BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian - Pengembangan dan Karakterisasi Sifat Listrik Film Kitosan Sebagai Sensor Aseton dengan Penambahan Carboxymethyl Cellulosa (CMC)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

  Penelitian “Pengembangan dan Karakterisasi Sifat listrik Film Kitosan sebagai Sensor Aseton dengan Penambahan CMC” ini mencakup kajian teori dan eksperimen yang mengambil tempat sebagai berikut:

Tabel 3.1. Daftar penggunaan laboratorium dan peralatan yang digunakan untuk penelitian

  

Laboratorium Tujuan Alat

  Laboratorium Kimia Dasar LIDA-USU

  Preparasi sampel larutan kitosan

  • Gelas-gelas Kimia -
  • Neraca Digital -
  • Power Suplay Laboratorium Terpadu USU
  • PSA
  • pH meter
  • Mikroskop Optik -
  • >
  • UV-VIS Spectroscopy

  Fabrikasi film kitosan

  Karakterisasi larutan kitosan

  Laboratorium Mikroskop PTKI

  Karakterisasi film Kitosan

  DTA Laboratorium Universitas Malaysia Perlis (UniMap)

  Karakterisasi Film Kitosan

  Pembuatan film kitosan dan film kitosan dengan penambahan CMC hingga menjadi material sensitif sensor aseton berlangsung selama hampir sepuluh bulan sejak september 2013 s/d juni 2014.

  Laminar Air Flow Laboratorium Fisika Dasar LIDA-USU

  Magnetic Stirrer

3.2 Peralatan dan Bahan Penelitian

3.2.1 Peralatan

  4 Pinset Alat untuk memindahkan sensor

  5 Kantong Udara Wadah menyimpan sampel nafas yang diuji

  4 Tabung Recovery Wadah Silica gel untuk recovery sensor

  3 Selang Penyalur udara dari pump ke chamber

  2 Pump Membantu untuk recovery sensor

  1 Testing Chamber Tempat uji respon sensor pada gas uji

  Peralatan Uji Sensor Aseton Berbasis Film Kitosan dan Kitosan - CMC No Nama Alat Fungsi

Tabel 3.4. Peralatan uji sensor aseton

  8 Multimeter Digital Uji konektivitas elektroda pada sensor

  7 Cawan Petri Wadah untuk mengeringkan sensor

  6 Kabel Penghubung Penghubung antara elektroda dengan PSA

  5 Oven Pengering sensor

  Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum ke dalam Tabel di bawah ini:

Tabel 3.2. Peralatan untuk pembuatan sampel larutan kitosan dan kitosan - CMC

  Sumber tegangan input untuk deposisi larutan

  2 Power Supplay

  Meja kerja steril untuk preparasi bahan/sampel

  1 Laminar Air Flow

  Peralatan Fabrikasi Film Kitosan dan Kitosan - CMC No Nama Alat Fungsi

Tabel 3.3. Peralatan fabrikasi film kitosan dan kitosan - CMC

  5 Magnetic Stirrer Pengaduk larutan

  4 Spatula Alat untuk mengambil bahan

  3 Neraca Digital Alat menimbang massa bahan

  2 Pipet Tetes Panjang Alat untuk memindahkan larutan

  1 Gelas - gelas kimia Seperangkat wadah untuk membuat larutan

  Peralatan Pembuatan Larutan Kitosan dan Kitosan - CMC No Nama Alat Fungsi

  3 Elektroda Penyangga PCB sensor saat proses deposisi

Tabel 3.5. Peralatan karakterisasi larutan/film kitosan dan kitosan - CMC

  Peralatan Karakterisasi Larutan/Film Kitosan dan Kitosan - CMC No Nama Alat Fungsi

  Alat ukur atau analisa distribusi ukuran partikel dalam larutan kitosan dan

  Particle Size Analizer (PSA)

  1

  ɤ

  dari Vasco kitosan - CMC Alat untuk menampilkan image permukaan film kitosan dan kitosan -

  2 Mikroskop Optik CMC diatas substrat logam Cu Identifikasi gugus-gugus fungsi yang tedapat dalam larutan kitosan dan

  Fourier Transform Infrared

  3

  (FTIR) dari Perkin Elmer kitosan - CMC

  Analisa sifat termal film kitosan dan

  Differential Thermal Analysis kitosan - CMC untuk menentukan kondisi

  4

  (DTA) dari Shimadzu eksperimental film

  Analisa spektrum absorbansi sampel UV-VIS Spectroscopy yang dinyatakan dengan panjang

  5 dari Perkin Elmer gelombang

3.2.2 Bahan

  Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

Tabel 3.6. Bahan - bahan pembuat film kitosan dan kitosan - CMC

  Bahan Kemurnian Supplier Fungsi Kitosan Sigma Aldrich Bahan Kerja

  ≥ 75 %

  Food Grade

  • CMC

  Bahan Kerja Asam Asetat 98 % Merck Bahan Kerja

  • Aquadess

  Bahan Kerja -

  • Aseton 99 % Bahan Uji - - PCB

  Bahan Kerja

3.3 Diagram Alir Penelitian

  Secara keseluruhan pelaksanaan penelitian didasarkan pada rancangan penelitian yang diuraikan pada skema berikut ini:

  Serbuk Kitosan Tahap I CMC CMC CMC CMC CMC 0 g 0,01 g 0,05 g 0,1 g 0,5 gr 0,5 g Larutan Kitosan 40 ml Acetic Acid 2 % Dilarutkan ke dalam Larutan Homogen Kitosan-CMC dengan variasi komposisi – CMC dalam suhu kamar Di Stir selama 24 jam Karakterisasi Larutan Analisa PSA Pengaruh penambahan CMC terhadap 0,5 : 0 0,5 : 0,01 0,5 : 0.05 0,5 : 0,1 0,5 : 0,5 Kualitas Fisik homogenitas larutan kitosan

  Tahap II Larutan Perancangan Layout Permukaan Sensor Proses Fabrikasi Film Kitosan Pengeringan Sensor Karakterisasi Film Kitosan-CMC Proses Deposisi Larutan Kitosan/ CS- CS-

