2.1. Tinjauan Pustaka - Analisis Tokoh Jia Baoyu Pada Novelhónglóumèng Karya Cao Xueqin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI Pada bab ini dipaparkan mengenai tinjauan pustaka yang membahas beberapa

  penelitian peneliti sebelumnya. Selanjutnya terdapat konsep yang menjelaskan pengertian dari istilah-istilah yang terdapat pada penelitian ini, serta terdapat landasan teori yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini.

2.1. Tinjauan Pustaka

  Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti buku, jurnal papers, artikel, disertasi, tesis, skripsi, hand outs, laboratory

  

manuals, dan karya ilmiah lainnya yang dikutip di dalam penulisan proposal.

  Penulis menemukan beberapa buku, skripsi yang isinya relevan dengan judul penelitian ini. Adapun buku dan jurnal yaitu : Zhou (2010)dalam bukunya yang berjudul“nánxìng

  ǒuxiàng de quēxí—— shì lùn ji ǎ fǔ jiàoyù quēshī duì jiǎ bǎoyù xìnggé xíngchéng de yǐngxiǎng”. Dalam buku ini penulis menceritakan hubungan Jia Baoyu dengan lingkungannya dan kesedihan batin yang mendalam tokoh Jia Baoyu. Dengan membaca buku ini penulis mengetahuibahwa Jia Baoyu mempunyai hubungan dengan banyak

  Chengmin (2008)dalam bukunya yang berjudul “hónglóumèng” de s ǐwáng miáoxiě yǔ jiǎ bǎoyù xìnggé de fǎ zhǎn” zhōng jiěshì shuō” . Dalam buku ini penulis menceritakanperbandingan kehidupan Jia bayou (penjelmaan batu giok) dengankehidupan batu giok. Dengan membaca buku ini penulis mengetahui bahwa pada kehidupan batu lebih monoton dibandingkan kehidupan Jia Baoyu.

  Pada kehidupan Jia Baoyu, Baoyu merasa sedih ketika kematian membawa makna yang lebih berat,tetapi jugamerasakanhidup dan kendala kehidupansemakinserius, seumur hidup, masa depan mereka,caraberpikirdi kehidupan itu sendirisecara bertahap dibanding di kehidupan si batu giok sebelumnya.

  Fanyunxin (2006) dalam bukunya yang berjudul “shì x ī jiǎ bǎoyù pànnì xìnggé de g

  ēnyuán” . Dalam bukunya penulis menjelaskantentang pemberontakan Jia Baoyu. Dengan membaca buku ini penulis mengetahui bahwa Jia Baoyu menolak ketenaran dan kekayaan, melawan sistem feodaldan etikafeodal, mengejar kebebasan dan kesetaraan, membutuhkan pembebasan individu.menghormati perempuan, menumbuhkan semangat kemanusiaan.

2.2 Konsep

2.2.1 Novel

  Dalam kesusastraan kita mengenal istilah novel dan roman. “Istilah noveldiartikan sebagai karya yang mengungkapkan persitiwa kehidupan manusia menggambarkan kehidupan manusia secara luas dari kecil sampai dewasa dan meninggal” (Semi, 1988:32). Pada dasarnya istilah novel sama dengan istilah roman, sebagaimana yang dikemukakan oleh Semi (1988:32) bahwa dalam istilah novel tercangkup pengertian roman, sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman pada waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia wakktu itu pada umumnya berorientasi kenegeri Belanda, yang lazim dinamakan ini dengan roman. Istilah ini juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris. Dewasa ini, istilah yang umum dipakai di Indonesia untuk karya sastra berbentuk prosa yang panjang ini adalah istilah novel. Novel sebagai karya sastra fiksi merupakan hasil renungan, pemikiran dan pengalaman panjang terhadap peristiwa kehidupan manusia yang disampaikan dengan bahasa yang berkesan.

  Novel adalah sebuah karya sastra berbentuk fiksi yang telah dirangkai dengan fakta kehidupan dan dibumbui dengan khayalan pengarang terlebih dahulu, sehingga menjadi bacaan yang mempunyai tujuan dan misi untuk mempengaruhi masyarakat penikmat sastra.

