Kenaikan Harga BBM dalam Konteks "Andi Lau", Antara Dilema dan Galau.
KENAIKAN HARGA BBM DALAM KONTEKS ”ANDI LAU”, ANTARA DILEMA
DAN GALAU
Oleh: GPB Suka Arjawa
Bulan Juni harga bahan bakar minyak (BBM) akan dinaikkan. Ini merupakan
pengembangan dari rencana pada tahun-tahun sebelumnya. Seperti juga di masa lalu,
rencana kenaikan kali ini dipenuhi dengan kontroversi. Beberapa komponen masyarakat
dan pemuda mulai melakukan gerakan untuk menolak kenaikan itu. Bahkan Partai
Keadilan Sejahtera sudah jelas-jelas menolak rencana dengan memasang spanduk di
berbagai tempat strategis. Konon beberapa komponen di partai mempunyai pendapat
berbeda sehingga muncul wacana partai tersebut pecah dalam hal menyikapi kenaikan
bahan bakar minyak. Sampai saat ini pemerintah masih belum bisa melaksanakan
keputusan itu menunggu persetujuan dari sidang paripurna DPR. Karena lembaga ini
terdiri dari unsur partai politik, dipastikan perdebatannya akan sengit.
Kenaikan harga minyak bisa dipandang sebagai akibat kompleksitas masalah yang terjadi
pada lingkungan internasional maupun nasional. Khusus pada level nasional, tidak
pemerintah saja yang kesulitan membuat kebijaksanaan tetapi langkah dan kreativitas
masyarakat juga sangat mempengaruhi pemerintah membuat kebijakan kenaikan harga
BBM tersebut. Dalam konteks internasional, secara umum bisa dikatakan bahwa kondisi
di Eropa, seperti Spanyol dan Yunani, persoalan ekonomi mereka belum bisa dikatakan
pulih sampai sekarang. Eropa sekarang dilanda persoalan ekonomi, pertumbuhan
ekonomi rendah, kelesuan daya beli masyarakat dan pengangguran. Kondisi-kondisi
itulah yang ikut mempengaruhi kemampuan ekspor Indonesia menurun. Amat mungkin
juga kunjungan turis yang datang ke berbagai destinasi di Nusantara menurun.
Akibatnya, penerimaan negara banyak berkurang, yang akhirnya membuat kemampuan
membayar utang luar negeri Indonesia semakin berkurang. Maka, cara ampuh untuk
menghadapi masalah ini adalah dengan mengurangi subsisi minyak, demi membayar
utang itu. Harga minyak domestik menjadi naik.
Sebenarnya ada cara lain untuk mengatasi persoalan tersebut, yakni dengan
mendisiplinkan pembayaran pajak. Tetapi kelihatannya pemerintah juga kesulitan
mengatur hal ini, karena sikap masyarakat juga. ”Kreatifitas” masyarakat untuk
”memperingan” pembayaran pajak cukup tinggi sehingga kemungkinan juga hasil pajak
yang dipungut tidak mencukupi untuk membayar utang-utang luar negeri tersebut.
Maka, dari konteks pembayaran pajak ini, masyarakat juga seharusnya bisa memahami
mengapa harus ada kebijakan-kebijakan yang mengurangi subsidi bahan bakar sehingga
berdampak kepada kenaikan harga minyak. Artinya, apabila kesadaran membayar pajak
itu tinggi, amat berpotensi tidak akan terjadi kenaikan harga minyak.
Dilihat dari sudut berkurangnya ekspor, maka yang ditantang sesungguhnya juga
masyarakat. Komoditas ekspor jelas tidak hanya hasil tambang atau hasil bumi saja.
Komditas ini bisa diambil dari hasil kreatifitas yang mengandung nilai lokal (budaya).
Hasil kreatifitas ini memungkinkan ekspor itu tidak hanya ke Eropa saja tetapi juga ke
wilayah benua lain. Dalam hal hasil kreativitas yang berlandaskan budaya, Indonesia
jelas tidak hanya memiliki Bali saja tetapi ratusan unsur budaya lain yang ada di
Nusantara. Pemerintah dalam hal ini perlu memberikan kesempatan eksplorasi untuk
melakukan pameran budaya di luar negeri. Di jaman Orde Baru pameran ini tidak hanya
mempunyai satu sisi tujuan sebagai sebuah upaya diplomasi kebudayaan sekaligus juga
berupaya menciptakan peluang ekspor hasil kreativitas yang berbasis budaya. Budaya
Indonesia masih cukup kompleks jika dikembangkan dalam bentuk kreativitas karya
yang hasil produksinya bisa disekpor ke berbagai belahan benua, tidak hanya satu benua
saja (misalnya Eropa).
