5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Amoksisilin dan Kalium Klavulanat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Amoksisilin dan Kalium Klavulanat

  Amoksisilin dan kalium klavulanat merupakan kombinasi antibakteri oral yang terdiri dari senyawa turunan β-laktam dan penghambat β-laktamase (Bebrone, dkk., 2010). Kalium klavulanat melindungi amoksisilin agar tidak terhidrolisis oleh enzim β-laktamase sehingga dapat mengatasi kerja amoksisilin (Sweetman, 2009). mengatasi infeksi pada saluran pernafasan seperti sinusitis, bronkopneumonia, faringolaringitis, dan tonsilitis (Kuroki, dkk., 2013; Wald, dkk., 2008). Selain itu juga dapat digunakan untuk membantu dalam mengobati otitis media akut, ulkus peptik, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Casey, dkk., 2012; Sweetman, 2009).

  Kombinasi amoksisilin dan kalium klavulanat dapat menimbulkan gangguan fungsi hati seperti hepatitis serta gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, nyeri perut, dan diare (Sweetman, 2009).

2.1.1 Amoksisilin

  Gambar 1. Rumus Struktur Amoksisilin (USP 30 dan NF 25, 2007)

  Amoksisilin memiliki rumus molekul C

  16 H

  19 N

  3 O

  5 S.3H

  2 O dengan berat

  molekul 419,45. Pemeriannya berupa serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau, stabil pada pH 3,5-6,0. Senyawa ini sukar larut dalam air dan metanol, tidak larut dalam benzena, dalam karbon tetraklorida, dan dalam kloroform (Ditjen BKAK, 2014; USP 30 dan NF 25, 2007).

  Amoksisilin merupakan turunan penisilin berspektrum luas yang bekerja dengan menghambat biosintesis dinding sel (Mutschler, 1986). Amoksisilin digunakan untuk mengatasi berbagai infeksi pada saluran pernafasan, saluran cerna, dan saluran kemih (Sweetman, 2009).

  

Gambar 2. Rumus Struktur Kalium Klavulanat (USP 30 dan NF 25, 2007)

  Kalium klavulanat memiliki rumus molekul C

  8 H

  8 KNO 5 dengan berat

  molekul 237,25. Pemeriannya berupa serbuk putih, berasa pahit, stabil pada pada pH 5,5-8. Senyawa ini mudah larut dalam alkohol dan air (Ditjen BKAK, 2014; Gelone dan O’Donnel, 2005; USP 30 dan NF 25, 2007).

  Kalium klavulanat merupakan bentuk garam dari asam klavulanat. Asam klavulanat mempunyai kerja antimikroba yang sangat lemah, tetapi dapat menghambat penisilinase dari streptokokus dan β-laktamase sebagai mikroba gram negatif dengan mengikat pusat aktif enzim tersebut. Oleh karena itu, senyawa ini digunakan dalam kombinasi bersama antibiotik β-laktam yang tidak stabil t erhadap β-laktamase (Mutschler, 1986; Sweetman, 2009).

2.2 Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel

  2.2.1 Pengertian Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel

  Spekrofotometri ultraviolet-visibel merupakan salah satu teknik analisis spektrofotometri yang menggunakan sumber radiasi elektromagnetik sinar ultraviolet dan sinar tampak dengan memakai instrumen spektrofotometer (Rohman, 2007). Sinar ultraviolet memiliki panjang gelombang antara 400-800 nm (Moffat, dkk., 2005).

  2.2.2 Pembagian Metode Analisis Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel

  Spektrofotometri ultraviolet-visibel dibagi atas empat metode analisis yaitu analisis zat tunggal, analisis multikomponen, spektrofotometri perbedaan (Difference Spectrophotometry), dan spektrofotometri derivatif (Moffat, dkk., 2005).

  2.2.3 Proses Penyerapan Radiasi pada Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel

  Radiasi di daerah ultraviolet atau visibel diserap melalui eksitasi elektron yang terlibat dalan ikatan antara atom-atom pembentuk molekul (Rohman, 2007; Watson, 2005).