  

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas atau suatu kemenyeluruhan yang

  bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur- menggantungkan. Nurgiyantoro (1995:23) mengemukakan “unsur-unsur pembangun sebuah novel itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik”. Selanjutnya Nurgiyantoro (1995:23) mengemukakan bahwa unsur intrinsik adalah “unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri”. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita, unsur yang dimaksud yaitu peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah “unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra” (Nurgiyantoro, 1995:23). Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya.

2.2.2 Pengertian Tokoh

  

Aminuddin (2004:79) mengemukakan bahwa “ tokoh adalah pelaku yang

  mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita”. Sejalan dengan itu, menurut Ibrahim dan Saksomo (1987:77)”tokoh adalah orang yang mengambil bagian dari peristiwa-peritiwa yang digambarkan dalam plot. Dari beberapa pengertian tokoh tersebut, dapat dinyatakan bahwa tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam cerita mengemban peristiwa- peristiwa yang membentuk sebuah cerita. Menurut Sumardjo dan Saini (1997:145) “Tokoh-tokoh cerita, terutama tokoh pentingnya, memiliki watak masing-masing yang digambarkan dengan seksama oleh pengarang-pengarang yang terampil. Tokoh-tokoh itu dapat memiliki berbagai watak sesuai dengan kemungkinan watak yang ada pada manusia”. Watak para tokoh itu bukan saja merupakan pendorong untuk terjadinya peristiwa, akan tetapi juga merupakan unsur yang menyebabkan gawatnya masalah-masalah yang timbul dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Tokoh oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan atau yang dilakukan dalam tindakan. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain. Perbedaan antara tokoh satu dengan yang lain lebih ditentukan dengan kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Menurut Sumardjo dan Saini (1997 : 145) “ tingkah laku dan perbuatan tokoh-tokoh cerita akan membangkitkan perhatian pembaca dalam memahami, menghayati dan menyimpulkan buah pikiran pengarang”. Oleh sebab itu, pembaca dalam memahami watak para tokoh lebih ditentukan oleh ucapan Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai

pesan, amanat moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Tidak jarang tokoh cerita dipaksakan diperalat sebagai pembawa pesan sehingga sebagai tokoh cerita dan sebagai pribadi kurang berkembang. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian dan keinginan-keinginan pengarang.

2.2.3 Jenis-jenis Tokoh

   Secara garis besar dalam sebuah karya fiksi dijumpai dua macam tokoh

  yang masing-masing tokoh memiliki peranan yang berbeda–beda, yakni tokoh inti atau tokoh utama dan tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Aminuddin (2004:79-80) mengemukakan bahwa “tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita, sedangkan tokoh tambahan atau tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena kemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama”.

  Dalam hal penampilan seorang tokoh, sebuah cerita tidak mungkin hanya menampilkan tokoh utama saja. Oleh karena itu, perlu dibedakan mana tokoh utama dan mana tokoh tambahan. Esten (1987:87) mengemukakan “tentang langkah untuk menentukan tokoh utama yaitu, pertama, dilihat masalahnya (tema). Kedua, dilihat mana yang paling banyak berhubungan dengan penceritaan”. Sejalan dengan itu, menurut Esten (1987:88) bahwa di dalam sebuah karya sastra mungkin banyak persoalan-persoalan yang muncul, tetapi tentulah tidak semua. Persoalan itu bisa dianggap sebagai tema, untuk menentukan persoalan yang merupakan tema, pertama tentulah dilihat persoalan mana yang paling menonjol. Selanjutnya secara kuantitatif, persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik. Konflik yang melahirkan peristiwa. Kemudian menentukan waktu penceritaan, yaitu waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa ataupun tokoh-tokoh didalam cerita sebuah sastra. Aminuddin (2004:80) mengemukakan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan mana tokoh utama dan mana tokoh tambahan yaitu : “(1) melihat keseringan pemunculan dalam cerita, (2) petunjuk yang diberikan pengarang”. Keseringan pemunculan yang dimaksud adalah bahwa tokoh utama terlibat pada sebagian besar peristiwa dalam cerita. Kemudian petunjuk yang diberikan pengarang mengacu pada ciri-ciri khusus kepada tokoh satu yang membedakan dengan tokoh yang lain. Kemunculan tokoh utama secara bersama- sama membangun cerita dengan tokoh tambahan.

