EPISTEMOLOGI PENCAPAIAN ILMU AL GHAZALI (1)

EPISTEMOLOGI PENCAPAIAN ILMU (AL-GHAZALI)
Abstrak: Sifat dasar ilmu pengetahuan itu berkembang, meskipun begitu masih
diperlukan strategi pengembangan ilmu agar ilmu itu sesuai dengan tujuan yang ada dan
juga kaidah penerapan ilmu. Al-Ghazali membagi kaidah-kaidah penerapan ilmu menjadi
tujuh dan strategi pengembangan ilmu menjadi enam strategi. Hal ini tidak lepas dari
tanggung jawab ilmu, ilmuwan dan juga masyarakatnya. Karena ketiga-tiganya saling
berkaitan. Dari enam strategi pengembangan ilmu tersebut pada dasarnya semua ilmu itu
sudah mempunyai strategi-strategi itu.
Kata Kunci: penerapan, pengembangan, pencapaian ilmu, al-Ghazali

PENDAHULUAN
Orang-orang yang mempelajari bahasa Arab mendapat sedikit kebingungan tatkala
menghadapi kata “ilmu”. Dalam bahasa Arab kata al-‘ilm berarti pengetahuan(knowledge),
sedangkan kata “ilmu” dalam bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan science.
Ilmu dalam arti science itu hanya sebagian al-‘ilm dalam bahasa Arab. Ilmu telah menjadi
sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis.
Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial
lewat observasi dan eksperimen. Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen
sendiri, dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang
cenderung spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan system ilmu pengetahuan manusia

yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam
bentuk ilmu yang telah terteorisasi, kebenaran ilmu dibatasi hanya sepanang dalam
pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki pengetahuan yangg
komprehensif, yakni yang luas, umum, dan universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat dan iu
tidak dapat diperoleh dalam ilmu.
Ilmu bersifat pasteriori: kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujianpengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk
diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Antara ilmu dan dan
filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosof memang mengandung sejumlah persamaan, yakni
sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan sedangkan filsafat bertugas
untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana
menjawab pelukisan fakta, sedangkan filsafat menjawab pertanyaan lanjutan bagaimana
sesungguhnya fakta itu, darimana awalnya dan akan kemana akhirnya.
Gambaran diatas memperlihatkan bahwa filsafat disatu sisi dapat menjadi pembuka
lahirnya ilmu, disisi lainnya ia juga dapat berfungsi cara kerja akhir ilmuwan.filsafat sering
disebut sebagai induk ilmu (mother of science) dan sekaligus menjadi pamungkas keilmuan
yang dalam beberapa hal tidak dapat di selesaikan oleh ilmu.

PEMBAHASAN
METODOLOGI PENCAPAIAN ILMU
Pengertian metodologi

Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan ilmu yang
membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari kata yunani methodos,
sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos
(jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri berarti: penelitian, metode ilmiah,
hipotesis ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. 1 Pengertian
metode berbeda dengan metodologi. Metode adalah suatu, jalan, petunjuk pelaksanaan atau
petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis.
Adapun metodologi disebut juga science of methods, yaitu ilmu yang membicarakan
cara, jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas
konsep teoretis berbagai metode. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa metodologi
bersangkutan dengan jenis, sifat dan bentuk umum mengenai cara-cara, aturan dan patokan
prosedur jalannya penyelidikan, yang menggambarka bagaimana ilmu pengetahuan harus
bekerja.2 Ada beberapa prinsip menurut Rene Descartes dalam suatu metode umum yang
memiliki kebenaran yang pasti.3 sebagai berikut:
1. Membicarakan masalah ilmu-ilmu yang diawali dengan menyebutkan akal
sehat (common sense) yang pada umumnya dimiliki semua orang.
2. Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan
dalam aktivitas ilmiah.
3. Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan
sebagai berikut:

a. Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil berpegangan
pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-kanak.
b. Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat yang paling meyakinkan
maupun yang paling meragukan.
c. Berusaha lebih mengubah diri sendiri dari pada merombak tatanan dunia.
4. Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acap kali terkecoh oleh indra.
5. Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia, yang terdiri atas dua
substansi yaitu res cogitans (jiwa bernalar) dan res extensa (jasmani yang
meluas).
6. Dua jenis pengetahuan, yaitu spekulatif dan pengetahuan praktis.
Metode Keilmuan
Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode
induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang terdapat beberapa alasan untuk
mendukung penilaian yang populer ini, karena ilmuan mengumpulkan fakta-fakta yang
tertentu, melakukan pengamatan, dan mempergunakan data indrawi. Analisis yang mendalam
terhadap metode keilmuan akan menyingkapkan kenyataan, bahwa apa yang yang di lakukan
oleh ilmuan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat di gambarkan sebagai suatu
kombinasi antara prosedur dan rasional. Epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh
1 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, hlm. 10.
2 Kaela, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, hlm. 7.

3 Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, hlm. 93.