Gagalnya masyarakat dalam mendisiplinkan diri membayar pajak, gagalnya masyarakat
dalam membuat kreativitas untuk meniningkatkan ekspor dan gagalnya pemerintah
membantu untuk memngaktifkan dua ranah tadi, membuat pilihan lain yang paling
empuk adalah mengurangi subsidi bahan bakar demi membayar utang. Bagaimanapun
sektor ini lebih menjanjikan dan relatif lebih mudah dilakukan dengan hasil yang lebih
cepat.
Naiknya kemampuaan daya beli masyarakat Indonesia, dengan sistem perekonomian
liberal ini, banyak dimanfaatkan oleh para penjual kendaraan (importir kendaraan).
Dalam beberapa catatan jumlah kendaraan bermotor roda dua di Indonesia saja sampai
sekitar 50 juta. Jenis kendaraan inilah yang paling merata. Sistem perekonomian yang
memancing investasi banyak di perkotaan, membuat urbanisasi meledak di berbagai
kota. Karena budaya sosial Indonesia itu masih tradisionil dengan solidaritas
mekaniknya serta suka kumpul-kumpul dengan keluarga, (plus dengan berbagai ritual
budayanya), maka banyak anggota masyarakat yang memilih tinggal di desa. Jadilah
mereka ini kelompok urban musiman, yang pagi pergi ke kota untuk bekerja dan sore
atau malam pulang kampung. Fenomena demikian jelas memerlukan kendaraan.
Kendaraan juga adalah simbol sosial (turangga). Dengan simbol seperti ini, seluruh
lapisan masyarakat berupaya memiliki simbol tersebut. Sebagai simbol, baik masyarakat
kota maupun desa akan ramai-ramai membeli kendaraan, semakin banyak semakin
bersimbol, entah roda empat atau roda dua. Tidak adanya transpormasi umum yang
memadai membuat kendaraan pribadi semakin diminati. Dan semakin mudahnya
mengendarai kendaran matik, semakin mudahnya mencicil kendaraan, tidak bisa lain
memicu semakin banyaknya kendaraan di Indonesia. Bagaimanapun, ramainya kendaraan
pasti memerlukan bahan bakar yang banyak. Ini menjadi incaran apa saja. Buntut dari
semua itu, solusi untuk masalah keuangan negara adalah menyesuaikan harga minyak:
praktis, cepat dan hasilnya ada! Jadi, persoalan ini sesungguhnya persoalan dari
masyarakat juga. Jika kendaran tidak begitu banyak di jalanan, tidak akan mungkin
pemerintah mengambil jalan seperti ini.
****
Masih simpang siurnya kenaikan harga minyak ini (kapan tanggal yang pasti dan berapa
harganya), sangat berdampak kepada tatanan sosial. Diakui atau tidak, ketidakjelasan ini
memancing munculnya tindakan-tindakan kejahatan. Wacana tentang kenaikan BBM itu
sudah jelas pasti, tetapi waktu dan harganya tidak pasti! Rentang keraguan seperti inilah
memunculkan nilai manfaat yang tinggi bagi para spekulan bejat. Bentuk-bentuk
penyimpangan itu bisa berupa penimbunan berbagai wujud BBM seperti solar atau
premium. Dan yang paling mengkhawatirkan, memicu spekulan menaikkan harga-harga
keperluan pokok.
Karena itu lebih cepat memastikan harga minyak, akan mempunyai dampak yang lebih
kecil. Terlalu sering menaikkan harga minyak jelas tidak baik karena perencanaan sosial
maupun perencanaan ekonomi dari rakyat tidak akan bisa baik. Apalagi masyarakat
Indonesia yang gemar melalukan berbagai ritual. Kebijakan menaikkan BBM ini persis
sepertii guyonnya anak-anak muda sekarang, ”andi lau”, antara dilema dan galau!****
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Politik, FISIP, Universitas Udayana.
