Deteksi Gen Cytochrome b Babi Pada Emulsifier Makanan yang Beredar di Kota Padang dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR).

Deteksi Gen Cytochrome b Babi Pada Emulsifier
Makanan yang Beredar di Kota Padang dengan Metode
Polymerase Chain Reaction (PCR)
SKRIPSI

Oleh

YOGI ARISMET
No. BP : 0911012048

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

ABSTRAK

Telah dilakukan isolasi dan deteksi gen cytochrome b sebagai penanda gen
babi pada 6 sampel emulsifier makanan terdiri dari 3 sampel gelatin dan tiga sampel
emulsifier semisolid yang diduga masih mengandung sisa gen babi. Gen
cytochrome b diamplifikasi menggunakan metode Polymerase Chain Reaction

(PCR). Metode ini menggunakan primer dengan sekuens: 5’-CTT GCA AAT CCT
AAC AGG CCT G-3’ dan 5’-CGT TTG CAT GTA GAT AGC GAA TAA C-3’.
Proses PCR berlangsung selama 35 siklus dengan pengaturan program PCR: pre
denaturasi pada suhu 95°C selama 3 menit, denaturasi pada suhu 94°C selama 60
detik, penempelan (annealing) pada suhu 61,4°C selama 30 detik, ekstensi pada
suhu 72°C selama 30 detik, serta elongasi pada suhu 72°C selama 5 menit dan
pendinginan (cooling) pada suhu 4°C selama 10 menit. Hasil amplifikasi PCR
kemudian dideteksi menggunakan metode elektroforesis. Hasil elektroforesis
menunjukkan bahwa tiga dari enam sampel emulsifier makanan yang digunakan
positif mengandung gen babi (sampel gelatin) dengan membandingkan pita DNA
sampel terhadap kontrol positif pada ukuran fragmen 131 bp yang spesifik terhadap
gen cytochrome b babi, sedangkan tiga sampel lainnya tidak mengandung gen babi
(sampel emulsifier semisolid).

iii

ABSTRACT

Isolation and detection of cytochrome b as a marker gene of pork had been
observed from six samples of food emulsifier consist of three gelatin samples and

three semisolid emulsifier samples that possibly contaminated by porcine gene.
Cytochrome b gene was amplified using the Polymerase Chain Reaction (PCR)
method. This method using primers with the sequences : 5’-CTT GCA AAT CCT
AAC AGG CCT G-3’ and 5’-CGT TTG CAT GTA GAT AGC GAA TAA C-3’.
PCR process lasts for 35 cycles with the program settings of PCR: predenaturation
at a temperature of 95°C for 3 minutes, denaturation at a temperature of 94°C for
60 seconds, annealing at 61,4°C for 30 seconds, extension at 72°C for 30 seconds,
and elongation at 72°C for 5 minutes also cooling at a temperature of 4°C for 10
minutes. The result of PCR amplification was then detected using electrophoresis
method. Electrophoresis results shown that three out of six samples contaminated
by porcine gene (gelatin sample) compared to the positive control on fragmen size
131 bp, which is specific to the cytochrome b gene of pork, whereas the other three
was not contaminated (semisolid emulsifiers).

iv

I. PENDAHULUAN

Emulsifier merupakan bahan tambahan pada produk farmasi dan makanan
yang berfungsi sebagai penstabil pada emulsi. Pada makanan, emulsifier berperan