1

kontroversi, namun akan di usahakan di sini, untuk memberikan analisa filosopis yang
singkat dari metode keilmuan, sebagai suatu teori pengetahuan yang termuka.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah satu cara dalam
memperoleh pengetahuan. Suaru rangkaian prosedur yang tertentu harus di ikuti untuk
mendapatkan jawaban yang tertentu dari pernyataan yang tertentu pula. Munkin epistemologi
dari metode keilmuan akan lebih mudah di bacakan, jika kita mengarahkan perhatian kita
kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses berpikir, yang diatur dalam satu
urutan tertentu.4 Kerangka dasar prosedur ini dapat di uraikan dalam enam langkah sebagai
berikut:
1. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah
Manusia menciptakan masalah dan mengajukan sesuatu yang menurut
pikirannya adalah pertanyaan yang dapat dijawab. Tanpa adanya suatu masalah yang
didefinisikan secara jelas. Manusia tak akan mempunyai jalan untuk mengetahui fakta
apa yang harus dikumpulkan. Metode keilmuan pada permulaan ini menekankan
kepada pertanyaan yang jelas dann tepat dari sebuah masalah.
2. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan

Tahap ini merupakan sesuatu yang paling dikenal dalam metode keilmuan.
Disebabkan oleh banyaknya kegiatan keilmuan yang diarah kepada pengumpulan data
ini. Maka banyak orang yang menyamakan keilmuan dengan pengumpulan fakta.
Pengamatan yang teliti yang dimungkinkan oleh terdapatnya berbagai alat, yang
dibuat manusia dengan penuh akal, memberikan dukungan yang dramatis terhadap
konsep keilmuan sebagai suatu prosedur yang pada dasarnya adalah empiris dan
induktif.
3. Penyusunan atau klasifikasi data
Tahap metode keilmuan ini menekankan kepada penyusunaan fakta dalam
kelompok-kelompok, jenis-jenis dan kelas-kelas. Dalam semua cabang-cabang ilmu,
usaha untuk mengidentifikasikan, menganalisis, membandingkan dan membedakan
fakta-fakta yang relevan tergantung kepada adanya sistem klasifikasi ini disebut
taxonomi, dan ilmuwan modern terus berusaha untuk menyempurnakan taxonomi
khusus bidang keilmuan mereka.
4. Perumusan hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan antar a benda-benda.
Hubungan hipotesis ini diajukandalam bentuk dugaan kerja, atau teori, yang
merupakan dasar dalam menjelaskan kemungkinan hubungan tersebut.hipotesis
diajukan secara khas dengan dasar coba-coba(trial-an error).5 Hipotesis hanya
merupakan dugaan yang beralasan, atau mungkin merupakan perluasan dari hipotesis

terdahulu yang telah teruji kebenarannya, yang kemudian diterapkan pada data yang
baru. Kedua hal diatas, hipotesis berfungsi untuk mengikat data sedemikian rupa,
sehingga hubungan yang diduga dapat kita gambarkan, dan penjelasan yang mungkin
dapat kita ajukan. Sebuah hipotesis biasanay dinyatakan dalam bentuk pernyataan”
jika X, maka Y”. Jika kulit manusia kekurangan pigmen maka kulit itu mudah
terbakar bila disinari matahari secara langsung. Hipotesis ini memberikan penjelasan
paling tidak tentang beberapa hubungan antara pigmentasi dengan sinar matahari.
Hipotesis ini juga mengungkapkan kepada kita syarat mana yang harus dipenuhi dan

4 M. Hasbulloh Bakry, Sistematika Filsafat, Hlm. 126.
5 . Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam perspektif, hal,107

2

pengamatan apa yang diperlukan jika kita ingin menguji kebenaran dari dugaan kerja
tersebut.
5. Deduksi dan hipotesis
Ilmu adalah metode yang semata-mata yang berpegang teguh kepada jalan
pikiran induktif, yang melangkah secara langsung dari fakta kepada penjelasan, harus
memperhatikan secara seksama peranan dari hipotesis. Hipotesis menyusun

pernyataan logis yang menjadi dasar untuk penarikan kesimpulan atau deduksi
mengenai hubungan antara benda-benda tertentu yang sedang diselidiki.
6. Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesa
pengujian kebenaran dalam ilmu berarti mengetes alternatif-alternatif hipotesis
dengan pengamatan kenyataan yang sebenarnya atau lewat percobaan. Jika fakta tidak
mendukung satu hipotesis maka hipotesis yang lain dipilih dan proses diulangi
kembali. Hakim yang terahir dalam hal ini adalah data empiris; kaidah yang bersifat
umum, atau hukum, haruslah memenuhi persyaratan pengujian empiris. Tetapi kau
rasionalis tidak menyerah dalam tahap pengujian kebenaran ini. Mereka
mengemukakan bahwa suatu hipotesis hanya baru bisa diterima secara keilmuan bila
dia konsisten dengan hipotesis-hipotesis yang sebelumnya telah disusun dan teruji
kebenarannya.
Cara mencapai Ilmu menurut Al- Ghozali
Ilmu yang muncul dalam qolbu manusia diperoleh dengan dua cara yaitu daruri, 6 dan
bukan daruri yakni ilmu-ilmu perolehan baru. Jenis pertama ada dalam diri manusia sejak
lahir secara potensial, tetapi baru muncul secara aktual ketika akal telah sempurna, dan ketika
muncul copy objek empiri-sensual dalam hayal yang dilihat akal. Jenis kedua muncul dengan
dua cara, yaitu : (a) Hujumi (spontanous) tanpa diusahakan melainkan dicampakkan kedalam
qolbu dari arah yang tidak diketahui yang bersangkutan. Macam ini terbagi dua model, yaitu
wahyu kepada nabi, yakni yang diketahui sebab darimana ilmu diperoleh berupa