  Tokoh yang ditampilkan pengarang dalam sebuah cerita memiliki watak- watak tertentu. Sehubungan dengan itu, dalam sebuah cerita ada yang disebut dengan tokoh yang protagonis dan tokoh yang antagonis. Aminuddin (2004:80) mengemukakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki watak yang sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca. Selanjutnya menurut Sumardjo dan Saini (1997:144) mengemukakan bahwa tokoh protagonis berperan sebagai penggerak cerita. Karena perannya itu, protagonis adalah tokoh yang pertama- tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesukaran-kesukaran. Sedangkan antagonis berperan sebagai penghalang dan masalah protagonis.

  Berdasarkan perwatakannya, “tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh sederhana (simple atau flat character ) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character)”(Foster dalam Nurgiyantoro, 1995:181). Pengkatagorian seorang tokoh ke dalam tokoh sederhana dan bulat harus dilalui dengan analisis perwatakan. Menurut Nurgiyantoro (1995:181) “Tokoh sederhana dalam bentuk asli adalah tokoh yang hanya memiliki suatu kualitas pribadi atau sifat watak yang tertentu saja. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku seseorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu”. Watak yang telah pasti itulah yang mendapat penekanan dan terus menerus terlihat dalam fiksi yang bersangkutan. Tokoh bulat atau tokoh kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana, menurut Nurgiyantoro (1995:183) tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati dirinya. Ia dapat memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena disamping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan ia juga sering memberikan kejutan.

  Berdasarkan kriteria berkembang atau tidak, perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel dapat dibedakan ke dalam tokoh statis (statis

  

character ) dan tokoh berkembang (developing character). “Tokoh statis adalah

  tokoh yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi”. (Altenberg dan Luwis dalam Nurgiyantoro, 1995:188). Tokoh berkembang adalah “tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berintereaksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun orang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, sifat dan tingkah lakunya”. (Nurgiyantoro, 1995:188). Dalam memahami watak-watak setiap tokoh, tentunya tidak mudah, yang hanya dengan membaca keseluruhan cerita saja. Oleh karena itu, perlu diperhatikan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memahami watak setiap tokoh. Aminuddin (2004:80-81) mengemukakan untuk memahami watak setiap pelaku (tokoh) dapat ditelusuri lewat : 1. tuturan pengarang terhadap karakteristik pelaku gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan maupun cara berpakaian

  3. menunjukkan bagaimana prilakunya 4. melihat bagaimana ia berbicara tentang dirinya sendiri 5. memahami bagaimana jalan pikirannya 6. melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya 7. melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan raksi terhadapnya

  8. melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

  Selanjutnya, menurut Sumardjo dan Saini (1997:65) bahwa ada beberapa jalan untuk mengenali karakter (watak ) dalam sebuah cerita, yaitu :

  1. melalui apa yang diperbuatnya 2. melalui ucapan-ucapannya 3. melalui penggambaran fisik tokoh 4. melalui pikiran-pikirannya 5. melalui penerangan langsung

2.1.2.5 Pengertian Karakter

  Dalam sebuah karya fiksi sering dipergunakan istilah tokoh dan penokohan, watak dan perawatakan atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. istilah tokoh siapakah tokoh cerita itu? Ada berapa jumlah pelaku novel? Dan siapa tokoh antagonis dan tokoh protagonis novel itu? dan sebagainya. Watak, perwatakan dan karakter menunjuk pada sikap dan sifat para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca yang lebih menuju pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu.

  Seperti yang dikemukakan Jones (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 156) penokohan adalah “pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Menurut Sudjiman (1991:23) karakter ialah “ kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan tokoh lain”. Selanjutnya Hardaniwati dkk (2003:303) mengemukakan karakter adalah “ sifat-sifat khas yang membedakan seseorang dengan orang laing” . Tokoh-tokoh yang ditampilkan pengarang dalam sebuah karya fiksi merupakan tokoh rekaan, hanya pengarangnyalah yang mengenalnya. Untuk itu tokoh-tokoh perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar karakternya juga dikenal oleh pembaca. Menurut Semi (1984:29) “untuk mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung, melalui percakapan, melalui monolog batin, melalui tanggapan atas pertanyaan atau perbuatan tokoh lain dan melalui tanggapan atau sindiran”. Karakter tokoh menentukan bagaimana ucapan dan tindakan tokoh dalam cerita. Untuk membuat cerita itu menarik dan dapat mengemban suatu karakter yaitu suatu sifat-sifat khas yang membedakan antara tokoh satu dengan tokoh lain . Karakter tokoh dapat dilihat dan dianalisis melalui setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang tokoh, melalui dialog dan perbuatan serta tingkah laku yang dilakukan oleh seorang tokoh.

