Farmasetika III (Sediaan Solid) | Sri Juita Rahmadhona 's Blog

  METODE UJI DISOLUSI SEDIAAN PADAT Laboratorium Teknologi Solida FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS ERIZAL ZAINI 2016

Bahan Aktif Farmasi

   Bahan Aktif Farmasi dan Bahan Eksipien Farmasi Kebanyakan Berada dalam Fase Padat.

   Bentuk Sediaan Farmasi yang Populer Dipasaran adalah Sediaan Padat Terutama, Tablet, Kapsul dan Serbuk Sekitar ± 80 % dan Diberikan Secara Oral, karena Pemberian Sediaan Padat melalui Rute Oral Lebih Menyenangkan. Babu and Nangia, Cryst. Growth Des. 2011,11,7,2662–2679  Sediaan Parenteral juga Ada yang Diformulasi dalam Bentuk Fase Padat (Dry Injection)  Sekitar 40 % Bahan Aktif Farmasi yang diformulasi menjadi bentuk sediaan padat memiliki kelarutan yang rendah dalam air. Int. J. Pharm. 2007,339,7,3-8 Informasi dan pengetahuan tentang sifat padatan senyawa obat

  Informasi dan pengetahuan tentang sifat padatan senyawa obat sangat penting sangat penting

  Senyawa Padat Obat secara Umum diklasifikasikan :

Kristalin : memiliki susunan molekul yang teratur dalam

  Kristalin : memiliki susunan molekul yang teratur dalam ruang tiga dimensi. Fase kristalin dapat memiliki ruang tiga dimensi. Fase kristalin dapat memiliki susunan dan konformasi molekul yang berbeda, susunan dan konformasi molekul yang berbeda, disebut Polimorf disebut Polimorf

  

Amorf : merupakan padatan yang memiliki

: merupakan padatan yang memiliki Amorf susunan kisi kisi tiga dimensi yang acak dan tidak susunan kisi kisi tiga dimensi yang acak dan tidak teratur, tidak memiliki periodesitas. teratur, tidak memiliki periodesitas.

  Solvat/Hidrat (pseudopolimorf) Solvat/Hidrat (pseudopolimorf) : Jika : Jika molekul pelarut (air, metanol dll) menempati molekul pelarut (air, metanol dll) menempati

posisi yang teratur dalam suatu kisi kristal. Jika posisi yang teratur dalam suatu kisi kristal. Jika

molekul pelarut tersebut air, lazimnya di sebut molekul pelarut tersebut air, lazimnya di sebut

  Ritonavir: an Extraordinary Example of Conformational Polymorphism

  Gambar . A) Form I dan B) Form II

  

Form I ritonavir mengalami transformasi fase selama

penyimpanan menjadi form II yang memiliki Ketersediaan

hayati rendah. Sehingga Abbot Laboratories harus

menarik semua produk dari pasar.

  Bauer, J., Spanton, S., Henry, R., Quick, J., Dziki, W., Porter, W., dan Morris, J.,, Pharmaceutical

  Research, 18, 859-866. (2001) Penelitian tentang Disolusi telah dimulai pada tahun 1897 oleh Noyes dan Whitney (Profesor kimia di MIT, USA) , artikel dengan judul “ laju pelarutan senyawa padat dalam pelarut” . Beliau mempelajari proses disolusi dua senyawa yang sukar larut, asam benzoat dan timbal klorida.

  �� �� = (

   − � )

  ..( ��.1) �� �� =

  ( − �

  ) ..( ��.1)

     = laju disolusi = kelarutan jenuh = konsentrasi senyawa padat pada waktu t K = konstanta laju disolusi

 

  Dokoumetzidis and Macheras, Int. J. Pharm, 2006,321,1-11 Berdasarkan riset yang dilakukan Ilmuwan Jerman, Brunner dan Tolloczko (1900), laju disolusi juga dipengaruhi oleh luas permukaan serbuk, kecepatan pengadukan dan temperatur media disolusi. Sehingga

  eq. 1, dapat dimodifkasi sebagai berikut : S = luas permukaan serbuk  

  �� − …..( � � ��.2)

  ( )

  �� =�.�

  Uji dan laju disolusi belum diterapkan secara luas di Industri Farmasi dan juga dalam pengawasan mutu sediaan obat .

  Beberapa Farmakope masih menggunakan Uji Disintegrasi untuk menilai ketersediaan Hayati Obat dalam Plasma.