  Jika suatu berkas radiasi dikenakan pada larutan sampel maka intensitas sinar radiasi yang diteruskan dapat diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada zat penyerap lainnya. Serapan dapat terjadi jika radiasi yang mengenai larutan sampel memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan perubahan energi.

  Kekuatan radiasi juga mengalami penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi penurunan hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan (Rohman, 2007).

  Sinar ultraviolet dan sinar tampak (visibel) memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektron (Rohman, 2007). Elektron yang energinya tertinggi dalam molekul, berada dalam tingkat energi elektron dasar, terdapat dalam orbital δ, π, atau n, masing-masing mempunyai keadaan tereksitasi sesuai radiasi ultraviolet dan sinar tampak adalah δ →δ*, n→δ*, n→π*, dan π→π* (Satiadarma, dkk., 2004).

  Penyerapan radiasi ultraviolet dan sinar tampak dibatasi oleh sejumlah gugus fungsional (yang disebut dengan kromofor) yang mengandung elektron valensi dengan tingkat energi eksitasi yang relatif rendah. Elektron yang terlibat pada penyerapan radiasi ultraviolet dan visibel ini ada tiga, yaitu elektron sigma, elektron phi, dan elektron bukan ikatan (non bonding electron) (Rohman, 2007).

  Menurut Rohman (2007), transisi-transisi elektronik yang terjadi di antara tingkat- tingkat energi di dalam suatu molekul ada empat yaitu transisi δ →δ*, transisi n

  →δ*, transisi n→π*, dan transisi π→π*. Berikut akan diuraikan keempat jenis transisi :

  1. Transisi δ→δ* Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang frekuensinya terletak di antara ultraviolet vakum (kurang dari 180 nm).

  Jenis transisi ini terjadi pada daerah ultraviolet vakum sehingga kurang begitu bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometri ultraviolet-visibel.

  2. Transisi n→δ* Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung atom-atom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron n). Energi yang diperlukan untuk transisi jenis ini lebih kecil dibandingkan transisi δ →δ* yakni sekitar 150-250 nm. Kebanyakan transisi ini terjadi pada panjang gelombang kurang dari 200 nm.

  3. Transisi n→π* dan transisi π→π* Untuk memungkinkan terjadinya transisi ini, maka molekul organik harus mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab dengan panjang gelombang 200-700 nm, dan panjang gelombang ini secara teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer ultraviolet-visibel. Perbedaan antara transisi n →π* dan transisi π→π* dapat dilihat pada tabel 1.

  Tabel 1. Perbedaan antara transisi n

  →π* dan transisi π→π* Transisi n

  →π* Transisi π→π* Absorptivitas molar (ε) antara Absorptivitas molar (ε) antara

  • 1 -1 -1 -1

  10-100 Lcm mol 1000-10000 Lcm mol Biasanya pelarut yang polar Biasanya pelarut yang polar menyebabkan pergeseran biru atau menyebabkan pergeseran merah atau

  hypsocromic shift (pergeseran pita bathocromic shift (pergeseran pita

  serapan ke arah panjang gelombang serapan ke arah panjang gelombang yang lebih pendek) yang lebih panjang)

2.2.3 Kegunaan Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel

  Data spektrum ultraviolet-visibel secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat karena rentang daerah radiasi yang relatif sempit hanya dapat menghasilkan sedikit sekali puncak absorbsi maksimum dan minimum. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektrofotometri inframerah, resonansi magnet inti, dan spektrometri massa, maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi kualitatif suatu senyawa tersebut. Penggunaannya terbatas pada konfirmasi identitas dengan menggunakan parameter panjang gelombang maksimum, nilai absorptivitas, nilai absorptivitas molar, nilai koefisien ekstingsi yang khas untuk senyawa yang dilarutkan dalam suatu pelarut tertentu (Satiadarma, dkk., 2004; Rohman, 2007).

