dari 364 kursi yang diperebutkan. Jumlah perolehan kursi ini turun lima kursi dari jumlah kursi DPR hasil pemilu sebelumnya yang mencapai 99 kursi.3 Hilangnya lima kursi tersebut mengisyaratkan bahwa partai yang pernah meraup dukungan dari mayoritas umat Islam Indonesia ini mulai mengalami kerapuhan. Pangkal kerapuhan itu sendiri berakar pada kekecewaan kader-kader potensial PPP terhadap dinamika yang terjadi di tubuh internal. Diantaranya dipicu oleh ketidakpuasan kader-kader potensial yang tidak terakomodir baik karena penolakan terhadap Undang-Undang

      

2

Syafruddin Amir, 2007, Transformasi Energi PPP, Konsolidasi Menuju Partai Sejati, Bandung : Idea Publishing, hal. 29

3


(12)

No. 2 Tahun 1980 Tentang Kedudukan Partai Politik dan Golkar dalam KPPS yang hanya sebagai pengawas sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden Soeharto maupun oleh kebijakan ketua umum H.J. Naro, pada pelaksanaan Mukramar I dan pada penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS) untuk Pemilu 1982 serta kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak aspiratif dan akomodatif.

Dalam menghadapi Pemilu 1987, hilangnya identitas keIslaman PPP merupakan suatu keterpaksaan imbas dari tindakan pemerintah Orde Baru yang memberlakukan Undang-Undang No.3 Tahun 1985 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.3 Tahun1975 tentang Partai dan Golongan Karya yang mewajibkan lambang Partai dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas kekuatan sosial politik. Munculnya Undang-Undang No.3 Tahun 1985 tersebut berimplikasi pada hilangnya identitas PPP yang pada awalnya menggunakan lambang Ka’bah harus berubah menjadi lambang bintang dan menanggalkan Islam sebagai asasnya dan selanjutnya secara terpaksa PPP harus berasaskan Pancasila. Sejak saati itu PPP seolah kehilangan identitasnya sebagai partai Islam sehingga posisinya tergantung-gantung tanpa akar.4

Berdasarkan hasil perhitungan suara Pemilu 1987 memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat terhadap PPP mengalami penurunan yang drastis yaitu 11,81 % dari perolehan pemilu 1982 atau 13.32 % dari perolehan suara pada Pemilu 1977. Pada Pemilu 1987 ini PPP hanya berhasil meraih dukungan sebasar 13.701.428 (15.97 %) suara dari 85.869.816 suara sah. Begitu juga perolehan kursi di DPR pun hanya memperoleh 61 kursi atau 15.25 % dari 400 kursi yang diperebutkan atau mengalami penurunan sebesar 9,23 % dari perolehan kursi hasil

      

4

Chozin Chumaidy, 2006, Etika Politik dan Esensi Demokrasi; Jejak Pemikiran Demokrasi Politik Indonesia, Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, hal. 201


(13)

Pemilu 1982.5 Selain karena hilangnya identitas Islam, anjloknya dukungan masyarakat terhadap PPP pada pemilu 1987 juga dipengaruhi oleh memuncaknya perbedaan persepsi (konflik) di tubuh internal partai yang tidak kunjung terselesaikan. Kepentingan politik beberapa kader potensial PPP yang berdekatan dengan basis kultural yang tidak terakomodasi telah berimbas pada larinya massa pemilih PPP dan lari kepada Golkar dan PDI.

Pada Pemilu 1992 PPP memperoleh dukungan 16.624.647 suara atau 17,01 % dari 97.789.534 suara sah. Perolehan suara ini jika dibandingkan dengan hasil Pemilu 1998 mengalami kenaikan sebesar 1.04 %. Begitu juga dengan perolehan kursi di DPR, perolehan suara PPP hanya dapat menghantarkan 62 kursi dari 400 kursi yang diperebutkan atau mengalami kenaikan sebesar 0.25 % dari perolehan kursi pada tahun 1987 dan mengalami penurunan 12 % dari perolehan tahun 1977.

Sementara itu, Pemilu 1997 merupakan pemilu terakhir pada Orde Baru. Pada pemilu ini, PPP meraih 25.340.028 (22.43 %) atau naik 5.42 % dari Pemilu 1992 dan turun 6.86 % dari Pemilu 1977. Apabila dilihat dari perolehan kursi, PPP memperoleh 89 kursi (20.94 %) dari 425 kursi yang diperebutkan atau naik 5.44 % dari Pemilu 1992. Selain ditunjang oleh pembawaan kepemimpinan politik Buya Metareum yang sejuk, kenaikan perolehan suara ini juga menjadi fenomena tersendiri bagi PPP sehubungan dengan terjadinya konflik internal di tubuh PDI atas kepemimpinan Soerjadi yang dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Kondisi tersebut mengakibatkan Megawati yang menjadi rival Soerjadi lebih memilih untuk memberikan dukungan suara kepada PPP sehingga

      

5


(14)

dalam menghadapi Pemilu 1997 muncullah trend “Mega Bintang”. Dengan demikian, kenaikan perolehan suara PPP ini sebagian besar merupakan tambahan dukungan dari massa pendukung Megawati dan sebaliknya bagi PDI sendiri hal ini merupakan kerugian besar dengan kehilangan suara 11.83 % yaitu hanya memperoleh 3.06 % suara yang sebelumnya (Pemilu 1992) mencapai 14.89 %.6 Melihat begitu banyak nya tekanan demi tekanan yang dialami PPP pada masa Orde Baru membuat PPP sebagai sebuah partai politik kurang berhasil menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat, sehingga perolehan suara massa semakin kecil dan menurun. Tentunya PPP sebagai sebuah partai politik yang ingin meraih kepentingannya harus berfikir ekstra keras dalam menghadapi kebijakan pemerintah Orde Baru yang secara terstruktur dan sistematis menghalangi eksistensi partai-partai politik di era tersebut.

I.2. Perumusan masalah

Berangkat dari pemaparan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

“Apa saja kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru dalam membatasi ruang gerak partai-partai politik khususnya PPP pada era Orde Baru?.”

I.3. Pembatasan Masalah

Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan untuk menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar, diperlukan adanya ruang lingkup penelitian atau sering disebut dengan pembatasan masalah. Maka

      

66


(15)

pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilihat pada masa Orde Baru kurun waktu 1966-1998, karena pada tahun-tahun tersebut mempunyai arti tersendiri dalam pergolakan partai politik di Indonesia. Setelah fusi terhadap partai-partai politik yang ada pada waktu itu sehingga mengubah dinamika politik di Indonesia dan kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap partai-partai politik yang ada khususnya PPP.

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian, dan adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

“Untuk mengetahui bagaimana kebijakan yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru terhadap partai-partai politik yang pada masa itu, khususnya kebijakan yang dilakukan terhadap PPP”.

I.5. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat, baik itu untuk peneliti itu sendiri dan terlebih lagi untuk masyarakat luas. Untuk itu menurut penulis manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, tentunya penelitian ini dapat mengasah kemampuan penulis dalam membuat suatu karya ilmiah dan melatih penulis untuk membiasakan diri untuk membaca dan membuat karya tulis ilmiah. Melalui penelitian ini juga penulis dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang di teliti.

2. Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah penelitian di bidang Ilmu Politik.


(16)

I.6. Kerangka Teori

Adapun teori-teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah : 1.6.1 Teori Kebijakan Publik

Dinamika persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah sedemikian kompleks yang diakibatkan oleh banyak faktor, maka bagaimanapun keadaan ini membutuhkan penanganan yang cepat, tepat dan akurat agar krisis yang dihadapi oleh pemerintah segera dapat diatasi, setidaknya hal tersebut bergantung pada persepsi pemerintah sendiri. Kondisi ini pada akhirnya menempatkan pemerintah dan lembaga tinggi negara lainnya berada pada pilihan-pilihan kebijakan yang sulit. Kebijakan yang diambil tersebut terkadang membantu pemerintah dan rakyat Indonesia keluar dari krisis, tetapi dapat juga terjadi sebaliknya, yakni membuat rakyat semakin sengsara dan beban negara semakin menumpuk.

Maka dalam kaitannya, istilah kebijakan atau policy7 dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu, keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian inilah menjadi ciri khusus dari kebijakan publik dalam suatu sistem politik. Namun demikian, satu hal yang harus diingat dalam mendefenisikan kebijakan adalah bahwa pendefenisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu, dan mencakup pula arah atau apa yang dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan, hal ini

      

7

Budi Winarno dalam James Anderson, Public Policy Making, (Second ed, New York:Holt, Renehart and Winston, 1979), hal.4


(17)

dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi.8

Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori, seperti tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy

outputs) dan dampak-dampak kebijakan (outcomes). Seyogyanya apa yang

dimaksudkan dalam sebuah kebijakan adalah apa yang disuarakan oleh rakyat yang disampaikan dari bawah ke atas (bottom up) dan bukan bersifat dari atas (top down) yang hanya melanggengkan kepentingan penguasa seperti halnya yang terjadi pada masa Orde baru.