  Dokoumetzidis and Macheras, Int. J. Pharm, 2006,321,1-11 Uji disintegrasi pertama kali secara resmi untuk sediaan tablet dicantumkan dalam Pharmacopeia Helvetica pada tahun 1934, yang menggunakan air sebagai medium pada temperatur 37 ◦C dan diaduk secara periodik.

  Sementara United States Pharmacopeia, mencantumkan Uji disintegrasi pada Edisi ke XIV tahun 1950.

  Beberapa metode lain dikembangkan untuk lebih Morrison and Campbell, J. Pharm Sci. 1965, mensimulasikan dengan kondisi secara in vivo spt :

  54,1, 1-8 menggunakan cairan lambung buatan , Hubungan antara Disolusi in Vitro dan Ketersediaan Hayati Obat dalam Plasma

  Laju disolusi partikel obat yang telah mengalami proses disintegrasi dari sediaan padat (kapsul, Tablet etc) merupakan

  faktor penting/ utama dalam menentukan ketersediaan obat dalam plasma.

  Semakin banyak jumlah senyawa obat yang terdisolusi dalam medium saluran cerna, maka akan semakin banyak juga molekul obat yang diabsorpsi / ber permeasi kedalam membran lipid saluran cerna

  Edwards, L.J.,. Trans. Faraday Soc.

  .

  1951, 47, 1191–1210 Nelson, E.,. J. Am. Pharm. Assoc. 1957, Kasus sediaan tablet Tolbutamida yang dipasarkan di Canada Penelitian terhadap beberapa sediaan tablet tolbutamida mengambarkan uji disintegrasi secara in

  vitro tidak dapat membedakan antara partikel

  senyawa obat yang terdisolusi lebih cepat atau lambat.

  Sedikit Perubahan dalam formula sediaan tablet Tolbutamida menunjukkan efek hipoglikemik yang sangat signifkan.

  Levy, G., Can. Med. Assoc. J. 1964, 90, 978–979.

  Varley, A.B.,. JAMA, 1968, 206, 1745–1748. Kasus dramatis : ketersediaan hayati sediaan tablet digoxin pada tahun 1971 di UK dan USA Formulasi yang berbeda (sediaan yang berbeda) digoxin memberikan perbedaan lebih dari tujuh kali lipat kadar plasma digoxin dalam serum.

  FDA USA berkolaborasi dengan Prof. John Wagner (Pakar Biofarmasetika) untuk melakukan riset dan uji disolusi thd 44 lot

  Lindenbaum, J., Mellow, M.H.,

  dari 32 perusahaan farmasi yang Blackstone, M.O., Butler Jr., V.P.,.. memproduksi tablet digoxin 0.25 mg

  N. Engl. J. Med. 1971, 285, 1344– Fraser, E.J., Leach, R.H., 1347.

  Hasil : uji disolusi dapat membedakan

  Poston, J.W.,. Lancet,

  dan menjelaskan perbedaan ketersediaan

  Kasus toksisitas Fenitoin pada sejumlah pasien Fenitoin merupakan obat anti epilepsi dengan rentang terapetik yang sempit = 10 – 20 microgram/mL Perubahan eksipient kalsium sulfat sebagai bahan pengisi tablet fenitoin dengan laktose menyebabkan kasus toksisitas pada sejumlah pasien.

  Hal ini diakibatkan sifat hidroflisitas laktosa, meningkatkan disolusi fenitoin dalam media

  Tyrer, J.H., Eadie, M.J.,

  saluran cerna, shg juga meningkatkan

  Sutherland, J.M., Hooper, W.D.,

  ketersediaan hayati fenitoin dalam plasma 1970. Br. Med. J. 4, 271–273. sehingga melewati rentang terapetik.

  

Pentingnya Uji Disolusi Sediaan

Padat

Uji disolusi untuk memprediksi

absorpsi dan ketersediaan hayati obat Uji disolusi sebagai tool untuk pengendalian mutu sediaan padat (Quality Control)

  Class I – kelarutan Tinggi, Permeabilitas Tinggi Class II – kelarutan Rendah, Permeabilitas Tinggi Diltiazem, metformin HCl, metoprolol, parasetamol, propranolol, verapamil

  Karbamazepin, felodipine, glibenclamide, asam mefenamat, griseopulvin, ketokenazole, telmisartan

  Class III - kelarutan Tinggi, Permeabilitas Rendah Class IV – kelarutan Rendah , Permeabilitas Rendah Acyclovir, atenolol, captopril, simetidine, ranitidine, neomisin.