DAN GALAU
Oleh: GPB Suka Arjawa
Bulan Juni harga bahan bakar minyak (BBM) akan dinaikkan. Ini merupakan
pengembangan dari rencana pada tahun-tahun sebelumnya. Seperti juga di masa lalu,
rencana kenaikan kali ini dipenuhi dengan kontroversi. Beberapa komponen masyarakat
dan pemuda mulai melakukan gerakan untuk menolak kenaikan itu. Bahkan Partai
Keadilan Sejahtera sudah jelas-jelas menolak rencana dengan memasang spanduk di
berbagai tempat strategis. Konon beberapa komponen di partai mempunyai pendapat
berbeda sehingga muncul wacana partai tersebut pecah dalam hal menyikapi kenaikan
bahan bakar minyak. Sampai saat ini pemerintah masih belum bisa melaksanakan
keputusan itu menunggu persetujuan dari sidang paripurna DPR. Karena lembaga ini
terdiri dari unsur partai politik, dipastikan perdebatannya akan sengit.
Kenaikan harga minyak bisa dipandang sebagai akibat kompleksitas masalah yang terjadi
pada lingkungan internasional maupun nasional. Khusus pada level nasional, tidak
pemerintah saja yang kesulitan membuat kebijaksanaan tetapi langkah dan kreativitas
masyarakat juga sangat mempengaruhi pemerintah membuat kebijakan kenaikan harga
BBM tersebut. Dalam konteks internasional, secara umum bisa dikatakan bahwa kondisi
di Eropa, seperti Spanyol dan Yunani, persoalan ekonomi mereka belum bisa dikatakan
pulih sampai sekarang. Eropa sekarang dilanda persoalan ekonomi, pertumbuhan
ekonomi rendah, kelesuan daya beli masyarakat dan pengangguran. Kondisi-kondisi
itulah yang ikut mempengaruhi kemampuan ekspor Indonesia menurun. Amat mungkin
juga kunjungan turis yang datang ke berbagai destinasi di Nusantara menurun.
Akibatnya, penerimaan negara banyak berkurang, yang akhirnya membuat kemampuan
membayar utang luar negeri Indonesia semakin berkurang. Maka, cara ampuh untuk
menghadapi masalah ini adalah dengan mengurangi subsisi minyak, demi membayar
utang itu. Harga minyak domestik menjadi naik.
Sebenarnya ada cara lain untuk mengatasi persoalan tersebut, yakni dengan
mendisiplinkan pembayaran pajak. Tetapi kelihatannya pemerintah juga kesulitan
mengatur hal ini, karena sikap masyarakat juga. ”Kreatifitas” masyarakat untuk
”memperingan” pembayaran pajak cukup tinggi sehingga kemungkinan juga hasil pajak
yang dipungut tidak mencukupi untuk membayar utang-utang luar negeri tersebut.
Maka, dari konteks pembayaran pajak ini, masyarakat juga seharusnya bisa memahami
mengapa harus ada kebijakan-kebijakan yang mengurangi subsidi bahan bakar sehingga
berdampak kepada kenaikan harga minyak. Artinya, apabila kesadaran membayar pajak
itu tinggi, amat berpotensi tidak akan terjadi kenaikan harga minyak.
Dilihat dari sudut berkurangnya ekspor, maka yang ditantang sesungguhnya juga
masyarakat. Komoditas ekspor jelas tidak hanya hasil tambang atau hasil bumi saja.
Komditas ini bisa diambil dari hasil kreatifitas yang mengandung nilai lokal (budaya).
Hasil kreatifitas ini memungkinkan ekspor itu tidak hanya ke Eropa saja tetapi juga ke
wilayah benua lain. Dalam hal hasil kreativitas yang berlandaskan budaya, Indonesia
jelas tidak hanya memiliki Bali saja tetapi ratusan unsur budaya lain yang ada di
Nusantara. Pemerintah dalam hal ini perlu memberikan kesempatan eksplorasi untuk
melakukan pameran budaya di luar negeri. Di jaman Orde Baru pameran ini tidak hanya
mempunyai satu sisi tujuan sebagai sebuah upaya diplomasi kebudayaan sekaligus juga
berupaya menciptakan peluang ekspor hasil kreativitas yang berbasis budaya. Budaya
Indonesia masih cukup kompleks jika dikembangkan dalam bentuk kreativitas karya
yang hasil produksinya bisa disekpor ke berbagai belahan benua, tidak hanya satu benua
saja (misalnya Eropa).
