Bom Bali, Teroris dan Zamrud Khatulistiwa.

BOM BALI, TERORIS DAN ZAMRUD KHATULISTIWA
Oleh GPB Suka Arjawa
Tanggal 12 Oktober 2012 merupakan peringatan ke-10 tahun bom yang meledak di Sari
Club dan Paddy’s Club Legian, Kuta. Lebih dari 200 orang meninggal dunia pada saat itu
dan membuat tidak saja masyarakat Bali terkejut akan tetapi seolah menjadi ”pelopor”
berbagai ledakan bom yang mengguncang Indonesia beberapa tahun berikutnya. Sepuluh
tahun setelah itu, masih banyak yang bertanya-tanya, bagaimana kondisi sosial
masyarakat Bali akibat dari ledakan tersebut. Lalu, bagaimana upaya untuk
mengantisipasi gerakan teroris, dan apa yang dilakukan agar tidak muncul lagi gerakangerakan yang bersifat kekerasan demikian.
Dalam konteks di Bali, sulit mengatakan kalau peristiwa tersebut tidak mempunyai efek
psikologis dan sosial mendalam. Secara psikologis, setiap bulan Oktober masyarakat
pasti selalu mempunyai tingkat kekhawatiran terhadap terulangnya peristiwa seperti ini.
Terdapat cukup banyak tindakan yang berkonotasi dengan kekhawatiran tersebut, seperti
misalnya waspada apabila pergi ke pusat perbelanjaan dan juga pusat keramaian
pariwisata. Kekhawatiran itu beralasan karena bom tahun 2002 itu ternyata terulang juga
tahun 2005. Dan berbagai ledakan bom yang terjadi di Jakarta, juga mempunyai
kedekatan dengan bulan-bulan Oktober. Kekhawatiran seperti ini semakin bertambah
terasakan karena secara kelembagaan formal (pemerintah) meningkatkan
kesiapsiagannya dengan menjaga berbagai pintu masuk di seluruh Bali.
Pada tingkat masyarakat, efek peristiwanya cukup kental karena langsung menyentuh
sektor yang paling dasar bagi masyarakat di Bali, yakni desa pakraman. Sejak

meledaknya bom 10 tahun lalu, ada semacam tambahan kewajiban bagi aparat desa
pakraman untuk merumuskan klausul dalam konstitusinya (awig-awig) yang mengatur
ketentuan para pendatang di lingkungan desa pakraman masing-masing. Desa pakraman
merupakan republik kecil di Bali yang mempunyai hak dan kewenangan untuk mengatur
dirinya sendiri, dengan lingkup Khayangan Tiga. Sampai saat ini, sepuluh tahun setelah
kejadian, berbagai desa pakraman masih belum tuntas berhasil merumuskan klausul ini
secara tepat karena justru berpotensi memunculkan kesalahpengertian dan penafsiran,
yang berakibat benturan antara warga Bali sendiri. Ketentuan untuk mengklirkan
identitas warga di sebuah desa pakraman, juga berefek terhadap warga desa pakraman
lain yang kebetulan bertempat tinggal (mondok, kost, ngontrak rumah, dsb.) di desa
pakraman lain. Kondisi ini rentan sekali memicu konflik antar desa pakraman. Dengan
demikian, efek bom tersebut tidak hanya psikologis tetapi juga merembet ke masalah
sosial paling dasar di antara masyarakat di Bali. Tujuan mengatur para pendatang adalah
untuk memudahkan mengantisipasi mereka-mereka yang dicurigai mempunyai tindakan
yang tidak wajar. Namun perumusan aturan itu, justru mempersulit warga Bali sendiri.
Mengantisipasi perilaku teroris, sungguh sulit. Bahkan negara seperti Amerika Serikat
pun mempunyai kesulitan mengidentifikasi orang-orang seperti ini. Kesulitan
pengenalan dan pelacakan seperti itu, masih tetap berlangsung sampai sekarang. Karena

itu masuk akan jika kekhawatiran masyarakat Bali dan Jakarta masih tetap tinggi, 10