menyaksikan malaikat yang mencampakkan ilmu kedalam qolbu, dan ilham kepada para wali
dan orang-orang suci, yaitu yang tidak diketahui bagaimana dan darimana terhasilkannya
ilmu itu. (b) iktisab(usaha langsung), baik berupa istidlal(mencari petunjuk) atau
nazr(penalaran, penelitian, dan penyimpulan), maupun berupa ta’allum (belajar). Ilmu yang
diperoleh melalui cara itu sama dalam esensi, tempat, dan sebabnya, yaitu hilangnya hijab
(tabir) antara qalbu dan Lauh Mahfûz yang padanya tercantum esensi semua yang muncul
dalam realitas aktual.7
Teori diatas merupakan putusan akhir Al-Ghozali setelah menganalisis secara cermat
dan akurat ilmu-ilmu dan metodologi yang berkembang sampai masanya yang ketika hukum
kausalitas dan potensi-potensi diri manusia. Ini terlihat misalnya dalam ihya’ dan Mizan alAmal. Dalam kedua kitab ini, Al-Ghozali mendiskripsikan dua teori pencapaian ilmu, yaitu
teori iktisabi, yakni bahwa ilmu diperoleh dengan cara belajar dan penelitian, dan teori ilhami
yakni bahwa ilmu diperoleh melalui ilham dengan proses mujahadah (perjuangan spiritual),
yaitu takhliyah(membersihkan diri dari segala sifat tercela) dan tahliyah (mengisinya dengan
sifat-sifat terpuji). Para ahli nalar memilih teori pertama tanpa enolak yang kedua, sedang
kaum sufi lebih menyukai teori kedua sehingga tidak tertarik dengan studi, analisis dan risetriset ilmiah.

6Abd al-Jabbar , Syar al-Usul al-Khamsah, hlm. 48.
7 Al-Ghazali, Ihya’, hlm. 17-18, dan al-Risalah al-laduniyyah, hlm. 102-103.

3


Al-Ghozali menegaskan pula bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai semua ilmu
dengan sendiri saja secara langsung tanpa guru, kecuali apabila ia memperoleh sedikit dengan
waktu yang cukup lama, sehingga pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak
pesat. Sekiranya ilmu kedokteran, misalnya, belum mapan dan belum tersusun dengan
temuan-temuan yang akumulatif dan saling mendukung dalam proses waktu yang panjang,
tentu untuk mengetahui terapi satu penyakit saja, manusia yang paling genius pun
memerlukan umur panjang, apalagi untuk mengetahui seluruhnya.8
Menurut pandangan Al-ghozali ilmu itu lebih mudah dari pada amal. Oleh karena itu
Al-Ghazali mulai dulu untuk mendapatkan ilmu mereka dengan cara menela’ah kitab-kitab
mereka, seperti kitab “Qutul Qulub” oleh Abi Thalib Al-makki Ramihullaoh dan beberapa
kitabnya Al-Harit Al-Muhasibi beserta berbagai karangan terkenal yang berhasil di karang
oleh Imam Junaid, Asy Syibli, Abu Yazid Al Busthami dan lain-lainnya, yang terdiri dari
pembicaraan guru-guru mereka, hingga Al Ghazali benar-benar berhasil melihat dan
menela’ah secara mendalam mengenai hakikat maksud keilmuan mereka.9 Di samping itu Al
ghazali juga telah berhasil meraih apa yang bisa Al Ghazali dapatkan dari metode mereka
dengan cara belajar dan mendengarkan.
       
     
       

   
“dan diantara mereka ada orang yang mendengarkan perkataan sehingga apabila
mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu
pengetahuan(sahabat-sahabat nabi)” Apakah yang dikatakannya tadi?”mereka itulah orangorang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka”.
(muhammad:16).
Tujuan ilmu
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan
para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi
orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu
pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, satra untuk satra dan lain sebagainya.
Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu
pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas
di muka bumi ini. Menurut pendapat kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan
beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan
itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh
manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi,
kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkat pendapat yang lain cenderung menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia

secara keseluruhan.10

8 Al-Ghazali, Mizan al-Amal, hlm. 227.
9 Marzuki Aqmal,Terjemah Al-Munqidz Minadlalaal, hal. 66
10 Amsal, Bakhtiar, Filsafat ilmu, (Jakarta, raja gravindo persada, 2011), 173-174