1.6.2 Negara Orde Baru

Orde Baru9 merupakan tatanan pemerintah Negara Republik Indonesia yang berkuasa sejak tahun 1966 sampai Mei 1998 di bawah pemerintahan Soeharto, setelah keruntuhan rezim Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, yang bercorak otoritarian.10 Cita-cita utama Orde Baru adalah untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara Murni dan Konsekuen. Rezim ini menobatkan dirinya sebagai pengoreksi total terhadap kesalahan, kegagalan, keburukan rezim Orde Lama yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Dalam perspektif penguasa rezim Orde Baru, Soekarno dianggap telah

      

8

Budi,winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta:Medpress, 2002, hal.16

9

Penamaan Orde Baru ini dapat dilihat dalam Herbeth Feith dan Lance Castle (Ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965. Jakarta : LP3ES. 1998, hal.16-18

10


(18)

melakukan sejumlah penyelewengan dan melangar dasar Negara dengan konsep Nasakom yang mengikutsertakan komunis dalam pelaksanaan Pancasila.

Misi utama penguasa Orde Baru adalah untuk meluruskan kembali sejarah perjalanan bangsa dan Negara, berdasarkan pada falsafah dan moral Pancasila serta melalui jalan yang lurus seperti ditunjukkan oleh UUD 1945. Rezim Soeharto berusaha melakukan koreksi total segala macam penyimpangan sejarah di masa lampau sejak tahun 1945 – 1965. Rezim ini juga berupaya memelihara dan malahan memperkuat hal-hal yang benar dan lurus dari pengalaman dan hasil sejarah masa lampau. Karena itu pula Orde Baru sesungguhnya merupakan koreksi total terhadap diri sendiri, koreksi total terhadap kekeliruan pemerintahan rezim Soekarno untuk kebaikan bersama. Koreksi total ini meliputi pikiran dan tingkah laku menyangkut cita-cita kemerdekaan, dan implementasi Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila ditambah dengan analisi penyelewengan Soekarno terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Sikap mental dan tekad pemerintah Soeharto ini disampaikannya dalam pidato pertama sebagai pejabat Presiden 12 Maret 1967. Soeharto mengatakan apa yang telah dicapai melalui siding istimewa MPRS adalah kemampuan mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat yang dilaksanakan MPRS sebagai penyelenggara tertinggi penjelmaan rakyat dan pemegang kedaulatan rakyat. Soeharto menegaskan perlunya melaksanakan ketentuan UUD 1945 untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa secara murni dan konsekuen.

Negara Orde Baru adalah Negara yang tampil secara otonom, mengatasi kelas-kelas lain yang ada di dalam masyarakat. Negara Orde Baru telah menjelma sebagai Negara organis yang kuat yang menjadikan drinya sebagai tempat


(19)

bergantungnya organisasi-organisasi profesi atau fungsionalis. Proses penjelmaan Negara kuat Orde Baru didasarkan pada komitmen awal perjalanan Orde Baru untuk “membangun perekonomian” dengan disertai “pembangunan stabilitas nasional” yang dengan komitmen tersebut kemudian dilakukan political

engineering atau penggalangan besar-besaran untuk membangun infrastruktur

politik yang tidak boleh menyebabkan disintegrasi, sebab integrasi merupakan tuntutan mutlak bagi suatu upaya stabilitas nasional.11

Demikianlah, dua main stream pemikiran berpadu untuk membangun

Orde Baru. Penyusunan GBHN yang pertama misalnya, dikerjakan oleh para teknokrat tanpa melibatkan wakil-wakil rakyat dalam MPRS. Memasuki PJP II, dalam Kabinet Pembangunan VI, era teknokrasi mulai bergeser dengan tampilnya para teknolog dengan tokoh Prof. Dr. Habibie. Banyak pengamat yang memandang bahwa era Wijoyonomics berganti menjadi habibienomics. Indikatornya adalah tampilnya para teknolog, seperti Habibie, Mar’ie Muhammad, J. Boedino, Ginanjar Kartasasmita, Soedarajat Djiwandono, dan beberapa insinyur untuk jabatan menteri lainnya.

Negara selalu berusaha memperlemah segala macam kelas baik petani maupun borjuis dan tuan tanah. Negara bukan lagi sebagai panitia kecil pelaksanaan penghisap surplus, dan bukan sebagai wasit yang netral dari pengaruh-pengaruh kelas dominan tetapi negara menjadi ekspresi dari prospek spesifik formasi dan konflik kelas dan proses umum akumulasi modal.12 Negara dalam hal ini, memiliki otonominya sendiri dan bertindak atas nama semua kelas

      

11

Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia, 2000, hal. 124

12


(20)

sebagai penjaga tatanan sosial sebagai tempat menanam kepentingan-kepentingan kelas itu. Dan peranan negara dalam masyarakat menjadi sangat dominan.13

Setelah Orde Baru lahir pada tahun 1966 penataan dan pengukuhan telah dimungkinkan oleh :14

1) Pengusahaan negara menjadi lembaga yang relevan untuk mempertahankan stabilitas perekonomian.

2) Diberikannya kesempatan kepada pasar untuk mengatur mekanisme perekonomian.

3) Dibukanya kesempatan kepada modal, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk giat dalam ekonomi.

4) Pengintegrasian kembali perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian internasional.

Senada dengan yang pernah dikemukakan Alfian bahwa dengan terciptanya format politik baru pada tahun 1969/1971 telah tampil negara kuat Orde Baru.15 Farchan Bulkin juga mencacat bahwa :

“dengan bakal seperti inilah maka pada awal 1970-an telah tercipta beamstaat pasca kolonial Indonesia yang lebih kuat dibandingkan dengan negara-negara sebelumnya dengan akibat-akibat yang tidak jauh berbeda dengan beamtenstaat terdahulu.”16

Jelas bahwa negara Orde Baru bukan sekedar instrumen teknis penyelenggara roda administrasi pemerintahan yang terkait konstitusi dan aturan hukum, objektif, dan apolitik seperti yang dibayangkan Weber, tetapi sebaliknya yang terlihat adalah mekarnya peranan negara cenderung melampaui batas-batas konstitusional, bahkan semakin dominan dalam mengatur berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara terutama dalam mekanisme pengambilan

      

13

Ibid., hal. 106.

14

Ibid., hal. 108.

15

Alfian, “Format Baru Politik Indonesia”, Indonesia Magazine No. 24, Jakarta : Yayasan Harapan Kita, 1974, hal.26

16


(21)

keputusan dan penyelenggaraan kekuasaan politik. Tampaknya bahwa negara telah menjadi mesin politik yang aktif dalam berbagai upaya rekayasa dalam masyarakat.

Negara strukturalis klasik yang sering di klaim sebagai basis teoritis-konseptual negara modern dengan Bapak Pembangunannya Max Weber, selalu menganggap bahwa negara merupakan agen yang berhak melakukan monopoli. Penggunaan kekerasan fisik dan mampu memaksakan kehendaknya atas masyarakat, karena, negara memiliki kekuasaan otoritatif yang sah. Tugas utama negara adalah menjamin ketertiban masyarakat melalui agen-agennya yaitu : politisi, tentara dan birokrasi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lahirnya kepatuhan masyarakat terhadap negara.

Besarnya peran negara terhadap masyarakat menyebabkan rapuhnya tingkat kemandirian politik masyarakat sehingga prakarsa dalam masyarakat seakan-akan menjadi tidak tumbuh. Lembaga Perwakilan Rakyat kurang berfungsi dengan baik karena lembaga ini kurang mempunyai kebebasan berpendapat. Sementara organisasi-organisasi politik yang berfungsi untuk menjaring calon-calon wakil rakyat pada hakekatnya bukan merupakan organisasi yang mandiri, baik secara finansial maupun secara intelektual.

