fiqh imam maliki sejarah intelektual dan

Sejarah Intelektual Imam Malik Dan Metodenya Dalam Menyelesaikan
Masalah Hukum Islam
A. Latar Belakang
Kaum muslim di dunia memiliki ajaran dan aliran yang mereka yakini dan mereka ikut
untuk melakukan aktfitas sehari-hari,dalam kegiatan ibadah,muamalah,dll. Yang kita ketahui
ada 4 madzhab yang sangat berperan pentng dikalangan kaum muslim dunia, yaitu Imam
Hanafi,Imam Malik,Imam Syafi’I,dan Imam Hambali.
Dalam proses dan tata cara hukum yang dimiliki ke empat madzhab tentu berbeda cara
dan prosesnya, namun segala perbedaan yang mereka miliki dapat diterima,karena tdak ada
yang salah dari cara maupun metode yang keempat madzhab gunakan untuk penyelesaian
perkara hukum. Peran keempat madzhab di dunia jika dilihat dari segi fungsi masing-masing
madzhab,wilayah dan lingkungan masyarakat juga berpengaruh dalam pola pikir tentang
metode dalam penyelesaian hukum yang mereka terapkan.
Pada pembahasan kali ini akan mengulas mengenai madzhhab Imam Maliki,dimakalah
ini akan membahas sejarah intelektual Imam Malik dan metode yang beliau terapkan dalam
hal penyelesaian perkara hukum. Beliau dalam menetapkan perkara suatu hukum tdak
pernah keluar dar jalur, dan beliau tdak melebihi apa yang dikatakan Rasulullah SAW. Beliau
masih mencontoh dari apa yang sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

B. Pembahasan
1. Biorgafi Imam malik

Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amr al-asbahi
al-‘Arabiy al-Yamniyyah. Inunya bernama ‘Aisyah bint syarik al-Azdiyyah dari kabilah alYamaniyyah. Beliau dilahirkan tahun 93 H. (712 M) di kota Madinah dan meninggal tahun
179 H / 789 M,1 Dalam usia 87 tahun.2 Beliau dilahirkan dalam rumah tangga ilmu yang
tekun mempelajari hadis dan dalam masyarakat hadis dan atsar. Pada saat itu, Madinah
adalah pusat ilmua pengetahuan dan menjadi pusat negara Islam di masa Abu Bakar, Umar,
dan Utsman.
Madinahlah tempat terbit berbagai fatwa yang diamalkan oleh para sahabat dan
tabi’in, hingga datanglah Malik dan menerima warisan yang besar, ilmu hadis dan fatwa.
Malik telah menghapal Al-Qur’an di masa masih sangat muda. Pada masa itu, menghapal AlQur’an yang menjadi tumpuan pertama putra-putra yang mendapat didikan agama.
Setelah beliau mengert dan memahami serta menguasai dasar-dasar ilmu
pengetahuanagama islam, khususnya masalah fiqh dan al-Hadits, maka beliau melakukan
pengembangan pemikirannya dengan cara:
a) Mendatangi para ‘ulama’ di Masjid Haram disamping ditempat-tempat lain dan di
Makkah, sebab kedua tempat tersebut selalu dikunjunginya para ‘ulama’ dari
berbagai daerah.
b) Mengadakan forum diskusi dengan para ‘ulama’ Madinah.
c) Mengembangkan keilmuan keagamaan yang telah dimilikinya melalui bacaan
literatur-literatur yang telah ada.
d) Mengadakan forum diskusi dikediamannya dengan para muridnya dan para ‘ulama’
pada saat itu.


2. Pola pemikiran Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam
Imam Malik adalah seorang Imam Mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam Abu
Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh dengan cepat
sebagai ‘ulama ‘ kenamaan terutama dalam bidang Ilmu-Hadits dan fiqh.
Karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuan yang telah dimilikinya
kepada orang lain yang membutuhkannya dan sudah mencapai tngkat tnggi dalam bidang
1 Shubhi Mashmashani, falsafah..., Op-cit, hal: 60-61
2Awad al-Mughniyyah, al-Fiqh....., Op-cit, hal: xxvii

ilmu, maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga wujudlah kitab Muwattha’ yang
menjadi rujukan utama para ahli fiqh dan al-Hadits, bahkan tdak sedikit dari kalangan
muhadditsin yang mempelajarinya, sebab susunannya telah diatur sistemats menurut
sistem fiqh, bahkan Imam Syafi’iy menanggapinya dengan menyatakan bahwa tdak ada
satupun kitab setelah kitab Allah di muka bumi ini yang lebih sah dari pada kitabnya Imam
Malik.
Sekalipun demikian, beliau sering menghadapi berbagai macam kekejaman dan
keganasan yang sangat berat dari penguasa, lantaran singkapnya yang tdak mau mencabut
fatwanya yang bertentangan dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyyah di Baghdad,
akibatnya beliau mendapat siksaan berat dan dihukum penjara.3