sebagai bahan tambahan untuk mempertahankan konsistensi dan bentuk makanan
serta sebagai pengembang, contohnya emulsifier pada kue, es krim, dan lain-lain.
Emulsifier makanan pada umumnya berbentuk semisolid yang mengandung
asam lemak seperti asam asam stearat, palmitat dan oleat serta mono dan
digliserida. Berikut ini adalah contoh-contoh emulsifier yang umum digunakan
dalam bahan pangan:
a. Mono dan digliserida, merupakan zat pengemulsi yang umum digunakan.
Komponen-komponen ini dapat diperoleh dengan memanaskan trigliserida
dan gliserol dengan suatu katalis yang bersifat basa. Reaksi ini akan
menghasilkan campuran yang terdiri dari ±45% monogliserida dan ±45%
digliserida, serta ±10% trigliserida bersamasama dengan sejumlah kecil
gliserol dan asam-asam lemak bebas. Mono dan digliserida yang terbentuk
kemudian dipisahkan dengan cara destilasi molekuler. Produk yang
mengandung mono dan digliserida di pasaran contohnya adalah TBM.
b. Stearoyl Lactylates, merupakan hasil reaksi dari asam stearate dan asam
laktat, selanjutnya diubah ke dalam bentuk garam kalsium dan sodium.
Bahan pengemulsi ini sering digunakan dalam produk-produk bakery.
Contoh produk yang beredar di Indonesia adalah SP.
c. Propylene Glycol Ester, merupakan hasil reaksi dari propilen glikol dan
asam-asam lemak. Umumnya digunakan dalam pembuatan kue, roti dan

whipped topping.
d. Sorbitan Esters. Asam sorbitan yang terbentuk dari reaksi antara sorbitan
dan asam lemak. Sorbitan adalah produk dihidrasi dari gula alkohol yang
1

dapat diperoleh secara alami yaitu sorbitol. Sampai saat ini hanya sorbitan
monostearat, satu-satunya ester sorbitan yang diizinkan digunakan dalam
pangan. Bahan tersebut umumnya digunakan dalam pembuatan kue,
whipped topping, cake icing, coffee whiteners, serta pelapis pelindung
buah dan sayuran segar.
e. Polysorbates. Ester polioksietilen sorbitan disebut polisorbat. Ester ini
dibuat dari reaksi antara ester-ester sorbitan dan etilen oksida. Tiga jenis
polisorbat yang diizinkan untuk digunakan dalam pangan adalah polisorbat
60, polisorbat 65, polisorbat 80.
f. Polyglycerol ester, dibuat dari reaksi antara asam-asam lemak dan gliserol
yang sudah mengalami polimerisasi. Tingkat polimerisasinya antara 2-10
molekul. Ester-ester poligliserol digunakan dalam pangan yang
mengandung lemak, beverage, icing, dan margarine.
g. Ester-ester sukrosa, antara lain mono, di dan triester sukrosa dan asamasam lemak. Ester ini dihasilkan dari reaksi sukrosa dan lemak sapi.
Penggunaannya dalam pangan umumnya pada pembuatan roti, produk

tiruan olahan susu, dan whipped milk product.
h. Lesitin, adalah campuran fosfatida dan senyawa-senyawa lemak yang
terdiri dari fosfatidil kolin, fosfatidil etanolamin, fosfatidil inositol, dan
komponen-komponen lainnya. Lesitin merupakan bahan penyusun alami
pada hewan maupun tanaman. Lesitin paling banyak diperoleh dari kedelai
dan kuning telur. Biasanya digunakan untuk emulsifier pada margarin, roti,
kue dan lain-lain.
Selain emulsifier semisolid, penggunaan gelatin sebagai emulsifier dalam
pembuatan makanan juga sangat luas. Gelatin adalah produk alami yang diperoleh
dari hidrolisis parsial kolagen. Gelatin dapat dibuat dari bahan yang kaya akan
kolagen seperti kulit dan tulang baik dari babi, sapi atau hewan lainnya (Junianto,
et al. , 2006; Martianingsih & Atmajaya, 2010; Cai, et al., 2011). Penggunaan bahan