1.6.2.1 Model-Model Kepolitikan Orde Baru

Para ahli politik dan pengamat Indonesianis dari dalam maupun luar negeri mengidentifikasi perpolitikan Orde Baru kepada beberapa model. Model perpolitikan ini diharapkan dapat membantu usaha untuk mengenal secara mendetail konfigurasi politik hukum rezim Orde Baru, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa energi politik sangat berpengaruh terhadap hukum


(22)

dan lembaganya. Oleh sebab itu, berikut ini dikemukakan model-model perpolitikan rezim pemerintahan Orde Baru berikut :

a. Paham Integralistik

Paham Integralistik muncul pertama kali yaitu pada saat Prof. Mr. Dr. Soepomo mengajukan tiga pilihan yaitu paham individualisme, paham kolektivisme, dan paham integralistik tepatnya dalam pidato Sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Dalam paham integralistik, negara menjadi mutlak. Kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Dalam paham ini negara bersifat totalitarianisme. Semua bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan dalam negara. Dalam negara, yang terpenting adalah “keseluruhan” bukan “bagian-bagian”.17

Paham integralistik menolak pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas seperti yang dianut liberalisme. Manusia tidak bebas sebab sejak lahirnya sudah terikat. Manusia, di samping sebagai makhluk individual juga dalam makhluk sosial. Artinya sebagai makhluk individual, manusia bisa berbuat apa saja, akan tetapi “kebebasan” itu diikat oleh kepentingan umum lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kepentingan umum (yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial) mengatasi kepentingan individual (yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk individual).18

Dalam hal ini oposisi dilarang dan kritik terbuka ditabukan karena sama dengan “mendupak air di dulang terpercik muka sendiri”. Pengambilan keputusan

      

17

Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta : Grafiti, 1994, hal.8

18

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hal. 54


(23)

dilakukan dengan melalui musyawarah untuk mufakat. Sedapat mungkin voting dihindarkan. Dalam sistem ini tidak dikenal tirani mayoritas atas minoritas.19

b. Beamtenstaat

Dalam dua dekade sejak Orde Baru memulai program pembangunan, terdapat political will pemerintah untuk menyehatkan sistem birokrasi pemerintahan sehingga tercipta suatu birokrasi yang modern, efisien dan efektif dalam rangka memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Tipe birokrasi ini mengikuti tipe ideal Max Weber.20

Dalam konteks demikian, Ruth T. Mc Vey 21 memperkenalkan model Beamtenstaat, yaitu model yang menunjukkan adanya persamaan gaya politik pemerintahan Orde Baru dengan gaya pemerintahan kolonial Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam hal tekanan terhadap administrasi daripada terhadap politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Inilah bentuk ideal “negara pegawai” (Beamtenstaat), ketika negara menjadi mesin birokrasi yang efisien (the state as

efficient bureaucratic machine).

c. Patrimonialisme Jawa

Model kepolitikan ini berangkat dari pendekatan kultural, di antaranya dianut oleh Donald K. Emmerson,22 William L. Liddle, dan Harold Crouch.

      

19

Ibid., hal. 55

20

Marsilam Simanjuntak, Op.Cit., hal. 247

21

Ruth T. Mc Vey, “The Beamtenstaat in Indonesia”, dalam Benedict Anderson dan Audrey Kahin (eds), Interpretating Indonesian Politics : Thirteen Contributions to Debate, Ithaca : Cornell Modern Indonesia Project, 1982, hal. 85

22

Donald K. Emmerson, The Bureaucracy in Indonesia, Cambridge, Mass : Center for

International Studies, MIT, 1974, dan Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite Political Culture and Cultural Politics, Ithaca : Cornell University Press, 1976.


(24)

Sedangkan dari kalangan pakar Indonesia di antaranya karya Soemarsaid Martono, Yahya Muhaimin, Soedjatmoko, Fachri Ali, dan Sartono Kartodirjo.

Konsep patrimonialisme banyak dipakai oleh ilmuwan politik dan mencoba menjelaskan perkembangan politik di Eropa pada abad pertengahan hubungan yang bersifat patrimonialisme tersebut, ada pihak yang merupakan “penguasa” lain mengidentifikasikan kepentingannya. Hubungan tersebut berlangsung dalam “pertukaran keuntungan” (advantage exchange) yang dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak.

Dalam menjalankan kepolitikan Orde Baru, hubungan yang bersifat patrimonialisme didasarkan pada budaya Jawa. Menurut model ini, terdapat kontinuitas nilai-nilai politik yang berlangsung pada masa lalu (di rujuk pada kerajaan Mataram II) dengan nilai-nilai politik Orde Baru. Misalnya nilai-nilai kekuasaan dalam paham kebudayaan Jawa yang menurut Anderson memenuhi empat sifat; konkret, homogen, tetap dan tidak mempersoalkan legitimasi.23

Birokrasi Orde Baru, walaupun memperlihatkan ciri-ciri modern, tetap dipengaruhi nilai-nilai lama yang merupakan tradisi dan budaya politik masa lalu (Jawa), seperti karakteristik patrimonial. Jabatan dan keseluruhan hirarki birokrasi didasarkan atas hubungan personal atau hubungan “bapak-anak buah”

(patron-client). Berdasarkan asumsi di atas, menurut Richard Robinson pendekatan

kultural menghasilkan dua proposisi :24

1. Bahwa hakikat pemerintahan Orde Baru dapat dijelaskan melalui kerangka perspektif daya tahan/kelangsungan kebudayaan Jawa yang membentuk praktik politik para pejabat atau elite birokrasi tersebut; dan

      

23

Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y : Cornell University Press, 1972, hal 4-8

24

Manuel Kaiseipo, Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara, Birokrasi dan Politik di Indonesia, dalam Jurnal Ilmu Politik. No. 2 tahun 1987, hal. 24


(25)

2. Bahwa identitas dan struktur kelompok-kelompok politik dan hakikat konflik politik ditentukan oleh hubungan politik yang bersifat patrimonial yaitu struktur-struktur patront-client yang bersifat pribadi dan tersusun secara vertikal.

d. Negara Otoriter Birokrasi Rente

Model kepolitikan ini diperkenalkan oleh Arief Budiman dalam bukunya tentang perbandingan antara pembangunan di Indonesia dengan pembangunan di Korea Selatan.25 Ciri-ciri negara otoriter birokrasi (OB) menurutnya adalah bersifat otoriter, sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat mencapai tujuan, membendung partisipasi masyarakat, melaksanakan pembangunan ekonomi dan politik secara top-down (dari atas ke bawah) dan menggunakan ideologi teknokratis-birokratis.26

Dalam otoriter birokratik rente, kaum borjuis tidak terbentuk dalam negara karena mereka mendapat fasilitas melalui hubungan personal dengan penguasa. Jelasnya, para elite negara meminta imbalan, rente, atau ongkos sewa, para elite bertindak sebagai “rentenir” karena menyewakan jabatannya untuk kepentingan pengusaha, jabatan birokrasi bagi elite negara menjadi semacam “alat produksi” untuk melakukan akumulasi modal melalui sistem rente.27

Intinya, dalam negara OB rente yang muncul bukan kaum borjuis yang kuat akan tetapi yang muncul adalah kelompok pengusaha yang tergantung kepada fasilitias dan perlindungan negara. Negara OB rente mulai tumbuh dan

      

25

Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Clayton : Monash University, 1990, hal.12

26

Ibid., hal. 13-14

27


(26)

menguat di Indonesia ketika militer selalu menekankan stabilitas politik secara berlebihan pada permulaan tahun 1970-an.28

e. Negara Kapitalis Rente (Rent Capitalism State)

Model ini diperkenalkan oleh Olle Tornquist. Ia menekankan sifat “rente” dari model kepolitikannnya. Indonesia dan India adalah sebuah negara dengan pembangunan kapitalis tetapi menjadi rente karena digerogoti oleh perilaku dan kebijakan para pendukung rezim ini.29

Dalam model ini sifat otonomi relatif, negara didasarkan pada rasionalitas ekonomi, yaitu bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya (demand) dengan kerugian sekecil-kecilnya (suply). Rasionalitas ekonomi ini membenarkan negara berbuat apa saja, termasuk yang tidak demokratis. Pola-pola patronase, bapakisme, nepotisme, dan lain-lain tidak dipermasalahkan, termasuk sistem proteksionisme, monopoli, dan pemberian fasilitas-fasilitas. Model negara kapitalis rente ini relatif otonom dan berhubungan dengan kaum berjuasi domestik dan internasional.

f. Konsep Politik Birokrasi (Bureacracy Polity)

Bureacracy Polity adalah bentuk sistem politik dengan kekuasaan

membuat keputusan terletak sepenuhnya di tangan para penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Tidak ada partisipasi masyarakat, yang ada hanya mobilisasi.