4

Tujuan utama kegiatan keilmuan adalah mencari pengetahuan yang bersifat umum dalam
teori, hukum, kaidah, asas dan sebagainya.11 Proses dan metode untuk mendapatkan
pengetahuan keilmuan dalam semua bidang ilmu adalah sama.
Perkembangan ilmu
Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara
mendadak, melainkan terjadi secara bertahap. Penemuan demi penemuan yang dilakukan
oleh manusia hingga jaman sekarang ini tidaklah berpusat di satu tempat atau wilayah
tertentu. Penemuan-penemuan yang menyebar dari Babilonia, Mesir, Cina, India, Irak,
Yunani hingga ke daratan Eropa membuktikan bahwa manusia selalu dihadapkan pada
tantangan alam, situasi dan kondisi yang memacu daya kreativitasnya.12
Pada masa sekarang kita melihat bahwa Eropa merupakan sentral atau gudang ilmu
pengetahuan, maka dalam sejarah perkembangan ilmu terbukti bahwa sumbangsih Dunia
Timur bagi kemajuan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini sangatlah besar. Banyak
penemuan yang terjadi di dunia timur yang baru dikembangkan belakangan di Dunia Barat.
Namun, perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban
Yunani. Oleh karena itu, periodesasi perkembangan ilmu yang disusun di sini dimulai dari
peradaban Yunani, kemudian diakhiri pada penemuan pada jaman kontemporer.13
Pada awalnya ilmu yang ada yakni ilmu animisme, yakni percaya kepada hal-hal
ghaib. Setelah itu akhirnya muncullah ilmu empiris, karena lambat laun manusia menyadari
bahwa gejala alam dapat diterangkan alasannya. Ilmu teoritis muncul kemudian, dimana
hubungan dan gejala yang ditemukan dalam ilmu empiris diterangkan dengan dasar suatu
kerangka pemikiran tentang sebab-musabab sebagai langkah untuk meramalkan dan
menentukan cara untuk mengontrol kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat dicapai.14
Sejauh apa pun ilmu pengetahuan berkembang, ternyata tetap terikat bahwa manusia
sebagai pendukung (subjek) ilmu pengetahuan. Tegasnya, bagaimanapun ilmu itu tetap dari
manusia, oleh manusia dan untuk kepentingan manusia. Semua itu bermuara pada
kepentingan manusia dalam usahanya mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
untuk mencapai tujuan kebahagiaan.
Strategi pengembangan ilmu al-Ghazali
Kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu memerlukan dua pertimbangan, yakni
objektivitas dan nilai-nilai hidup kemanusiaan. Objektivitas yang tertuju kepada kebenaran
merupakan landasan tetap yang menjadi pola dasarnya, nilai-nilai hidup kemanusiaan
merupakan pertimbangan pada tahap pra-ilmu dan pasca-ilmu. Nilai-nilai kemanusiaan
merupakan dasar, latar belakang dan tujuan dari kegiatan keilmuan.15
CA Van Peursen berpandangan, bahwa dalam meninjau perkembangan ilmu
pengetahuan secara menyeluruh tidak terlepas dari tiga pembahasan, yakni teori pengetahuan,
teknik dan etik. Ketiga persoalan ini harus dibahas secara bersama, karena teori pengetahuan
melahirkan teknik, dan teknik bersentuhan langsung dengan pertimbangan nilai etik.16
Ibnu Khaldun menyusun metode pengembangan sains falsafiyah, dengan membatasai
pada hal-hal yang ada dengan menggunakan tiga tingkat kecerdasan manusia, yaitu
mengamati, membuat percobaan dan menyusun teori. Kemudian teori itu digunakan untuk
11 Jujun, S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009), 19
12 Tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM, filsafat ilmu; sebagai dasar pengembangan ilmu
pengetahuan, (Yogyakarta, Liberty, 2003), 63
13 Tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM, filsafat ilmu, 63.
14 Jujun, S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009), 87-96
15Tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM, filsafat ilmu, 86.
16 Ibid, 88.

5

menerangkan kejadian-kejadian nyata, proses-proses, dan gejala-gejala yang dapat diamati di
dalam alam fisik maupun sosial.
Al-Ghazali memiliki beberapa strategi dalam mengembangkan ilmu, yakni:17
1. Prinsip integralisme. Dengan adanya prinsip ini, maka tidak akan terjerumus ke dalam
tiga bentuk dikotomisme, yakni pemisahan agama dengan filsafat dan ilmu, pemutusan
kaitan antara epistemologi, ontologi dan aksiologi, dan pelepasan kaitan antara satu
disiplin dengan yang lainnya.
2. Trilogi pengembangan ilmu. Trilogi itu diantaranya dimensi ontologinya yakni fakta atau
data, dimensi epistemologinya adalah teori atau metode, dan dimensi aksiologisnya yaitu
nilai-nilai etis-yuridis.
3. Prinsip memperluas kawasan kemungkinan. Prinsip ini merupakan salah satu karakteristik
umum pemikiran al-Ghazali. Hal ini dapat dilihat pada, hokum kausalitas yang masih
mengakui mukjizat dan hal-hal supranatural lain sebagai “kemungkinan” rasional,
pengakuan kemungkinan diperolehnya ilmu dengan jalan mukasyafah yang di luar hukum
kausalitas natural, dan bahwa hasil temuannya yang transdental diakui sebagai
“kemungkinan” rasional sepanjang tidak irasional, prinsip probabilitas ilmu-ilmu
inferensial yang dihasilkan dengan penelitian empirik-induktif.
4. Prinsip mengutamakan falsifikasi Al-Ghazali juga menganut prinsip mengutamakan
falsifikasi daripada verifikasi. Seperti dapat dilihat, penolakannya terhadap beberapa
konsep metafisika neo-platonik dari sudut falsifikasi, lebih banyak menetapkan akidah
dengan metode dialektik, yaitu dengan cara mengklaim tesis-tesis tertentu, kemudian
memfalsifikasikan tesis-tesis sebaliknya, bukan memverifikasikan tesisnya lebih dahulu
engan menjelaskan argument-argumennya, memfalsifikasikan konsep-konsep teologi dan
politik isma’iliyah/ta’limiyah, dalam kode etik takwil, ia lebih banyak menetapkan
kaidah-kaidah falsifikasi daripada verifikasi, terutama dalam kaitannya dengan kaidah
pengkafiran.
Esensi falsifikasi al-Ghazali yakni penyangkalan suatu tesis atau teori dengan cara
menjelaskan segi-segi kelemahannya. Terma-terma falsifikasinya yakni muṭâlabah
(penuntutan argument atau bukti sebagai bentuk terendah), muqâbalah (menghadapkan
problem dengan problem dan argument dengan argument), mu’âradah, radd, inkâr
(penentangan, pembantahan, atau penyangkalan dengan cara menjelaskan dan
menunjukkan kelemahan dan kesalahan suatu tesis atau teori), ibṭâl atau hadam
(pembatalan, penumbangan dengan macam-macam argument dan pembuktian yang
menyangkal).18
5. Meminimalisasi pengkafiran dan memperluas rahmat. Mukmin adalah setiap orang yang
berpegang teguh kepada dua kalimat syahadat dan meyakini kebenarannya, membenarkan
apa yang dibawa rasul. Sehingga, kafir hanyalah mengingkari salah satu dari dasar-dasar
agama yang tiga secara total sebagai pangkal, yaitu keimanan kepada Allah, kerasulan
nabi Muhammad SAW dan akhirat, atau menolak apa yang diketahui secara mutawatatir
sebagai ajaran agama islam.
a. Al-Ghazali memperluas medang jihad, yakni bukan hanya dalam bidang hokum,
akan tetapi juga dalam bidang teologi sepanjang dalil-dalilnya tidak pasti
b. Memperluas takwil baik segi medan maupun segi makna takwilnya, baik mengenai
teologi maupun hukum
c. Yang menolak ijma’ dan hukum-hukum yang didasarkan kepadanya tidak menjadi
kafir karenanya