2

baku yang berasal dari babi tentu merupakan masalah bagi masyarakat di Indonesia
yang mayoritas beragama Islam (Said, et al., 2011).
Saat ini penggunaan gelatin sudah semakin luas untuk produk makanan,
farmasetik dan kosmetik. Hal ini disebabkan gelatin memiliki sifat sebagai bahan
pembentuk gel, pengental, pengemulsi, penstabil, dan bahan pengikat (Jamaludin,

et al., 2011; Sahilah, et al., 2012).
Oleh karena sifatnya tersebut, gelatin banyak digunakan pada produk susu
seperti es krim, yoghurt, keju dan kue serta pada produk bakery. Disamping itu
gelatin juga digunakan pada industri makanan lain yaitu jeli, coklat, marshmallow,
permen lunak, mentega, produk olahan daging dan makanan hewan peliharaan.
Pada produk farmasi, gelatin digunakan karena mudah dicerna, memiliki kalori
yang rendah dan tanpa kolesterol (Sahilah, et al., 2012).
Sampai saat ini, gelatin di Indonesia mayoritas masih merupakan barang
impor. Gelatin di Indonesia pada umumnya diimpor dari negara-negara Eropa atau
Amerika. Dari data BPS pada tahun 2012, Indonesia mengimpor gelatin sebanyak
3.771,04 ton atau senilai US$ 27.697.810 dari Amerika Serikat, Perancis, Jerman,
Brasil, Korea, Cina dan Jepang (BPS, 2012). Di Eropa sendiri produksi gelatin
didominasi oleh tulang atau kulit babi (80%) dan kulit sapi (15%) (Tasara, et al.,
2005). Sebagian besar gelatin diperoleh dari kulit babi, sapi dan tulang (Karim,
2008) karena biaya bagi kedua sumber utama ini lebih rendah.
Gelatin terdiri dari dua tipe ditinjau dari proses pembuatannya, yaitu tipe A
dan tipe B. Gelatin tipe A (acid) merupakan gelatin yang diproduksi melalui proses
3

asam, sedangkan gelatin tipe B (base) diperoleh dari proses basa (Anonim, 2000).

Perbedaan proses produksi yang digunakan ini bergantung pada sumber gelatin
yang digunakan. Gelatin tipe A adalah gelatin yang umumnya dibuat dari kulit
hewan muda (terutama kulit babi), sehingga proses pelunakannya dapat dilakukan
dengan cepat dengan pelarutan menggunakan asam. Gelatin tipe B adalah gelatin
yang diolah dari bahan baku yang keras seperti kulit hewan yang sudah tua atau
tulang, sehingga proses perendamannya perlu lama dan larutan yang digunakan
yaitu larutan basa. Oleh sebab itu, produk yang mengandung gelatin terutama
gelatin dari sapi perlu diberikan label halal. Walaupun demikian, ada juga gelatin
yang halal yang diperoleh dari ikan dan ayam namun hasil yang diperoleh sedikit.
Oleh karena itu, identifikasi kandungan gen babi pada bahan makanan atau
produk farmasi sangat penting dilakukan. Jika pada produk gelatin itu berasal dari
babi, maka dapat diisolasi DNA babi yang masih ada hasil dari proses pembuatan
gelatin. Identifikasi ini bisa dilakukan dengan amplifikasi segmen cytochrome b
mitokondrial menggunakan PCR (Sahilah, et al., 2012; Primasari, 2011).
Cytochrome b adalah salah satu bagian dari sitokrom yang terlibat dalam
transportasi elektron dalam mitokondria. Gen cytochrome b dikodekan oleh DNA
mitokondria. Cytochrome b dapat digunakan untuk membedakan jenis hewan
berdasarkan urutan dan panjang basa (Hapsari & Misrianti, 2007).
PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah
jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Teknik ini memiliki beberapa keunggulan,

salah satunya adalah dapat mendeteksi sampel dalam keadaan mentah maupun
4

sudah mengalami proses pengolahan seperti kapsul (Handoyo & Rudiretna, 2001;
Primasari, 2011).
Dalam penelitian ini, sampel yang diteliti yaitu emulsifier berbahan gelatin.
Gelatin dapat diperoleh dari kulit dan tulang sapi atau babi. Selain itu, gelatin juga
dapat diperoleh dari tulang ikan, ayam dan juga sumber nabati seperti ganggang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah emulsifier yang digunakan
berasal dari tulang atau kulit babi dengan mendeteksi gen cytochrome b
menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).

5