Di dalam bentuk birokrasi terjadi persaingan antara lingkaran-lingkaran birokrat dan elite militer. Elite ini, terutama adalah Presiden. Legitimasi pemimpin dalam bureacracy polity bukan berdasarkan otoritas tradisional (seperti penguasa

      

28

Ibid., hal. 59

29

Olle Tornquist, “Rent Capitalism, State and Democracy, a Theorical Proposition”, dalam Arief Budiman (ed), State and Civil Society in Indonesia, Clayton : Monash University, 1990, hal. 29-50


(27)

tunggal), melainkan otoritas legal. Jackson mengakui bahwa terjadi konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden Soeharto, tetapi hal itu terjadi secara konstitusional (melalui Supersemar, tap-tap MPRS, dan Pemilu) dan dalam beberapa hal dibatasi oleh kepentingan elite birokrasi dan militer.30

Menurut Lance Castle, ada tiga ciri masyarakat politik birokratik : (1) lembaga politik yang dominan adalah aparat birokrasi; (2) lembaga-lembaga politik lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi; dan (3) massa di luar birokrasi secara politiskonomis adalah pasif.31

I.6.3. Partai Politik

Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan Negara pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain.32

Sistem demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa adanya partai politik. Pembuatan keputusan secara teratur hanya mungkin dilakukan jika ada pengorganisasian berdasarkan tujuan-tujuan kenegaraan. Tugas partai politik

      

30

Ibid., hal. 17

31

Dikutip dari Yahya Muhaimin. “Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia”, dalam Ahmad Zini Abrar (pen), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Solo : Ramadhani, 1990, hal 32

32


(28)

adalah untuk menata aspirasi rakyat untuk dijadikan opini publik yang lebih sistematis sehingga dapat menjadi dasar pembuatan keputusan yang teratur.33

Sebagaimana halnya di Indonesia, kehidupan partai politik di Indonesia dapat dilacak secara samar sampai tahun 1908. Namun demikian, kehadiran Boedi Oetomo belumlah dapat dikatakan sebagai partai politik karena secara fungsional belum menunjukkan fungsi partai politik, yaitu merebut kekuasaan negara melalui persaingan pemilihan umum.34

Kehadiran organisasi secara politis baru dimulai ketika berdiri Sarekat Islam, yang secara berkesinambungan telah berfungsi di dalam proses mempengaruhi kebijakan dan mendidik para pemimpin dan kemampuan menambah anggota, atau dengan kata lain telah terjadi proses politik di dalamnya.35. Kelahiran Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Sukarno dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) yang didirikan Syahrir serta didirikannya Sarikat Islam Merah oleh Sneevliet (selanjutnya menjadi PKI) yang merupakan pecahan dari Sarikat Islam pimpinan Tjokroaminoto merupakan perjalanan awal partai politik di Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan, BP-KNIP terhitung mulai tanggal 30 Oktober 1945 bertindak sebagai parlemen sementara sebelum diadakan pemilu, berkeputusan untuk membentuk partai politik dengan konsep banyak partai (multyparty), dengan pertimbangan bahwa “berbagai pendapat yang ada di dalam masyarakat akan tersalur secara tertib”. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan

      

33

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 115-166.

34

Nur Syam, “Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik Pengalaman Indonesia Orde Baru”, dalam Jurnal IAIN Sunan Ampel, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1999) hal. 24

35


(29)

adalah “bahwa partai politik akan memperkokoh perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan pemeliharaan keamanan masyarakat”36

Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945. Indonesia menganut sistem multipartai yang ditandai dengan munculnya 24 Partai Politik yang berbasis Aliran/ideologi.

Presiden Soekarno sebenarnya kurang suka terhadap model banyak partai. Di dalam pidatonya tanggal 28 dan 30 Oktober 1956 ia menyatakan untuk menguburkan partai-partai sebab banyaknya partai menyebabkan pertentangan dan konflik yang berkepanjangan. Soekarno menyebut hal itu sebagai "penyakit kepartaian". Banyaknya partai politik menjadi penyebab kekalutan di seputar sidang Konstituante yang gagal akhirnya memaksa Soekarno untuk menyederhanakan partai politik menjadi sepuluh partai pada tahun 1960.37

Pada masa Orde Baru, jumlah partai yang mengikuti pemilu 1971 ialah sebanyak sepuluh partai. Yaitu Golkar, PNI, NU, Murba, IPKI, PSII, Parkindo, Perti, Partai Katolik dan Parmusi. Kemudian setelah pemilu 1971 muncul begitu deras ide-ide untuk menyederhanakan partai politik. Puncaknya ialah dilakukannya penyederhanaan partai politik menjadi tiga, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, telah menghantarkan gelombang reformasi politik untuk menata kehidupan politik yang demokratis. Perubahan undang-undang partai politik, telah mendorong beragam pihak untuk

      

36

Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta : CSIS, 1984, hal. 190

37


(30)

menghidupkan kembali denyut nadi politik yang telah dilemahkan selama 32 tahun.

Perkembangan partai politik di Indonesia ini merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Oleh karena itu, partai politik mempunyai posisi dan peranan yang penting dalam sistem politik demokratis. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.

Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan.38

1.6.3.1. Partai Politik Dalam Rezim Orde Baru

Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat, sebagai wujud bekerjanya demokrasi diperlukan adanya partai politik. Sistem demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa adanya partai politik. Pembuatan keputusan secara teratur hanya mungkin dilakukan jika ada pengorganisasi berdasarkan tujuan-tujuan kenegaraan. Dengan demikian partai politik memainkan peran penghubung       

38

Alfian, Komunikasi Politik Dan Sistem Politik Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991) hal. 25


(31)

yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Karena itu partai politik merupakan pilar dalam sistem politik demokratis.

Kehidupan politik pada masa-masa Orde Baru tidak diwarnai pertarungan ideologis. Deideologisasi yang dianut Orde Baru didasari oleh anggapan bahwa ideologi merupakan penyebab utama ketidakstabilan politik. Kebijakan ini berujung pada penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalami kehidupan bermasyarakat. berbangsa, dan bernegara. sehingga asas atau ideologi partai tidak dikenal saat itu. Implikasinya, kehidupan politik selama Orde Baru menumbuhkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang dianggap tidak lebih sebagai alat kekuasaan negara. Parpol tidak lagi representatif menjadi penghubung masyarakat dengan pemerintah.

Relasi antara partai politik dengan kekuatan politik yang lain tercermin di dalam bentuk-bentuk kerja sama yang dijalin atas dasar kesamaan sistem nilai yang melandasi cita-cita, visi, atau ideologi partai (platform) dan persaingan, serta pilihan bentuk dan derajat partisipasi dalam mempengaruhi jalannya pemerintahan melebihi kemampuannya menerapkan prosedur demokrasi di dalam mekanisnie internal Partai Politik. Hal ini berarti, signifikansi Partai Politik dalam mekanisme sistem politik demokratis bukan saja akan ditentukan oleh platform serta pilihan bentuk persaingan dan kerja sama yang ditampilkan, tetapi juga bergantung kepada kemampuan Partai Politik dalam menginternalisasikan cita-citanya sehingga menjiwai keseluruhan aktivitas partai dan kemampuannya memasyarakatkan cita-cita tersebut kepada para anggota sehingga terbangun komitmen bersama untuk mewujudkannya melalui aktivitas partai.


(32)

Gambaran Partai Politik dalam dunia ide, atau setidak-tidaknya seperti yang dicita-citakan para pendiri republik, berbeda dengan realitas kehidupan Partai Politik di era Orde Baru. Deideologisasi Partai Politik yang dijalankan Orde Baru telah memutuskan roh perjuangan Partai Politik dengan segenap cita-cita untuk membangun bangsa. Perkembangan Partai Politik di tanah air menjadi ahistoris. Partai ideologis termarginalisasi oleh arus pragmatisasi politik.

Dalam buku-buku sejarah yang ditulis selama Orde Baru (1966-1998), partai politik digambarkan sebagai sosok yang asing, karena cenderung hanya mementingkan diri sendiri. Upaya pemujaan diri yang berlebihan menyebabkan pemerintah Orde Baru terlalu terpaku kepada pertumbuhan ekonomi dan pemaksimalan pembangunan fisik dengan sarana hutang luar negeri.

Partai-partai politik tidak berkembang, sekalipun jumlah kelompok oposisi terus bertambah secara diam-diam. Sesedikit apapun gerakan pembangkangan dilakukan, akibat-akibat yang ditimbulkan tidak bisa ditebak dan ditanggung. Sebuah desa bisa saja ditenggelamkan dengan air bah, penduduk diusir dengan mendatangkan gajah, tuduhan tentang organisasi tanpa bentuk, sampai penangkapan dan penahanan, bahkan kematian yang tidak diduga. Aparatus negara berubah menjadi begitu menakutkan, bahkan hanya dengan modal uniform. Perbedaan pendapat berarti perlawanan atas pemerintah.

Jika dilihat dari sistem kepartaian yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah sistem kepartaian Indonesia saat ini dapat diletakkan dalam klasifikasi yang ada? Sistem kepartaian Indonesia Orde Baru jelas bukan sistem dua partai. Sementara untuk menggolongkanya sebagai sistem satu atau multipartai pun terdapat banyak ganjalan.


(33)

Sekalipun Golkar sepanjang sejarah Orde Baru selalu tampil mendominasi pentas kepartaian nasional, tapi partai-partai lain, PPP dan PDI bukan tidak memiliki peran sama sekali. Pola kompetisi antara ketiga parpol yang adapun tetap tampak terutama menjelang pemilu setiap lima tahun. Ciri sistem partai tunggal tak terpenuhi di sini. Namun ciri sistem multi partai, yaitu kekuatan yang imbang antara partai-partai politik sehingga setiap parpol akan mampu menandingi kekuatan parpol lain, juga tak terpenuhi. PPP dan PDI, bahkan dengan menggabungkan kekuatan mereka pun, tidak akan mampu menandingi kekuatan Golkar. Klasifikasi sistem satu, dua, dan multi partai jelas kurang memadai untuk digunakan sebagai kacamata analisis untuk mengamati sistem kepartaian Indonesia Orde Baru.