tahun setelah bom meledak di Kuta tahun 2002. Ada banyak hal yang dimiliki para
teroris itu sehingga masyarakat sulit mengindentifikasi apalagi mengenalinya. Pelaku
teror memakai ”pendekatan etnografis” dalam bertindak. Artinya mereka mempunyai
perilaku yang lebur dengan masyarakat saat bertindak sehari-hari. Jadi para teroris itu
benar-benar meleburkan diri, entah olahraga pagi, berjualan, nonton film, memakai
telepon, memakai dasi, mungkin juga jalan-jalan di kampus, mal, pusat wisata bahkan
mungkin juga menjadi pengemis. Pendek kata mereka menyamarkan diri dengan
meleburkan diri sesuai dengan perilaku masyarakat sehari-hari. Pada konteks jaringan
sosial, para teroris mempunyai jaringan tidak hanya pada skala lokal tetapi nasional dan
internasional. Mereka memakai teknologi modern untuk melakukan, memantau dan
melaporkan berbagai perkembangan tindakan yang lakukan. Teroris juga mempunyai
sifat tindakan yang ilmiah. Mereka mempunyai ”petugas” survai lapangan untuk melihat
kondisi target yang diledakkan. Survei ini lalu diobservasi oleh ia yang dipilih menjadi
pelaku. Sebelum melakukan tindakan, mereka mendiskusikan berbagai kemungkinan
yang terjadi saat peledakan, termasuk metode melarikan diri bagi para pengantarnya.
Tidak lupa, dalam memilih pelaku, ”organisator” melakukan pilihan kepada orang-orang
tepat untuk bertindak sehingga mencapai hasil paling maksimal (teori pilihan rasional).
Jangan dilupakan, para pelaku ini telah melakukan latihan dan persiapan diri yang
matang di lokasi-lokasi khusus tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Yang paling hebat sekaligus paling mengerikan adalah mereka berani mati. Hal terakhir

inilah yang menyulitkan pelacakan teroris oleh siapapaun di muka bumi, termasuk
negara sehebat Amerika Serikat. Tidak banyak orang yang berani mati dalam
menjalankan misi.
Teroris kemungkinan besar mengadaptasi pola-pola perang dingin dalam menerapkan
perlawann dengan mereka yang dipandang. Ketika Perang Dingin terjadi, Amerika
Serikat dan Uni Soviet selalu berlomba dalam menguasai persenjataan. Neraca
persenjataan itu tidak pernah imbang, selalu condong berat sebelah dan semakin tinggi.
Jika tidak Amerika Serikat di atasnya, Uni Soviet yang diatas. Kedua pihak selalu
berupaya saling melebihi. Terorispun begitu. Mereka selalu belajar, mempelajari
kekalahan untuk kembali mencoba ke standar strategi yang lebih tinggi di banding
lawannya. Jika teroris kalah di bidang teknologi, mereka akan mencarai cara-cara yang
lebih ”tradisionil dan sederhana” untuk mengguli lawan. Strategi tidak mesti harus
menggunakan teknologi tinggi karena bunuh diri juga merupakan salah satu cara untuk
memenangkan kompetisi dengan pihak yang dipandang sebagai lawan.
Pada sebuah acara seminar di Universitas Udayana, ada pertanyaan bagaimana harus
menghilangkan teroris? Pertanyaan ini jelas sulit karena pertarungan keyakinan,
idealisme, konflik dan kekerasan itu melekat pada diri manusia. Teroris ada di wilayah
ini. Namun dalam konteks Indonesia, meminimalkan teroris mungkin bisa dilakukan.
Apa yang dilakukan oleh Densu ’88 merupakan cara non-komporomis yang pantas
dilakukan atas nama negara. Akan tetapi, ada cara lain semisal dengan belajar sekaligus

memaknai seni musik dan seni lukis. Musik dikomposisikan oleh berbagai irama dan
alat yang berbeda sehingga mampu menghasilkan sebuah komposisi lagu yang bagus.
Seni lukis dikomposikan oleh berbagai warna sehingga mampu menghasilkan komposisi

warna yang indah. Intinya komposisi berbagai perbedaan itulah yang justru mampu
menghasilkan keindahan. Tidak mungkin satu alat musik akan menghasilkan komposisi
yang indah, demikian juga satu warna. Kemunculan teroris di Indonesia sering
disebutkan sebagai ketidakmampuan mereka memaknai keanekaragaman Indonesia.
Karena itu marilah dimaknai keanekaragaman suku bangsa di Indonesia sebagai suatu
rahmat yang indah sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai ”Zambrud
Khatulistiwa” (Lagu Keenan Nasution, Ciptaan Guruh Sukarnoputra, 1977).****
Tulisan ini adalah pikiran penulis yang mengemuka saat menjadi pembicara dalam
seminar nasional, diselenggarakan Prodi Komunikasi Fisip Universitas Udayana.