17 Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali, 333-337
18 Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali, 299.

6

d. Dalam konsep teologinya, meskipun menolak filosof dan mu’tazilah mengenai
prinsip simplisitas tersebut dan implikasi-implikasinya, ia dengan tegas menolak
pengkafiran mereka
e. Semua non-muslim yang belum mendengar dakwah islam dan yang mendengar,
tetapi masih dalam proses pencarian kebenaran secara tulus dan serius sesuai prinsipprinsip ilmiah, kemudian wafat sebelum menemukan kebenaran itu, ia diampuni allah
dan mendapatkan rahmatnya.
6. Prinsip substansialitas-utilitas. Pada substansinya ilmu itu bebas nilai sehingga semua
ilmu itu dapat dikembangkan, akan tetapi ilmu itu juga dapat tidak bisa dikembangkan
jika ilmu itu tidak terpuji ketika sudah masuk ke masyarakat. Menurut al-Ghazali alasan
ilmu itu tidak boleh dikembangkan karena fungsinya, yakni membahayakan diri sendiri
dan orang lain, membahayakan diri sendiri dan orang lain pada umumnya, seperti
astrologi yang bisa menjerumuskan kepada syirik, tidak menghasilkan sesuatu yang
berguna secara sosio-kultural akan tetapi menghasilkan umur tanpa makna.
Sifat dasar ilmu itu yakni berkembang, sehingga dari sifat dasar inilah semua ilmu
pengetahuan pasti dan harus mempunyai enam strategi pengembangan ilmu tersebut.
Kaidah-kaidah penerapan ilmu dalam praksis
Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik dan buruk, dan si pemilik
pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar
epistemologisnya saja, sedangkan secara ontologis dan aksiologis ilmuwan harus mampu
menilai antara yang baik dan buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan
sikap.19
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa
teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya, mestilah
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat dan sebagainya. Ini berarti,
ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengahtengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya. Jadi, netralitas ilmu hanya terletak
pada epistemologinya, sedangkan secara ontologis dan aksiologi tidak.20
Proses dan prosedur pencapaian ilmu
Al-Ghazali menyebutkan prosedur pencapaian ilmu dengan istilah “Sistem Sembilan
Tahap” yang terbagi menjadi tiga fase diantaranya :
1. Fase Pra Penelitian
Fase ini terdiri dari tiga tahap, yaitu identifikasi masalah, penetapan tujuan penelitian,
dan penetapan prinsip-prinsip ilmiah tertentu.
a. Tahap pertama, identifikasi masalah, terkandung tiga unsur : adanya masalah,
urgensi masalah dan studi yang telah dilakukan. Dengan demikian penelitian dan
ilmu yang dihasilkannya berpangkal pada adanya masalah. Timbulnya masalah
dilatarbelakangi oleh dua faktor : faktor subjektif, yaitu adanya daya kritis pada
orang yang bersangkutan, dan faktor objektif antara lain adanya kesenjangan
antara teori atau informasi dengan realitas. Dari kedua faktor ini timbul hasrat
ingin mengetahui realitas objek yang sedalam-dalamnya, sekaligus terputusnya
ikatan taklid dan proposisi warisan dari orang tua, guru, atau lingkungan. Masalah
yang hendak dikaji atau diteliti itu haruslah masalah yang penting bagi kehidupan
manusia, setidaknya bagi pribadi yang bersangkutan, dan studi yang telah
19 Ibid, 35
20 Amsal, Bakhtiar, Op. Cit., 170-171