Kitosan-CMC pada permukaan CMC CMC CMC

Pemasangan Elektroda Pada Substrat logam sensor Pure CMC CMC Chit 0,01 0,05 CS- CS- w/v w/v Sensor Aseton 0,1 w/v 0,5 w/v DTA Mikroskop Optik UV-VIS FTIR terhadap sifat fisik dan termal film kitosan dan film kitosan - Pengaruh penambahan CMC Film Kitosan Film Kitosan – CMC 0,01 g Film Kitosan – CMC 0,05 g Film Kitosan – CMC 0,1 g Film Kitosan – CMC 0,5 g Tahap III Uji aplikasi film kitosan- CMC sebagai sensor aseton Sensitivitas Selektivitas Respon Recovery Reproducibility Repeatability Stability Life Time kitosan dan film Kajian sifat listrik film kitosan - CMC Uji Karakteristik listrk film kitosan Normal Air 0,1 ppm 0,5 ppm 1 ppm 5 ppm 10 ppm konsentrasi yang divariasikan – CMC terhadap gas aseton dengan Sensor dengan kinerja paling optimum Hasilnya menetukan

Gambar 3.1. Diagram alir pelaksanaan penelitian

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pembuatan Larutan Homogen Kitosan dan Kitosan - CMC

  Tahapan awal dalam proses pembuatan sensor aseton berbasis film kitosan dengan dan tanpa penambahan CMC (kitosan - CMC) adalah pembuatan larutan homogen kitosan dan kitosan dengan penambahan variasi massa CMC sebagai bahan dasar pembuatan material sensitif sensor yang mengacu pada penelitian Tulus et al., (2013).

  Pembuatan film kitosan dan film kitosan dengan penambahan variasi massa CMC diawali dengan pemilihan komposisi campuran untuk larutan kitosan dan kitosan - CMC. Ini penting untuk menentukan karakteristik suatu film hasil preparasi. Pada penelitian ini sejumlah 0,5 g kitosan dilarutkan pada sejumlah tertentu asam asetat dengan konsentrasi 2% (Rohman dkk., 2009). Sedangkan untuk membuat film kitosan - CMC, ke dalam larutan kitosan ditambahkan CMC dengan variasi massa 0 g; 0,01 g; 0,05 g; 0,1 g; 0,5 g. Jumlah ini dipilih berdasarkan kajian/penelitian pendahuluan untuk menentukan jumlah CMC yang tepat dimana larutan kitosan - CMC masih dapat dibentuk menjadi film dengan teknik elektrodeposisi.

  Asam asetat merupakan pelarut yang dipilih karena kemampuannya untuk dapat melarutkan kitosan sangat baik (Po-Hui et al., 2007), yang mana dalam pembentukan larutan tersebut akan terjadi ikatan antara monomer-monomer kitosan akibat adanya pengaruh asam, sehingga larutan dapat dibentuk menjadi film pada tahapan selanjutnya (Laxmi et al., 2013).

  Dalam proses pelarutan, kitosan tidak sepenuhnya larut sempurna maka dari itu seluruh komponen pembuat larutan dicampur dengan metode blending menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan konstan selama ± 24 jam pada suhu kamar. Hasilnya diperoleh 5 jenis larutan dengan komposisi yang berbeda dengan rasio campuran masing masing adalah pure chitosan, 1 : 50, 1 : 10, 1 : 5, dan 1 : 1. Selanjutnya, untuk mengetahui karakteristik larutan kitosan - CMC yang dibuat maka dilakukan pengamatan terhadap kualitas fisik dan pengukuran distribusi ukuran partikel dalam larutan menggunakan PSA.

3.4.2 Fabrikasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

  Larutan homogen kitosan - CMC diaplikasikan sebagai material sensitif sensor untuk gas aseton. Proses pembuatannya dilakukan dengan pelapisan larutan diatas suatu permukaan substrat dengan pola khusus dari logam (Gambar 3.2). Pemilihan substrat logam ini didasarkan karena properti listriknya sehingga memudahkan dalam proses pelapisan larutan kitosan.

  0,5 cm PCB Fiber m 0,5 c

  Substrat dari logam Cu Bagian permukaan sensor yang akan dilapisi larutan kitosan - CMC

Gambar 3.2. Bentuk sensor yang akan difabrikasi

  Proses pembuatan film kitosan ini dilakukan dengan metode elektrodeposisi. Bagian penting dalam proses ini adalah bagian elektrolit

  

(electrodeposition unit) yang ditempatkan dalam wadah berisi larutan elektrolit

  yang dalam penelitian ini adalah larutan kitosan - CMC. Proses pelapisannya memerlukan sumber tegangan untuk mengalirkan listrik melalui anoda dan katoda dalam larutan elektrolitnya. Pada sistem demikian, ion-ion yang bersumber dari larutan akan bergerak menuju elektroda. Dimana kation larutan bergerak menuju katoda sedangkan anion larutan menuju anoda. Hasilnya, larutan kitosan - CMC akan terdeposisi ke atas permukaan substrat (Basmal, 2011).

  Dari proses fabrikasi sensor berbasis film kitosan - CMC diperoleh lima buah sampel sensor dengan berbagai komposisi. Yakni, sensor berbasis film kitosan murni tanpa penambahan CMC (Pure Chitosan), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,01 g CMC (CS - CMC 0,01 w/v), sensor 3 untuk sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,05 g CMC (CS - CMC 0,05 w/v), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,1 g CMC (CS - CMC 0,1 w/v) dan sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,5 g CMC (CS - CMC 0,5 w/v).

  Pada tahap berikutnya masing - masing sampel sensor hasil fabrikasi akan dikarakterisasi untuk mengetahui karakteristik film kitosan - CMC yang terbentuk pada permukaan sensor. Karakterisasi dilakukan meliputi Mikroskop optik untuk mengamati bentuk fisik permukaan sensor, DTA untuk mengetahui sifat termal film, FTIR untuk mengetahui komposisi/kandungan material sensor dan UV-VIS spectroscopy untuk mengetahui sifat absorbansi material.