Sebuah jalan alternatif untuk keluar dari kebuntuan itu dapat diambil dari Afan Gaffar39 yang mengidentifikasi sistem kepartaian Indonesia saat ini sebagai sistem kepartaian hegemonik (hegemonic party sistem), istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh La Palombara dan Weiner.40 Ciri sistem kepartaian ini adalah, Golkar sebagai partai hegemonik terus-menerus mendominasi kekuasaan, sementara partai-partai politik lain hanya secara formal ada, namun tanpa kemampuan untuk menandingi kekuatan partai hegemonik itu41.

      

39

 Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party Sistem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992). hal. 36

40

Afan Gaffar, Ibid., hal 35-36. Menurutnya, selama ini Indonesia telah mengalami tiga sistem kepartaian. Pertama, sistem multi partai pada masa demokrasi liberal, di mana terdapat banyak partai dengan tingkat otonomi tinggi dalam suasana kompetitif, namun tidak ada partai yang memiliki kekuatan mayoritas. Kedua, pada periode demokrasi terpimpin, yang muncul adalah apa yang disebutnya 'No-party Sistem". Tingkat kompetisi antar partai sangat rendah.Mereka hanya menjadi pemeran pembantu bagi tiga pemeran utama dalam kepolitikan Indonesia saat itu: Bung Karno, Angkatan Darat, dan PKI. Dan ketiga adalah sistem kepartaian hegemonik yang muncul sejak kemenangan besar Golkar dalam pemilu 1971

41


(34)

Hegemoni Golkar itu dimungkinkan oleh beberapa faktor yang telah dirancang dengan baik, yaitu: (1) Penciptaan aparatur keamanan yang represif untuk menegakkan dan menjaga kelangsungan tertib politik di dalam negeri; (2) Proses depolitisasi massa untuk sepenuhnya diarahkan pada kebijaksanaan dan pembangunan ekonomi; (3) Restrukturisasi partai-partai politik yang ada; dan (4) Penciptaan undang-undang pemilu serta prosesnya yang dapat menjamin Golkar menang dalam setiap pemilu.42

Dalam sistem kepartaian hegemonik ini peran PPP dan PDI praktis sangat sedikit. Akses mereka terhadap kekuasaan hanya sampai pada lembaga legislatif, Yang inferior ketika berhadapan dengan eksekutif. Sementara itu politik massa mengambang (floating mass) telah memotong akar mereka pada lapisan masyarakat bawah. Akibatnya, partai-partai politik itu mengalami kesulitan kaderisasi dan rekrutmen aktifis yang cakap. Sementara aparat pemerintahan sampai level terendah merupakan kader Golkar.

Kondisi kepartaian demikian, ditambah lagi dengan adanya kecenderungan bahwa dalam politik pengambilan keputusan (the politics of policy

making) hubungan yang bersifat pribadi (personal linkage) lebih menonjol

daripada institusional Linkage,43 memungkinkan lembaga-lembaga non-partai memainkan peran yang lebih berarti daripada parpol.

Kelompok-kelompok kepentingan, misalnya, dapat menjadi sarana dan wahana bagi masyarakat untuk dapat memiliki akses terhadap pembuatan keputusan dalam sistem politik yang ada, jauh lebih efektif daripada parpol, sebab

      

42

Afan Gaffar, Ibid., hal. 37-38.

43

Afan Gaffar, "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional,"dalam A. Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru (Solo:CV Ramadhani), hal. 21


(35)

elit kelompok kepentingan selalu membawa citra tanpa pamrih atau ikhlas, tidak haus kekuasaan, jujur dan dengan berbagai karakter positif lainnya. Sementara itu elit partai selalu dicitrakan sebaliknya, seperti selalu mementingkan kepentingan pribadi, terlampau banyak politicking, berpamrih dan lain-lain.

Keharusan bagi Orde Baru untuk membangun citra diri sebagai rejim demokratis mengharuskannya untuk menerima ide tentang partai politik. Akibatnya, kehadiran PDI dan PPP bukannya dalam kerangka untuk merealisasi komitmen bangsa untuk menjadi sebuah sistem politik yang demokratis, tapi justru untuk memenuhi secara simbolik status Indonesia sebagai negara demokratis –karena punya partai politik dan parlemen– di mata internasional.

I.7. Metodologi Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan pelaksanaan studi ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan studi pustaka. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.44 Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta – fakta, sifat – sifat dan hubungan antar fenomena yang sedang diselidiki.

      

44

Bambang Prasetyo dkk, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal., 42


(36)

1.7.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui buku–buku ilmiah, serta bahan–bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

1.7.3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis data kualitatif. Untuk analisis data kualitatif dilakukan pada data yang tidak bisa dihitung, bersifat monografis dan berwujud kasus-kasus (sehingga tidak dapat disusun kedalam suatu struktur klasifikatoris).45

Pengumpulan data yang dilakukan bersifat deskriptif adalah melalui buku-buku ilmiah, serta bahan–bahan tertulis lainnya. Setelah data-data terkumpul kemudian diamati secara mendalam dan selanjutnya disusun untuk diuraikan atau dijabarkan secara sistematis, sehingga data tersebut menjadi data yang teratur dan tersusun sesuai dengan tujuan penelitian.

Dalam pengumpulan sumber dilakukan melalui studi kepustakaan pada Perpustakaan Umum Daerah Sumatera Utara, Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan FISIP USU dan Perpustakaan Daerah Kota Medan.

Selanjutnya adalah melakukan interpretasi dalam arti merangkaikan fakta-fakta ataupun data-data lainnya menjadi suatu kesatuan pengertian. Pada akhirnya fakta-fakta dan data-data tersebut yang telah mempunyai makna tersebut dituliskan secara sistematis dalam suatu penelitian.

      

45


(37)

I.8. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan berisikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka dasar teori atau pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini akan membahas PPP, sejarah berdirinya PPP, Perspektif Ideologi dan Program Partai, Cita-cita Politik dan Visi Partai, , Ideologi Politik Partai Persatuan Pembangunan, Platform PPP, Struktur Partai Persatuan Pembangunan

BAB III : Dalam bab ini memaparkan PPP di masa Orde Baru, kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap PPP untuk mempersempit ruang gerak PPP sebagai sebuah partai politik yang ikut bersaing di era Orde Baru.

BAB IV : Dalam bab ini penutup yang berisi kesimpulan dan saran . Daftar Pustaka


(38)

BAB II

DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN II.1. Cikal Bakal Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Pada saat dideklarasikan tanggal 5 Januari 1973, nilai-nilai Islam yang menjadi unsur utama pembentuk partai ini tetap dipelihara. Untuk menjaga kelestarian ukhuwah dan semangat perjuangan Islam, keempat partai Islam yang berfusi itu kemudian sepakat menerima Islam sebagai asas partai. Adapun untuk memudahkan identifikasi sebagai partai Islam, PPP menggunakan gambar Ka’bah – yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam – sebagai lambang partai46.

Jika ditelusuri secara mendalam, keempat partai yang berfusi itu sesungguhnya sudah memiliki pengalaman dan jam terbang politik yang cukup lama. NU didirikan pada 31 Januari 1952 dan menjadi Partai Nahdlatul Ulama pada 15 April 1952. Partai Syarikat Islam Indonesia merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam (SI) yang dibentuk H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1912. Adapun SI sendiri merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang sudah dibentuk H. Samanhudi pada tahun 1911. Partai Islam Perti cikal bakalnya berawal dari Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan pada 5 Mei 1928 di Bukit Tinggi, Sumatera Tengah, dan berdasarkan rapat pleno pengurus besarnya pada tangal 22 November 1945, disepakati untuk dijadikan sebagai oartai politik dengan nama Partai Islam Perti (PI Perti). Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) secara formal didirikan pada tahun 1968 yang diprakarsai oleh berbagai oleh organisasi sosial dan pendidikan Islam yang sebagian besar pemukanya berasal dari anggota-anggota Masyumi.

      

46

Tim Litbang Kompas, 2004. Partai-Partai Politik Indonesia ; Ideologi dan Program 2004 – 2009. Jakarta:penerbit Buku Kompas. , Hlm 85


(39)

Tidak dapat dipungkiri bahwa gagasan fusi pada dasarnya lahir dari campur tangan kekuasaan untuk meredam dinamika politik diluar haluan partai pemerintah. Fusi dijadikan kerangkeng untuk pencapaian kemaslahatan bangsa dan Negara. Fusi juga sekaligus digunakan untuk memperlemah kekuatan partai-partai Islam dalam mendulang perolehan suara dan pembentukankoalisi antar partai Islam47.