7

dilakukan belum memuaskan atau belum ada yang melakukan, sehingga statusnya
bisa menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individual) bagi yang melihat dan
mempunyai kesanggupan untuk menelitinya.21
b. Tahap kedua, penetapan tujuan penelitian yaitu tercapainya ilmu yang dalam
konteks tujuan yang hendak dicapai adalah ilmu yang meyakinkan (ilmu
yaqi>ni>).
c. Tahap ketiga adalah tahap intropeksi dan penancapan prinsip-prinsip ilmiah
tertentu yang diatasnya ilmu harus dibangun, sehingga ia tumbuh dan berkembang
secara sehat, kokoh dan subur. Prinsip yang paling menonjol adalah “panca
prinsip”, yaitu prinsip skeptik metodis dan anti taklid, prinsip objektif faktual dan
terbuka, prinsip rasional kritis, prinsip komprehensif dan sintetik-intregalistik, dan
prinsip ikhlas.
2. Fase penelitian
Fase ini tercakup dalam sistem logika Al-Ghozali yang dibagi menjadi empat tahap :
a. Tahap keempat : asumsi dasar (Daruriyat)
Al-Ghozali memakai kerangka dasar logika sebagai muqaddimah dalam ilmu.
Metodologi rasional Al- Ghozali secara umum sama dengan metodologi rasional
para filosof lain yang lebih didominasi oleh logika peripatetik seperti Al-Farabi
dan Ibn Sina. Bangunan ilmu merupakan sebuah sistem pernyataan ilmiah yang
tersusun dari serangkaian proposisi, assent atau konklusi (tas}diq, nati>jah atau
ilmu) yang satuannya berpijak pada sedikitnya dua konsepsi (tas}awwur). Dengan
demikian, bangunan ilmu pada akhirnya berakar dan bermuara pada konsepsi.
b. Tahap kelima : proses kajian rasional
Pada tahap ini, objek yang dianalisis dengan metode ilmiah tertentu yang disebut
hujjah atau burhan (argumen). Ada tiga macam hujjah :
1) Qiyas (Silogisme)
Qiyas hanya menghasilkan konklusi yang benar secar kompulsif bila
memenuhi persyaratan, baik pada materi yaitu premis-premis, maupun pada
bentuknya. Meskipun bukan termasuk syarat qiyas bahwa premis-premisnya
secara substansial diterima (benar), bila ia secara formal diakui harus pula
diakui konklusinya. Kualitas konklusi qiyas ditentukan oleh kualitas premispremisnya.
2) Istiqra’ (induksi)
Al-Ghozali, Al-Farabi dan ibn Sina mengenal dua macam istiqra’ yaitu istiqra’
yaitu isiqra’ tamm (induksi sempurna) dan istiqra’ naqis (induksi kurang).
Jenis pertama adalah penelitian induktif terhadap semua data partikular yang
tercakup dalam suatu universal. Untuk kesempurnaan istiqra’, tidak hanya
cukup meneliti data yang dipandang mendukung hukum, bila dimungkinkan
terdapat pengecualian. Istiqra’ Naqis adalah yang tidak meliputi semua
partikular dalam universalnya. Seperti meneliti banyak pembuat sesuatu di
dunia fisis, yang semuanya bersifat fisis. Dari data partikular-partikular ini
ditarik generalisasi bahwa sifat fisis merupakan sifat esensial pembuat,
sehingga ditetapkan hukum bahwa setiap pencipta bersifat fisif.
3) Tamsil (analogi)
Analogi merupakan salah satu metode ilmiah yang cukup vital, dan telah
membentuk konsep-konsep esensial semua bidang dan aliran. Al- Ghozali
meluruskan penggunaan metode analogi mengenai bidang operasi dan tata
cara pengoperasiannya sendiri. Menurutnya, analogi tidak bisa dipakai dalam
21 Al-munqiz, mengenai penelitian filsafat,( hlm 16) dan dalam fada>’ih mengenai penelitian Ba>t}iniyyah
(hlm.1).

8

teologi metafisika, dalam arti untuk memperoleh ilmu yang meyakinkan
mengenai esensi zat, sifat, dan perbuatan Allah akhirat dan alam ghaib lain.
4) Tahap keenam : penyimpulan
Tahap ini sudah tercapai fase ilmu. Hakikat ilmu adalah putusan akal yang pasti
atau terhasilkannya “copy” objek pada akal sebagaimana realitas objek sendiri
berdasarkan metode ilmiah tertentu. Ilmu praksis dipandang final karena
dipandang yang qat’i tetap qat’i yang d{anni tetap d{anni. Dalam maslah-masalah
d{anni Allah tidak menentukan hukum tertentu. Selain itu ilmu amali bukanlah
tujuan tapi alat untuk beramal dan amal sendiri hanyalah sarana untuk
menuntaskan ilmu yang belum final menuju tercapainya kebahagiaan abadi.
3. Fase Epistemologi
Fase ini terdiri dari tiga tahap :
a. Tahap ketujuh : pengamalan ilmu praksis
Semua ilmu yang dihasilkan dengan epistemologi adalah ilmu praksis, dalam
arti bahwa ilmu teoritis yang pasti dan tentatif merupakan landasan, sedang
hukum merupakan kaidah formal perbuatan praksis manusia, dan etika
merupakan ilmu praksis dari sudut internal.
b. Tahap kedelapan : tercapainya kasyf
Menurut Al-Ghozali, ilmu kasyf bukan merupakan hasil usaha langsung,
melainkan karunia Allah yang didahului oleh persiapan diri berupa mujahadah
dan riyadah tersebut. Cara kasyf pun bermacam-macam. Kadang dengan cara
ilham yakni tiba-tiba ilmu itu muncul tanpa diketahui sebabnya. Kadang lewat
mimpi yang benar, dan kadang dalam keadaan terjaga dengan cara tersingkapnya
makna-makna dengan simbol-simbol seperti dalam tidur.
c. Tahap kesembilan : tercapainya kebahagiaan abadi
Kasyf merupakan kebahagiaan. Akan tetapi yang dimaksud kebahagiaan
denagn tercapainya wus}ul (sampai) yakni berada sedekat mungkin dengan Allah
sejak dunia sampai akhirat. Artinya derajat kedekatan dengan Allah dan
kebahagiaannya serta ketertutupan dan kesengsaraannya yang dicapai didunia,
itulah pula yang diperoleh diakhirat.
Mengenai kaidah penerapan ilmu, al-Ghazali juga memiliki tujuh prinsip
yakni:
1. Objektivitas-kontekstualitas, ilmu dalam dimensi aksiologisnya harus
mempertimbangkan konteks dan implikasi-implikasinya sesuai tuntutan
norma-norma etis-yuridis.22 Dengan kata lain, objektivitas ilmu dibatasi oleh
nilai-nilai etis-yuridis yang mengacu kepada kesejahteraan-kebahagiaan yang
merupakan tujuan akhir dari pada ilmu. Ilmu dalam ontologi dan
epistemologinya bebas nilai sedangkan dalam aksiologinya sudah terikat
dengan nilai, sehingga tidak semua ilmu faktual dapat diimplikasikan dan
semua fakta dapat diungkapkan.
2. Ilmu untuk amal dan kebahagiaan, landasan ilmu amali yakni ilmu-ilmu
faktual dasar, sedangkan metode praktisnya dalam rangka mencapai
kebahagiaan abadi yakni dengan amal.23 Orientasinya dapat kita lihat dalam
sistem atau etika pendidikannya, baik pada komponen guru dan murid, materi,
proses dan tujuannya.
3. Prioritas, prinsip ini perlu diperhatikan dalam penerapan ilmu. Dalam
penerapan ilmu harus mendahulukan kepentingan individual dari kewajiban
22 Saeful anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali; Dimensi Ontology dan Aksiologi, (Bandung, pustaka setia, 2007),
329
23 Ibid, 330