  Kegunaan utama spektrofotometri ultraviolet-visibel adalah analisis kuantitatif (Satiadarma, dkk., 2004). Beberapa kegunaannya dalam analisis kuantitatif yaitu penetapan kadar tablet meloksikam (Nemutlu dan Kir, 2004), penetapan kadar tablet levofloksasin (Desai, dkk., 2011), penetapan kadar ranitidin hidroklorida (Basavaiah dan Nagegowda, 2004), dan penetapan kadar tablet kombinasi parasetamol, fenileprin, dan klorfeniramin (Khoshayand, dkk., 2010).

  Menurut Rohman (2007), Hukum Lambert-Beer menjadi dasar aspek kuantitatif spektrofotometri ultraviolet-visibel. Menurut Hukum Lambert-Beer, serapan berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, yang dapat ditulis dengan persamaan :

  1

  .b.c (g/100 ml)

  1 A = a.b.c (g/liter) atau A = ε. b. c (mol/liter) atau A = A

  A = serapan c = konsentrasi a = absorptivitas ε = absorptivitas molar

  1

  b = ketebalan sel A

  1 = absorptivitas spesifik

2.2.4 Komponen Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel

  Biasanya spektrofotometer telah mempunyai software untuk mengolah data yang dapat dioperasikan melalui komputer yang telah terhubung dengan spektrofotometer (Moffat, dkk., 2005).

  Menurut Satiadarma, dkk., (2004) dan Rohman (2007), komponen spektrofotometer UV-Vis adalah sebagai berikut:

  1. Sumber-sumber lampu: lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel pada panjang gelombang antara 350- 900 nm.

  2. Monokromotor: digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis.

  3. Optik-optik: dapat didesain untuk memecah sumber sinar melewati 2 kompartemen.

  4. Detektor: digunakan sebagai alat yang menerima sinyal dalam bentuk radiasi elektromagnetik, mengubah, dan meneruskannya dalam bentuk sinyal listrik ke rangkaian sistem penguat elektronika. Respon tiap jenis detektor terhadap bagian dari spektrum radiasi tidak sama, sehingga setiap spektrofotometer menggunakan detektor yang paling cocok untuk daerah pengukurannya.

2.3.1 Pengertian Spektrofotometri Derivatif

  Spektrofotometri derivatif merupakan transformasi spektrum serapan menjadi spektrum derivatif pertama, kedua, atau spektrum derivatif orde lebih tinggi (Ditjen POM, 1995). Spektrofotometri derivatif merupakan metode manipulatif terhadap spektrum pada spektrofotometri ultraviolet-visibel (Moffat, dkk., 2005).

  Menurut Moffat, dkk., (2005), pada spektrofotometri konvensional, spektrum serapan merupakan plot serapan (A) terhadap panjang gelombang (λ).

  Pada spektr ofotometri derivatif, plot A lawan λ, ditransformasikan menjadi plot

  2

  2

  dA/dλ lawan λ untuk derivatif pertama, dan d A/ dλ lawan λ untuk derivatif kedua, dan seterusnya.

  A = f( λ), order nol

  dA/d

  λ = f ′(λ), order pertama

  2

  2

  d A /d = f λ ″(λ), order kedua, dan seterusnya.

  Gambar 3. Spektrum serapan normal sampai derivat keempat (Talsky, 1994)

  Gambar (a) menunjukkan spektrum serapan normal yang diderivatisasi sampai spektrum derivat keempatnya, sedangkan Gambar (b) menunjukkan spektrum yang saling tumpang tindih yang diderivatisasi mulai dari spektrum serapan normal hingga spektrum derivat keempat (Talsky, 1994).