  Menurut Lagos Egri (dalam Sukada, 1987:64) “karakter seorang tokoh memiliki tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis”. Ketiga dimensi tersebut adalah tiga unsur yang membangun karakter dalam sebuah karya sastra. Masalahnya terletak pada pertanyaan seberapa jauh unsur-unsur tersebut dilukisan pengarang dalam karya sastra.

  Hutagalung (dalam Murniati, 1997:15) mengemukakan “dimensi fisiologis dan aspeknya adalah keadaan fisik tokoh, seperti jenis kelamin, tampang, dan keberadaan tokoh apakah cacat atau tidak”. Dalam menentukan karakter tokoh, keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif. Di samping itu, ia juga dibutuhkan untuk mengefektifkan dan mengkongkretkan ciri- ciri kedirian tokoh yang dilukiskan dengan teknik lain. Sebagaimana menurut Nurgiyantoro (1995:210) “pelukisan wujud fisik tokoh berfungsi untuk lebih mengintensifkan sifak kedirian tokoh”.

  Selanjutnya menurut Hutangalung (dalam Murniati, 1997:15) “yang tercangkup dalam dimensi sosiologis, yakni masalah sosial tokoh seperti yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial tokoh di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. “Kehidupan sosial tokoh mencangkup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain”(Nurgiyantoro, 1995:233).

  Menurut Hutagalung (dalam Murniati, 1997:15) “dimensi psikologis dan aspeknya adalah masalah kejiwaan tokoh cerita tersebut, seperti cita-cita, ambisi, kekecewaan, kecakapan, temperamen atau watak kejiwaannya secara individu”. Sejalan dengan itu, Nurgiyantoro (1995:210) menyatakan bahwa keadaan fisik tokoh sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu saja hal itu berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan.

2.2.4 Teknik Penampilan Karakter Tokoh

  Menurut Semi (1988 :39-40) ada dua cara yang digunakan untuk menampilkan watak tokoh dalam suatu cerita, yaitu :

1. Secara analitik. Secara analitik yaitu pengarang langsung bahwa tokoh tersebut keras kepala, penyayang dan sebagainya.

  2. Secara dramatik. Secara dramatik yaitu penggambaran secara langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui: (1) pilihan nama tokoh, misalnya nama semacam sarinem untuk babu, mince untuk gadis rada genit, bonar untuk nama tokoh garang dan gesit dan seterusnya; (2) melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakain, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya; (3) melalui dialog baik dialog tokoh-tokoh yang bersangkutan dalam intereaksinya dengan tokoh-tokoh lainya.

  Selanjutnya, menurut M. Saleh Saad (dalam Sukada, 1987:64) teknik penampilan keadaan dan watak tokoh-tokoh dapat melalui dua jalan yaitu :

1. Cara analitik. Pengarang akan menjelaskan secara langsung keadaan dan watak tokoh-tokohnya.

  2. Cara dramatik. Menggambarkan apa dan siapanya tokoh itu tidak secara langsung, tetapi melalui hal-hal lain :

  2.1 Menggambarkan tempat atau lingkungan sang tokoh .

  2.2 Cakapan (percakapan) antara tokoh dengan tokoh lain, atau percakaan tokoh-tokoh lain tentang dia

  2.3 Pikiran sang tokoh atau pendapat tokoh-tokoh lain tentang dia.

  2.4 Perbuatan sang tokoh cara teknik dalam menampilkan karakter tokoh, yaitu :

1. Melukiskan bentuk lahir dari tokoh 2.

  melukiskan jalan pikiran tokoh atau apa yang melintas dalam pikirannya 3. bagaimana reaksi tokoh itu terhadap kejadian 4. pengarang dengan langusung menganalisis watak tokoh 5. melukiskan keadaan sekitar tokoh 6. bagaimana pandangan tokoh lain terhadap tokoh utama

  

Dari keterangan diatas, maka cara menyampaikan karakter tokoh dapat

  juga melalui pikiran tindakannya dan lain-lain. Sejalan dengan itu, Hutagalung (dalam Murniati, 1997:15) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan dimensi fisiologis dan aspeknya adalah keadaan fisik tokoh, seperti jenis kelamin, tampang, dan keberadaan tokoh apakah cacat atau tidak. Yang dimaksud dan tercangkup dalam dimensi sosiologis, yakni masalah sosial tokoh seperti lingkungannya, pangkat, dan kebangsaan. Sedangkan yang dimaksud dengan dimensi psikologis dan aspeknya adalah masalah kejiwaan tokoh cerita tersebut, seperti cita-cita, ambisi, kekecewaan, kecakapan, temperamen atau watak kejiwaannya secara individu.