9

4.
5.
6.
7.

komunal, mengutamakan mayoritas daripada minoritas, dan mengutamakan
yang lebih penting atau mendesak.
Proporsionalitas, ilmu harus ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya,
yakni yang pasti pada kepastiannya dan yang tidak pasti pada
ketidakpastiannya.
Ikhlas
Tanggung jawab moral dan profesional. Hal ini sesuai dengan pemaparan
tanggung jawab ilmuwan di atas.
Kerja sama ilmu dengan politik. Bagi al-Ghazali, otoritas dan objektivitas
ilmiah tidak dapat dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun,
dan ilmu bukan untuk kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang. Ilmu
merupakan asa, sedangkan otoritas politik sebagai penjaga. Otoritas politik
hanya terbatas pada dimensi aksiologisnya, karena hanya merupakan alat
untuk melindungi, mengembangkan, dan merealisasikan ilmu.24

Contoh-Contoh Fase Epistemologi
1. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
Perkemabangan sain di dalam paham Humanisme. Humanisme adalah paham
filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam.
Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia
menunjukkan bila alam tidak di atur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan
manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya –
kalau dapat –manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus
ada aturan untuk mengatur alam.
Itu dibuat berdasarkan agama atau mitos,maka akan sulit sekali menghasilkan
aturan yang disepakati. Pertama, mitos itu tidak mencakupi untuk dijadikan sumber
membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak
mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada
sesuatu yang ada pada manusia.alat itu ialah akal. Pertama, karena akal dianggap
mampu, kedua, karena akal pada setiap orang bekerja berdasarkan aturan yang sama.
Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dn
sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan rasionalisme.25
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari
dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan di cari dengan akal, temuannya di ukur
dengan akal pula.Yang diperoleh ialah berfikir logis tidak menjamin diperolehnya
kebenaran yang di sepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau begitu di
perlukan alat lain .alat itu ialah empirisisme.
Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah
yang logis dan ada bukti empiris. Menurut empirisisme yang benar adalah bergerak,
sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak.
Empirisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat.
Empirisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan Empirisme ialah karena ia
belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata
empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang
mendidih ini sangat panas. Kata Empirisime, kelereng ini kecil, bulan lebih besar,
24 Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali, 332
25 Ahmad Tafsir. Filsafat Umum,hlm.29-34.

10

bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme
hanya menemukan konsep yang sifatnya umum.konsep itu belum operasional, karena
belum terukur. Jadi masih di perlukan alat lain. Alat lain itu ialah positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti
empirisnya, yang terukur. “terukur” ialah sumbangan penting positivisme. Positivisme
sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia
dan mengatur alam. Kata positivisme ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang
terukur Alat lain itu ialah metode ilmiah. Metode ilmiah sebenarnya tidak mengajukan
sesuatu yang baru; metode ilmiah hanya mengulangi ajaran positivisme, tetapi lebih
operasional. Metode ilmiah mengatakan untuk memperoleh pengetahuan yang benar
lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificartif. Maksutnya, mula-mula
buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu),
kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.
Dengan rumus metode ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode ilmiah
itu secara teknis dan rinci di jelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode
Riset. Metode Riset menghasilkan model-model penelitian. Model-model penelitian
inilah yang menjadi instansi terakhir-dan memang operasional- dalam membuat
aturan (untuk mengatur manusia dan alam). Dengan menggunakan model penelitian
tertentu kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita warisi
sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai bidang sain. Inilah
sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah
pengetahuan sain, filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti
yang di uraikan di atas ialah sebagai berikut:
Humanisme
Rasionalisme
Empirisme
Positivisme
Metode Ilmiah
Metode Riset
Model-model Penelitian

