Partai Politik dan Problem Keadilan bagi

Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 247 - 256

PARTAI POLITIK DAN PROBLEM KEADILAN BAGI MAZHAB MINORITAS
DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN AWAL)
(POLITICAL PARTY AND JUDICATURE PROBLEM FOR GROUP OF MINORITY IN
INDONESIA (A FIRST STUDY))
Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta
e-mail: endra.wijaya333@yahoo.co.id
(Naskah diterima 07/07/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014)
Abstrak
Partai politik memiliki beberapa fungsi, dan lazimnya berhubungan erat dengan kegiatan pemilihan umum. Dinamika
selanjutnya memperlihatkan bahwa partai politik juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan upaya memperjuangkan
hak-hak kelompok minoritas. Bahkan, secara teoretis dan praktik, partai politik ini telah menjadi salah satu sarana
kelembagaan yang dapat dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompok-kelompok minoritas untuk melindungi hak-hak
mereka sebagai warga negara. Bagaimanakah dengan praktik di Indonesia? Permasalahan perlindungan kaum
minoritas masih menjadi problem yang belum terselesaikan secara tuntas, misalnya saja untuk kasus diskriminasi yang
dialami oleh para penganut mazhab Syiah di Indonesia. Namun demikian, permasalahan ini tampaknya belum menjadi
perhatian yang serius dari partai-partai politik peserta pemilihan umum di Indonesia. Padahal, isu diskriminasi terhadap
kaum minoritas ialah salah satu problem yang jika tidak bisa diselesaikan, potensial untuk meruntuhkan bangunan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat Negara Indonesia dibangun di atas kondisi masyarakat

Indonesia yang plural, baik dari sisi suku, agama, bahkan mazhab (aliran dalam agama). Sebenarnya “Para Pendiri
Negara (The Founding Fathers and Mothers)” sejak awal telah menaruh perhatian yang serius terhadap kondisi
masyarakat Indonesia yang plural tersebut, sehingga merekapun akhirnya juga memilih Pancasila sebagai dasar negara
yang mereka anggap mampu untuk “mempersatukan” seluruh masyarakat yang beragam latar belakangnya. Paper ini
akan berfokus pada pembahasan mengkaji potensi beberapa partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 dalam
menjalankan fungsinya sebagai agen perlindungan kaum minoritas di Indonesia. Hal tersebut tentunya dapat dijadikan
pula sebagai semacam “indikator awal” untuk menilai sejauh mana partai politik mengupayakan nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalam Pancasila. Kajian akan didasarkan pada data yang bersumber dari dokumen yang diterbitkan
oleh beberapa partai politik dan data wawancara yang berasal dari narasumber yang relevan.
Kata-kata kunci: keadilan, pluralistik, program partai, mazhab minoritas.
Abstract
Political parties have their functions in related with their general election activities. Political parties have also the function to
struggle the minority rights. Theoretically and practically political parties have already be an institutional instrument that
can be formed by minority group of society to protect their rights as citizens. What is the condition in Indonesia practically?
The problems of minority group protection in Indonesia are not completely finished, for example the case of Syiah in
Indonesia. This problem is not attracted the political parties in a serious level. But actually the discrimination problem is
really needs to solve to protect the country from disunity. At the very beginning, the “founding fathers” of this republic had
given their serious attention on pluralism. So, they'd chosen Pancasila as our basis to unity the pluralism of Indonesian
people. This writing focus on the role of political parties as the agent of discrimination protection of the minority group in
Indonesia based on Pancasila's values. This study will be based on the data and document publishing by political parties

and interviews from related informants.
Keywords: Justice, Pluralism, Party programs, Minority group.

A.

Pendahuluan

Partai politik merupakan salah satu entitas
yang penting dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Tidak hanya terbatas
pada kegiatan untuk meraup suara pada saat
pemilihan umum saja, lebih jauh daripada itu,
partai politik sebenarnya memiliki fungsi lain yang
bisa ikut menentukan perjalanan sejarah suatu

256

bangsa dan negara.
Hal seperti tersebut di atas dapat dilihat, antara
lain, pada pengalaman yang pernah terjadi di

Indonesia dari masa sebelum kemerdekaan sampai
dengan masa sekarang ini. Secara historis, partaipartai politik di Indonesia sebenarnya lahir dan
tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan identitas

257

Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270

keindonesiaan pada awal abad ke-20. Meskipun
menjadi wadah aspirasi dari kelompok atau
golongan ideologis yang berbeda-beda, partai-partai
politik pada masa kolonial turut memberikan
kontribusi bagi penemuan identitas keindonesiaan
yang mendasari pembentukan republik.1
Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia,
dapat dilihat pula bahwa partai politik telah berhasil
menjadi agen perubahan yang ikut serta
mengantarkan bangsa Indonesia meraih
kemerdekaannya dari tangan penjajah. Begitupun
setelah memasuki masa kemerdekaan Indonesia,

beberapa partai politik yang dibentuk relatif berhasil
menjadi pengisi syarat bagi Indonesia sebagai
negara hukum yang demokratis. Mereka inilah yang
menjadi peserta pemilihan umum untuk pertama
kali pada tahun 1955.
Kehidupan partai politik di Indonesia mulai
“semarak lagi” sejak adanya Maklumat Nomor X
Tanggal 3 November 1945 tentang Pembentukan
Partai-Partai Politik, yang ditandatangani oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta
pada tanggal 3 November 1945.2 Maklumat itu
merupakan regulasi pertama di bidang kepartaian
di Indonesia setelah merdeka yang telah melahirkan
sistem multipartai. Ada banyak partai politik yang
dibentuk oleh rakyat berdasarkan maklumat itu.
Partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan
maklumat tersebut diarahkan oleh pemerintah agar
mereka dapat ikut serta dalam pemilihan anggota
badan perwakilan rakyat. Salah satu butir dari
Maklumat Nomor X Tanggal 3 November 1945

menyebutkan bahwa “…Pemerintah berharap
supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelumnya
dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan
perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.”
Berdasarkan maklumat itu berdirilah secara
resmi partai-partai politik, yang sampai dengan
bulan Januari 1946 telah berjumlah 10 (sepuluh)
partai politik, yang terdiri dari: Partai Majelis Syuro
Muslimin (Masyumi), Partai Komunis Indonesia
(PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Rakyat
Djelata, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai
Sosialis Indonesia (PSI), Partai Rakyat Sosialis (PRS),
Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI), Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), dan Partai
Nasional Indonesia (PNI).
1

68.

