Hubungan Pusat dan Daerah Medebewin dan

Format Pengaturan Hubungan Pusat-Daerah:
Sentralisasi, Vrij Bestuur dan Medebewind

Latar Belakang Masalah
Setiap negara memiliki bentuk negara yang menjadi ciri khasnya, baik berbentuk negara
kesatuan maupun negara federal. Setengah dari jumlah negara di dunia ini yang menganut format
negara kesatuan. Negara kesatuan sendiri adalah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat,
serta yang berkuasa hanya pemerintah pusat yang mengatur seluruh daerah. Dalam pelaksanaan
negara kesatuan pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk mengatur seluruh wilayahnya
melalui pembentukan daerah-daerah (propinsi, kabupaten, dan seterusnya). Sistem pelaksanaan
pemerintahan negara dapat dilaksanakan baik dengan cara desentralisasi maupun sentralisasi.
Pada pembahasan kali ini kami akan lebih menitikberatkan sistem pelaksanaan
pemerintahan dengan sentralisasi. Negara kesatuan sistem sentralisasi adalah bentuk negara
dimana pemerintahan pusat memiliki kedaulatan penuh untuk menyelenggarakan urusan
pemerintah dari pusat hingga daerah, termasuk segala hal yang menyangkut urusan pemerintahan
daerah. Pemerintah daerah hanya bersifat pasif dan menjalankan perintah dari pemerintah pusat.
Singkatnya pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana kebijakan yang telah dibuat pemerintah
pusat. Di dalam UU Nomor 22 tahun 1948 dikenal asas medebewind yang berarti penyerahan
kewenangan tidak penuh, dalam arti penyerahannya hanya mengenai cara menjalankannya saja,
sedangkan prinsip-prinsipnya ditetapkan oleh pemerintah pusat sendiri. Menurut UU Nomor 22
Tahun 1948, UU Nomor 1 tahun 1957 maupun UU Nomor 18 Tahun 1965, kewenangan yang

dilaksanakan dalam rangka medebewind dicantumkan dalam undang-undang pembentukan
daerah otonom. Kewenangan tambahan lainnya yang akan di-medebewind-kan diatur lebih lanjut
dalam peraturan pelaksanaan dari undang-undang. Pada UU Nomor 5 Tahun 1974 hal tersebut
tidak digunakan, begitu pula pada UU Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan yang akan ditugaspembantuan-kan tidak dirinci secara jelas dan tetap, melainkan berubah-ubah tergantung
pada kebutuhan.1

1 http://www.ipdn.ac.id/wakilrektor/?p=392 Diakses pada 23 September 2014 Pukul 17.36

Selain medebewind, ada juga Vrij Bestuur yang berarti jika ada suatu keraguan-raguan
dalam menghadapi sebuah permasalahan, maka daerah yang paling dekat dengan masalahlah
yang memiliki kewenangan untuk menanganinya. Dasar pemikiran timbulnya vrij bestuur ini
adalah karena kewenangan dapat dirinci satu per satu, tetapi tidak ada satu pun undang-undang
yang mampu memprediksi masalah-masalah kemasyarakatan yang berkembang sangat dinamis,
sehingga bila ada kevakuman kewenangan penanganan masalah tertentu maka dengan azas vrij
bestuur ini diharapkan ada kepastian jalan keluamya.2

Hubungan Pusat dan Daerah: Sentralisasi
Sentalisasi merupakan bentuk pengelolaan kekuasaan yang sering dijumpai di beberapa
negara sebelum ide tentang demokrasi berkembang begitu pesatnya seperti di era ini. Sentralisasi
pada dasarnya adalah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di mana kekuasaan terpusat

pada badan yang sifatnya otoritatif yang memiliki wewenang dan kekuasaan dalam pengambilan
keputusan.
Alasan-alasan bagi diberlakukannya sentralisasi ada beberapa hal 3. Pertama, alasan
kultural politik yaitu cara pandang masyarakat dan elit dalam melihat kekuasaan itu sendiri,
seperti halnya dengan kekuasaan bersifat tetap (jumlah, kualitas, dan sifat-sifatnya) dan abstrak.
Hubungan kekuasaan dilihat dalam kerangka teori zero sum-game dimana pengurangan atau
penambahan kekuasaan pada satu pihak (orang, kelompok, daerah) akan diikuti oleh
penambahan atau pengurangan dengan jumlah dan kualitas yang sama pada pihak (orang,
kelompok, daerah) lain. Contoh: kerajaan-kerajaan konsentris dalam tradisi Jawa dan banyak
kawasan Asia Tenggara yang dibangun di atas konsep Raja-Dewa.
Selanjutnya yaitu alasan Ideologis yang lebih menekankan pada hakekat masalah
dalam politik dan pemecahannya. Dengan menggunakan konsep sentalistik diharapkan bahwa
penguasaan terhadap aset dan kekayaan negara berada di tangan kolektif guna menghindari
terjadinya praktek yang tidak diinginkan. Oleh karenanya sentralisasi dipandang penting untuk
menjaga aset dan mencapai kesamaan karena dengan begitu semuanya dapat terkontrol oleh