3.4.3 Pengujian Aplikasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

  Sensor aseton berbasis film kitosan dan film kitosan dengan penambahan CMC hasil fabrikasi diuji menggunakan sistem sensor berbasis microcontroller ATMega 8535 dengan Testing Chamber sebagai tempat sensor diuji dan keluaran berupa besaran fisis yakni tegangan. Testing chamber yang digunakan dilengkapi dengan humiditymeter sekaligus termometer digital untuk mempermudah pengamatan terhadap stabilitas sensor berbasis film kitosan dan kitosan - CMC selama pengujian berlangsung.

  Komputer Alat Uji Sensor Testing Chamber Humidity meter Normal Air Aseton 0.1 ppm Aseton 0.5 ppm Aseton 1 ppm Aseton 5 ppm Aseton 10 ppm Silica Gel

Gambar 3.3. Skema alat uji sifat listrik film kitosan sebagai sensor aseton

  Uji dilakukan terkait sifat listriknya yang ditinjau berdasarkan karakteristik umum sensor yang meliputi linieritas, selektifitas, respon, recovery,

  

reproducibility, repeatability, stability dan life timenya. Pengujian dilakukan

  terhadap sensor berbasis film kitosan dan film kitosan dengan variasi penambahan massa CMC.

  Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan jangkauan pengukuran dari sensor dalam mendeteksi gas aseton sebagai zat yang dideteksi. Dalam fabrikasi sensor, jangkauan pengukuran diharapkan bersesuaian dengan pengukuran konsentrasi aseton aktual dalam nafas seorang diabetisi, yakni diantara 1,7 ppm s/d 3,7 ppm dan dibandingkan dengan nafas orang dengan kondisi aseton normal, yakni 0,8 ppm (Kun-Wei et al., 2012).

  Gas aseton yang digunakan dalam pengujian berasal dari aseton cair yang diuapkan ke dalam kantong berisi udara 1 L (size bag) maka konsentrasi gas aseton yang diuji dinyatakan dalam ppm. Karenanya, konsentrasi gas aseton yang dideteksi dikonversi dari volume (acetone liquid) ke ppm (acetone gas) menggunakan persamaan berikut (Lampiran):

  massa zat terlarut (g) g

  (3.1)

  ppm = =

  3

  3 volume zat pelarut (m ) m

  dan massa zat terlarut (aseton) dihitung dengan: massa zat terlarut = densitas zat terlarut x volume zat terlarut (3.2) Pada akhirnya didapat konsentrasi gas aseton untuk pengujian yang divariasikan mulai dari 0,1 ppm; 0,5 ppm, 1 ppm; 5 ppm, 10 ppm, 50 ppm serta udara normal. Nilai - nilai tersebut diperoleh dari menguapkan aseton cair dengan volume masing - masing sebesar 0,06 ml, 0,3 ml, 0,6 ml, 3 ml dan 6 ml.

3.5 Karakterisasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

  Karakterisasi material dilakukan untuk mengetahui sifat - sifat yang dimiliki oleh material yang dibuat. Dalam penelian ini karakterisasi dilakukan meliputi karakterisasi terhadap larutan sebagai bahan dasar pembuatan film kitosan - CMC dan karakterisasi terhadap film kitosan - CMC itu sendiri.

  

3.5.1 Pengukuran Distribusi Ukuran Partikel Larutan Kitosan dan Larutan

Kitosan - CMC dengan Particle Size Analyzer (PSA) Particle Size Analyzer atau disingkat dengan PSA merupakan salah satu

  alat karakterisasi material guna mengetahui ukuran partikel - partikel pembentuk larutan/senyawa disamping metode dan perlatan lainnya, seperti metode ayakan

  

(sieve analyses), Dynamic Light Scattering (DLS) metode sedimentasi, analisa

  gambar (mikrografi) dan metode kromatografi. Diantara metode - metode tersebut metode LAS adalah yang paling banyak digunakan belakangan ini. Ada dua metode yang terdapat dalam metode DLS ini, yaitu: 1.

  Metode basah: metode ini menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan material uji.

2. Metode kering: metode ini memanfaatkan udara atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing zone.

Gambar 3.4. PSA dengan metode DLS

  Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat dan dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling beraglomerasi. Dengan demikian ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel.

  Dalam penelitian ini karakterisasi dilakukan menggunakan PSA digunakan untuk menentukan ukuran rata-rata partikel kitosan dalam larutan. PSA menggunakan metode Dinamyc Light Scattering (DLS) dengan memanfaatkan hamburan inframerah yang ditembakkan ke sampel sehingga sampel akan bereaksi menghasilkan gerak Brown (gerak acak dari partikel yang sangat kecil dalam cairan akibat dari benturan dengan molekul-molekul yang ada dalam zat cair). Gerak inilah yang kemudian di analisis oleh alat, semakin kecil ukuran molekul maka akan semakin cepat gerakannya.

  Sampel yang digunakan dalam karakterisasi dengan PSA ini ditunjukkan pada Gambar 4.1. Selanjutnya, analisa distribusi ukuran pada partikel berdasarkan pada ukuran maksimum yang dihasilkan dalam persentase volume sampel tertentu (Gambar 3.5).

Gambar 3.5. Contoh persentase distribusi ukuran partikel

  Sebagai contoh, Dv50 digunakan untuk melihat diameter maksimum yang terdapat dalam 50% volume sampel. Gambar 3.5 sebelumnya menjelaskan distribusi ukuran partikel Dv10, Dv50 dan Dv90 yang menunjukkan ukuran maksimum pada sampel dalam persentase volume 10%, 50% dan 90%.

  

3.5.2 Pengamatan Permukaan Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

dengan Mikroskop Optik

  Struktur mikro merupakan butiran - butiran suatu material yang sangat kecil dan tidak dapat dilihat dengan mata, sehingga perlu menggunakan mikroskop optik atau mikroskop elektron untuk pemeriksaan butiran-butiran tersebut. Struktur material berkaitan dengan komposisi, sifat, sejarah dan kinerja pengolahan, sehingga dengan mempelajari struktur mikro akan memberikan informasi yang menghubungkan komposisi dan pengolahan sifat serta kinerjanya (Hera, 2013).