  Menurut Talsky (1994), spektrum derivatif merupakan sebuah plot perubahan serapan dengan panjang gelombang. Spektrum derivatif pertama dilambangkan dengan dA/d

  λ, spektrum derivatif kedua dilambangkan dengan

  2

  2

  dA / , dan seterusnya (Ditjen POM, 1995). Hal ini dapat dilihat dari persamaan dλ menurut hukum Lambert-Beer berikut ini :

  dA ( 1 %, 1 cm ) x bc d λ

  dA/d

  λ = 2 d A cm

  ( 1 %, 1 ) 2 x bc

  2

  2 d

  λ dA d =

  / λ n d A cm

  ( 1 %, 1 ) n x bc n d

  λ d =

2.3.2 Metode Evaluasi Spektra pada Spektrofotometri Derivatif

  Ada empat metode umum yang digunakan untuk evaluasi spektra pada spektrofotometri derivatif yaitu metode peak-peak, metode peak-tangent, metode

  peak-zero (zero crossing) , metode peak-peak ratio (rasio spektra) (Talsky, 1994; Nurhidayati, 2007).

  Pada metode peak-peak, absorbsinya diukur dari puncak maksimum sampai minimum yang ditunjukkan P , P , dan P pada gambar (a) sedangkan pada

  1

  2

  3

  metode peak-tangent, absorbsinya diukur dari puncak maksimum sampai pertengahan puncak minimum yang dapat ditunjukkan pada t , t , dan t pada

  1

  2

  3

  sampai titik nol kurva yang ditunjukkan pada z

  1 , z 2 , z 3 , z 4 , dan z 5 pada gambar (c)

  sedangkan pada metode peak-peak ratio, absorbsinya diukur sebagai perbandingan antara P

  1 dengan P 2 yang ditunjukkan pada gambar (d) (Talsky,

  1994). Kurva aplikasi metode evaluasi spektra derivatif dapat dilihat pada gambar 4.

  (a) Kurva aplikasi metode peak-peak (b) Kurva aplikasi metode peak-tangent

  (c) Kurva aplikasi metode peak-zero (d) Kurva aplikasi metode peak-peak ratio

  Gambar 4. Kurva aplikasi metode evaluasi spektra derivatif (Talsky, 1994)

  Metode zero crossing merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pemilihan panjang gelombang analisis untuk campuran biner (Aziz, 2006).

  Panjang gelombang zero crossing adalah panjang gelombang dimana senyawa tersebut mempunyai serapan nol dan menjadi panjang gelombang analisis untuk zat lain dalam campurannya. Pengukuran pada metode zero crossing tiap komponen dalam campuran merupakan fungsi tunggal konsentrasi dari yang lainnya (Nurhidayati, 2007). Kurva sederhana aplikasi zero crossing dapat dilihat pada Gambar 5.

  Gambar 5. Kurva sederhana aplikasi zero crossing (Talsky, 1994)

2.3.3 Kegunaan Spektrofotometri Derivatif

  Metode spektrofotometri derivatif dapat digunakan untuk analisis kuantitatif zat dalam campuran yang spektrumnya mungkin tersembunyi dalam suatu bentuk spektrum besar yang saling tumpang tindih dengan mengabaikan proses pemisahan zat yang bertingkat-tingkat (Nurhidayati, 2007).

  Dalam bidang farmasi, karena terkait terapi, penetapan kadar obat adalah kontrol kualitas pada industri farmasi. Metode spektrofotometri derivatif adalah teknik analisis dengan kemampuan memisahkan campuran obat yang memiliki spektra tumpang tindih (Nurhidayati, 2007).

2.4.Validasi metode

  Validasi metode adalah suatu proses yang menunjukkan bahwa prosedur analitik telah sesuai dengan penggunaan yang dikehendaki. Proses validasi metode untuk prosedur analitik dimulai dengan pengumpulan data validasi oleh pelaksana guna mendukung prosedur analitiknya (Bliesner, 2006). Validasi metode yang sempurna hanya dapat terjadi jika metode tersebut sudah dikembangkan dan sudah dioptimasi (Rohman, 2007).