Gagalnya masyarakat dalam mendisiplinkan diri membayar pajak, gagalnya masyarakat
dalam membuat kreativitas untuk meniningkatkan ekspor dan gagalnya pemerintah
membantu untuk memngaktifkan dua ranah tadi, membuat pilihan lain yang paling
empuk adalah mengurangi subsidi bahan bakar demi membayar utang. Bagaimanapun
sektor ini lebih menjanjikan dan relatif lebih mudah dilakukan dengan hasil yang lebih
cepat.
Naiknya kemampuaan daya beli masyarakat Indonesia, dengan sistem perekonomian
liberal ini, banyak dimanfaatkan oleh para penjual kendaraan (importir kendaraan).
Dalam beberapa catatan jumlah kendaraan bermotor roda dua di Indonesia saja sampai
sekitar 50 juta. Jenis kendaraan inilah yang paling merata. Sistem perekonomian yang
memancing investasi banyak di perkotaan, membuat urbanisasi meledak di berbagai
kota. Karena budaya sosial Indonesia itu masih tradisionil dengan solidaritas
mekaniknya serta suka kumpul-kumpul dengan keluarga, (plus dengan berbagai ritual
budayanya), maka banyak anggota masyarakat yang memilih tinggal di desa. Jadilah
mereka ini kelompok urban musiman, yang pagi pergi ke kota untuk bekerja dan sore
atau malam pulang kampung. Fenomena demikian jelas memerlukan kendaraan.
Kendaraan juga adalah simbol sosial (turangga). Dengan simbol seperti ini, seluruh
lapisan masyarakat berupaya memiliki simbol tersebut. Sebagai simbol, baik masyarakat
kota maupun desa akan ramai-ramai membeli kendaraan, semakin banyak semakin
bersimbol, entah roda empat atau roda dua. Tidak adanya transpormasi umum yang
memadai membuat kendaraan pribadi semakin diminati. Dan semakin mudahnya
mengendarai kendaran matik, semakin mudahnya mencicil kendaraan, tidak bisa lain
memicu semakin banyaknya kendaraan di Indonesia. Bagaimanapun, ramainya kendaraan
pasti memerlukan bahan bakar yang banyak. Ini menjadi incaran apa saja. Buntut dari
semua itu, solusi untuk masalah keuangan negara adalah menyesuaikan harga minyak:
praktis, cepat dan hasilnya ada! Jadi, persoalan ini sesungguhnya persoalan dari
masyarakat juga. Jika kendaran tidak begitu banyak di jalanan, tidak akan mungkin
pemerintah mengambil jalan seperti ini.
****
Masih simpang siurnya kenaikan harga minyak ini (kapan tanggal yang pasti dan berapa
harganya), sangat berdampak kepada tatanan sosial. Diakui atau tidak, ketidakjelasan ini
memancing munculnya tindakan-tindakan kejahatan. Wacana tentang kenaikan BBM itu
sudah jelas pasti, tetapi waktu dan harganya tidak pasti! Rentang keraguan seperti inilah
memunculkan nilai manfaat yang tinggi bagi para spekulan bejat. Bentuk-bentuk
penyimpangan itu bisa berupa penimbunan berbagai wujud BBM seperti solar atau
premium. Dan yang paling mengkhawatirkan, memicu spekulan menaikkan harga-harga
keperluan pokok.
Karena itu lebih cepat memastikan harga minyak, akan mempunyai dampak yang lebih
kecil. Terlalu sering menaikkan harga minyak jelas tidak baik karena perencanaan sosial
maupun perencanaan ekonomi dari rakyat tidak akan bisa baik. Apalagi masyarakat
Indonesia yang gemar melalukan berbagai ritual. Kebijakan menaikkan BBM ini persis
sepertii guyonnya anak-anak muda sekarang, ”andi lau”, antara dilema dan galau!****
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Politik, FISIP, Universitas Udayana.