Sejarah mencatat pada awal Soeharto berkuasa, hubungan pemerintah dengan partai-partai politik masih berlangsung dengan baik. Hal itu terlihat ketika pemerintahan Soeharto mengadakan Pemilu pada tahun 1971. Dengan mengakomodasi semua partai yang ada. Suasana pada awal-awal Orde Baru memang penuh dengan euphoria. Untuk sementara, keran kebebasan berpendapat dibuka. Diskursus tentang identitas Indonesia dan bagaimana membangun masa depan bangsa juga kerap dilangsungkan di mesjid dan kampus-kampus.

Sayang, hubungan baik tersebut tidak berlanjut karena dua tahun setelah Pemilu, Soeharto melakukan penciutan jumlah partai politik sebagaimana halnya yang dilakukan Soekarno pada tahun 1960. Hasilnya adalah pengelompokkan partai politik berdasarkan garis agama (Islam), yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta garis nasionalis dan Kristen, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Suasana historis seperti ini memang tidak menguntungkan bagi perjuangan partai pada masa selanjutnya.

Akan tetapi, kendati penyederhanaan partai ini penuh dengan nuansa paksaan, secara internal hubungan antar unsur di dalam tubuh partai penerus estafet perjuangan empat partai Islam tersebut, tetap menunjukkan seusana

      

47


(40)

persaudaraan yang solid.48 Fusi seakan-akan menjelma menjadi motivasi dan inspirasi sekaligus kesadaran untuk mengakumulasikan segenap potensi umat Islam yang tercerai-berai. Selain itu, fusi juga dijadikan arah bagi keberlangsungan partai dalam memperjuangkan aspirasi umat sehingga dapat memperbaiki kesejahteraan umat.

Setelah meleburkan diri ke dalam PPP, berarti segala aktivitas politik dari keempat partai Islam tersebut dikonsenterasikan untuk PPP demi kemenangan PPP, sedangkan segala kegiatan yang bukan kegiatan politik dikembalikan kepada organisasi masing-masing sebagaimana sedia kala. Partai NU lalu berganti baju menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) menjadi Muslimin Indonesia (MI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) menjadi Syarikat Islam (SI), dan Partai Islam Perti menjadi Perti.

Selanjutnya, basis masa dari keempat partai pembentuknya itu cukup memberikan kekuatan besar bagi perjuangan PPP. Sebagai wadah baru dari kekuatan-kekuatan yang sudah lama berkiprah dalam politik, reputasi PPP pada masa-masa awal berdirinya memang sangat dipengaruhi oleh basis massa dan penampilan para tokoh dari keempat partai berfusi tersebut. (lihat Tabel I.1)

PPP memang terbentuk dari partai-partai yang sudah memiliki basis massa yang jelas sehingga kekuatan PPP untuk menghadapi Pemilu 1977 masih banyak mendapat sokongan dari partai-partai tersebut. Jika dilihat dari perolehan suara pada Pemilu 1971 dari masing-masing partai yang kemudian berfusi, dapat dikatakan bahwa ketika akan menghadapi Pemilu 1971 partai yang dipimpin oleh H.M.S Mintaredja ini sudah dimodali 94 kursi.

      

48


(41)

Tabel I.1 Perolehan Suara 4 Partai Islam Pada Pemilu 1971

NO PARTAI SUARA % KURSI

1 NU 10.213.650 18.68 58

2 Parmusi 2.930.746 5.36 24

3 PSII 1.308.237 2.38 10

4 Perti 381.308 0.69 2

JUMLAH 14.833.942 27.12 94

Sumber : Diolah dari data di website www.kpu.go.id

Melihat sejarah berdirinya, PPP memang diharapkan dapat menjadi penyelamat aspirasi umat Islam. Dengan demikian, semangat fusi sejati harus mampu menjadi perekat berbagai kelompok kepentingan sekaligus menjadi wadah dalam memperjuangkan problem keumatan dan kebangsaan. Untuk itu, PPP harus membuka diri dan menyambut dengan tangan terbuka berbagai komponen bangsa yang berbeda untuk bersama-sama kembali berjuang melalui wadah Partai Persatuan Pembangunan. Tentunya dengan kesiapan dan persiapan matang, terencana, dan berkesinambungan sehingga tidak memunculkan persoalan baru dikemudian hari.49

II. 2. Partai-Partai yang Berfusi

Partai Nadlatul Ulama (NU) secara formal didirikan pada 31 Januari 1926 sebagai organisasi keagamaan dengan paham Ahlusunnah Wal Jama’ah, peran

      

49


(42)

politik NU terutama dalam membangkitkan semangat perlawanan kepada Belanda sangat berpengaruh. Orientasi politik NU baru muncul secara terbuka ketika organisasi bentukan K.H. Hasyim Asy”ari ini bergabung dengan Majlisul Islam Ala Indonesia (MIAI) tahun 1939. MIAI sendiri adalah organisasi yang bertujuan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Pada masa kependudukan Jepang MIAI diganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang isisnya antara lain mengizinkan rakyat mendirikan partai politik dalam rangka menyalurkan berbagai paham yang ada di masyarakat. Berdasarkan maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta tersebut, tanggal 8 November 1945 tokoh-tokoh umat Islam langsung memproklamirkan berdirinya Partai Masyumi – Partai ini berbeda dan terlepas sama sekali dengan nama organisasi yang sama dengan zaman Jepang. Karena Partai Masyumi adalah satu-satunya partai politik umat Islam, aspirasi dan peran politik semua organisasi Islam harus disalurkan melalui Masyumi, termasuk NU.50

Sebagai organisasi konfederasi, kedudukan kelompok-kelompok Islam dalam Partai Masyumi memang rawan konflik. Pembagian peran dalam struktur organisasi yang menempatkan tokoh-tokoh NU diposisi yang kurang “bergengsi” cenderung membuat usulan-usulan mereka kurang diindahkan . Hal ini membuat NU kecewa lalu menyatakan diri keluar dari Masyumi. Selanjutnya para tokoh NU mendirikan Partai Nahdlatul Ulama pada tanggal 15 April 1952. Perpecahan ini berlanjut dengan persaingan antara keduanya pada Pemilu 1955. Masyumi

      

50


(43)

pada saat itu menempati posisi kedua setelah setelah PNI, sedangkan NU berada di tempat ketiga di atas PKI. Peran politik NU ini terus berkembang hingga terbentuknya rezim Orde Baru. Bahkan, dalam tekanan rezim yang represif dan sarat rekayasa politik, NU masih bisa tampil memukau dengan meraup 10.213.650 suara (18.68%) dari 54.651.770 pemilih pada Pemilu 1971. Posisi ini persis di bawah Golkar, partai binaan pemerintah saat itu.

Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) adalah kelanjutan dari Syarekat Islam (SI) yang dibentuk H.O.S. Tjokroaminoto pada 1912. SI sendiri merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk oleh H. Samanhudi pada tahun 1911. Perubahan nama dari SDI menjadi SI memberi perubahan orientasi perjuangan partai ini dari ubahan orientasi persoalan-persoalan ekonomi menjadi persoalan-persoalan politik. SI kemudian bergerak secara terang-terangan di lapangan politik dalam rangka mengorganisir pedagang Islam unuk melawan tekanan Belanda dan pedagang Cina.51

Ketika Mayumi masih menjadi induk gerakan politik Islam Indonesia, suara dan peran SI tidak terdengar sama sekali. Tahun 1947 baru suara SI mulai terdengar ketika para tokohnya yang ada di Masyumi keluar dan mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Para tokoh SI ini tidak banyak berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di Masyumi. Bahkan, ketika kabinet Amir Syarifuddin mengajak untuk bergabung dalam pemerintahan, Masyumi cenderung menutup-nutupi peluang SI. Nama PSII ini kemudian menjadi popular di masyarkat ketimbang induk semangnya, SI atau SDI. Pada Pemilu 1955 partai ini bisa meraup 1.077.765 suara dari 37.755.404 pemilih.

      

51


(44)

Perolehan ini sekaligus menempatkan partai tersebut di posisi nomor lima setelah PKI.