  Cefuroxime, klortiazide, siklosporin, furosemida, itrakonazol, tobramysin Klasifkasi BCS beberapa senyawa aktif obat di pasaran

  Amidon, G.L., Lennernas, H., Shah, V.P., Crison, J.R.,. Pharm. Res. 1995, 12, 413–420. Senyawa Obat yang memiliki kelarutan rendah di pasaran dan dalam tahap riset dan pengembangan

  Kelas BCS % senyawa obat di % senyawa obat pasaran dalam tahap R&D

  I 35 5-10

  II 30 60-70

  III 25 5-10

  IV 10 10-20 Thayer, A. M. Chem. Eng. News 2010, 88 (May 31), 13–18.

  Defnisi disolusi : proses suatu zat padat memasuki pelarut untuk menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana disolusi adalah proses zat padat melarut.

  Tablet/kapsul Disolusi Granul/aggregat Disintegrasi Zat aktif terlarut sistemik Zat aktif dlm sirkulasi Efek Farmakologis dan Deaggregasi Distribusi, metabolisme dan eksresi respom klinis Partikel Halus Disolusi Fasa Farmasetik Fasa Farmakokinetika Fasa Farmakodinamika Skema proses disolusi hingga respons klinis zat aktif dr sediaan tablet/kapsul

Tahapan yang dilalui oleh sediaan padat dalam tubuh :

  1. Tahap awal, adanya kelambatan reaksi awal

  2. Pembasahan sediaan tablet/kapsul

  3. Penetrasi cairan kedalam sediaan tablet/kapsul

  4. Tablet/kapsul terdisintegrasi menjadi granul-granul

  5. Deaggregasi granul menjadi partikel-partikel halus (fine)

  6. Disolusi zat aktif sediaan tablet/kapsul dalam cairan saluran cerna

  7. Absorpsi molekul zat aktif melalui dinding saluran cerna

  8. Zat aktif berada dalam sirkulasi sistemik

  9. Zat aktif bekerja dan memberikan efek farmakologis

  10.Efek farmakologis menyebabkan respons klinis

  Identifikasi desain formulasi yang memberikan respons terapetik yang paling baik.

  Untuk persyaratan release produk jadi ke pasaran (Quality Control Test)

  Verifikasi reprodusibilitas antar batch sediaan padat Identifikasi apakah perubahan dalam formula atau proses manufaktur setelah produk dipasarkan dapat mempengaruhi aktivitas terapetik. Sebagai salah satu syarat untuk menentukan apakah produk generik dapat disetujui atau tidak oleh badan berwenang.

  Peranan Uji Disolusi Anand and Yu et al., AAPS Journal, 2011, 13, 3, 328-335

  

solid

Stagnant layer Larutan ruah Konsentrasi Matriks solid Bentuk sediaan C sat Fase ruah atau larutan ruah C sol C sol Film lapisan tak bergerak h

  

Model teori lapisan difusi yang menggambarkan proses disolusi

Teori Film (teori model lapisan disfusi )

  

Jika suatu partikel dicelupkan kedalam cairan

(media), partikel akan mulai melarut dan

dikelilingi oleh lapisan flm pelarut (tak bergerak),

dengan ketebalan (h) yang akan tergantung pd

kondisi pengadukan.

  

Gradien konsentrasi akan terjadi di sepanjang lapisan (flm) yang setara dengan ( C sat – C sol). C sat adalah konsentrasi jenuh zat aktif dan C sol adalah konsentrasi zat aktif dlm larutan Jika keadaan tunak telah tercapai mk Hukum difusi I Fick dpt digunakan untuk menjelaskan proses transport :

  J = - D dc/dx J = arus difusi (jumlah substan per unit waktu yang melewati suatu luas permukaan tertentu) D = koefsien difusi Dc/dx = gradient konsentrasi

  Gradien konsentrasi diasumsikan konstan selama proses transport, dan Dc/dx setara dengan kemiringan garis (C sol - Csat)/ h.