Gambar 3.6. (a). Mikroskop optik metalurgi, (b). Skema kerja mikroskop optik

  Mikroskop metalurgi merupakan mikroskop optik yang berbeda dari yang lain dengan menggunakan metode iluminasi pada specimen mikroskop. Metode ini menyebabkan material uji harus diterangi oleh pencahayaan frontal, sehingga cahaya berada di dalam tabung mikroskop. Skema mikroskop metalurgi optik diperlihatkan pada Gambar 3.6b.

3.5.3 Analisa Sifat Termal Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC dengan

  Differential Thermal Analysis (DTA) Analisa termal secara umum didefinisikan sebagai sekumpulan teknik

yang mengukur sifat fisis suatu bahan dan atau hasil - hasil reaksi yang diukur

sebagai fungsi temperatur. Analisa termal memegang peranan penting terhadap

sifat suatu bahan karena berkaitan erat dengan struktur dalam bahan itu sendiri.

  

Suatu bahan bila dipanaskan akan terjadi perubahan struktur yang mengakibatkan

adanya perubahan dalam kapasitas panas atau energi termal bahan tersebut.

Teknik analisa termal digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika (penguapan)

atau kimia (dekomposisi) suatu bahan salah satunya adalah menggunakan metode

differential thermal analysis (DTA) (Yudi, 2012).

  Analisa termal dengan DTA merupakan metode dimana suhu dari sampel

dibandingkan dengan material referensi selama perubahan suhu terprogram. Suhu

sampel dan referensi akan sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada saat

terjadinya beberapa peristiwa termal, seperti pelelehan, dekomposisi atau

perubahan struktur sampel, suhu dari sampel dapat berada di bawah (apabila

perubahannya bersifat endotermik) ataupun di atas (apabila perubahan bersifat

eksotermik) suhu referen (Yudi, 2012).

Gambar 3.7. Alat DTA untuk metode analisa termal

  Sample holder terdiri dari termokopel yang masing-masing terdapat pada

  material sampel dan reference. Termokopel ini dikelilingi oleh sebuah blok untuk memastikan tidak ada kebocoran panas. Sampel ditaruh di kubikel kecil dimana bagian bawahnya dipasangkan termokopel diletakkan sedemikian rupa agar bersentuhan dengan sampel dan material referensi. Gambar 3.8 menunjukkan skematis dari alat DTA untuk mengkarakterisasi sampel (Klanak et al., 2009).

Gambar 3.8. (a). Skema alat DTA untuk tempat sampel, (b). Plot grafik hasil DTA

  Tahapan kerja DTA diawali dengan memanaskan heating block dan dipastikan bahwa ukuran sampel dengan ukuran material referensi sedapat mungkin identik dan dipasangkan pada sample holder. Selanjutnya termokopel ditempatkan bersentuhan secara langsung dengan sampel dan material referensi. Temperatur di heating block akan meningkat, diikuti dengan peningkatan temperatur sampel dan material referensi. Apabila pada termokopel tidak terdeteksi perbedaan temperatur antara sampel dan material referensi, maka tidak terjadi perubahan fisika dan kimia pada sampel. Apabila ada perubahan fisika dan kimia, maka akan terdeteksi adanya ΔT (Klanak et al., 2009).

  Pada Gambar 3.8a diperlihatkan pengaturan yang digunakan pada DTA. Sampel dan referen ditempatkan bersebelahan dalam heating block yang dipanaskan ataupun didinginkan pada laju konstan. Termokopel identik ditempatkan pada keduanya dan dikoneksikan. Ketika sampel dan referen berada pada suhu yang sama, output bersih dari pasangan termokopel ini akan sama dengan nol.

  Pada saat suatu peristiwa termal berlangsung pada sampel, perbedaan suhu (ΔT) timbul antara keduanya yang kemudian terdeteksi dari selisih tegangan dari kedua termokopel. Baseline horizontal, menunjukkan ΔT=0, sedangkan penyimpangan dari baseline akan berupa puncak yang tajam sebagai akibat dari berlangsungnya peristiwa termal pada sampel (Gambar 3.8b).

  o

  Instrumen DTA komersial dapat digunakan pada range suhu - 190 C

  o

  sampai 1600

  C. Ukuran sampel biasanya kecil, beberapa miligram, sehingga mengurangi pemunculan masalah akibat gradien termal dalam sampel yang dapat mengurangi sensitivitas dan akurasi. Laju pemanasan dan pendinginan biasanya

  o

  berada pada range 1 sampai 50 C/menit. Pada penggunaan laju yang lebih lambat, sensitivitas akan berkurang karena ΔT bagi peristiwa termal tertentu akan menurun dengan menurunnya laju pemanasan (Yudi, 2012).

  Untuk analisa termal film kitosan - CMC, sampel yang digunakan untuk karakterisasi ditampilkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 3.9. Sampel film kitosan - CMC

3.5.4 Analisa Gugus Fungsional Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

  Spekroskopi inframerah adalah sebuah metode analisis instrumentasi pada senyawa kimia yang menggunakan radiasi sinar infra merah. Bila suatu senyawa diradiasi menggunakan sinar infra merah (IR), maka sebagian sinar akan diserap oleh senyawa, sedangkan yang lainnya akan diteruskan. Serapan ini diakibatkan karena molekul senyawa organik mempunyai ikatan yang dapat bervibrasi. Dan masing-masing ikatan akan mempunyai sifat yang khas (Budi dkk., 2012).

Gambar 3.10. FTIR untuk analisa gugus fungsi suatu senyawa Prinsip kerja spektroskopi FTIR berupa interaksi energi dengan materi.