  Hasil validasi metode dapat digunakan untuk memutuskan kualitas, reabilitas, dan konsistensi dari hasil analisis (Huber, 2007). Adapun karakteristik spesifisitas, batas deteksi, batas kuantitasi, linieritas, rentang, dan kekuatan/ketahanan.

2.4.1 Akurasi

  Akurasi adalah kedekatan nilai hasil uji yang diperoleh melalui metode analisis dengan nilai yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan dengan persen perolehan kembali (% recovery). Akurasi dapat ditentukan dengan dua metode, yaitu spiked-placebo recovery atau metode simulasi dan standard addition method (metode penambahan baku). Pada metode spiked-placebo recovery, analit murni ditambahkan (spiked) ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi, lalu campuran tersebut dianalisis dan jumlah analit yang dianalisis dibandingkan dengan jumlah analit yang telah diketahui konsentrasinya dapat ditambahkan langsung ke dalam sediaan farmasi. Metode ini dinamakan metode penambahan baku atau standard addition method (USP 30 dan NF 25, 2007; Ermer dan McB. Miller, 2005; Harmita, 2004).

  Menurut Harmita (2004), dalam metode penambahan baku, sejumlah sampel yang dianalisis ditambah analit dengan konsentrasi biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan, dicampur, dan dianalisis kembali. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya. Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya.

  2.4.2 Presisi

  Presisi adalah ukuran keterulangan metode analisis, termasuk di antaranya kemampuan instrumen dalam melakukan hasil analisis yang reprodusibel. Presisi

  

International Conference on the Harmonisation ), karakteristik presisi ada tiga

  tingkatan, yaitu keterulangan (repeatability), presisi antara (intermediate

  

precision ), dan reprodusibilitas (reproducibility). Keterulangan dilakukan dengan

  cara menganalisis sampel yang sama oleh analis yang sama menggunakan instrumen yang sama dalam periode waktu yang singkat. Presisi antara dikerjakan oleh analis yang berbeda sedangkan reprodusibilitas dikerjakan oleh analis yang berbeda dan di laboratorium yang berbeda (USP 30 dan NF 25, 2007; Satiadarma, dkk., 2004).

  2.4.3 Spesifisitas

  Spesifitas adalah suatu ukuran seberapa mampu metode tersebut mengukur analit saja dengan adanya senyawa-senyawa lain yang terkandung di dalam sampel (Watson, 2005). Secara umum, spesifitas dapat ditunjukkan oleh minimalnya gangguan oleh senyawa lain terhadap hasil analisis misalnya mendapatkan hasil yang sama dengan atau tanpa senyawa pengganggu. Pendekatan tidak langsung adalah lewat pengamatan karakteristik akurasi dari metode tersebut. Bila akurasi metode telah dapat diterima maka metode tersebut otomatis telah masuk kriteria sebagai metode yang spesifik (Ermer dan McB. Miller, 2005).

  2.4.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi

  Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak dapat dikuantifikasi. Batas deteksi merupakan batas uji yang spesifik menyatakan apakah analit di atas atau dibawah nilai tertentu (Rohman, 2007). sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Rohman, 2007).

  2.4.5 Linieritas

  Linieritas adalah kemampuan suatu metode untuk memperoleh nilai hasil uji langsung atau setelah diolah secara matematika proporsional dengan konsentrasi analit dalam sampel dalam batas rentang konsentrasi tertentu (Satiadarma, dkk., 2004). Linieritas dapat ditentukan secara langsung dengan pengukuran analit pada konsentrasi sekurang-kurangnya lima titik konsentrasi yang mencakup seluruh rentang konsentrasi kerja (Ermer dan McB. Miller, 2005).

  2.4.6 Rentang

  Rentang adalah interval antara batas konsentrasi tertinggi dan terendah analit yang terbukti dapat ditentukan menggunakan prosedur analisis, dengan presisi, akurasi, dan linieritas yang baik. Rentang biasanya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan hasil uji (Satiadarma, dkk., 2004).