Partai Islam Perti sebetulnya berawal dari Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan pada tanggal 5 Mei 1928 di Bukit Tinggi, Sumatera Tengah. Awalnya organisasi ini merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan dan agama. Perti dalam syariat ibadah mengikuti madzhab Imam Syafi’I Rahimahullah. Perti sendiri merupakan benteng pertahanan golongan Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah terhadap penyebaran paham dari gerakan Islam modern. Pilihan Perti mengubah dirinya menjadi partai politik karena hubungan yang kurang harmonis dengan Majelis Islam Tinggi (MIT), sebuah partai Islam di Sumatera yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Para elite Perti beranggapan dengan mengubah dirinya menjadi partai politik, paham keagamaan mereka lebih mudah dipertahankan. Pada Pemilu 1955 partai ini berada di posisi kesepuluh dengan perolehan 483.014 suara. Ketika Presiden Soekarno memberlakukan kebijakan penguburan partai, Partai Islam Perti merupakan salah satu dari 9 partai politik yang diizinkan hidup oleh Presiden Soekarno. Selain Perti ada PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Murba, PSII, IPKI, serta Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Partai Musimin Indonesia (Parmusi). Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) secara formal didirikan pada tahun 1968 yang diprakarsai oleh berbagai organisasi sosial dan pendidikan Islam yang sebagian besar pemukanya berasal dari anggota-anggota Masyumi. Partai Masyumi sendiri telah dibubarkan oleh Presiden Soekarno, karena dianggap terlibat dalam beberapa pemberontakan yang terjadi di daerah. Kendati pun, reputasi tokoh-tokoh Masyumi yang ada dibalik Parmusi


(45)

membuat partai ini tampil memikat dikalangan umat Islam. Hal ini tercermin dari perolehan suara dalam Pemilu 1971, di mana Parmusi berada di nomor tiga setelah Golkar dan NU.

II.3. Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Ketika dideklarasikan, warna Islam yang menjadi unsur dominan pembentukan partai ini tetap dipelihara. Untuk menjaga kelestarian ukuwah dan perjuangan Islam, partai-partai Islam yang berfusi pada tahun 1973 sepakat menerima Islam sebagai asas PPP. Bahkan, untuk memudahkan identifikasi sebagai partai Islam, gambar Ka’bah yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam lalu diusung menjadi lambang partai.

Partai Persatuan Pembangunan sendiri adalah partai jelmaan dari empat partai politik Islam peserta pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Jika ditelusuri, pengalaman politik keempat partai ini sudah dirintis sejak lama. Nahdlatul Ulama, secara formal didirian pada 31 Januari 1926 sebagai organisasi keagamaan dengan faham Ahlussunah Wal Jamaah. Kendati sebagai organisasi keagamaan peran politik NU terutama dalam membangkitkan semangat perlawanan kepada Belanda sangat berpengaruh. Orientasi politik NU baru muncul secara terbuka ketika organisasi bentukan KH Hasyim Asy’ari ini bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) tahun 1939. MIAI ini sendiri adalah organisasi yag bertujuan untuk


(46)

memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang MIAI diganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).52

Setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang isinya antara lain pemerintah mengizinkan rakyat untuk mendirikan partai politik dalam menyalurkan segala paham dalam masyarakat. Berdasarkan maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta itu, tanggal 8 November 1945 tokoh-tokoh umat Islam langsung memproklamirkan berdirinya Partai Masyumi, dimana partai ini berbeda dan terlepas sama sekali dengan nama organsasi yang sama pada zaman Jepang. Karena partai Masyumi adalah satu-satunya partai politik umat Islam, aspirasi dan peran politik semua organisasi Islam harus disalurkan melalui Masyumi, termasuk NU.

Sebagai organsasi konfederasi kedudukan kelompok-kelompok Islam dalam partai Masyumi memang rawan konflik. Pembagian peran dalam struktur organisasi yang menempatkan tokoh-tokoh NU pada posisi yang kurang bergengsi cenderung membuat usulan-usulan mereka kurang diindahkan. Hal ini membuat NU kecewa lalu menyatakan diri keluar dari Masyumi. Selanjutnya para tokoh NU mendirikan Partai Nahdlatul Ulama pada 15 April 1952. Perpecahan ini lalu berlanjut dengan persaingan antara keduanya pada Pemilu 1955. Masyumi pada pemilu tersebut menempati posisi kedua setelah PNI, sedangkan NU di tempat ketiga di atas PKI. Peran politik NU terus berkembang hingga terbentuknya rezim Orde Baru. Bahkan, dalam tekanan rezim yang represif dan sarat rekayasa politik,

      

52

http://klikpolitik.blogspot.com/2008/01/analisis-partai.html. (opini oleh Sultani : Sejarah PPP ) diakses pada tanggal 14 februari 2010.


(47)

NU masih bisa tampil memukau dengan meraup 10.214.795 suara (18,68 persen) dari 54.651.770 pemilih dalam Pemilu 1971. Posisi ini persis dibawah Golkar, partai binaan pemerintah saat itu.

Partai Syarikat Islam Indonesia sebenarnya merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam (SI) yang dibentuk HOS Tjokroaminoto pada 1912. Sarekat Islam sendiri merupakan kelanjutan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk H. Samanhudi tahun 1911. Perubahan nama dari SDI menjadi SI memberi perubahan orientasi perjuangan partai ini dari persoalan-persoalan politik SI bergerak secara terang-terangan di lapangan politik dalam rangka mengorganisir pedagang Islam untuk melawan tekanan Belanda dan pedagang Cina.53

Ketika Masyumi masih menjadi induk gerakan politik Islam Indonesia, suara dan peran SI tidak terdengar sama sekali. Tahun 1947 baru suara SI mulai terdengar ketika para tokohnya yang ada di Masyumi keluar dan mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Para tokoh SI ini tidak banyak berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di Masyumi. Bahkan, ketika kabinet Amir Syarifuddin mengajak untuk bergabung dalam pemerintahan, Masyumi cenderung menutup-nutupi peluang SI. Nama PSII ini kemudian menjadi populer di masyarakat ketimbang induk semangnya, SI dan SDI. Pada pemilu 1955 partai ini bisa meraup 1.077.765 suara dari 37.755.404 pemilih. Perolehan ini sekaligus menempatkan partai tersebut di posisi nomor lima setelah PKI.

Partai Islam Perti sebetulnya cikal bakal dari Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan pada 30 Mei 1930 di Bukit Tinggi, Sumatera

      

53

Koirudin, 2004, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal. 17


(48)

Tengah. Awalnya organisasi ini merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan dan agama. Perti sendiri merupakan benteng pertahanan golongan Islam tradisional terhadap penyebaran paham dari gerakan Islam modern. Pilihan Perti mengubah dirinya menjadi partai politik karena hubungan yang kurang harmonis dengan Majelis Islam Tinggi (MIT), sebuah partai Islam di Sumatera yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Pada elite Perti beranggapan dengan mengubah dirinya menjadi partai politik, paham keagamaan mereka lebih mudah dipertahankan. Pada Pemilu 1955 partai ini berada di posisi kesepuluh dengan perolehan 483.014 suara. Ketika Presiden Soekarno memberlakukan kebijakan penguburan partai, Partai Islam Perti merupakan salah satu dari 9 partai politik yang diizinkan hidup oleh Soekarno. Selain Perti, ada PNI; NU; PKI; Partai Katolik; Partai Murba; PSII; IPKI dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) secara formal didirikan tahun 1968 yag diprakarsai oleh berbagai organisasi sosial dan pendidikan Islam yang sebagian besar pemukanya berasal dari anggota-anggota Masyumi. Partai Masyumi sendiri telah dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena dianggap terlibat dalam beberapa pemberontakan yang terjadi di daerah. Kendati baru, reputasi tokoh-tokoh Masyumi yang ada dibalik Parmusi membuat partai ini tampil memikat di kalangan umat Islam. Hal ini tercermin dari perolehan suara dalam Pemilu 1971, di mana Parmusi berada di nomor tiga setelah Golkar dan NU.

Ketika Soeharto baru berkuasa, hubungan pemerintah dan partai politik saat itu masih berlangsung dengan baik. Pemerintah lalu mengadakan Pemilu tahun 1971 dengan mengakomodasi semua partai yang ada saat itu. Hubungan


(49)

baik tersebut tidak berlanjut dengan baik karena dua tahun setelah Pemilu, Soeharto melakukan penciutan jumlah partai politik seperti yang dilakukan Soekarno tahun 1960. Hasilnya adalah pengelompokan partai politik berdasarkan garis agama (baca: Islam), yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta garis nasionalis dan Kristen, yaitu : Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Kendati penyederhanaan partai ini penuh dengan nuansa pakasaan, secara internal hubungan antarunsur di dalam tubuh partai penerus estafet perjuangan empat partai Islam tersebut tetap menunjukkan suasana persaudaraan yang solid. Dalam naskah deklarasi pembentukan PPP yang ditandatangani oleh KH Idham Khalid (NU), HMS Mintaredja (Parmusi), Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti) dan KH Masykur (NU) dikatakan bahwa kelahiran PPP merupakan wadah penyelamat aspirasi umat Islam dan cermin kesadaran serta tanggung jawab tokoh-tokoh umat dan pimpinan partai untuk bersatu, bahu membahu membina masyarakat agar lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT melalui perjuangan partai politik.