David Reeve menyebutkan bahwa sebenarnya

jumlah partai yang berdiri berdasarkan Maklumat
Nomor X Tanggal 3 November 1945 bukan hanya 10
(sepuluh) partai politik, melainkan jauh lebih
banyak, karena selain muncul beberapa partai
politik kecil, partai-partai politik yang telah
dilumpuhkan pada zaman Jepang juga bangkit
kembali. Jumlah partai politik yang berdiri pada
bulan November sampai dengan Desember 1945
mencapai 35 (tiga puluh lima) partai politik.3
Pada tahun 1955 diselenggarakanlah
pemilihan umum yang pertama kali sejak
kemerdekaan Indonesia. Pemilihan umum itu
diikuti oleh banyak partai politik, dan dimaksudkan
untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Konstituante.
Berlanjut hingga masa sekarang, partai politik
kembali menjadi aktor penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Bahkan,
pada saat memasuki periode reformasi setelah
berakhirnya masa kekuasaan Orde Baru,

berdirinya partai-partai politik menjadi syarat yang
harus dipenuhi oleh Indonesia guna memenuhi
statusnya kembali sebagai negara hukum yang
demokratis setelah lebih dari 30 (tiga puluh) tahun
berada dalam kekuasaan rezim yang “anti
demokrasi.”
Oleh karena itulah, maka dapat dipahami
mengapa pemikir seperti Antonio Gramsci sampai
berani “memuji” partai politik sebagai bagian dari
sejarah suatu negara. Mengenai hal itu Gramsci
mengatakan bahwa, “… Jadi menulis sejarah partai
berarti menulis sejarah umum negara tersebut …”4
Paparan tersebut di atas mencerminkan betapa
kehadiran partai politik begitu dibutuhkan bagi
kehidupan suatu negara, termasuk Indonesia,
karena ia memiliki fungsi-fungsi yang pada
akhirnya dapat ikut menentukan berjalannya
negara sebagai sebuah organisasi politik dan
hukum.
Di Indonesia, mengenai fungsi-fungsi dari

partai politik telah diatur di dalam undang-undang,
yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, yang kemudian diubah
melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Syamsuddin Haris, “Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia,” Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol. 3, No. 1, 2006:

2

Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 115.

3

Ibid., hlm. 46.

4

Antonio Gramsci, Prison Notebooks, Catatan-Catatan dari Penjara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 209.


258

Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)

Fungsi-fungsi tersebut kemudian ditujukan
bagi pemenuhan dan perwujudan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, ada
variabel penting yang harus (wajib) menjadi concern
bagi setiap partai politik dalam menjalankan
aktivitasnya, yaitu Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun faktanya Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 bukanlah 2 (dua) hal yang “mudah” untuk
diamalkan, dijalankan, dan diwujudkan dalam
kehidupan di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), termasuk oleh partai-partai politik yang ada.
Untuk hal ini, banyak peristiwa yang bisa dilihat

sebagai contohnya. Misalnya saja seperti peristiwa
tindak diskriminasi terhadap kaum Syiah yang
minoritas yang terjadi di Sampang, Madura.
Peristiwa diskriminasi terhadap kaum Syiah
seperti yang terjadi di Sampang harus diakui masih
belum dapat diselesaikan secara tuntas. Mereka
yang bermazhab Syiah ini bahkan masih
“berstatus” sebagai pengungsi saat memberikan
suara mereka pada pemilihan umum tahun 2014
yang lalu.5 Padahal, apabila dilihat dari beberapa
aspek, peristiwa Sampang tersebut jelas
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Peristiwa Sampang hanyalah salah satu dari
serangkaian fakta bahwa sebenarnya di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini masih
sering terjadi diskriminasi terhadap kelompok
minoritas. Dari peristiwa diskriminasi itu, maka
nilai-nilai yang sedang diruntuhkan ialah nilai-nilai

keadilan, kemanusiaan, persatuan, serta
perlindungan hak asasi manusia sebagaimana
dikandung dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan,
semua itu akhirnya potensial dapat meruntuhkan
bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Permasalahan tersebut tentu harus dicarikan
solusinya, dan upaya ini harus dilakukan oleh
semua pihak, termasuk partai-partai politik yang
ada di Indonesia. Apalagi, sesuai dengan Pasal 10
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, salah satu
tujuan yang diamanatkan kepada partai politik
ialah ia harus dapat mewujudkan cita-cita nasional

bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Asumsi dalam kajian ini ialah permasalahan
diskriminasi yang dialami oleh kelompok-kelompok
minoritas, termasuk diskriminasi yang dialami oleh
kaum Syiah seperti yang terjadi di beberapa tempat
di Indonesia, belum menjadi fokus perhatian yang
serius dari partai-partai politik peserta pemilihan
umum tahun 2014 di Indonesia. Padahal, isu
diskriminasi terhadap kaum minoritas ialah salah
satu problem yang jika tidak bisa diselesaikan
secara tuntas, potensial untuk meruntuhkan
bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini mengingat karena Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibangun di atas kondisi
masyarakat Indonesia yang plural, baik dari sisi
suku, agama, bahkan mazhab (aliran dalam
agama).
Paper ini akan berfokus pada pembahasan
mengkaji potensi beberapa partai politik peserta
pemilihan umum tahun 2014 dalam menjalankan
fungsinya sebagai agen perlindungan kaum
minoritas di Indonesia. Hal tersebut tentunya dapat
dijadikan pula sebagai semacam “indikator awal”
untuk menilai sejauh mana partai politik
mengupayakan nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalam Pancasila. Kajian akan
didasarkan pada data yang bersumber dari
dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh partaipartai politik, dan data wawancara yang berasal dari
narasumber yang relevan.
B.

Pembahasan
B.1. Dinamika Fungsi Partai Politik

Fungsi partai politik, setidaknya, dapat dilihat
dari 2 (dua) perspektif, yaitu perspektif yuridis, dan
teoretis. Dari perspektif yuridis, Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 telah
mengamanatkan agar partai politik berfungsi
menjadi sarana:
1.