  Sampel dilewati oleh sinar IR monokromatis dan jumlah energi yang diserap oleh material sampel akan dicatat. Dengan mengulang prosedur pada range 4000 - 500

  • 1

  cm akan didapat spektra antara panjang gelombang (λ) versus persen transmitansi (%T) (Dewi, 2007). Interaksi antara material sampel dengan sinar IR mengakibatkan molekul-molekul bervibrasi dimana besarnya energi vibrasi tiap komponen molekul berbeda-beda tergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya sehingga akan dihasilkan frekuensi yang berbeda yang mewakili ikatan kimia (gugus fungsional) senyawa tertentu (Budi dkk., 2012).

  Identifikasi dengan FTIR dalam penelitian ini dilakukan terhadap film kitosan - CMC (sampel Gambar 4.9) maka analisa spektrum difokuskan pada sejumlah gugus fungsional tertentu yang biasanya bersesuaian dengan bahan dasar film. Berikut adalah daftar pengecekan utama terhadap gugus-gugus fungsional tersebut (Dewi, 2007).

Tabel 3.7. Daftar gugus fungsional utama untuk kitosan

  No Jenis Gugus Analisa Gugus C=O memberikan serapan yang kuat dalam daerah 1820 - 1660

  • 1

  cm (5,50 - 6,1 m). Puncak tersebut

  Karbonil

  1 sering merupakan puncak yang paling kuat dalam spektrum.

  Serapan dengan kenampakan

  • 1

  C=O (Amida) ada, maka harus medium dekat 3500 cm kadang- 2 diperhatikan tipe senyawa (jika kadang muncul sebagai puncak tidak ada maka langsung pada no.3) rangkap.

  • 1

  Serapan sedang dekat 3500 cm dan

  3 Hidroksi

  • 1

  3200 cm

  • 1

  Serapan medium dekat 3500 cm Amin, perhatikan terhadap NH

  4

  • 1
  • Serapan medium dekat 1640 cm Amina pr
  • 1

  1550 cm

3.5.5 Analisa Sifat Absorbansi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

  Spektrofotometri ini merupakan gabungan antara spektrofotometri UV dan

  

Visible (Vis). Menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, yakni: sumber

cahaya UV (190 nm - 380 nm) dan sumber cahaya visible (380 nm / 780 nm).

  Untuk sistem spektrofotometri, UV-Vis paling banyak tersedia dan paling populer digunakan. Kemudahan metode ini adalah dapat digunakan baik untuk sampel berwarna juga untuk sampel tak berwarna (Gambar 3.9) (Iis dkk., 2012).

  Cahaya yang berasal dari lampu (deuterium maupun wolfram) yang bersifat polikromatis di teruskan melalui lensa menuju ke monokromator pada spektrofotometer dan filter cahaya pada fotometer. Monokromator kemudian akan mengubah cahaya polikromatis menjadi cahaya monokromatis (tunggal). Berkas- berkas cahaya dengan panjang tertentu kemudian akan dilewatkan pada sampel yang mengandung suatu zat dalam konsentrasi tertentu. Oleh karena itu, terdapat cahaya yang diserap (diabsorbsi) dan ada pula yang dilewatkan. Cahaya yang dilewatkan ini kemudian di terima oleh detektor. Detektor kemudian akan menghitung cahaya yang diterima dan mengetahui cahaya yang diserap oleh sampel. Cahaya yang diserap sebanding dengan konsentrasi zat yang terkandung dalam sampel sehingga akan diketahui konsentrasi zat dalam sampel secara kuantitatif (Wocono, 2013).

Gambar 3.11. Skema bagian dari alat spektroskopi UV-Vis

  Interaksi antara energi cahaya dan molekul dalam serapan cahaya molekul dalam spektrum UV-VIS dapat juga dinyatakan sebagai energi gap yang ditentukan berdasarkan panjang gelombang maksimum yang dihasilkan puncak absorbsi dari hasil uji UV-VIS spectroscopy tersebut yang secara matematis dituliskan dengan:

  c E = hv = h (3.3) g λ

  • 34

  Dengan E g adalah energi gap (eV), h adalah tetapan planck sebesar 6,64 x 10 J dan v sebagai frekuensi gelombang (Hz) (Husni, 2012).

  Absorbansi terjadi pada saat foton bertumbukan langsung dengan atom- atom pada suatu material. Absorbansi menyatakan banyaknya cahaya yang diserap oleh suatu lapisan tipis dari total cahaya yang dilewatkan pada lapisan tipis tersebut. Absorbansi (A) suatu larutan dinyatakan sebagai persamaan,

  I

  1 A = (3.4)

  − log T = − log

  I o

  dengan A adalah absorbansi, T adalah transmitansi, I o adalah berkas cahaya datang

  2

  2

  (W/m ), dan I 1 adalah berkas cahaya keluar dari suatu medium (W/m ). Absorbansi lapisan tipis bertambah dengan penguatan energi cahaya. Bila ketebalan benda atau konsentrasi materi yang melewati cahaya bertambah, maka cahaya akan lebih banyak diserap. Jadi absorbansi berbanding lurus dengan ketebalan d. Koefisien absorbansi (

  α) merupakan rasio antara absorbansi (A), dengan ketebalan bahan d yang dilintasi cahaya. Sehingga dapat ditulis dalam bentuk persamaan 3.5 dan 3.6 di bawah ini (Micheal, 2008).

  A

  (3.5)

  α = d λ

  1 λ

  2 d = (3.6)

  2n

  1

  2 λ − λ

3.6 Analisa Statistik Data Listrik Sensor Aseton

3.6.1 Analisa Regresi Linier

  Regresi linier adalah metode statistika yang digunakan untuk membentuk model hubungan antara variabel terikat (dependen, respon, x) dengan satu atau lebih variabel bebas (independen, prediktor, y). Apabila banyaknya variabel bebas hanya ada satu, disebut sebagai regresi linier sederhana, sedangkan apabila terdapat lebih dari 1 variabel bebas, disebut sebagai regresi linier berganda.

  Analisis regresi setidak-tidaknya memiliki 3 kegunaan, yaitu untuk tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti, untuk tujuan kontrol, serta untuk tujuan prediksi. Regresi mampu mendeskripsikan fenomena data melalui terbentuknya suatu model hubungan yang bersifatnya numerik. Regresi juga dapat digunakan untuk melakukan pengendalian (kontrol) terhadap suatu kasus atau hal-hal yang sedang diamati melalui penggunaan model regresi yang diperoleh (Deny, 2008).