Dengan meleburkan diri ke dalam PPP itu berarti segala aktifitas politik dikonsentrasikan untuk PPP. Sementara segala kegiatan yang bukan kegiatan politik tetap dikerjakan organisasi masing-masing sebagaimana sediakala. Partai NU lalu berganti baju menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) menjadi Muslimin Indonesia (MI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) menjadi Syarikat Islam (SI), dan Partai Islam Perti menjadi Perti.54

      

54


(50)

Sebagai wadah baru dari kekuatan-kekuatan politik yang sudah lama berkiprah dalam politik reputasi PPP pada masa-masa awal berdirinya sangat dipengaruhi oleh penampilan para tokoh dari keempat partai yang berfusi tersebut. Sebut saja peristiwa penolakan RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah tahun 1973. Dari semua anggota DPR hanya PPP yang berani menyatakan sikap menolak RUU tersebut karena bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan yang diikuti dengan aksi walkout itu berhasil mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan gagasannya dalam RUU tersebut.

Selain itu, sebagai wadah dari partai-partai yang sudah memiliki basis massa yang sudah jelas di masa lalu, kekuatan PPP untuk menghadapi Pemilu 1977 masih banyak mendapat sokongan dari partai-partai tersebut. Jika dihitung perolehan kursi berdasarkan pemilu 1971, Partai NU memperoleh 58 kursi, Parmusi 26, PSII 10, dan Perti 2 kursi. Itu artinya ketika akan menghadapi Pemilu 1977 partai yang dipimpin oleh H. MS. Mintaredja ini sudah dimodali 96 kursi.

Pada Pemilu 1977 partai yang membawa panji Islam ini berhasil meraup 18.745.592 (29,29 %) suara dari 64.000.185 pemilih yang terdaftar. Dengan demikian, dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, PPP berhasil merebut 99 kursi untuk mendudukkan wakilnya di DPR. Penambahan tiga kursi ini bertolak belakang dengan rivalnya Golkar yang kehilangan empat kursi, dan PDI satu kursi. Sukses PPP kali ini tidak lepas dari sokongan NU sebanyak 56 kursi, Parmusi 25, PSII 14, dan Perti 4 kursi.55

Sikap kritis PPP terhadap pemerintah kembali terlihat ketika muncul gagasan untuk memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan

      

55


(1)

format politik rezim Orde Baru niscaya perlu dilakukan secara bersamaan dengan perbaikan berbagai instrumen kebijakan politik yang menghambat tumbuhnya kehidupan demokrasi. Tuntutan perbaikan itu berkaitan dengan perbaikan ataupun pengkajian ulang UU Partai Politik dan Golongan Karya dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

2. Indonesia setidaknya menganut sistem banyak partai (Multiparty Sistem), karena masyarakat Indonesia yang heterogen baik dari aspek geografi, bahasa, maupun identitas etnik, status sosial, posisi ekonomi dan ideologi. Diharapkan melalui sistem banyak partai aspirasi kelompok masyarakat akan terwakili. Namun dalam persoalan Jumlah Partai dalam sistem banyak partai hanya berjumlah lima saja, hal ini disesuaikan dengan ideologi negara, agama, generalisasi ethnis yang menempati pulau-pulau besar di Indonesia. Sehingga melalui lima partai ini diharapkan aspirasi kelompok masyarakat akan tertampung, dan integrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akan mudah terwujud.

3. Semua partai politik harus menggunakan Pancasila sebagai azasnya dan boleh ditambah dengan azas lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Tujuannya adalah apabila Partai yang menang dengan menguasai pemerintahan tidak akan merubah sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan. 4. Program partai Politik dalam mencapai tujuannya tidak perlu di atur sama.

partai politik diberikan kebebasan dalam menentukan dan membuat serta mengembangkan programnya yang sekiranya melalui pandangan mereka dapat menjawab kondisi kebutuhan rakyat.


(2)

5. Tujuan partai Politik di Indonesia ini juga diharapkan sama dan dianjurkan sesuai dengan tujuan Negara dan Pemerintah yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Bila masing-masing Parpol mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan negara, maka setiap kali pergantian penguasa pelaksanaan tahap pembangunan cita-cita negara dapat tercapai.

6. Bagi PPP sendiri tampaknya bisa mengambil pelajaran yang sangat banyak, mengingat PPP adalah partai yang sudah sangat dewasa dalam politik di tanah air. Dengan banyaknya pengalaman yang telah dilalui oleh PPP diharapkan PPP lebih matang dalam menangani permasalahan internal maupun konflik eksternal dengan partai lainnya sehingga dapat berbicara banyak dalam perpolitikan di tanah air dewasa ini.


(3)

Daftar Pustaka Undang-Undang :

UU Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Buku :

Abrar, Ahmad Zin, (pen), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Solo : Ramadhani, 1990

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Jakarata, Granit, 2004 Alfian, “Format Baru Politik Indonesia”, Indonesia Magazine No. 24, Jakarta :

Yayasan Harapan Kita, 1974

Amal, Ichlasul (Ed), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, PT. Tiara Wacana, Yogya, 1996

Amir, Syafruddin, Transformasi Energi PPP, Konsolidasi Menuju Partai Sejati, Bandung : Idea Publishing, 2007

Amirin, Tatang M, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : PT Grafindo Persada, 2000

Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds), Interpretating Indonesian Politics : Thirteen Contributions to Debate, Ithaca : Cornell Modern Indonesia Project, 1982

Anderson, Benedict, The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y : Cornell University Press, 1972

Asfar, Muhammad, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih, dalam Jurnal Ilmu Politik Edisi no. 16. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006) Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,

2008

Budiman, Arief , State and Civil Society in Indonesia, Clayton : Monash University, 1990


(4)

Chadwick, Bruce A, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, oleh Dr. Sulistia, M.L. (penerjemah), Semarang: IKIP Semarang Press, tp.thn.

Donald, Parulian, Menggugat Pemilu, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997 Emmerson, Donald K, The Bureaucracy in Indonesia, Cambridge, Mass : Center

for International Studies, MIT, 1974

Firmanzah, Marketing Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007

Gaffar, Afan, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party Sistem, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992 Haris, Syamsudin, Politik Organisasi Perspektif Mikro Diagnosa Psikologis,

Yokyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.

Kaiseipo, Manuel, Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara, Birokrasi dan Politik di Indonesia, dalam Jurnal Ilmu Politik. No. 2 tahun 1987

Koirudin, Parpol dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004

Mahfud, Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia, 2000

Mahfud, Moh., Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1998 Moertopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Jakarta : CSIS, 1984

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 1991 Nursal, Adman, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama, 2004

Prasetyo, Bambang, dkk, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Rudi, Teuku May, Pengantar Ilmu Politik. Bandung : PT Eresco, 1993

Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta : Grafiti, 1994 Strauss, Anslelm, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2003


(5)

Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996

Usman, Husani dan Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara. 2004

Unaradjan, Dolet, Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: Grasindo Wibawanto, Agung, Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat, Yogyakarta :

Pembaruan, 2005.

Tambahan referensi lain:

Nur Syam, “Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik Pengalaman Indonesia Orde Baru”, dalam Jurnal IAIN Sunan Ampel, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1999)

Artikel Di Bawah Bayang-Bayang Soekarno-Soeharto Hartono Ahmad Jaiz Artikel Dosa-Dosa Politik K.H. Firdaus

Artikel Islam and Regine Imam Nasa’i Indonesia Donald K. Emeson Artikel Islam & Politik Era Orde Baru M. Din Syamsuddin

Artikel Pergolakan Reformasi dan Strategi HMI Dr. Masykur Hakim

Artikel Perubahan Perilaku Politik dan Politisasi Umat Islam Abdul Munir Mulkan

Artikel Soeharto and His General David Jenkins Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

sumber file al_islam.chm


(6)

www.ppp.co.id Diakses 27 November 2009

www.medanpost.com muktamar ppp Diakses 27 November 2009

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Umum_Anggota_DPR,_DPD,_dan_DPR D_Indonesia_2009. diakses pada tanggal 27 November 2009.

http://klikpolitik.blogspot.com/2008/01/analisis-partai.html. (opini oleh Sultani : PPP dan Eksistensinya Yang Kian tergerus ) diakses pada tanggal 27 Oktober 2009.

www.mandailingnatalpost.com ( Sejarah Kabupaten Mandailing Natal”). Oleh Andri. Di akses pada 3 februari 2010 .

http://klikpolitik.blogspot.com/2008/01/analisis-partai.html. (opini oleh Sultani : Sejarah PPP ) diakses pada tanggal 14 februari 2010.

http://wikipedia.indonesian.com/ensiklopedia/ppp/partai/partai/politik/orde/lama/o rde/baru/pdf (Diakses 20 Maret 2010)

http://wikipedia.indonesian.com/ensiklopedia/pemilu/1997/ppp/fusi/pdf (Di Akses 23 Maret 2010)

http://www.simpuldemokrasi.blogspot.com /PPP-fusi-dan-kejayaannya.html. Diakses 30 Maret 2010

http://www/hasil-akhir-final-pemilu-legislatif-19999-2004-2009/html Diakses 11 Januari 2010

http://www/hasil-akhir-perolehan-suara-pemilu-legislatif-2009-(RESMI).Suara Mestika. Diakses11 Januari 2010