  Ketiga dimensi tersebut adalah tiga unsur yang membangun karakter dalam sebuah karya sastra. Masalahnya terletak pada pertanyaan seberapa jauh unsur- unsur tersebut dilukisan pengarang dalam karya sastra.

2.3 Landasan Teori

  Landasan teori merupakan dasar penulis untuk berpijak dalam sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori structural untuk menganalisis unsur-unsur pembangun dalam sebuah sastra.

  Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami, menjelaskan, menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan member arah didalam penelitian. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Struktural.

2.3.1 Teori Struktural (Objektif)

  Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek dan Warren dalam Wiyatmi (2006:87) menyebutkan pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsic karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi dan kebenaran sendiri.

  Dalam meneliti sebuah karya sastra diperlukan pendekatan, dalam penulisan ini digunakan pendekatan structural. Jika peneliti sastra ingin mengetahui makna dalam sebuah karya sastra, peneliti harus menganalisis aspek yang membangun karya sastra tersebut dan menghubungkan dengan aspek lain. Sehingga makna Pendekatan struktural melihat karya sastra sebagai satu kesatuan makna secara keseluruhan.

  Menurut Teeuw (1984:135), pendekatan structural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Pendekatan struktur membongkar seluruh isi (unsur-unsur intrinsic di dalam novel) dan menghubungkan relevasinya antara unsur-unsur didalamnya.

  Teori struktural sastra merupakan sebuah teori untuk mendekati teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Struktural sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori sastra, seperti halnya disiplin-disiplin ilmu lainnya. Teeuw mengungkapkan, asumsi dasar struktural adalah teks sastra merupakan keseluruhan, kesatuan yang bulat dan mempunyai koherensi batiniah (2011:46). Struktural secara khusus mengacu pada praktik kritik sastra yang model analisisnya didasarkan pada teori linguistic modern, yang pendekatannya selalu pada unsur intrinsic (struktur kesusastraan) dan menganggap teks sastra adalah yang otonom.

  Analisis struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, sedetail, dan sedalam mungkin tentang keterkaitan dan hubungan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktur merupakan satu langkah, satu sarana atau alat dalam cara sesempurna mungkin.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja Karyawan 2.1.1 Pengertian Kinerja Karyawan - Pengaruh Keahlian Manajerial Terhadap Kinerja PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk Cabang Iskandar Muda Medan

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Keahlian Manajerial Terhadap Kinerja PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk Cabang Iskandar Muda Medan

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku - Perilaku Pencarian Pengobatan Terhadap Nyeri Odontogenik Pada Masyarakat Di Kelurahan Gundaling Ii Kecamatan Berastagi

0 0 9

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Gaya Bahasa dalam Novel Bulan Lebam di Tepian Toba Karya Sihar Ramses Simatupang: Kajian Stilistika

0 1 14

BAB II SEJARAH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.1 Latar Belakang Perencanaan Berdirinya Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara - Perkembangan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1954 – 2003

0 1 11

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Perkembangan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1954 – 2003

0 0 8

2. Berilah tanda (X) pada jawaban yang menurut Saudara paling benar. Daftar Pernyataan I. Ketersediaan Koleksi (Variabel X) - Pengaruh Ketersediaan Koleksi Terhadap Pemanfaatan Koleksi Pada Perpustakaan IAIN Sumatera Utara

0 0 20

BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1. Ketersediaan Koleksi - Pengaruh Ketersediaan Koleksi Terhadap Pemanfaatan Koleksi Pada Perpustakaan IAIN Sumatera Utara

0 0 22

Pengaruh Ketersediaan Koleksi Terhadap Pemanfaatan Koleksi Pada Perpustakaan IAIN Sumatera Utara

0 0 11

Lampiran I Sinopsis Novel Hongloumeng Karya Cao Xueqin

1 1 30