  Data untuk variabel independen x pada regresi linier bisa merupakan data pengamatan yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh peneliti (obsevational data) maupun data yang telah ditetapkan (dikontrol) oleh peneliti sebelumnya experimental or fixed data). Di dalam suatu model regresi kita akan menemukan koefisien-koefisien. Koefisien pada model regresi sebenarnya adalah nilai duga parameter di dalam model regresi untuk kondisi yang sebenarnya (true condition), sama halnya dengan statistik mean (rata-rata) pada konsep statistika dasar. Hanya saja, koefisien-koefisien untuk model regresi merupakan suatu nilai rata-rata yang berpeluang terjadi pada variabel y (variabel terikat) bila suatu nilai x (variabel bebas) diberikan. Koefisien regresi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

  1. Intersep (intercept)

  Intersep, definisi secara metematis adalah suatu titik perpotongan antara suatu garis dengan sumbu x pada diagram/sumbu kartesius saat nilai x = 0. Sedangkan definisi secara statistika adalah nilai rata-rata pada variabel y apabila nilai pada variabel x bernilai 0. Intersep tidak selalu dapat atau perlu untuk diinterpretasikan. Apabila data pengamatan pada variabel x tidak mencakup nilai 0 atau mendekati 0, maka intersep tidak memiliki makna yang berarti, sehingga tidak perlu diinterpretasikan.

  2. Slope Secara matematis, slope merupakan ukuran kemiringan dari suatu garis.

  

Slope adalah koefisien regresi untuk variabel x (variabel bebas). Dalam konsep

  statistika, slope merupakan suatu nilai yang menunjukkan seberapa besar kontribusi yang diberikan suatu variabel x terhadap variabel y. Nilai slope dapat pula diartikan sebagai rata - rata pertambahan (atau pengurangan) yang terjadi pada variabel y untuk setiap peningkatan satu satuan variabel x (Deny, 2008).

  Secara umum, bentuk persamaan untuk regresi linier dinyatakan berikut, y = a + bx (3.6) dimana:

  n xy + x y

  (3.7)

  b =

  2

  2 n x − x y−b x

  (3.8)

  a = n

  Tanda positif pada nilai b atau koefisien regresi menunjukkan bahwa antara variabel bebas dengan variabel terikat berjalan satu arah, dimana setiap penurunan atau peningkatan variabel teikatnya. Sementara tanda negatif pada b menunjukkan bahwa antara variabel bebas dan terikatnya berjalan dua arah, dimana setiap peningkatan variabel bebas akan diikuti dengan penurunan variabel terikatnya, dan sebaliknya (Abdurrahman dkk., 2012).

Gambar 3.12. Contoh garis regresi dalam sebuah grafik

  Grafik dalam Gambar 3.12 merupakan hasil plot data berdasarkan persamaan 3.6 di atas. Dimana a menyatakan nilai intersep pada grafik dan b merupakan slope. Biasanya persamaan tersebut disertai denga nilai error (y = a + bx + ε) yang menyatakan semua hal yang mungkin yang mempengaruhi variabel terikat y yang tidak dapat diamati.

3.6.2. Analisa Standar Deviasi (STDEV) Untuk dapat menentukan standar deviasi, kita perlu himpunan data.

  Seorang ahli statistik biasanya hanya mengambil sampel dari sebuah populasi. Keuntungan dari statistik ini adalah hanya dengan melakukan perhitungan pada sampel dari populasi, sudah cukup baik menggambarkan perhitungan data yang sebenarnya.

  STDEV dari himpunan data adalah ukuran seberapa tersebar nilai data - data tersebut yang ditunjukkan oleh rumusan STDEV berikut ini:

  2 ( − )

  =1

  (3.9)

  = −1

  dimana s adalah standar deviasi, x adalah himpunan data dan adalah nilai rata - rata x dengan dihitung berdasarkan persamaan

  =1

  (3.10)

  =

  Nilai STDEV yang besar menunjukkan bahwa data dalam himpunan tersebar jauh dari rata - rata nilai himpunan sedang nilai STDEV yang kecil menunjukkan bahwa data berkumpul disekitar nilai rata - rata himpunan tersebut (Daniel, 2007).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Penambahan CMC pada Larutan Kitosan

  Pembuatan larutan kitosan dan larutan kitosan dengan penambahan variasi massa CMC dalam penelitian ini yaitu dengan metode blending. Hasil pembuatan larutan dengan bahan dasar 0,5 g serbuk kitosan (Tulus et al., 2010, 2013) dan penambahan CMC dengan variasi massa 0, 0,01 g, 0,05 g, 0,1 g dan 0,5 g diperoleh lima sampel berupa larutan homogen kitosan murni dan larutan homogen kitosan dengan penambahan variasi massa CMC.

  Untuk melihat bagaimana penambahan CMC memberi pengaruh pada larutan kitosan maka dilakukan pengamatan terhadap larutan homogen kitosan yang telah dibuat. Pengamatan dilakukan terkait tingkat kekeruhan dan tingkat keasaman larutan. Kedua hal tersebut merupakan dua hal yang saling terkait yang dapat diamati untuk menjelaskan kualitas larutan berdasarkan pada kondisi fisik larutan kitosan dengan penambahan variasi massa CMC yang akan dibandingkan dengan larutan kitosan tanpa penambahan CMC.

4.1.1 Tingkat Kekeruhan Larutan (Warna Larutan)

  Warna merupakan salah satu prolfil visual yang menjadi kesan pertama yang dapat diamati untuk menentukan tingkat kekeruhan larutan yang dibuat (Taufiqur dkk., 2009). Hal ini sering juga digunakan untuk menilai tingkat kekentalan larutan tersebut. Gambar 4.1 di bawah menunjukkan tampilan fisik larutan kitosan dengan dan tanpa penambahan CMC.