Imam Malik termasuk salah satu ‘Ulama yang sangat teguh dalam membela kebenaran,
bahkan beliau sangat berani dalam menyampaikan apa-apa yang telah diyakini akan
keberadaannya, misalnya pada suatu ketka Harun al-Rasyid memperingatkan beliau untuk
tdak mengatakan sepotong hadits tertentu, tetapi tdak diharaukannya, lalu beliau
membacakan
al-quran
surat
al-Baqarah
:
159:

Artnya :
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa
keterangan-keterangan dan petunjuk, maka akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk. 4
Dalam bidang al-Hadits, Imam Malik termasuk salah satu ‘ulama’ yang ahlui dalam
bidang ini. Hal ini terlihat dari adanya pernyataan para ‘ulama’, dianataranya adalah :
a) Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa “Apabila datang kepadamu al-Hadits dari
Imam Malik, maka pegang teguhlah olehmu, karena dia menjadi hujjah bagimu”.

b) Imam al-Dahlawi berkomentar bahwa Imam Malik adalah seorang ilmuan

Madinah, yang spesialisasi keilmuannya di bidang al-Hadits tdak dapat
dipungkiri, sebab beliau termasuk ilmuan yang paling mengetahui tentang
keputusan-keputusan Abdullah bin ‘Umar dan “Aisyah serta sahabat-sahabat
mereka.

3 Zahrah, Tarikh..., Op-cit, hal: 40
4 Al-Qur’an dan...., Op-cit, hal: 40

Sedang dalam masalah hukum dan fatwa, beliau sangat berhat-hat dalam
membuat keputusan yang akan diambilnya. Hal ini dibuktkan dengan pernyataannya
sendiri yang mengatakan bahwa; “Aku tdak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan
suatu hadits, selama 70 tahun orang ‘ulama’ belum mau membenarkan dan mengakui
kebenaran akan fatwanya”.

3. Metode Istdlal Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam
Dengan melihat sikap kehat-hatan dan ketelitan imam Malik dalam menetapkan
hukum islam, selalu berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
Dalam memegangi al-Qur’an sebagai dasar utama dalam menetapkan
hukum, beliau mendasarkannya atas “Dhahiri Nashi al-Qur’an” secara umum.

Dan ini meliput Mafhum al-Mukhalafah dan Mafhum Aulawiyyah dengan
tetap memperhatakn pada illatnya.5
2) Al-Sunnah
Dalam hal ini, imam Malik mengikut pola dilakukannya dalam berpegang
teguh kepada al-qur’an. Artnya: Jika dalil syara’ itu menghendaki adanya
penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah art ta’wil. Jika terjadi
pertentangan antara ma’na dhahir al-qur’an dengan makna yang terkandung
dalam al-Hadits, sekalipun jelas ( sharikh ), maka yang didahulukan adalah
makna dhahir al-qur’an. Akan tetapi jika makna yang terkandung dalam alHadits tersebut dikuatkan dengan ijma’ ahl Madinah, maka yang diutamakan
untuk diambil adalah makna yang terkandung dalam al-qur’an dari pada
makna dhahir al-Qur’an, baik Mutawatr maupun Masyhur dan Hadits Ahad.
3) Ijma’ Ahl Madinah
Yang dimaksud dengan ijma’ Ahl Madinah adalah ajma’ Ahl Madinah yang
asalnya dari Naql, artnya:”kesepakatan bersama ang berasal dari hasil mereka
mencontoh Rasulullah saw., bukan dari hasil ijthad mereka”. misalnya:
a) Ukuran mud dan sha’
b) Penentuan suatu tempat, sepert tempat mimbar Nabi SAW atau
c) Penentuan tempat dilakukannya amalan-amalan rutn, sepert Adzan
di tempat yang tnggi dan lain-lain.
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa “ijma’ Ahl Madinah” sepert itu

bisa dijadikan sebagai Hujjah dan merupakan kesepakatan seluruh
kaum muslimin, sedang kesepakatan ahl madinah yang hidup
sekarang, sama sekali tdak bisa dijadikan sebagai Hujjah.
Oleh sebab itu, maka di kalangan madzhab Maliki menyatakan
bahwa “ijma’ Ahl Madinah” itu lebih diutamakan dari pada “khabar
Ahad”,sebab ijma’ ini merupakan pemberitaan jama’ah, sedang
Khabar Ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan.