Pendidikan politik bagi anggota dan
masyarakat luas agar menjadi warga negara
Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

5
Muhammad Syarrafah, “Pengungsi Syiah di Sidoarjo Ikut Mencoblos,” , dan Muhammad Syarrafah, “Hak Pilih Pengungsi
Syiah Tak Jelas,” , keduanya diakses pada tanggal 13 April 2014.

259

Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270

2.

Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat;

3.

Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi
politik masyarakat dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan negara;

4.

Partisipasi politik warga negara Indonesia;

5.

Rekrutmen politik dalam proses pengisian
jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan
keadilan gender.

bentuk bersama dengan pihak lain yang
memiliki kepentingan yang sama.

Sosialisasi politik. Partai politik mempunyai
fungsi sebagai sosialisasi politik. Dalam
fungsinya tersebut, maka partai politik akan
menjadi media melalui mana seseorang
memperoleh sikap dan orientasi terhadap
fenomena politik, yang umumnya berlaku
dalam masyarakat di mana ia berada.

2.

Partisipasi politik. Partai politik dapat menjadi
alat mobilisasi warga negara ke dalam
kehidupan dan kegiatan politik.

3.

Rekrutmen politik. Partai politik berfungsi
untuk mencari dan mengajak orang yang
berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai. Juga
diusahakan untuk menarik golongan-golongan
muda untuk dididik menjadi kader yang di
masa mendatang akan mengganti pimpinan
lama. Kemudian, kader tersebut bisa saja
diikutsertakan bersaing dengan partai politik
lainnya untuk peran-peran politik dalam
parlemen, dalam kementerian, ataupun
pemerintahan daerah.

4.

5.

Komunikasi politik. Dalam menjalankan fungsi
komunikasi politik, partai politik menyalurkan
beragam pendapat dan aspirasi masyarakat,
serta mengaturnya sedemikian rupa sehingga
kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat
berkurang.
Artikulasi kepentingan. Menyatakan atau
mengartikulasikan kepentingan tertentu
kepada badan-badan politik dan pemerintah
melalui kelompok-kelompok yang mereka

B.2.1. Perspektif Hukum Islam

Keadilan menurut Quraisy Syihab adalah
“menempatkan sesuatu pada tempatnya.”10
Sedangkan menurut Miskawaihi, sebagaimana
dikutip oleh Ahmad Azhar Basyir, bahwa keadilan
adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan
hikmah (wisdom), iffah (kesucian), dan syajaah
(keberanian).11

Pembuat kebijaksanaan. Jelas bahwa suatu
partai politik akan berusaha untuk merebut
kekuasaan di dalam pemerintahan secara
konstitusional. Sesudah partai politik itu merebut
kekuasaan dalam pemerintahan, baik dalam
bidang eksekutif maupun legislatif, maka dia
akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya
dalam membuat kebijaksanaan yang akan
digunakan dalam suatu pemerintahan.

Kitab suci Al-Quran sedikitnya menggunakan 2
(dua) kata kunci untuk menggambarkan keadilan,
yaitu “al-adl” dan “al-qist,”12 serta kata yang
semakna dengan al-adl, yaitu “al-wazn” dan “alwast” yang tercantum dalam berbagai tempat di
dalam Al-Quran.13 Kata al-adl dalam bahasa Arab
mengandung makna penyamarataan (equalizing)
dan kesamaan (levelling), maksudnya ialah bahwa
keadilan dapat dirasakan sama oleh 2 (dua) pihak.

Sehubungan dengan fakta bahwa dalam setiap
masyarakat akan selalu ada kelompok-kelompok
minoritas, Florian Bieber berpendapat bahwa
sebenarnya partai politik dapat juga dijadikan
(berfungsi) sebagai wadah untuk memperjuangkan
kepentingan kelompok-kelompok minoritas.

Al-Qist merupakan kata kunci yang digunakan
Al-Quran untuk mengandung makna distribusi,
angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran,
dan kewajaran.14 “Al-Adl” dan “Al-Muqsith” juga
merupakan nama Allah yang artinya Tuhan Maha
Adil.15 Kata al-wast yang berarti al-adl dan al-nisf
(tengah atau pusat) dicantumkan pula dalam AlQuran.16 Kata al-wazn yang mempunyai makna
ta'dil dan istiqomah (moderat dan lurus). Dalam AlQuran, kata al-adl selalu disandingi oleh kata “alzulm,” yang merupakan lawan katanya.17 Al-zulm
bermakna meletakkan sesuatu pada tempat yang
tidak semestinya, baik dengan cara melebihkan
atau mengurangi maupun menyimpang dari waktu
dan tempat.18

7.

Secara lebih rinci, Bieber menjelaskan bahwa
ada beberapa sarana perwakilan yang dapat
dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompokkelompok minoritas, yaitu: perkumpulanperkumpulan untuk menyuarakan kepentingan
kelompok minoritas, institusi-institusi khusus,
seperti dewan, yang dibentuk untuk mewakili
kepentingan kelompok minoritas, partai politik yang
bisa saja bukan partai politik khusus yang dibentuk
untuk menyuarakan kepentingan kelompok
minoritas, tetapi lebih merupakan partai politik
yang program-programnya juga menjangkau
kepentingan kelompok minoritas, atau bahkan
membentuk partai politik yang memang khusus
mewakili kepentingan kelompok minoritas.7

Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005, hlm. 37-41. Lihat juga Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003,
hlm. 163, dan Mohtar Mas'oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm.
64-69.
6

7
Florian Bieber, “Introduction: Minority Participation and Political Parties,” dimuat dalam Florian Bieber et al., Political Parties and
Minority Participation, Skopje: Friedrich Ebert Stiftung, 2008, hlm. 11.

260

B.2. Sekilas tentang Keadilan

Agregasi kepentingan. Agregasi kepentingan
merupakan cara bagaimana tuntutantuntutan yang dilancarkan oleh kelompokkelompok yang berbeda digabungkan menjadi
alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.
Dalam masyarakat yang demokratik, partai
merumuskan program politik dan
menyampaikan usul-usul kepada badan
legislatif, dan calon-calon yang diajukan untuk
jabatan-jabatan pemerintah mengadakan
tawar-menawar dengan kelompok-kelompok
kepentingan. Dalam tawar-menawar, calon dari
partai politik menawarkan pemenuhan
kepentingan kelompok tertentu apabila mereka
mau mendukung calon tersebut.