  Secara visual, larutan kitosan tanpa penambahan CMC cenderung tidak berwarna atau bening. Perubahan warna terjadi pada penambahan CMC pada larutan kitosan. Larutan kitosan dengan penambahan CMC menunjukkan perubahan warna dari bening menjadi berwarna putih dan keruh. Semakin besar jumlah CMC yang ditambahkan, tingkat kekeruhan larutan semakin meningkat.

  

Pure Chit – CMC Chit – CMC Chit – CMC Chit – CMC

Chitosan 0,01 w/v 0,05 w/v 0,1 w/v 0,5 w/v

Gambar 4.1. Tampilan fisik larutan kitosan dan larutan kitosan - CMC

  Lebih lanjut dijelaskan, perubahan warna ini terjadi disebabkan oleh karena terdispersinya kitosan dan CMC dengan baik di dalam pelarutnya, yakni asam asetat 2%. Terdispersinya kitosan - CMC menunjukkan semakin stabilnya larutan yang terbentuk sebagaimana digambarkan pada Gambar 4.2 (Anggi et al., 2010).

Tabel 4.1. Tingkat kekeruhan larutan kitosan - CMC

  Campuran Warna Larutan

  Kitosan CMC Tidak berwarna -

  0,01 g Agak keruh 0,05 g Keruh

  0,5 g

  0,1 g Amat keruh 0,5 g Amat sangat keruh

  Terdispersinya kitosan dan CMC dalam proses pembuatan larutan digambarkan pada mekanisme di atas, dimana pasangan elektron dari atom

  • oksigen dari molekul - molekul air bergerak menuju ion H yang terletak dian
    • COO dan -NH

  3 . Dan stabilitas larutan kitosan - CMC tercapai melalui peristiwa terlepasnya proton dari ion - ion hidrogen pada molekul air.

Gambar 4.2. Mekanisme transfer proton pada larutan kitosan

  • – CMC

4.1.2 Tingkat Keasaman

  Tingkat keasamaan atau pH larutan berkaitan erat dengan konsentrasi ion hidrogen yang terkandung dalam satu larutan yang diukur. Analisa yang dilakukan terhadap pengaruh penambahan CMC pada kitosan dengan variasi massa yang berbeda - beda berpengaruh nyata terhadap tingkat keasaman larutan yang diukur menggunakan pHmeter. Terlihat adanya kecenderungan penurunan nilai pH dengan semakin besarnya jumlah CMC yang ditambahkan ke dalam larutan kitosan (Tabel 4.1).

  Menurut Ganz (1997) CMC merupakan hidrokoloid yang mengandung gugus karboksil (-COOH) dan mudah terhidrolisis. Gugus (-COOH) memberikan sifat asam pada campurannya. Sehingga semakin banyak jumlah CMC yang ditambahkan memungkinkan pH larutan semakin asam. Dengan demikian, penambahan CMC meningkatkan kelarutan kitosan dengan meningkatnya nilai pH larutan kitosan - CMC.

Tabel 4.2. Tingkat keasaman larutan kitosan - CMC

  Campuran pH Larutan Kitosan CMC

  4,02 - 0,01 g 3,91 0,05 g 3,62

  0,5 g

  0,1 g 3,28 0,5 g 3,10

4.1.3 Distribusi Ukuran Partikel Larutan

  Larutan kitosan - CMC dalam penelitian ini dibuat dengan metode blending menggunakan magnetic stir selama 24 jam pada suhu kamar. Larutan kitosan - CMC yang telah dibuat selanjutnya diukur distribusi ukuran partikel larutan dengan PSA dan diperoleh ukuran partikel dalam larutan tersebut masing - masing 7081,33 nm, 6458,25 nm, 5890,74 nm, 5371,74 nm dan 4678,59 nm.

Gambar 4.3. Distribusi ukuran partikel larutan kitosan tanpa CMCGambar 4.4. Distribusi ukuran partikel larutan kitosan - CMC 0,01 gGambar 4.5. Distribusi ukuran partikel larutan kitosan - CMC 0,05 gGambar 4.6. Distribusi ukuran partikel larutan kitosan - CMC 0,1 gGambar 4.7. Distribusi ukuran partikel larutan kitosan - CMC 0,5 g

  Pengukuran distribusi partikel larutan dilakukan setelah larutan didiamkan selama ± 24 jam untuk menghilangkan gelembung yang timbul pada larutan setelah distir. Pada gambar 4.3 s/d 4.7 menunjukkan hasil pengukuran distribusi partikel larutan. Dari gambar tampak penambahan CMC ke dalam larutan tidak hanya menurunkan ukuran partikel larutan kitosan tapi juga menjaga agar larutan kitosan tidak terpisah dari pelarutnya meski didiamkan dalam waktu lama.

  Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan larutan kitosan tanpa CMC yang cenderung tidak stabil (Gambar 4.3) dimana terdapat ukuran partikel yang berbeda yang dihasilkan pada pengukuran. Perbedaan ukuran partikel ini menyatakan ketidakhomogenan larutan yang dimungkinkan oleh banyak faktor dan salah satunya karena terjadinya pemisahan antara pelarut dan kitosan sebagai yang terlarut selama didiamkan. Dengan munculnya ukuran partikel kitosan yang berbeda dalam larutan akan berpengaruh terhadap kualitas permukaan film kitosan yang tidak homogen (tidak merata).

4.2 Hasil Fabrikasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC dengan Metode Elektrodeposisi

  Tahap berikutnya dalam penelitian ini adalah proses fabrikasi film kitosan dari larutan kitosan - CMC yang telah dibuat sebelumnya dengan berbagai variasi komposisi dengan metode elektrodeposisi. Pada penelitian ini, proses elektrodeposisi yang dilakukan terhadap larutan kitosan - CMC dengan mengoptimasi paramater - parameter dalam metode tersebut yang diharapkan diperoleh endapan (deposit) dengan kualitas yang lebih baik.

  Pada prinsipnya, proses elektodeposisi merupakan rangkaian yang terdiri atas sumber tegangan, larutan elektrolit, anoda dan katoda yang nantinya akan membentuk suatu sistem pelapisan listrik. Anoda dihubungkan dengan kutub positif sedangkan katoda (benda kerja) dihubungkan dengan kutub negatif dari sumber tegangan (Basmal, 2011).