  

Jika massa yang terlarut (m), volume media disolusi

(V) dan luas permukaan partikel (S). Persamaan dpt

diatur kembali : V/S. dc/dc = - D (C sol – Csat) / h

  V. dc/dt = dm/dt = D.S (C sat – C sol)/h = k. S ( C sat – Csol) K = konstanta laju disolusi

  Disolusi Intrinsik

Penentuan laju disolusi intrinsik diperlukan dalam pengembangan senyawa obat baru dan memilih bentuk molekul yang tepat pada tahap studi preformulasi

  Defnisi : massa yang terlarut dalam satuan waktu dengan luas permukaan konstan, yang dinyatakan dalam satuan mg/waktu/cm

  2 Untuk mempertahankan LP yg konstan, zat aktif dikempa dengan tekanan hidraulik menjadi pelet yang ukurannya cukup untuk dimasukkan ke Suhu : 37 °C Kec. Putaran : 100 rpm

  Prinsip penentuan disolusi intrinsik dc/ dt = D.S (C – C sat

  ) sol

  h. v dc/dt = laju disolusi S = luas permukaan D = koefsien difusi

C sat = konsentrasi zat terlarut pada lapisan difusi

C sol = konsentrasi zat terlarut pada media ruah h = tebal lapisan difusi Selama fase awal disolusi , C sat >>>> C sol, LP dan volume media dibuat konstan , sehingga pada kondisi suhu dan pengadukan konstan, persamaan menjadi : dc/dt = k. C sat

  Laju disolusi pd equasi diatas disebut sebagai laju disolusi intrinsik dan khas untuk tiap senyawa padat dlm pelarut tertentu dan kondisi hidrodinamik yang tetap. Dengan mengetahui nilai laju disolusi intrinsik akan membantu ahli praformulasi dlm memprediksi suatu senyawa zat aktif padat, apakah proses absorpsi dibatasi oleh laju disolusi atau tidak .

  Kaplan et al., meneliti disolusi sejumlah senyawa dlm 500 mL media disolusi dengan pH dari 1 – 8 pada 37 °C dengan kecepatan pengadukan 50 rpm. Hasil penelitiannya menyimpulkan : 2

  1. Laju disolusi intrinsik : > 1 mg/ menit. Cm tidak menimbulkan masalah dlm proses absorpsi yg dibatasi oleh laju disolusi. 2

  2. Laju disolusi intrinsik < 0,1 mg/menit. Cm proses absorpsi akan dibatasi oleh laju disolusi.

  3. Laju disolusi antara 0,1 – 1, diperlukan informasi yang lebih banyak untuk memprediksi proses dan laju absorpsi.

Sink Condition (kondisi hilang)

  Dari persamaan : dw/dt = D.S/ h ( C sat – C sol ) C sat - C sol = gadient konsentrasi antara konsentrasi solut pada lapisan difusi setebal (h) yang mengelilingi partikel terlarut dengan konsentrasi solut dlm larutan ruah

  D = fungsi koefisien difusi molekul solut Kecepatan disolusi maksimal ( dw/dt) jika C sol kecil <<<< Jika C sol meningkat maka kecepatan disolusi akan menurun krn parameter D (koefsien difusi) tergantung pada gradient konsentrasi (C sat – C sol).

  Pada kondisi in vivo : setelah pemberian sediaan, zat aktif akan mengalami absorpsi melalui difusi pasif ke dlm sirkulasi sistemik, shg (C sol) rendah dan proses absorpsi berlangsung kontinyu.

  Kondisi in vitro : dimanipulasi sedemikian rupa (kondisi sink) 1. dibuat volume media disolusi yang besar 2. penambahan surfaktan atau pelarut campur dlm media disolusi 3. modifkasi alat uji disolusi

  Dalam uji disolusi : C sol < 15 % x C sat, maka C sol tidak mempengaruhi kecepatan disolusi zat aktif. Maka pada situasi ini disolusi zat padat terjadi pada kondisi Sink.

  dw/dt = D/h . S. C sat Dw/dt = k.S. C sat

  

Parameter D ( koefsien difusi) tergantung pada suhu

oleh karena itu suhu media disolusi dan viskositas harus

dikendalikan dengan hati-hati. Persamaan yang

menjelaskan hubungan D, suhu dan viskositas ,

persamaan Stokes- Einstein :

D = R.T/ 6 π. R. η N

  D = koefsien difusi R = konstanta gas T = suhu absolut N = bilangan Avogadro η = viskositas

  Adanya elektrolit dan perubahan pH dapat mempengaruhi proses difusi yaitu dengan mengubah ionisasi zat aktif (yang bersifat asam dan basa lemah). Oleh karena diharapkan media disolusi sesederhana mungkin spt air atau HCl 0,1 N.

  Granul zat aktif bobot 550 mg, total luas permukaan 0,28 m2, terdisolusi dlm 500 ml air (suhu 25 °C) pada menit ke 1 terlarut 0,76 gram, kuantitas D/h dihubungkan dengan k, jika C sat = 15 mg/ml pada suhu 25 °C, berapa k ? Apakah percobaan terjadi pd kondisi sink ?