5 Zahrah, tarikh…, Op-cit, hal: 397-398

4) Fatwa Sahabat
Maksudnya adalah “ketentuan hukum yang telah diambil oleh
sahabat besar berdasarkan pada Naql”. Hal ini berart “perwujudan
Hadits-Hadits yang harus diamalkan, sebab mereka tdak akan
memberikan fatwa kecuali atas dasar apa yang sudah difahami mereka
dari Rasulullah SAW. Sekalipun demikian, tetap harus tdak
bertentangan dengan “Hadits Marfu’”. Karena hal itulah, fatwa
Sahabat menurut Madzhab Maliki lebih didahulukan dari pada Qiyas
dan bisa dijadikan sebagai “Hujjah”.
5) Ijma Ahl Madinah

Masalah “Khabar Ahadi”, imam Malik tdak mengakui
keberadaannya sebagai suatu yang datang dari Rasulullah SAW, kecuali
jika keberadaannya benar-benar sudah populer dikalangan masyarakat
Madinah. Jika tdak, maka hanya dianggap sebagai petunjuk bahwa
Khabar Ahad ini tdak besar berasal dari Rasulullah, sehingga tdak
dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum. Karena hal itulah
imam Malik mendahulukan “qiyas” dan “Mashalah” dari pada Khabar
Ahad.
6) Al-Isthsan
Yang dimaksud “isthsan” menurut Imam Malik adalah
“menentukan hukum dengan mengambil mashlahah sebagai bagian
dalil yang bersifat menyeluruh (kulli) dengan maksud mengutamakan
istdlalul Mursah dari pada Qiyas”, sebab menggunakan isthsan itu,
tdak berart hanya mendasarkan pada pertmbangan perasaan
semata, tetapi mendasarkan pada Maqashid al-Syari’ah secara
keseluruhan.
Dari definisi sepert itulah, maka isthsan itu lebih
mementngkan masalah juz’iyyah ( masalah khusus ) dibandingkan
dengan dalil kulli (dalil yang umum), atau berart beralih dari satu
Qiyas ke Qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat jika dilihat dari

Maqhasid al-Syariah. Artnya jika terdapat suatu peristwa yang
menurut Qiyas seharusnya diterapkan penggunaan hukum tertentu,
tetapi dengan penerapan hukum tertentu tersebut ternyata akan
dapat menghilangkan suatu mashalah atau membawa suatu madlarat
tertentu, maka ketentuan Qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke
Qiyas lain yang tdak akan membawa dampak negatf. Jadi Isthsan itu
selalu melihat ada dan tdaknya dampak negatf dari penerapan
ketentuan hukumnya, jangan sampai merugikan.
Dalam masalah ini, Ibnu al-‘Araby (salah satu ‘ulama’
Malikiyyah) berkomentar bahwa Isthsan itu bukan berart
menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, tetapiberpindah dari
satu dalil ke dalil yang ditnggalkan tersebut. Dalil kedua dapat
berwujud “ijma’” atau “’Urf” atau “Mashlahah-Murshalah” atau

“Kaidah Raf’u al-Jarah wa al-Masyaqqah (
) yaitu:
“Menghindarkan kesempitan dan kesulitan yang telah diakui syariah
akan kebenarannya.
7) Al-Mashlahah al-Mursalah
Yang dimaksud dengan “Mashlahah Murshalah” adlah

“Mashlahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tdak ada”. Dalam
kalangan Hanabilah menyebutnya dengan istlah “Istshlah”.
Para ‘ulama bersepakat bahwa Mashlahah Murshalah bisa
dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum itu harus memenuhi
beberapa persyaratan yang harus ada didalamnya, yaitu:
a) Mashlahah itu benar-benar mashlahah yang past menurut
penelitan, bukan hanya sekedar perkiraan dan sepintas kilas.
b) Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan
hanya berlaku pada orang-orang tertentu yang bersifat pribadi.
c) Mashlahah itu harus benar-benar yang tdak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan nash atau ‘ijma’.
Imam Syafi’i dan Imam al-Ghazali menolak keberadaan
Mashlahah Murshalah sebagai salah satu dasar pengambilan hukum,
sebab hanya berdasarklan pada pertmbangan akal pikiran atau
perasaan saja.
8) Sadd al-Zara’i
Yang dimaksud “sadd al-Dzara’i” adalah Menutup jalan atau
sebab yang menuju kepada hal-hal ini imam Malik menggunakannya
sebagai salah satu dasar pengambilan hukum, sebab semua jalan atau
sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka

sesuatu itu jika dilakukan hukumnya haram.
9) Istshhab

Yang dimaksud dengan “istshhab” adalah “tetapnya suatu
ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang
berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada
dimasa lampau”. Maka sesuatu yang sudah diyakini adana, kemudian
datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya
tersebut, maka hukumnya tetap sepert hukum pertama, yaitu tetap
ada. Begitu juga sebaliknya.
Misalnya:
“ Ada orang yang sudah yakin bahwa ia mempunyai wudlu dan
dikuatkan lagi ia baru saja melaksanakan shalat Shubuh, lalu datang
keraguan apakah sudah batal atau belum?.
Maka hukum yang harus diambil adalah yang diyakininya bahwa ia
belum batal, apa lagi dikuatkan bahwa ia baru saja shalat Shubuh.