  Kedua elektroda (anoda dan katoda) dalam prosesnya akan dicelupkan ke dalam larutan elektrolit. Bila tegangan listrik dialirkan diantara elektroda di dalam larutan elektrolit maka akan terjadi reaksi kimia yang berkaitan dengan gerak partikel bermuatan (ion) dari larutan tersebut. Pada saat berlangsungnya elektrodeposisi, ion positif akan di tarik oleh katoda sedang ion negatif akan berpindah ke arah elektroda yang bermuatan negatif (anoda). Ion - ion tersebut kemudian akan dinetralisir oleh kedua elektroda dengan larutan elektrolit yang dihasilkan diendapkan pada katoda sebagai benda kerja dalam penelitian ini. Lapisan yang terbentuk hasil elektrodeposisi tersebut merupakan lapisan film kitosan dan lapisan film kitosan - CMC. a H2

  K Chitosan U B S Electrodepotion process S + B + T + S U + + 2H+ S T + R K + + Bagian substrat yang akan dilapisi + A T R pH Gradient T A Tampilan lapisan kitosan di atas substrat tembaga

  • + b + + K S H2
  • 2H+ Chitosan S U + K T A + Bagian substrat yang akan S T B U R + pH Gradient + Electrodepotion process S T + T A B + R dilapisi Tampilan lapisan kitosan di atas substrat tembaga

    Gambar 4.8. Pembentukan (a). Film kitosan, (b). Film Kitosan - CMC dengan metode elektrodeposisi

      Berdasarkan proses di atas setidaknya ada beberapa faktor yang terlibat dalam proses pelapisan larutan kitosan dan larutan kitosan - CMC, di antaranya:

      4.2.1 Konsentrasi Larutan Elektrolit Konsentrasi larutan elektrolit ini berkaitan dengan nilai pH dari larutan.

      Ada batas - batas pH yang diharuskan untuk berlangsungnya proses elektrodeposisi pada larutan elektrolit tersebut, yaitu berkisar antara 3 - 5. Jika nilai pH melebihi batas yang diizinkan maka akan terjadi pengendapan pada larutan yang menghalangi dalam proses dan pada lapisan film akan muncul sumuran atau permukaan lapisan menjadi kasar (Basmal, 2011).

      Terkait dengan larutan kitosan - CMC sebagai prekursor film kitosan - CMC yang difabrikasi, pH larutan masih memenuhi batasan standar larutan elektrolit pada metode elektrodeposisi (Tabel 4.3). Karenanya larutan elektrolit kitosan - CMC dapat didepositkan dengan baik di atas permukaan substrat (permukaan yang dilapisi) dengan membentuk film.

      4.2.2 Elektroda (Anoda dan Katoda)

      Elektroda dalam proses elektrodeposisi terdiri atas anoda dan katoda yang dilapisi logam yang telah dibersihkan dengan aseton untuk menghindari munculnya pengotor sebelum deposisi. Penggunaan logam sebagai substrat karena sifat konduktivitasnya yang tinggi dibanding material lainnya yang diharapkan juga membantu memudahkan proses pelapisan larutan kitosan dan kitosan - CMC.

      CS – CMC Pure Chitosan 0,1 w/v CS - CMC CS – CMC

      

    CS - CMC

    0,01 w/v 0,5 w/v

      

    0,05 w/v

    Gambar 4.9. Sampel sensor berbasis film kitosan dan film kitosan - CMC

      Hasil fabrikasi film dari larutan kitosan dan larutan kitosan- CMC yang telah dideposit diatas substrat sensor diperoleh 5 sampel sensor, yakni sensor berbasis film kitosan tanpa penambahan CMC (Pure Chitosan), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,01 g CMC (CS - CMC 0,01 w/v), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,05 g CMC (CS - CMC 0,05 w/v), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,1 g CMC (CS - CMC 0,1 w/v) dan sensor berbasis film kitosan dengan 0,5 g CMC (CS - CMC 0,5 w/v).

    4.3 Karakterisasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

      Film kitosan - CMC hasil fabrikasi dikarakterisasi untuk mengetahui karakteristik film yang dihasilkan yang meliputi, pengamatan kondisi fisik permukaan film dengan mikroskop optik, analisa termal bahan film menggunakan

      

    Differential Thermal Analysis (DTA) , analisa komposisi kimia film dengan

    dan dengan UV - VIS Spectroscopy. Fourier Transform Infrared (FTIR)

      

    4.3.1 Hasil Pengamatan Permukaan Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

    dengan Mikroskop Optik

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transformator - Studi Penggunaan Sistem Pendingin Udara Tekan Untuk Meningkatkan Efisiensi Transformator (Aplikasi pada PLTU Labuhan Angin, Sibolga)

0 0 30

Pengaruh media poster dan media leaflet terhadap pengetahuan dan sikap siswa di SMA Negeri 2 Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2015

0 4 47

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Pengaruh media poster dan media leaflet terhadap pengetahuan dan sikap siswa di SMA Negeri 2 Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2015

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Pengaruh media poster dan media leaflet terhadap pengetahuan dan sikap siswa di SMA Negeri 2 Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2015

0 2 7

BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Singkat Perusahaan - Analisis Alokasi Anggaran Biaya Operasional Pada PT TASPEN (Persero) KCU Medan

0 0 17

BAB II KERANGKA TEORI - Kata Jihad Dalam Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia: Analisis Strategi Penerjemahan

0 2 10

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Kata Jihad Dalam Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia: Analisis Strategi Penerjemahan

0 0 8

2.1.1 Pembagian Lotio berdasarkan fungsinya - Penetapan Kadar Oktil Metoksi Sinamat Dalam Lusio Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Analisis Alkalinitas Pada Air Reservoir Di Pdam Tirtanadi Medan

1 1 14

LAMPIRAN A PERALATAN DAN BAHAN PENELITIAN A.1 Peralatan Penelitian

0 0 33