6.

Selanjutnya, dari perspektif teoretis, biasanya
partai politik itu dilihat sebagai sebuah institusi
yang memiliki beberapa fungsi, yaitu untuk:6
1.

Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)

“Keadilan” merupakan kata sifat yang artinya
perbuatan yang adil. “Adil” artinya tidak berat sebelah,
tidak memihak.8 Menurut Ensiklopedi Hukum Islam,
kata “adil” secara terminologi berarti mempersamakan
sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun
dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak
berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain.9

Dalam konteks ajaran Islam, dapat ditemui 6
(enam) macam bidang keadilan (sedikitnya ada 6
(enam) bidang kehidupan yang dituntut untuk
berlaku adil), yaitu: keadilan di bidang hukum,
keadilan di bidang ekonomi, keadilan politik,
keadilan berkeyakinan, keadilan kesehatan, dan
keadilan pendidikan.
Keadilan dalam bidang politik dapat diartikan
bahwa politik dijadikan sebagai standar dan tolok
ukurnya, antara lain, di mana setiap warga negara
mempunyai hak dan akses yang sama untuk
terlibat dalam kegiatan politik. Ukurannya ialah
instrumen negara seperti peraturan yang dibuat
oleh negara, perilaku negara terhadap warga
negaranya, dan apa yang dipandang adil oleh
aparatur negara. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa keadilan politik merupakan
produk dari kekuatan politik, termasuk partai
politik maupun orang yang berpengaruh.
Dalam pandangan Al-Quran, masalah keadilan
juga dikaitkan dengan kekuasaan dan penguasa
yang terpersonifikasikan dalam terminologi
“khalifah.” Dalam Al-Quran surat Shaad ayat 26,
Allah berfirman: “Hai Daud, sesungguhnya kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Daud
diutus ke dunia untuk menjadi khalifah, penguasa
negara, yang tugasnya ialah untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Nabi Daud juga diperingatkan
agar tidak mengikuti hawa nafsu dalam
menegakkan keadilan.
Pada masa kepemimpinan Rasulullah
Muhammad SAW, keadilan dikembalikan
kepadanya sebagai rujukan utama. Nilai keadilan

8

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 6-7.

9

Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hlm. 25.

10

M. Quraisy Shihab, Lentera Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 2008, hlm. 238.

11

Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 102.

12
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 59. Lihat juga Rifyal Ka'bah, Politik dan
Hukum dalam Al-Qur'an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005, hlm. 82-87.
13

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of Intelectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982, hlm. 21.

14

Ibid.

15

Seyyed Hosein Nasr, The Heart of Islam, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 289.

16

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam Al-Mufahras Li Alfadz Al-Qur'an Al-Karim, Mesir: Dar Al-Fikr, 1981, hlm. 448.

17

Ibid. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 62.

18

M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 391-410.

261

Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270

disandarkan kepada Rasul sebagai standarnya.
Terkait dengan hal itu, Allah berfirman dalam AlQuran surat An-Nisaa ayat 65 yang menjelaskan
bahwa: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima sepenuhnya.”
Setelah masa kepemimpinan Rasulullah lewat,
lalu siapakah yang diberi amanat untuk
menegakkan hukum dan keadilan? Dalam AlQuran surat An-Nisa ayat 59, Allah memberi
petunjuk: ”Wahai orang-orang yang beriman,
taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul serta ulil amri19 di antara kalian. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalilah kepada Allah (Al-Quran) dan
Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ulil amri di sini ditempatkan pada urutan ke
tiga dalam hierarki legitimasi kekuasaan yang
berhak memerintah kaum muslimin. Ia wajib ditaati
sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah dan
Rasul. Dalam surat An-Nisaa ayat 83, Allah
berfirman, “Dan kalau mereka menyerahkan
kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan ulil amri).”
Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas,
diberitakan bahwa bisa saja terjadi perbedaan
pendapat dalam menerjemahkan keadilan dalam
wilayah politik, atau keadilan di mana politik
menjadi bingkainya. Persoalannya kemudian ialah
siapakah ulil amri yang mempunyai otoritas politik
untuk menegakkan keadilan tersebut?
Dari aspek sejarah, awal mula perdebatan
siapa yang layak dijadikan ulil amri (khalifah)
muncul ketika Rasul wafat. Dalam pandangan
sahabat Rasul, khalifah perlu dipilih dari kalangan
mereka. Kaum muhajirin menghendaki khalifah
dari kalangan muhajirin, dan ansar menghendaki
khalifah dari ansar, sementara Bani Hasyim
menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.
19

Pada saat itu terjadi perdebatan sengit untuk
menentukan siapa yang akan menjadi khalifah.
Hingga akhirnya pemilihan dilakukan secara
musyawarah dan terpilihlah Abu Bakar sebagai
khalifah pertama. Cara musyawarah ini setidaknya
hanya terjadi pada saat pemilihan khalifah Abu
Bakar saja.20 Untuk khalifah ke dua, metode
pemilihan khalifahnya ialah secara penunjukan.
Dalam hal khalifah ke dua, Abu Bakar telah
membuat surat wasiat bahwa jika dirinya
meninggal, maka Umar bin Khattab yang berhak
menggantikannya. Khalifah ke tiga diangkat
berdasarkan pemilihan oleh sejumlah 6 (enam)
formatur yang anggotanya dipilih oleh Umar bin
Khattab. Sementara khalifah ke empat diangkat
berdasarkan pemilihan. Selanjutnya, dalam tradisi
Dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah berlakulah
sistem monarki.
Dari paparan tersebut terlihat tidak ada
konsistensi dalam pengangkatan khalifah. Hal ini
dapat dipahami karena memang tidak ada dasar
hukumnya yang pasti tentang bagaimana teknik
mengangkat ulil amri (khalifah).
Memang tidak ada satu dasar hukum dari AlQuran dan Sunah yang secara jelas menganjurkan
atau melarang seorang muslim untuk terlibat dalam
kegiatan politik dalam suatu negara. Dari paparan
di atas harus diakui pula bahwa Islam tidak dapat
memisahkan hubungan antara negara dan agama.
Hal itu telah diberi teladan oleh Rasulullah ketika ia
mendirikan “Negara Madinah.” Nabi Muhammad
SAW selama sekitar 10 (sepuluh) tahun di kota
hijrah itu telah tampil sebagai seorang Nabi dan
sekaligus seorang pemimpin masyarakat politik
(kepala negara). 2 1 Sehingga, praktis Nabi
Muhammad SAW yang langsung memberikan
contoh berpolitik yang islami.
Di masa kepemimpinan Rasul, praktik
keharmonisan dan penghormatan terhadap hakhak asasi manusia yang diajarkan oleh Islam di
Madinah salah satunya diwujudkan dalam
dokumen yang dikenal dengan sebutan “Piagam
Madinah.” Dalam rangka itu pula, dikenal adanya
terminologi “ummatan wahidah,” suatu terminologi
yang sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh
mayoritas kaum muslimin. Ummatan wahidah
sering dipahami sebagai kondisi suatu masyarakat

Ulama adalah pemimpin agama, dan umaro adalah pemimpin pemerintahan.