2 Jurnal Administrasi Negara Vol. II, No. 02 Maret 2002 hal. 61
3 Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

pusat. Praktek penyelenggaraan negara semacam ini banyak terjadi di negara-negara blok

komunis.
Alasan ketiga yaitu modernisasi yang menyangkut kemajuan sebuah negara
menghadapi tantangan global, dalam hal ini konsep sentralisasi sangat dibutuhkan untuk
menghadapi masalah-masalah yang timbul. Selain itu, sulit bagi negara dunia ketiga untuk
menyebarkan sumber daya yang dimiliknya, oleh karenanya sentralisasi menjadi metode yang
efektif untuk menutup atau pun mengambil peranan di dalamnya. Di Indonesia, Bappenas
merupakan mekanisme yang dilakukan negara untuk mengelola merancang pembangunan
nasional.
Politik selanjutnya menjadi alasan mengapa sentralisasi diperlukan. Alasan Politik
yaitu menyangkut kebutuhan untuk Nation and State Building: Negara-negara dunia ketiga
umumnya dibangun di atas konsep bangsa yang masih sangat mudah dan rapuh, sementara di
dalamnya telah hidup masyarakat yang sangat beragam yang sudah sangat tua. Akibatnya, negara
menjadi sangat rapuh dihadapan masyarakat yang sudah sangat tua. Guna mendapatkan posisi
negara dan bangsa yang kuat yang diyakini sebagai alat organisasional modern untuk memajukan
masyarakat, maka sentralisasi digunakan oleh banyak negara baru. Dengan kata lain sentralisasi
merupakan metode politik untuk mewujudkan nation and state building. Hal ini lebih menonjol
lagi di negara-negara majemuk dimana konflik antar kelompok kategori besar menjadi ancaman
kongkrit, kecenderungan cetrifugal kuat berkembang, dan ancaman disintegrasi teritorial sangat
kuat.
Alasan terakhir mengapa sentralisasi penting adalah karena faktor sejarah. Dalam konteks

seperti di atas, adanya kesatuan komando, penyatuan atau sentralisasi energi, penyatuan
kekuatan-kekuatan lokal ke dalam kesatuan nasional guna menghadapi musuh bersama menjadi
kebutuhan tak terhindarkan. Dalam konteks ini, sentralisasi menjadi pilihan yang tak
terhindarkan. Sejarah banyak negara membuktikan bahwa selama masa-masa penjajahan, dan
terutama pada periode pergulatan untuk meredeka, otoritas politik lokal – kerajaan, kesultanan,
dan sebagainya, pada umumnya menjadi kekuatan yang berkolaborasi dengan kekuatan penjajah.
Akibatnya, muncul sentimen anti otoritas yang sangat kuat, baik di kalangan masyarakat daerah
apalagi di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Ini yang menyebabkan daerah akhirnya
ditinggalkan, bahkan cenderungan dimatikan dalam proses politik berikutnya.

Vrij Bestuur dan Medebewind
Vrij bestuur adalah prinsip pengelolaan pemerintahan yang juga digunakan untuk
melunakkan penerapan prinsip atau metode sentralisasi. Kewenangan pusat kepada daerah yang
tidak termasuk dalam asas desentralisasi, sentralisasi, dekonsentrasi, konsentrasi, dan tugas
pembantuan dikelompokkan ke dalam Vrij bestuur atau Tampung Tantra. Misalnya adalah pos.
Medebewind merupakan salah satu asas tugas pembantuan yang diterapkan, khususnya
pada sistem pengaturan hubungan pusat dan daerah yang bersifat sentralistik. Pada masa awal
kemerdekaan Republik Indonesia, UU No. 1 / 1945 tidak mengatur batas-batas wewenang kepala
daerah sebagai perangkat daerah maupun sebagai pejabat pemerintah pusat.4 Demikian pula
hubungan kekuasaan antara instansi pemerintah pusat dan daerah-daerah otonom pada waktu itu