10) Syar’u Man Qablana
Prinsip yang dipakai oleh IMAM malik dalam menetapkan hukum
adalah kaidah: “

“ dan prinsip ini dijadikan
sebagai salah satu dasar pengambilan hukum oleh Imam Malik.
Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa jika al-qur’an dan alSunnah al-Shahih mengisahkan suatu hukum yang pernah berlaku
buat ummat sebelum kita melalui para rasul dan hukum tersebut
dijelaskan dalam al-Qur’an atau al-Sunnah Shahih, maka hukum
tersebut berlaku pula untuk kita.
Contoh:
a. Surat al-Baqarah: 185 tentang kewajiban puasa :

Artnya :
Hai orang-orang yang beriman. Telah diwajibkan atass kamu
berpuassa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa.
b. Surat al-Baqarah: 186 tentang tdak berlakuna taubat bagi orang yang
bermakshiat

Artnya :
Ya tuhan kami, janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang
berat sebagaimana yang telah engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami.

Selanjutnya jika kisah dalam al-Qur’an dan al-Hadits shahih itu
sudah menyatakan bahwa hukum-hukum tersebut telah dihapus atau
dinaskh, maka hukum-hukum sepert itu sudah tdak lagi berlaku buat
kita. Contohnya syari’at Nabi Musa, dimana orang-orang dari
ummatnya jika berbuat maksiat, tdak dapat lagi berbuat kecuali
dengan cara bunuh diri. Hukum tersebut pernah berlakukan buat Nabi
Musa, tetapi sudah tdak lagi diberlakukan buat kita, sebagaimana
penjelasan al-baqarah: 186 tadi.

4. Factor-faktor yang mempengaruhi Imam Malik dalam menetapkan hukum islam
Imam Malik termasuk kelompok ahl al-sunnah wal jama’ah sepert para imam-imam
madzhab yang lain,Imam malik dalam masa penyebaran ajarannya beliau menggunakan
prinsip mashlahah-mursalah dan istihsan sebagai dasar pengambilan hukum aliran ahl alRa’yu.
Pada waktu itu kota madinah menjadi ibu kota Daulah Islamiyyah,dimana setelah
Rasulullah hijrah,beliau bersama para sahabatnya bertemmpat di Madinah, dan pada waktu
itulah al-hadits menjadi popular di Madinah, dan madinah menjadi pusat Daulah Islamiyyah
dan pusat Dakwah Islamiyyah.
Kuatnya keyakinan Imam Malik mengenai apa yang diperbuat penduduk Madinah
terutama dalam bidang keagamaan, merupakan hasil mencontoh generasi sebelumnya yang
berpangkal dari mencontoh ajaran-ajaran Rasulullah SAW. Sehingga Imam Malik menjadikan
amalan penduduk sebagai salah satu dasar pengambilan hukum islam.
Dengan melihat kenyataan akan betapa sederhananya penduduk kita madinah, maka
hanya dengan menggunakan al-sunnah saja semua persoalan mereka dapat terseleseikan,
sebab al-sunnah masih sangat relevan pada masa itu yang dimana belum memerlukan
adanya penafsiran dan penta’wilan.6

6 Muhammad Ma’shum Zein, arus emikiran empat madzhab (jombang: Darul Hikmah, 2008), 150-152.

C. Kesimpulan
Imam Malik merupakan tokoh besar pada masanya, beliau termasuk kedalam empat
madzhab terkemuka dikalangan kaum muslim dunia, dan sampai sekarang ajaran beliau
banyak dianut. Penganut ajaran madzhab Maliki kebanyakan dikalangan kaum maghribi (afrika
utara) dan Andalusia, yang mayoritas masyarakatnya masih sangat sederhana dan belum
tersentuh oleh peradaban sepert di irak.
Imam Maliki dalam menyelesaikan perkara hukum memiliki metode sendiri yang beliau
gunakan dalam menentukan perkara huumm, Imam Malik menggunakan metode istdlal
dalam menetapkan hukum islam, beliau sangat berhat-hat dan telit dalam menetapkan
hukum.
Imam malik pada masa sekarang ajarannya sudah jauh berkembang sangat luas, area
cakupan dari ajaran Imam Malik ini sudah sampai Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli, Lybia, dan
Mesir. Ajarannya kini banyak digunakan oleh kaum muslimin dalam menentukan suatu perkara
hukum, dan tentunya jaran itu dilaksnakan oleh pengikut ajaran beliau.