20
Mengenai perdebatan dan insiden Saqifah Bani Sa'idah dapat dibaca pada Ibnu Qutaibah Al-Dainuri, Al-Imamah Wa Al-Siyasah, Juz I,
Mesir: Muassasah Al-Halabiy, tanpa keterangan tahun, hlm. 12-18.

Nurkholis Madjid, “Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina,
Vol. I, No. 1, Juli-Desember 1998: 589.
21

262

Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)

yang homogen (tidak ada perbedaan). Padahal
sesungguhnya, terminologi tersebut ialah untuk
menggambarkan keharmonisan yang terjadi di
masyarakat heterogen seperti yang ada di Madinah.
Konsep ummatan wahidah itu juga merupakan
suatu konsep yang dibangun oleh Rasul untuk
memberikan pemahaman bahwa Islam ialah agama
yang toleran dan menghargai perbedaan.
Lalu, apa relevansinya pembahasan tersebut di
atas, yang dilakukan dari perspektif hukum Islam,
dengan tema paper ini? Ada beberapa hal yang
dapat menjadi jawaban (alasan) atas pertanyaan itu,
yaitu:
Pertama, Islam dan politik ialah 2 (dua) hal
yang tidak bisa dipisahkan. Bagi para penganutnya,
Islam diyakini merupakan ajaran yang
komprehensif, termasuk mengatur bagaimana
politik itu dijalankan, melalui apa, dan apa
tujuannya. Pada titik ini, maka keberadaan partai
politik, yang merupakan bagian dari melalui apa
politik itu dijalankan, dibahas dalam kaitannya
dengan tujuan yang ingin dicapai melalui politik
kepartaian. Dan yang ingin dicapai melalui politik
kepartaian ini tentunya tertuju kepada “berbagai
maslahat baik yang kembali kepada agama
maupun umat,”22 termasuk tentunya keadilan bagi
mazhab minoritas yang ada di dalam tubuh Islam
itu sendiri.
Kedua, problem keadilan bagi seluruh
masyarakat, termasuk bagi kelompok minoritas
yang ada di dalam masyarakat, secara potensial
bisa diselesaikan antara lain melalui politik
kepartaian. Hal ini dikarenakan partai politik
memiliki fungsi sebagai sarana artikulasi, agregasi,
dan pembuat kebijakan atau hukum yang responsif
terhadap perwujudan keadilan di masyarakat.
Secara lebih umum, hal seperti itulah yang disebut
oleh Rocky Gerung sebagai “mengaktifkan politik
sebagai tata bahasa percakapan keadilan.”23 Sejalan
dengan hal itu, dalam konteks politik Islam, Yusuf
Qardhawi juga menjelaskan bahwa:24 “… kaum
muslimin lebih baik ikut berperan serta dalam
kancah politik demi tercapainya berbagai maslahat
baik yang kembali kepada agama maupun umat,

sekaligus untuk mencegah timbulnya bahaya dan
kerusakan yang akan mengancam mereka… Di
antara beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh
kaum muslimin adalah mendirikan partai yang
memperjuangkan hak-hak mereka serta hak-hak
orang lain.”
B.2.2. Perspektif Negara Hukum Indonesia
Untuk memahami konsep keadilan di dalam
tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
yang menjadi landasannya haruslah (harus diawali
dengan) pemahaman terhadap konsep keadilan
yang terkandung dalam sila-sila pada Pancasila
sebagai falsafah negara Indonesia.
Menurut Abdulkadir Besar, ciri khas paham
keadilan menurut Pancasila ialah:25
1.

Subjeknya jamak yang berinteraksi secara
berpasangan;

2.

Bahan baku dari keadilan ialah hasil tunaian
kewajiban memberi dari para subjek;

3.

Keadilannya bersifat fungsional;

4.

Dengan terjadinya transformasi kewajiban
menjadi hak antarpasangan-subjek yang
jamak, melalui relasi satu-banyak, keadilan
sosial terwujud.

Berdasarkan penjelasan mengenai konsep
keadilan dalam Pancasila tersebut di atas, apabila
kemudian hal itu dihubungkan dengan upaya
perlindungan hak asasi manusia kaum minoritas,
maka akan diperoleh pemahaman bahwa keadilan
dalam Pancasila jelas mengisyaratkan adanya
perlindungan bagi kelompok minoritas oleh
kelompok mayoritas.26 Antara subjek yang saling
terjalin dalam relasi ekuivalensi, mereka berada di
dalam “relasi samaan” sekaligus “relasi tak
samaan.” Menurut Besar, relasi samaan ialah
terkait dengan kesamaan tujuan yang hendak
dicapai oleh unsur-unsur yang saling berinteraksi,
dan relasi tak samaan ialah terkait dengan keadaan
tertentu yang berbeda yang mengakibatkan
antarunsur tadi saling bergantung.27
Dalam konteks keadaan masyarakat Indonesia
yang plural yang di dalamnya juga terdapat
kelompok minoritas dan mayoritas, maka ini

22

Yusuf Qardhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 283.

23

Rocky Gerung, “Representasi, Kedaulatan, dan Etika Publik,” Jurnal Jentera, Ed. 20, Thn. V, Januari-April 2010: 7.

24

Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 283.

25

Abdulkadir Besar, Pancasila: Refleksi Filsafati, Transformasi Ideologik, Niscayaan Metoda Berfikir, Jakarta: Pustaka Azhary, 2005, hlm.