Aturan untuk mengatur manusia

Aturan untuk mengatur Alam

2. Cara Memperoleh pengetahuan mistik
11

Pengetahuan mistik itu tidak diperoleh melalui indera dan tidak juga dengan
menggunakan akal rasional. Pengetahuan mistik diperoleh melalui rasa. Immanual
Kant mengatakan itu melalui moral, ada yang mengatakan melalui intuisi, ada juga
yang mengatakan melalui insight, Al-ghozali mengataka melalui dhomir, atau qolbu.
Kata kaum sufi, anda harus menghilangkan sebanyak munkin unsur nasut pada diri
anda dan memperbesar unsur lahut. Unsur nasut ialah unsur jasmani, unsur lahut ialah
unsur rohani. Bila kita tidak lagi terlalu banyak di pengaruhi unsur nasut, maka unsur
lahut itu akan dapat berkomunikasi dengan Tuhan, yang Tuhan itu semuanya lahut.26
Untuk menghilangkan atau mengurangi unsur nasut itu manusia harus
membersihkan rohaninya, membersihkan dari nafsu-nafsu jasmaniah. Ia harus
memperkuat rohaninya. Rohaninya akan sensitif atau peka. Caranya antara lain seperti
yang diajarkan oleh kaum sufi. Thariqot dalam hal ini adalah cara dalam
membersihkan diri. Thariqot
dalam hal ini merupakan epistemologi untuk
memperoleh pengetahuan mistik. Pada umumnya cara memperoleh pengetahuan
mistik adalah latihan yang disebut juga riyadhoh. Dari riyadhoh itu manusia
memperoleh pencerahan, memperoleh pengetahuan yang dalam tasawuf di sebut
ma’rifah. Umumnya latihan itu adalah latihan batin. Palet dan santet juga di peroleh
juga dengan metode yang sama. Dapatlah disimpulakan-sekalipun kasar- bahwa
epistemologi pengetahuan mistik ialah pelatihan batin.
Kritik terhadap Metode Keilmuan
1. Metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketahui
manusia, yang hanya berkisar pada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat
dan teknik keilmuan.
2. Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kajian. Tiap
tafsiran mungkin saja benar sejauh apa yang di kemukakan.
3. Ilmu menggambarkan hakekat mekanistis- bagaimana benda-benda berhubungan
satu sama lain secara sebab akibat –namun ilmu tidak mengemukakan apakah
hakekat benda itu, apa bila mengapa benda itu ada seperti itu.
4. Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat,tidaklah berarti bahwa hal ini
merupakan keharusan , universal maupun tanpa persaratan tertentu. Pengetahuan
keilmuan hanyalah pengetahuan yangn mungkin dan secara tetap harus terus
menerus berubah.karena ilmu mengakui bahwa dia tidak mampu untuk
menyediakan pengetahuan yang pasti dan lengkap,kita mempunyai alasan untuk
berpaling kepada metode-metode yang lain, dalam mengesi pengetahuan yang
tidak terjangkau oleh kegiatan keilmuan.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Metodologi bisa diartikan ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Kata
metode berasal dari kata yunani methodos, sambungan kata depan meta
(menuju,melalui,mengikuti,sesudah) dan kata benda hodos(jalan, perjalanan, cara,
arah) kata methodos sendiri berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah.
Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu.
2. Al-Ghozali mendiskripsikan dua teori pencapaian ilmu, yaitu teori iktisabi, yakni
bahwa ilmu diperoleh dengan cara belajar dan penelitian, dan teori ilhami yakni
bahwa ilmu diperoleh melalui ilham dengan proses mujahadah (perjuangan spiritual),
26 Ahmad Tafsir. Filsafat Umum, hlm. 119-120.

12

yaitu takhliyah(membersihkan diri dari segala sifat tercela) dan tahliyah (mengisinya
dengan sifat-sifat terpuji).
3. Unsur-unsur metodologi adalah interpretasi, induksi dan deduksi,koherensi intern,
holistis, kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heuristika, analogikal, dan
deskripsi.
4. Metode Keilmuannya adalah sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah,
pengamatan dan pengumpulan data yang relevan, penyusunan dan klasifikasi data,
perumusan hipotesis, dan tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesa.
5. Kritik terhadap Metode Keilmuan antara lain: Metode keilmuan membatasi mengenai
apa yang dapat diketahui manusia, yang hanya berkisar pada benda-benda yang dapat
dipelajari dengan alat dan teknik keilmuan, ilmu memperkenankan tafsiran yang
banyak terhadap suatu benda atau kajian, ilmu menggambarkan hakekat mekanistisbagaimana benda-benda berhubungan satu sama lain secara sebab akibat –namun
ilmu tidak mengemukakan apakah hakekat benda itu, apa bila mengapa benda itu ada
seperti itu, pengetahuan keilmuan hanyalah pengetahuan yangn mungkin dan secara
tetap harus terus menerus berubah.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu; ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan logika Ilmu
pengetahuan.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghozali. Bandung : Pustaka Setia.
Aqmal, Marzuqi. 2005. Bahaya Aliran Sesat dan Upaya Keluar Dari Kesesatan. Gresik:
Putra Pelajar.
Bakhtiar, Amsal.2011.Filsafat ilmu.Jakarta:Raja gravindo persada.
Hadi, Hardono. 2000. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Nasoetion, Andi Hakim.1989. Pengantar ke Filsafat Sauns. Bogor:Litera Antar Nusa.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: Bani Quraisy.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun. 1978 . Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia.
Suriasumantri, Jujun S..1996. Filsafat Ilmu; sebuah pengantar popular. Jakarta:Pustaka
Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM. 2003. Filsafat ilmu; sebagai dasar
pengembangan ilmu pengetahuan.Yogyakarta: Liberty.

13