belum ditetapkan dengan tegas. Departemen instansi pemerintah pusat sering membuat peraturan
yang harus dijalankan oleh daerah. Bagi daerah, ini merupakan medebewind. Daerah tidak diajak
berunding, sehingga pelaksanaan peraturan tersebut sering menyulitkan daerah.
Untuk menyempurnakan UU No. 1 / 1945, dibentuklah UU No. 22 / 1948 yang
merupakan UU pokok tentang pemerintahan daerah. Pada UU tersebut hanya mengatur asas
desentralisasi dan medebewind (tugas pembantuan), tidak mengatur tentang asas dekonsentrasi. 5
Pada penjelasan umum UU No. 22 / 1948 disebutkan bahwa pemerintah pusat menentukan
kewajiban (pekerjaan) mana saja yang dapat diserahkan pada daerah, sebagai berikut: 1)
Penyerahan penuh: baik asasnya maupun tata cara menjalankan kewajiban yang diserahkan itu,
diserahkan seluruhnya pada daerah (hak otonomi). 2) Penyerahan tidak penuh: penyerahan
hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedangkan asasnya ditetapkan oleh pemerintah pusat
sendiri (hak medebewind).
Penerapan Sentralisasi di Indonesia
Penerapan sentralisasi terjadi pada masa orde baru. Aroma perpolitikan dan
pemerintahannya sangat jauh dari kata desentralisasi. Kekuasaan cenderung memusat di Jakarta,
sementara pemerintah di daerah mempunyai posisi yang sangat lemah. Misalnya, dalam hal
rekrutmen para pemimpin politik dan birokrasi di daerah-daerah. Mekanisme pemerintahan yang
4 Drs. Josef Riwu Kaho, MPA, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PolGov Fisipol UGM,
Yogyakarta, 2012, hal. 52.
5 Ibid, hal. 55


seperti ini mengakibatkan pejabat pemerintah bukannya semakin mendekat kepada rakyat yang
harus dilindungi dan dilayani, tetapi mereka lebih mengutamakan pelayanan sebaik-baiknya
kepada pejabat pemerintah pusat. Karena, yang terakhir ini merupakan pengontrol terhadap
sumber daya keuangan yang sangat diperlukan guna menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.
Sistem pengeloaan negara yang sentralistik ini secara tidak langsung memiliki
keuntungannya sendiri. Diantaranya adalah, model pengeloaan negara sentralistik menjadi alat
kesatuan bagi negara dan masyarakatnya dengan pengaturan yang jelas dan terpusat. Selain itu,
model pengeloaan negara secara sentralistik juga cenderung menekan disintegrasi bangsa, serta
mempertahankan konsistensi dalam perundang-undangan, pemerintah dan kehakiman. Maka dari
itu, tidak sedikit negara yang menggunakan model pengelolaan negara secara sentralistik. Salah
satunya adalah Indonesia pada masa pemerintahan orde baru yang diatur dalam Undang-undang
No.5 tahun 1974 yang menjadi dasar bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pusat
dalam rentang waktu 1974-1999.
Dalam rentang waktu pelaksanaannya, pemerintah orde baru berhasil melakukan
konsolidasi kekuasaan yang dimulai sejak tahun 1968. Undang-undang No.18 tahun 1965 yang
sudah dirasakan lagi tidak relevan dengan tuntutan dan perkembangan politik pada masa itu
kemudian mendorong untuk memunculkan Undang-undang baru, yaitu Undang-undang No.5
tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang sarat dengan sentralisasi
kekuasaan karena terkesan meninggalkan prinsip “Otonomi yang rill dan seluas-luasnya” dan

menggantinya dengan “Otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.” 6
Dalam penjelasan dari UU ini, ada beberapa hal atau prinsip di dalam menyelenggarakan
pemerintah daerah. Pertama, wilayah negara dibagi ke dalam daerah besar dan kecil yang
bersifat otonom dan administratif sekaligus. Artinya, tidak ada perbedaan yang tegas antar daerah
otonom dengan daerah administratif, yaitu, daerah otonom yang berpemerintahan sendiri dan
sebagai wilayah administratif yang menjadi representasi dari kepentingan pusat ke daerah.
Kedua, pemerintahan daerah kemudian diselenggarakan secara bertingkat. Adanya
Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II sebagai daerah otonom. Dimana daerah otonom tingkat yang
lebih tinggi berhak memberikan pengawasan terhadap daerah yang lebih rendah. Sedangkan,
untuk Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan merupakan daerah administratif.