42.
26

25.
27

Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah, Tanius Sebastian, ed., “Menggugat Diskriminasi atas Nama Agama,” Digest Epistema, Vol. 4, 2013:
Abdulkadir Besar, op.cit., hlm. 21 dan 123.

263

Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270

mengisyaratkan perlunya kedua belah pihak untuk
saling bekerja sama, saling melengkapi, untuk
kemudian secara bersama-sama berupaya
mewujudkan kesejahteraan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.28 Sejalan mengenai
hal tersebut, Nurkholis Madjid pernah menjelaskan
bahwa dengan prinsip persamaan, manusia juga
didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin
kerja sama dan persaudaraan untuk mengatasi
kesenjangan serta perbedaan, dan untuk
meningkatkan mutu kehidupan bersama.29
Menurut J.S. Furnivall, masyarakat plural
adalah masyarakat yang terdiri dari 2 (dua) atau
lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang
hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan
menyatu dalam satu unit politik tunggal.30 Dalam
perkembangannya, masyarakat-masyarakat plural
di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhir
perang dunia ke-2, dapat menyatu dalam satukesatuan unit politik tunggal. Namun, memang
harus diakui bahwa penyatuan itu tidaklah
menghilangkan realitas pluralitas sosial, budaya,
bahkan keagamaan yang ada di dalam masyarakat
Indonesia.31
Negara, menurut alam Pancasila, diharapkan
dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan
beragama. Selain itu, sebagai negara yang dihuni
oleh warga negaranya yang memiliki beragam latar
belakang agama dan keyakinan, Negara Indonesia
diharapkan juga dapat mengambil jarak yang sama
terhadap semua agama dan keyakinan, serta
melindunginya. Dan sehubungan dengan adanya
fakta bahwa di dalam masyarakat selalu ada agama
dan keyakinan yang berposisi sebagai mayoritas
dan minoritas, maka Negara Indonesia harus dapat
pula mengembangkan dan menjalankan
kekuasaannya secara independen, tanpa didikte
oleh agama mayoritas sekalipun.32
Pernyataan yang terakhir itu merupakan
konsekuensi dari Negara Indonesia yang bukan
“negara agama,” melainkan “negara berdasar atas
28

Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)

Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pada negara agama,
negara hanya merepresentasikan salah satu unsur
agama tertentu, dan memungkinkan agama
tersebut mendikte negara.33 Sedangkan, menurut
Yudi Latif, pada negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka keberadaan agama
diharapkan (dimaksudkan) untuk: pertama,
mampu menempatkan diri dan menampilkan
ajaran agama yang membawa kebaikan bagi
semua.34 Ke dua, setiap agama mencari titik temu
dalam semangat gotong-royong untuk membentuk
landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik
bersama berdasarkan nilai-nilai moralitas
Ketuhanan. 35 Ke tiga, setiap agama harus
menghindari sikap mengucilkan agama lain yang
mengakibatkan timbulnya fragmentasi berdasarkan
ideologi keagamaan.36 Ke empat, agama harus dapat
berkontribusi bagi penciptaan budaya demokrasi
dan kemajuan bangsa, seperti pada saat ia ikut
serta membuka jalan menuju Indonesia merdeka.37
Ke lima, dan melalui hal-hal itu semua, dapat
mewujudkan “kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan, konsensus secara bijaksana, serta
keadilan sosial yang mengatasi tirani perseorangan
dan golongan.”38
B.3. Problem
Indonesia

Keadilan

Bermazhab

di

Apakah yang dimaksud dengan problem
keadilan bermazhab bagi mazhab minoritas
tersebut? Problem keadilan bermazhab bagi
minoritas ini sebenarnya ialah suatu permasalahan
di mana keadilan tidak terwujud bagi mereka yang
berasal dari kelompok mazhab minoritas. Wujud
konkret dari permasalahan itu ialah adanya
diskriminasi yang dialami oleh mereka yang berasal
dari kelompok mazhab yang berbeda yang berada
pada posisi minoritas.
Konsep mazhab minoritas mirip dengan konsep
agama minoritas (minority religion). Perbedaannya
terletak pada posisi mazhab yang justru berada di
dalam satu tubuh agama tertentu. Faktor agama,

Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah, Tanius Sebastian, ed., loc.cit.

Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm.
390.
29

30
Azyumardi Azra, “Jadi Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme,” dimual dalam Jusuf Susanto, The Dancing Leader, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. 18.
31

Ibid., hlm. 19.

32

Yudi Latif, op.cit., hlm. 43.

33

Ibid.

34

Ibid., hlm. 118.

35

Ibid., hlm. 119.

36

termasuk mazhab, tentunya juga dapat menciptakan
entitas kelompok minoritas. Dan di dalam suatu
masyarakat yang anggota-anggotanya memiliki
beragam keyakinan agama, maka akan terdapat apa
yang disebut sebagai “agama minoritas.”
Istilah agama minoritas (minority religion) dapat
dipahami dalam beberapa pengertian. Secara
sederhana, agama minoritas dapat dipahami
sebagai sebuah situasi dalam mana sebuah bagian
dari masyarakat mempraktikkan sebuah agama
yang berbeda dari agama mayoritas pada
masyarakat yang bersangkutan.39
Agama minoritas juga dapat dipahami dalam
kaitannya dengan faktor kekuasaan. Karenanya
yang patut pula diperhatikan ialah, terkadang
dalam situasi tertentu, agama yang minoritas dalam
hal jumlah pengikut justru dapat menjadi dominan
secara politik (menguasai bidang politik). Dalam
keadaan seperti ini, maka agama minoritas tadi
tidaklah dapat disebut berada dalam kedudukan
yang minoritas.40
Masih dalam kaitannya dengan faktor
kekuasaan, agama minoritas dapat dipahami pula
sebagai agama yang dalam hal jumlah pengikutnya
memang sedikit apabila dibandingkan agama lain
yang pengikutnya lebih banyak (agama mayoritas),
ditambah lagi mereka (sebagai penganut agama
minoritas) juga memiliki pengaruh yang kecil dalam
bidang politik.41
Agama minoritas juga dapat dipahami dalam
kaitannya dengan etnis minoritas tertentu yang
ada di dalam suatu masyarakat. Apabila terdapat
sekelompok etnis minoritas yang mana suatu
agama menjadi salah satu bagian dari identitas
budaya mereka, maka agama yang mereka peluk
itu juga akan menjadi agama minoritas.42
Lebih lanjut, keberadaan kaum minoritas,
termasuk minoritas karena latar belakang mazhab
dalam suatu agama, biasanya terkait pula dengan
masalah praktik diskriminasi. Diskriminasi
menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 adalah: “setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun
tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis

Apabila menggunakan pendapat-pendapat
tersebut di atas, maka jelas paham Syiah di
Indonesia dapat dikategorikan sebagai entitas
minoritas. Alasannya tentu dapat dikaitkan dengan
pertimbangan dari sisi jumlah penganutnya,
pengaruhnya secara politis, dan perlakuan
diskriminasi yang mereka terima.
Penjelasan tersebut akan semakin relevan
apabila dihubungkan dengan fakta-fakta (peristiwa)
yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia,
terutama misalnya pada peristiwa di mana
kelompok yang menganut mazhab Syiah yang
minoritas mengalami diskriminasi secara terusmenerus. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang
dapat dijadikan contoh mengenai diskriminasi itu,
yaitu:
1.

Pada April 2000, bangunan dan fasilitas
Pesantren Syiah, Al-Hadi, di Pekalongan,
dibakar dan dihancurkan;

2.

Pada Februari 2011, terjadi penyerangan dan
kerusuhan di dalam Pesantren YAPI Bangil.
Bentrokan terjadi antara santri YAPI dan warga
Sunni;

3.

Pada Desember 2011, terjadi penyerangan
sekaligus pembakaran rumah-rumah warga
Syiah di wilayah Sampang, Jawa Timur;

4.

Pada Mei 2012, di Jember juga terjadi
bentrokan yang disebabkan isu gesekan
dakwah Syiah.

5.

Pada Agustus 2012, ratusan orang telah
menyerbu permukiman milik komunitas Syiah
di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam,
Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang,
Jawa Timur.

6.

Pada tanggal 14 November 2013, terjadi
pembubaran perayaan Asyura dari para
penganut mazhab Syiah di Balai Samudera,
Kelapa Gading, Jakarta.

39
Richard T. Schaefer, ed., Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society, Los Angeles dan London: SAGE Publications, Inc., 2008, hlm.
1139.

Ibid.

40

Ibid.

37

Ibid., hlm. 120.

41

Ibid., hlm. 1140.

38

Ibid.

42

Ibid.

264

kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya,
dan aspek kehidupan lainnya.”

265

Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270

Permasalahan tersebut tentunya harus segera
diselesaikan secara tuntas, karena apabila tidak
diselesaikan, maka secara perlahan-lahan potensial
meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang masyarakatnya bersifat plural.
B.4. Fungsi Partai Politik dan Problem
Keadilan Bermazhab
Apabila dihubungkan antara tujuan serta
fungsi partai politik di Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 dengan permasalahan diskriminasi yang
dihadapi oleh para pemeluk mazhab Syiah di
Indonesia, maka idealnya partai politik di Indonesia
seharusnya ikut serta menjadi agen yang
menyelesaikan permasalahan tersebut. Alasan
mengenai hal ini ialah karena secara yuridis
keharusan itu sudah ditegaskan di dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008,
yang intinya mewajibkan setiap partai politik untuk
berupaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dan,
bentuk-bentuk dikriminasi yang dihadapi oleh
kaum Syiah di Indonesia selama ini jelas
merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tadi. Oleh karena
itu, apabila permasalahan diskriminasi itu tidak
segera diselesaikan secara tuntas tentunya
potensial untuk meruntuhkan bangunan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, partai politik yang ingin
secara sungguh-sungguh menjalankan fungsinya
sebagai pengemban nilai-nilai Pancasila seharusnya
juga ikut aktif menyelesaikan permasalahan
diskriminasi yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat Indonesia, seperti halnya yang dihadapi
oleh kaum Syiah di Indonesia.
Penjelasan tersebut di atas akan menjadi lebih
menarik lagi jika dihubungkan dengan fakta-fakta
yang ada dalam praktik kepartaian yang dijalankan
di Indonesia. Dengan membatasi diri pada partaipartai politik yang menjadi peserta pemilihan
umum tahun 2014, penulis mengamati praktik
yang dijalankan oleh beberapa partai politik, dan
dari pengamatan itu dapat diketahui hal-hal
penting sebagai berikut:

Pertama, dari 12 (dua belas) partai politik
nasional peserta pemilihan umum tahun 2014,
semua partai politik itu di dalam visi dan misi,
anggaran dasar ataupun dokumen lainnya yang
memuat penjelasan mengenai program-program
kerja partai politik yang bersangkutan telah
mencantumkan secara eksplisit maupun implisit
perlunya bersikap adil dan menentang diskriminasi
dalam kehidupan di masyarakat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal tersebut,
frase atau kata kunci yang digunakan oleh partaipartai politik di dalam dokumen-dokumen mereka,
antara lain, ialah “masyarakat madani,” “egaliter,”
“keharmonisan dari keberagaman agama,” “tatanan
masyarakat majemuk,” serta “setara, merata dan
tidak diskriminatif.”
Tetapi memang, dalam perkembangan
selanjutnya, masih dapat dilihat adanya ambiguitas
perumusan program-program kerja dari partai
politik tertentu terkait dengan isu keadilan dan
kebebasan dalam memilih serta memeluk agama
atau keyakinan.
Mengenai hal tersebut misalnya dapat dilihat
dari dokumen yang diterbitkan oleh salah satu
partai politik nasional yang, di satu sisi, dengan
tegas mencantumkan bahwa mereka adalah partai
yang menentang tindakan diskriminasi, termasuk
diskriminasi yang dilakukan atas alasan agama
atau keyakinan, tetapi di sisi yang lain, mereka
justru mencantumkan pula ide campur tangan
negara dalam hal “pemurnian ajaran agama.”
Padahal, sebagaimana terjadi dalam beberapa
kasus, alasan pemurnian agama telah dijadikan
sebagai salah satu dasar bagi “pembungkaman”
terhadap beberapa pihak yang memiliki agama atau
keyakinan yang minoritas, yang berbeda dengan
agama atau keyakinan mayoritas. Salah satu
contoh konkret mengenai kasus tersebut dapat
dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Sampang
Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg, Putusan
Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 481/Pid/
2012/PT.SBY, dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1787 K/Pid/2012 dengan terdakwa Tajul
Muluk yang berlatar belakang mazhab Syiah.
Kedua, walaupun dari 12 (dua belas) partai
politik nasional semuanya telah menaruh perhatian
terhadap permasalahan diskriminasi, tapi tidak ada
satupun dari mereka yang secara eksplisit
menggunakan istilah “mazhab” yang merujuk pada
pengertian paham atau aliran dalam suatu agama,