Alat Uji Disolusi Farmakope

  Kebanyakan alat uji disolusi mengacu pada spesifkasi dan kriteria alat uji disolusi dari Farmakope Amerika.

  Tipe I Cara keranjang (basket) yang menggunakan pengaduk bentuk keranjang Tipe II Cara dayung yang menggunakan pengaduk bentuk dayung . Kedua cara ini digunakan secara luas dlm berbagai Farmakope di dunia.

  Alat tipe keranjang dan dayung

  Variasi Alat menurut ketentuan Farmakope :

  untuk mencegah risiko korosif dan peleapasan sesepora ion-ion logam pelapisan tipis dengan emas dengan ketebalan sampai mencapai 2,5 µm (0,0001 inchi).

  2. Ukuran mesh keranjang persyaratan ukuran mesh dalam Farmakope Indonesia, USP dan Farmakope Eropa, adalah untuk keranjang ukuran standar Mesh 40, digunakan kawat logam dengan ukuran 0,01 inch. Yang akan menghasilkan lebar nominal lubang 0,381 mm pada masing-masing sisi. ukuran mesh ini penting diperhatikan, krn salah satu masalah kritis pengujian menggunakan tipe I adalah tertutupnya lubang-lubang keranjang oleh partikel – partikel eksipien. Atau lolosnya partikel secara acak ke bagian bawah wadah disolusi, yg akan menyebabkan variasi hasil uji disolusi. tujuan pelapisan :

1. untuk mencegah korosi dan pelepasan ion-ion yang tdk

dikehendaki kedalam media.

2. untuk melapisi sambungan logam antara batang

pengaduk dan dayung.

Ketentuan Farmakope untuk Alat uji Tipe I & II

  1. Geometri dan kelurusan ada 4 terminologi yang perlu dipahami dengan baik : Exact center axis of the cylinder of the dissolution flasks (garis sumbu eksak dari pusat wadah uji disolusi.

  Centering (pemusatan) : sumbu batang pengaduk hrs sesuai dengan ketentuan Farmakope dan jarak terhadap sumbu vertikal wadah bervariasi ± 2 mm (centering or tilt USP/NF ± 2 mm at all points). Tilt (kemiringan), kemiringan harus memenuhi persyaratan (total 4 mm), yang akan menyebabkan terjadi deviasi 3,8° pada panjang dayung 6 inch. Dlm wadah. eksentrisitas, menggambarkan sudut yang terbentuk selama batang berputar dengan kecepatan pengujian.

  2. Kecepatan pengadukan (RPM) secara umum 50 RPM untuk tipe dayung dan 100 RPM untuk cara keranjang. Variasi toleransi kecepatan yang diperbolehkan adalah ± 4 %.

  4. Posisi tegak lurus (vertical position) keranjang atau dayung. Farmakope Indonesia ed. IV mensyaratkan jarak 2,5 cm ± 0,2 cm dari dasar wadah terhadap bagian bawah keranjang atau dayung.

  5. Wadah wadah uji disolusi berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160

  • – 175 mm, diameter dalam 98 – 106 mm dan kapasitas nominal 1000 mL. bahan yang digunakan : bersifat inert dan memungkinkan pengamatan selama uji disolusi. Yg umum digunakan adalah bahan dari gelas atau plastik.

  6. Tempat pengambilan sampel menurut USP, sampel hrs diambil pada lokasi lebih kurang setengah dari jarak bagian bawah keranjang atau dayung ke permukaan media disolusi dan tidak boleh jaraknya kurang dari 1 cm dari dinding wadah uji disolusi.

  Alat Uji Disolusi (Hanson SR8 plus)

  7. Media disolusi (Farmakope Indonesia ed. IV) sebagai media digunakan pelarut seperti yang tertera di dalam masing- masing monografi. Bila media disolusi adalah larutan dapar, pH larutan diatur sedemikian rupa hingga berada dalam batas 0,05 satuan pH dari yang tertera pada masing-masing monografi.

  8. Waktu (Farmakope Indonesia ed IV) Bila dlm spesifikasi hanya terdapat satu waktu, pengujian dpt diakhiri dalam waktu yang lebih singkat bila persyaratan jumlah minimum yang terlarut terpenuhi. Bila dinyatakan dua waktu atau lebih, sampel (cuplikan) dpt diambil pd waktu yang ditentukan dengan toleransi ± 2%.

  

Thank You

Terima Kasih

ありがとうございます