6 Syaukani, H. R., Gaffar, A., & Rasyid, M. R. (2002). Otonomi daerah dalam negara kesatuan. Kerjasama Pustaka
Pelajar [dan] Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan.

Ketiga, DPRD baik tingkat I, II dan kotamaduya merupakan bagian dari pemerintah
daerah. Hal ini kemudian dinyatakan dalam pasal 13 ayat (1) UU No. 5 tahun 1974 yang
berbunyi: Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
meskipun pada umumnya sekarang DPRD terpisah dari pemerintah daerah.
Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
cenderung berlebihan yang terlihat dari pasal 67 yang menyatakan bahwa: Menteri Dalam

Negeri melaksanakan pembinaan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah Daerah untuk
mencapai hasil guna yang sebesar-besarnya, baik mengenai urusan rumah tangga Daerah
maupun mengenai urusan tugas pembantuan. Dalam praktiknya pun terlihat dengan jelas
terdapat penyelewengan dari makna otonomi dan desentralisasi dalam kehidupan politik daerah.
Menteri Dalam Negeri bisa melakukan apapun yang dianggap bisa meningkatkan hasil guna
pemerintahan karena dalam praktiknya, pembinaan dimaknai seperti itu.
Kelima, UU ini kemudian secara tidak langsung memberi perlakuan khusus kepada
Kepala Wilayah dibandingkan Kepala Daerah. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan Kepala
Wilayah adalah para pemegang jabatan di Daerah Administratif seperti Provinsi, Kabupaten/Kota
maupun Kecamatan. Timbulnya perlakuan khusus ini dikarenakan Daerah Administratif yang
lebih dominan dijadikan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dibandingkan Daerah
Otonom.
Keenam, masalah keuangan daerah diatur secara umum. Pendapatan daerah masih
bersumber dari pajak daerah, retribusi dan lain sebagainya. Sedangkan pemerintah pusat tetap
memberikan bantuan dengan nama “Pemberian Pemerintah” yang seolah-olah terdengar
pemerintah pusat berbaik hati untuk memberikan bantuan finansial kepada daerah, bukan
semata-mata karena hal tersebut merupakan kewajiban dari pemerintah pusat. Selain itu, daerah
cenderung tidak memiliki keleluasaan dalam menggali sumber daya keungan dengan
memanfaatkan sumber daya alam yang dimilikinya karena kesemua hal tersebut diatur oleh
pemerintah pusat. Sehingga, daerah hanya sekedar menerima hasil yang sudah diberikan oleh

pemerintah pusat.7
Penyelenggaran pemerintahan yang sentralistik tentu saja tidak sesuai lagi dengan pola
penyelenggaraan pemerintahan yang modern yang menekankan kepada aspek efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintah. Apalagi dalam konteks Indonesia yang menganut paham
7 Ibid, hal. 145-151

kesatuan yang secara geografis terbentang dari Sabang – Merauke, sentralisasi dipandang tidak
dapat memenuhi perannya sebagai pelayan masyarakat yang hadir di setiap daerah yang ada di
Nusantara.
Kesimpulan
Format hubungan pusat-daerah yang bersifat sentralistik pernah diterapkan di Indonesia
pada masa orde baru. Alasan-alasan diberlakukannya sentralisasi adalah karena alasan kultural
politik, alasan Ideologis, alasan modernisasi dalam menghadapi tantangan global, alasan politik
dan alasan sejarah. Penerapan sistem sentralisasi mengakibatkan kekuasaan bertumpu pada
pemerintah pusat, sehingga pemerintahan cenderung bersifat otoriter.
Sejak reformasi 1998, format hubungan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia
dirombak menjadi desentralisasi, sehingga Indonesia menjadi salah satu negara kesatuan yang
menerapkan sistem desentralisasi dimana kepala daerah diberi kesempatan dan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah). Sistem desentralisasi
dianggap paling tepat untuk diterapkan di Indonesia saat ini, karena sesuai dengan kultur

Indonesia yang beragam. Dengan sistem otonomi daerah, masing-masing daerah di wilayah
Indonesia memiliki kesempatan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan di masing-masing
daerah.

Daftar Pustaka:
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.ipdn.ac.id/wakilrektor/?p=392 Diakses pada 23 September 2014 Pukul 17.36
Jurnal Administrasi Negara Vol. II, No. 02 Maret 2002 hal. 61
Kaho, Josef Riwu. 2012. Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia.
Yogyakarta: PolGov Fisipol UGM.
Syaukani, H. R., Gaffar, A., & Rasyid, M. R. 2002. Otonomi daerah dalam negara kesatuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.