Partai Politik Dan Problem Keadilan Bagi Mazhab Minoritas.....(Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah)

serta tidak pula ditemukan adanya penggunaan
istilah “minoritas” dalam visi dan misi, anggaran
dasar ataupun dokumen lainnya yang memuat
penjelasan mengenai program-program kerja partai
politik yang bersangkutan.
Berdasarkan pengamatan penulis, masih
sangat sedikit partai-partai politik yang mau
mengangkat isu (permasalahan) diskriminasi
terhadap mazhab minoritas. Hanya Partai Nasdem
yang secara jelas sempat mengangkat
permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum
Syiah di Sampang, yaitu melalui program jajak
pendapat publik mengenai peristiwa Sampang.
Sedangkan partai politik lainnya tampak belum
begitu “bersemangat” mengangkat isu tersebut.
Kalaupun ada, mereka ini hanya sekedar
mempublikasikan “sekilas berita” mengenai
peristiwa Sampang tadi.
Mengenai fenomena tersebut di atas, penulis
telah mengkonfirmasi hal itu dengan mewawancarai
Ahmad Hidayat dari organisasi Ahlul Bait Indonesia
(ABI). Saat ia ditanya bagaimana pendapatnya
mengenai kecenderungan bahwa peristiwa
Sampang tampaknya masih belum menjadi isu
“yang menarik” bagi partai-partai politik nasional
yang ada, Hidayat membenarkan hal tersebut.43
Bahkan, menurutnya, “Patut disayangkan bahwa
partai politik justru tidak progresif dan bahkan pasif
terhadap persoalan-persoalan sektarian seperti
yang terjadi di Sampang.”44
Lebih lanjut menurut Hidayat:45 “Selama partai
tidak keluar dari cara-cara berpikir yang kuno yang
hanya mengharapkan dukungan suara, dan tidak
dengan pertimbangan rasional, maka sangat
mungkin persoalan sensitif seperti kasus Sampang
tidak akan pernah menjadi hal yang menarik bagi
partai politik. Walaupun demikian, tentu kami
berharap agar partai-partai politik, baik yang
mengklaim dirinya sebagai partai nasionalis
maupun partai berdasar agama tertentu, semestinya
menggunakan fungsi-fungsinya untuk memberikan
pendidikan politik kepada rakyat Indonesia, dan
mampu menjelaskan bahwa sesungguhnya secara
konstitusional persoalan keagamaan adalah
persoalan bangsa yang sudah diatur dalam Undang-

Namun, narasumber lain yang penulis
wawancarai menolak pendapat yang mengatakan
bahwa partai politik, terutama yang ada di Dewan
Perwakilan Rakyat, hanya bersikap pasif terhadap
peristiwa diskriminasi seperti yang terjadi Sampang.
Habiburrokhman yang menjabat sebagai Ketua
Bidang Advokasi Partai Gerakan Indonesia Raya
(Parta Gerinda) menjelaskan bahwa:46 “Bagi Partai
Gerindra isu penghormatan hak minoritas bukanlah
persoalan layak dijual atau tidak, tapi seharusnya
menjadi komitmen seluruh elemen bangsa termasuk
seluruh partai politik. Partai Gerinda sangat serius
merespons kasus Sampang, wakil kami di Dewan
Perwakilan Rakyat telah mendesak pemerintah
untuk melakukan tindakan tegas.”
Dinamika permasalahan diskriminasi di
Indonesia ini jelas tidak hanya berhenti pada
lingkup suku, ras, dan agama saja. Peristiwa seperti
yang terjadi di Sampang, yang melibatkan 2 (dua)
kelompok masyarakat yang berbeda mazhab, yaitu
Suni dan Syiah, sebenarnya memperlihatkan
bahwa diskriminasi dapat pula terjadi di dalam
lingkup 1 (satu) agama. Oleh karena itu, maka
perspektif keadilan bagi mazhab minoritas juga
menjadi hal penting yang perlu diperhatikan secara
sungguh-sungguh oleh seluruh pihak, termasuk
partai-partai politik di Indonesia.
Ketiga, berdasarkan penjelasan di atas, maka
dapat pula diketahui bahwa partai-partai politik
yang ada di Indonesia, khususnya mereka yang
menjadi peserta pemilihan umum tahun 2014,
masih belum menjadikan isu keadilan bermazhab
bagi mazhab minoritas sebagai isu yang penting
untuk diperjuangkan perwujudannya di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendapat
semacam ini juga terungkap saat penulis
menanyakan kepada Hidayat sebagai narasumber.
Hidayat berpendapat bahwa:47 “Memang patut
disayangkan bahwa sejumlah partai politik yang
ada tidak cukup siap untuk memberikan kontribusi
yang positif bagi tegaknya kehidupan toleransi di

43
Wawancara dengan Ahmad Hidayat, Sekretaris Jenderal Ahlul Bait Indonesia (ABI). Wawancara dilakukan pada tanggal 16 September
2013. Sebagai organisasi, ABI ini telah aktif mengadvokasi warga masyarakat yang menjadi korban diskriminasi berlatar belakang
perbedaan mazhab, seperti halnya yang menimpa kaum Syiah di Sampang.
44

Ibid.

45

Ibid.

46

Wawancara dengan Habiburrokhman, Ketua Bidang Advokasi Partai Gerakan Indonesia Raya (Parta Gerinda). Wawancara dilakukan
pada tanggal 10 September 2013.
47

266

Undang Dasar 1945. Karena itulah, partai politik
harusnya mencetak kader-kader politik yang
negarawan yang tidak lagi terkooptasi oleh
kepentingan sektarian.”

Wawancara dengan Ahmad Hidayat, loc.cit.

267

Vol. 11 No. 3 - September 2014 : 257 - 270

Negara Indonesia yang bhinneka atau plural ini.
Dan sesungguhnya hal itu t